Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 17 - Erlkonig

Chapter 17 - Erlkonig

Rumah itu terlihat semakin besar saat kami mendekatinya, rumput-rumput tinggi dan tumbuhan rambat tumbuh disekitarnya, bahkan hampir menutupi separuh bangunan di bagian bawah. Ternyata rumah ini memang cukup besar meski dibangun dengan sangat sederhana, hanya dengan tembok batu yang direkatkan dengan tanah dan dikeringkan di bagian bawah lalu bagian atasnya terbuat dari kayu dan atapnya pun terbuat dari kayu pula. Sebagian batu-batu sudah menghijau penuh dengan lumut-lumut dan atapnya terlihat hitam membusuk dan ditumbuhi pohon-pohon pendek. Terdapat sebuah pintu di depan dan dan dua buah jendela yang tertutup di bagian samping yang bisa kulihat.

Di samping kiri rumah terdapat sebuah pohon beringin tua yang besar, sulur-sulurnya yang panjang menjuntai ke bawah. Entah sudah berapa puluh atau bahkan ratusan tahun –mungkin- umur dari pohon itu. Meski aku heran dengan keberadaan pohon beringin di gunung, tapi aku tak terlalu memikirkannya.

Kinanti dengan cepat sudah berada di depan pintu bersama dengan Bimo. Sebuah pintu yang cukup sempit tapi tinggi dengan dua daun pintu kayu yang tertutup berwarna kusam dan di bagian bawahnya sudah ditumbuhi tumbuhan rambat. Terlihat sekali pintu itu sudah lama tidak dibuka.

Tok! Tok!

"Permisi? Apakah ada orang?" teriak Bimo setelah mengetuk pintu.

Kinanti maju ke pintu dan mendorong sekuat tenaga hingga pintu terbuka, lalu wajahnya berpaling pada Bimo.

"Pintunya saja sudah penuh tumbuhan rambat, mana ada orang di sini, Bimo," kata Kinanti.

Bimo hanya nyengir.

"Kan, siapa tahu. Sebagai orang yang baik aku selalu menjaga sopan santun," kilahnya.

"Jadi, kau mau ikut masuk atau tidak?" tanya Kinanti sambil memandangku.

"Tunggu! Kau sebelumnya pernah ke sini, kan?" tanyaku pada Kinanti.

"Bisa dibilang begitu."

"Lalu sebenarnya tempat apa ini?"

"Begini, Luk." Kinanti berjalan mendekatiku.

"Setahun yang lalu, aku menemukan tempat ini karena aku begitu penasaran tentang kabar makhluk-makhluk mungil yang turun ke desa. Aku memang belum pernah melihat mereka, tapi ada beberapa orang yang mengaku pernah melihat mereka, dan makhluk-makhluk itu datang dan pergi dari desa ke gunung ini. Tapi aku belum pernah masuk ke dalam rumah ini."

"Makhluk seperti apa yang mereka katakan?" Bimo yang ternyata ikut mendekat dan juga bertanya.

"Entahlah, kadang aku tidak terlalu percaya dengan yang orang-orang desa katakan, mereka suka membesar-besarkan sesuatu. Mereka bilang bahwa makhluk itu sangat mengerikan, mereka pendek, kecil dan bergigi tajam. Bahkan mereka yang percaya takhayul bilang bahwa mungkin itu tuyul atau jembalang."

"Hahaha! Tuyul?" Bimo tertawa dengan kata-kata Kinanti tadi, dan Kinanti menunjukkan ekspresi wajah sebal dengan memutar bola mata dan menarik bibir atasnya hingga terlihat gigi serinya.

"Apa ada yang celaka karena mereka?" tanya Bimo lagi.

"Tidak. Tapi mereka sangat mengganggu karena suka masuk ke rumah warga seperti rombongan tikus dan mencari makanan. Banyak dari rumah warga yang menjadi berantakan dan membuat mereka -para penduduk- ketakutan. Ada yang bilang bahwa mereka setan peninggalan para kaum Eropa yang dulu tinggal di sini dan tidak dibawa pulang lalu mereka -para makhluk itu- berkembang biak."

Aku menyentuh bibirku dengan telunjukku dengan kepalan tangan, itu kebiasaanku saat berpikir dan aku baru meyadarinya belakangan, sebelumnya aku tidak sadar sampai Nick pernah bilang gayaku berpikir seperti orang yang sedang batuk. Aku berpikir apa sebenarnya makhluk ini, tidak ada satu makhluk pun seperti itu yang pernah kubaca dari catatan ayah atau buku-buku lainnya. Peri, kah? Goblin, kah? Atau sesuatu yang kupikirkan selama ini? Tidak, ini terlalu cepat mengambil keputusan.

Kinanti lalu berjalan menuju pintu dan mulai memasuki rumah itu meninggalkan aku dan Bimo di belakangnya. Aku masih ingin mengamati sekitar sini, rumah ini memang seperti rumah-rumah di pedesaan Eropa jaman dulu, terutama di daerah pegunungan. Namun bentuk pintu dan jendela rumah ini seperti yang terdapat pada rumah-rumah pedesaan yang ada di Jawa, dan itu membuatku lebih penasaran.

"Yod. Tuyul itu tidak ada, kan?" tanya Bimo.

"Lihatlah ke cermin! Maka kau akan melihatnya," jawabku lalu menyusul Kinanti masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah cukup terang karena banyak cahaya yang masuk melalui lubang-lubang jendela dan atap yang rusak. Aku bisa dengan jelas melihat ruangan yang kelabu karena penuh debu, ruangan luas yang kosong melompong tanpa perabot apapun. Lantainya terbuat dari kayu dan di beberapa bagian terlihat lebih bersih karena terkena air dari atap yang bocor. Aku berjongkok dan menyentuh lantai kayu, ini terbuat dari kayu besi -jenis kayu yang tak akan lapuk dan berlumut jika terkena air, malah akan bertambah keras. Tetapi ada bagian yang agak gelap dan itu terdapat di ujung ruangan, artinya kami bisa tahu lebar ruangan ini namun tidak tahu seberapa panjangnya.

Terlihat kilatan-kilatan cahaya di depanku, rupanya Kinanti dengan senter dari ponselnya sedang mengamati bagian yang gelap itu. Kurasa hanya ada tembok batu juga di sana.

Tak tak tak!

Suara seperti ketukan cepat di lantai terdengar tiba-tiba. Sejenak keheningan menyelimuti dan kami semua tidak ada yang bergerak. Menurutku itu suara sesuatu yang berlari, seperti ayam atau binatang lain.

"Apa itu?" tanya Bimo di belakangku.

Kinanti menyorotkan cahaya ponselnya ke sekitar. "Hanya tikus," katanya.

"Tidak ada apa-apa di sini, Kinanti," kata Bimo.

"Jangan suka memutuskan sesuatu terlalu cepat, kita belum memeriksa semuanya," jawab Kinanti.

Aku rasa mungkin Kinanti mengetahui sesuatu.

"Ini sedikit aneh," kataku masih sambil berjongkok. "Rumah ini dibangun dengan atap dan penyangganya menggunakan kayu biasa tetapi lantainya dibuat dengan kayu kualitas nomor satu."

"Lalu anehnya dimana, Yodha?"

Aku mengetuk-ngetuk lantai di bawahku, lalu berpindah tempat dan ku ketuk-ketuk lagi hingga aku menemukan bagian lantai dengan suara yang lebih nyaring.

"Oh, aku tahu," kata Bimo. "Jadi sebenarnya rumah ini dibangun untuk melindungi ruangan yang sesungguhnya yaitu sebuah ruangan di bawah tanah sana."

"Bingo! Aku heran kenapa otakmu harus dirangsang terlebih dahulu, Bimo," kataku.

"Kalau begitu kita butuh kapak atau linggis untuk ke bawah sana dengan membongkar lantai ini. Ya, kan?" Bimo memberikan pendapat yang sangat tidak berguna.

"Kalau ada ruangan bawah tanah di dalam rumah, artinya ada jalan menuju ke sana, Bimo," kata Kinanti. Baru saja aku akan mengatakan hal yang sama tapi dia sudah mendahuluiku.

Kinanti beranjak dari tempatnya dan kembali menyinari ruangan dengan ponselnya seperti mencari sesuatu, cahayanya lebih sering diarahkan ke dinding. Rupanya Bimo juga melakukan hal yang sama namun entah apa yang dicarinya, dia hanya mengikuti Kinanti. Aku menuju ke salah satu jendela kayu yang sedikit berlubang dan membukanya lebar-lebar hingga ruangan gelap itu terlihat lebih terang.

Bimo dan Kinanti terperanjat dan melihatku. "Kenapa tidak dari tadi kau buka jendela itu?" kata Bimo, sedangkan Kinanti hanya nyengir melihatku.

Aku hanya mengangkat alis dan melirik pada mereka berdua. Mereka benar-benar bodoh dan tidak sejenius aku, meski bukan hal jenius sih kalau cuma membuka jendela untuk menerangi ruangan.

Rupanya jendela ini mengarah ke halaman dimana pohon beringin besar berdiri, di bawahnya daun-daun gugur menumpuk dan berserakan di atas rumput. Tapi... tunggu dulu! Ada beberapa bagian yang bersih tanpa terkena dedaunan yang gugur dan itu berbentuk lingkaran dengan sesuatu berwarna putih di sekelilingnya. Aku terkejut melihatnya sampai menjulurkan kepala ke luar jendela untuk lebih memastikannya.

"Aha!" teriakan Kinanti mengagetkan aku. "Luk! Bimo! Kemarilah!"

Aku dan Bimo mendatangi Kinanti yang sedang mengamati dan menunjuk sesuatu di dinding. Dinding di depannya terbuat dari batu yang sudah dipahat seperti batu pada candi namun reliefnya tidak seperti candi. Itu adalah gambar perisai dengan singa yang berdiri dan membawa pedang yang ujungnya mengarah ke bawah di dalamnya.

"Bukankah ini lambang pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu?" tanya Bimo.

"Kurasa bukan. Lambang Hindia Belanda punya mahkota di atasnya," kataku.

Aku mengamatinya lagi, gambar relief ini justru mengingatkan aku dengan sesuatu. Tapi apa? Aku lupa, meski kilasan ingatan seperti akan keluar dari otakku.

Aku melirik Kinanti, sekilas dia sedang mengamati wajahku namun saat ku lihat dia berpaling ke gambar tadi.

"Tapi, Yod. Lihat ini!" Bimo menunjuk pada lantai kayu di dekat kakinya. "Bukankah ini bahasa Belanda?"

Terdapat goresan huruf-huruf pada lantai yang diukir dengan benda tajam dan bertuliskan : ERLKONIG.

Aku tertegun melihatnya lalu kupandangi Kinanti dan Bimo.

"Aku akan memberitahu kalian apa yang tadi kulihat di luar," kataku.

"Apa itu?" Bimo dengan serius menatapku.

"Di halaman tempat pohon besar itu berdiri, kurasa aku melihat beberapa lingkaran dari jamur-jamur yang tumbuh. Kau tahu itu kan, apa artinya itu, Bimo?"

Mata Bimo seketika melebar. "Oh! Lingkaran peri!"

"Ya, betul. Kau ingat itu, Bimo. Dan satu lagi, itu bukanlah bahasa Belanda, arti tulisan di lantai itu adalah Raja Peri."

...