Aku belum sepenuhnya percaya dengan yang diceritakan oleh Ibe, namun aku tidak akan memungkiri kalau aku pun menjadi penasaran. Kukira awalnya benda perak inilah kunci untuk membuka salah satu 'penjara' dari monster-monster itu, tapi menurut Ibe ini bukanlah benda itu.
Namun, apa yang dikatakan Ibe barusan membuatku berpikir jika ternyata benda prisma itulah kunci yang selama ini dicari.
"Kau yakin itu mata rantai pengikat Cherberus? Memangnya kau pernah melihat makhluk itu dirantai?" tanyaku.
"Kau ini mau percaya padaku atau tidak, bukan masalah buatku!" kata Ibe. "Kalau melihat langsung aku belum pernah, sih. Tapi, kalau melihat gambarnya, aku pernah."
"Huh, cuma dari gambar rupanya," kata Bimo sambil menaikkan alisnya.
"Bukan gambar asal-asalan seperti yang kau kira, bodoh!" kata Ibe.
"Lalu?"
Ibe terus melotot pada Bimo lalu berpaling padaku dan menarik napas, memejamkan matanya sebentar seolah kata-kata yang akan diucapkan membutuhkan tenaga ekstra untuk dikatakan.
"Oke, aku memang bermulut lebar dan susah menjaga rahasia. Jadi sebenarnya aku tahu di mana benda itu disimpan dan aku pernah ke sana. Sebuah tempat yang terlindung oleh tabir, tempat di mana pikiranmu melambat dan menjadi kacau, waktu menjadi tidak jelas, dan kau akan menjadi linglung. Di setiap dinding terukir monster-monster, bukan hanya pahatan Cherberus. Tempat di mana kau tidak ingin mendatanginya kecuali terpaksa," kata Ibe.
Matanya memandang dengan tajam pada kami, meski kata-katanya agak berlebihan dan seperti dibuat-buat mirip di film-film televisi atau buku-buku berisi cerita yang kaku, tapi tetap menyita perhatianku padanya.
"Beneran ada tempat seperti itu?" tanya Kinanti pada Ibe. Wajahnya terlihat cemas, itu sedikit mengejutkan bagiku karena yang aku tahu Kinanti itu gadis 'metal'.
"Tentu saja ada. Kau takut? Kau tidak harus ke sana," jawab Ibe.
"Kami harus ke sana," kataku.
"Luk, mau apa sih kita ke sana?" tanya Kinanti.
"Banyak yang harus aku ungkap dan ini sebuah kebetulan yang luar biasa," jawabku.
"Jangan takut, Kinanti. Aku berjanji selama ada aku kau tidak akan terluka sedikit pun," kata Bimo mulai lagi merayu Kinanti.
"Oh, ya? Nih!" Kinanti menunjukkan lengannya yang terluka pada Bimo.
"Itu kan aku belum berjanji tadi," jawab Bimo dengan bodohnya mengelak.
"Santai saja, Bimo. Kinan bukan wanita yang butuh perlindungan laki-laki," kataku pada mereka.
"Wah, kau kejam, Yod. Bagaimana pun dia adalah seorang wanita. Seperti apapun sifat wanita, laki-laki harus bersikap sebagai 'lelaki' pada mereka," kata Bimo. Dan tak kusangka, kulihat sepertinya Kinanti sedikit tersipu dengan kata-kata Bimo, jangan sampai deh dia benar-benar jatuh cinta sama asisten bodohku itu.
"Lalu seperti apa sikap 'lelaki' yang kau maksud itu?" tanyaku.
"Nah, itu yang sedang aku cari, bagaimana aku bisa menjadi 'lelaki' untuk Kinanti," kata Bimo sambil tersenyum bodoh.
"Dasar. Aku tidak takut, aku bisa menjaga diriku sendiri," kata Kinanti memalingkan muka dari Bimo. Gawat, sepertinya dia benar-benar terpesona oleh Bimo.
Ibe kembali duduk dan membawa cangkir yang terbuat dari perak berisi minuman untuk dia sendiri, dia beranjak dari duduknya tadi saat kami bertiga sedang mengobrol.
"Ibe, kau bisa membawa kami ke sana, kan?" tanyaku.
Ibe menenggak minumannya lalu menggaruk-garuk jenggot kelabunya yang panjang. Dia menatapku dengan serius hingga badannya condong ke arahku.
"Apa alasanmu ingin ke sana? Kau mau mengambil benda yang seharusnya tidak boleh kau ambil?" tanya Ibe.
"Aku seorang yang ingin tahu, Ibe. Aku tidak bermaksud mengambil benda itu," kataku mencoba mencari alasan. "Hal seperti inilah pekerjaanku, aku berkeliling dunia untuk mengetahui segalanya, mengetahui bahwa manusia tidak sendiri karena ada kalian dan menjaga hubungan baik agar tidak ada perselisihan."
"Lalu?"
"Aku selalu belajar, apa misteri dunia ini, siapa saja makhluk cerdas selain manusia, siapa yang bisa bersahabat dan yang tidak, bagaimana kita menjaga rahasia kalian..."
"Ayam dan telur duluan mana," kata Bimo menyelaku.
"Pokoknya aku harus ke sana, Ibe," kataku lagi.
Ibe menatapku dengan lekat, seolah dia adalah hakim atau siapa lah dan menjadi orang yang sangat penting bagiku — dasar makhluk cebol ini.
"Alasanmu belum meyakinkan aku," kata Ibe padaku.
"Oh, ayolah. Apa ruginya kau membawa kami kesana," kata Bimo. Sekarang malah dia yang tidak sabar.
"Baiklah, aku akan jujur saja padamu, sobat," kataku.
Aku memang bercerita jujur, tapi tidak seluruhnya aku ceritakan. Kubilang pada Ibe bahwa semua benda itu berhubungan dengan orangtuaku yang menghilang dan benda perak itu adalah peninggalan mereka. Jika aku kesana mungkin aku akan menemukan petunjuk tentang ayah dan ibuku.
Aku tidak bercerita tentang kelompok pemuja Echidna yang ingin membebaskan monster-monster itu pada Ibe. Kurasa knocker satu ini pun tidak mengetahui hal itu, dia hanya tahu bahwa ada kumpulan manusia yang berhubungan baik dengan dia dan kaumnya.
"Sobat, jika kau mau mengantar kami dan aku dapat menemukan petunjuk tentang orangtuaku, aku akan sangat berterimakasih padamu," kataku.
"Baiklah. Aku suka dengan orang yang berbakti pada orangtuanya," jawab Ibe. "Tapi ini akan sangat berbahaya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi."
"Terima kasih," jawabku sambil tersenyum padanya. "Kau cukup mengantar kami dan biar kami saja yang akan masuk kesana."
"Lalu kapan kita akan ke sana?" tanya Ibe padaku.
"Sekarang juga," jawabku.
"Huh, manusia memang suka tergesa-gesa, ya. Bahkan kalian punya pepatah 'waktu adalah uang', ya kan? Bagi kami waktu adalah hidup. Jadi nikmatilah waktu kalian dengan menikmati hidup bukan melulu mencari uang," kata Ibe.
"Bukan begitu maksudnya," kata Bimo yang selalu terlihat kesal jika bicara dengan Ibe, mungkin terbawa suasana wajah dan nada bicara Ibe yang selalu terlihat marah.
"Uang itu untuk menunjukkan sesuatu yang berharga, jadi waktu itu sangat berharga."
"Sama saja-lah, bodoh!" kata Ibe.
"Beda itu, cebol!"
"Sudahlah, Bimo. Memang benar kata Ibe, kebanyakan manusia bukan takut kehilangan waktunya untuk hal lain selain mencari uang. Tapi, Ibe, kali ini aku takut kehilangan waktuku untuk bertemu orangtuaku," kataku.
Bimo dan Ibe saling melotot, ini jadi aneh buatku, belum juga kami sampai di tempat yang seperti dikatakan Ibe tapi pikiran kami sudah mulai kacau begini. Bahkan Bimo seperti anak kecil — ah, bukan— atau memang dia sudah bodoh dari lahir. Setidaknya, Bimo tidak keceplosan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
...
Baru sekitar dua puluh menit kami meninggalkan kampung para knockers, Ibe sudah memberitahu bahwa sebentar lagi kita akan melewati 'jalan kematian'.
Di depan kami terdapat sebuah jalan lurus yang lebih lebar daripada sebelumnya di dalam hutan tadi. Pohon-pohon tinggi berjajar di sepanjang kiri kanan jalan dengan jarak yang berjauhan dan banyak terdapat kolam-kolam dengan berbagai ukuran di belakang pepohonan dengan air yang berwarna gelap memantulkan sinar biru dari bulan. Melihatnya, firasatku tidak enak.
"Kenapa namanya begitu menyeramkan?" tanya Bimo.
"Oh, sebenarnya itu karanganku saja menamai tempat yang akan kita lewati agar terdengar menyeramkan karena memang berbahaya. Hahaha!" jawab Ibe sambil tertawa.
"Nama yang keren," kata Kinanti pada Ibe. "Aku setuju denganmu."
"Jadi kenapa ini berbahaya?" tanyaku.
"Berbahaya untuk manusia tentu saja. Apakah kau tidak tahu jika tempat seperti itu maka kau akan bertemu siapa?" tanya Ibe padaku.
Sejenak aku tidak yakin dan sedikit berpikir.
"Ini tempat para urisk," jawabku.
Ketegangan mulai muncul. Melihat jalan yang akan kami lewati, membuat aku kembali teringat dengan puisi Erlkonig yang menyeramkan.
"Tidak hanya urisk yang hanya menyeramkan. Jika beruntung, kalian akan bertemu banshee, phouka dan kuharap yang satu ini tidak akan muncul ...."
Kami semua menatap Ibe dengan serius dan kuharap dia tidak mengatakan apa yang sedang aku pikirkan.
"Sungguh jika dia muncul mungkin kita bisa saja terpisah-pisah dan celaka," lanjut Ibe.
"Dia..."
"Ya, Firr Darrig," jawab Ibe.
"Oh, tidak!" seruku dan Bimo hampir bersamaan.
...