Ada sebuah legenda dari Tanah Jawa, tentang desa yang tersembunyi sejak berabad-abad yang lalu. Desa yang makmur, subur dan penduduknya saling akur dan tiada kekurangan tanpa pernah keluar atau berhubungandengan desa atau tempat yang lain.
Orang-orang memberi nama tempat itu dengan nama Desa Nglimuni, berasal dari kata halimun yang berarti menyamar, bersembunyi atau membuat orang terkecoh. Desa tersebut kadang tampak dari kejauhan dan berada di kaki gunung, namun saat didekati tempat itu akan menghilang dan hanya terdapat padang rumput saja dengan tanah yang lembab dan berlumpur dan berrawa.
Menurut cerita, pernah ada saudagar kaya raya yang ingin menguasai tempat tersebut. Dia memerintah sejumlah anak buahnya untuk menemukan di mana letak desa itu, karena salah satu anak buah berkata melihatnya dari kejauhan. Namun usaha mereka sia-sia dan anak buahnya dihukum mati karena dianggap telah berbohong.
Hingga saat ini, jika beruntung masih ada yang sempat melihat desa tersebut tapi tak ada satupun yang bisa menemukannya atau berkunjung ke sana.
...
Bulan tak bergeming, sama sekali tidak bergerak dan beranjak dari tempatnya. Waktu seolah serasa berhenti di sini. Hanya sinar birunya yang perlahan meredup dan membuat jalan yang akan kami lewati terlihat semakin suram. Kabut tipis bagai asap melayang-layang di atas kolam-kolam gelap yang tenang tanpa sedikitpun riak dan riuh. Cahaya kerlap-kerlip berwarna jingga dari binatang-binatang — yang aku yakin itu bukanlah serangga kunang-kunang— terlihat banyak dan menari-nari di atas kolam. Dengan suasana tegang dan waspada, kami mulai berjalan melewati jalan gelap yang dijuluki 'jalan kematian' oleh Ibe ini.
"Sebelumnya biar ku katakan sesuatu," Ibe tiba-tiba berkata. "Mungkin jalan ini terlihat mudah dan tinggal lurus saja. Tapi asal kalian tahu, jalan ini bisa saja sangat menyesatkan."
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Bimo.
"Jangan pedulikan suara apapun dan tetap awasi teman-teman kalian!" jawab Ibe.
Ya, memang kita tinggal berjalan lurus saja mengikuti jalanan yang terbentang di antara pepohonan besar dan kolam-kolam sunyi ini. Suhu pun semakin terasa dingin, ingin rasanya aku menggosokkan telapak tanganku dengan kedua lengan. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara wanita, seperti gumaman pelan atau rintihan pedih, lembut tapi menyayat telinga.
"Itu bukan aku," kata Kinanti.
"Ya, aku tahu," jawabku.
Kami semua terdiam dan tetap berjalan. Mungkin itu adalah suara Banshee, aku belum pernah melihat peri itu bahkan mendengar suaranya juga. Tapi asal tahu, dia mendatangi dan 'menangis' pada orang yang akan mati, jadi apakah kami akan mati disini?
Jalan ini seakan sangat jauh, padahal kami semua sudah berjalan dengan cepat-cepat. Namun suasana hening dan tenang ini seakan menghipnotisku untuk menikmatinya. Tanpa sadar setiap berjalan aku memperhatikan setiap gerakan dari cahaya kerlap-kerlip tadi, sebuah tarian dengan musik kesunyian yang begitu tentram.
Aku merasa ringan dan nyaman, bukan kantuk yang kurasakan hanya rasa lelahku serasa 'diletakkan' dan dilepas dari pundakku. Tanpa sadar aku merasakan basah pada kakiku, air membanjiri isi sepatuku dan kini aku berdiri di atas kolam yang menggenangi hingga mata kaki —jika aku lebih maju lagi mungkin akan lebih dalam lagi— dan aku berada jauh dari jalan yang kulalui.
Entah apa yang terjadi tapi kini aku sendirian, kenapa aku bisa tiba-tiba ada disini? Mana yang lainnya?
Aku keluar dan menjauh dari kolam, menuju kembali ke jalan dan mencari teman-temanku namun mereka tidak ada. Aku pun melepas sepatuku lalu menuang keluar air yang masuk ke dalamnya, untung aku sudah tidak lagi memakai kaus kaki. Seekor hewan kecil yang mirip ikan namun memiliki dua kaki depan berwarna biru dengan dua mata yang menggembung, keluar bersamaan air dari dalam sepatuku, menggelepar di tanah lalu berusaha merangkak ke arah kolam. Aku baru melihat makhluk yang seperti itu. Sirip mungilnya yang lancip tegak berdiri dan meliuk-liuk bersamaan dengan tubuhnya menuju ke arah kolam, kelihatannya sangat susah.
Tiba-tiba dari balik pepohonan muncul makhluk mengerikan dan buruk rupa tidak jauh dari tempatku berdiri di jalan. Badannya seperti manusia tua dan botak dengan jenggot lancip bagai kambing jantan dengan dua kaki seperti banteng berbulu dan berdiri tegak. Tanpa menatapku dia menghampiri 'ikan' tadi lalu memungutnya, wajahnya menampakkan kemurungan tapi begitu menakutkan.
"Kasihan sekali," dia berbicara lalu meletakkan makhluk biru itu di telapak tangannya seakan-akan iba dan hendak menolong. Dia sama sekali tidak melihatku.
"Aku tidak bermaksud mencelakai makhluk itu," kataku padanya. "Dia tak sengaja masuk ke dalam sepatuku."
Makhluk seram itu tetap menatap ikan kecil itu tanpa memandangku, mengelus kepalanya seolah itu binatang kesayangannya meski ikan kecil itu tampak menggelepar menandakkan dia tidak senang. Lalu tanpa kuduga dengan cepat makhluk seram itu segera memasukkan ikan ke mulutnya dan mengunyahnya, dia memakan ikan tadi!
"Wow, kukira kau kasihan padanya," kataku.
"Kaulah yang aku maksud, Manusia," jawabnya lalu memandangku dengan tatapan tajam.
Ini tidak bagus, aku merasakan firasat yang buruk. Awalnya kukira dia faun —manusia kambing yang kebanyakan bisa bersahabat— tapi kurasa dialah Urisk, dan yang aku tahu mereka cukup berbahaya.
"Kau mau apa?" tanyaku.
Dia tidak menjawab dan berjalan perlahan ke arahku. Aku mundur perlahan dan — lari!
Aku berlari mengikuti jalanan sambil menenteng kedua sepatuku yang belum sempat aku pakai. Aku menoleh ke belakang dan makhluk botak jelek itu masih mengikutiku dengan berlari kecil sambil melompat-lompat, seolah mengejekku bahwa kecepatan lariku hanya setara saat dia berjalan, tentu saja karena dia memiliki kaki yang seperti itu.
Aku lalu berhenti berlari karena aku tahu akan percuma saja. Aku membalikkan badan dan menghadapinya. Makhluk itu pun berhenti hanya beberapa meter dariku.
"Tunggu!" Aku menarik napas dalam-dalam dan mengatur detak jantungku karena melakukan sprint seperti Hussain Bolt tadi.
"Aku tahu kenapa kau selalu berwajah murung. Karena di dunia manusia saat mereka melihatmu, mereka akan selalu berlari, kan? Mereka takut dengan wajahmu yang buruk. Memang kau sangat buruk, dan memutuskan untuk menakuti manusia saja bahkan di dunia peri ini."
"Tahu apa kau? Aku akan memakanmu," kata makhluk itu.
"Kau kira aku manusia biasa?"
"Memangnya kau punya kekuatan super?"
"Maksudku bukan begitu. Aku tahu segala tentang duniamu, kau kira aku tidak tahu bahwa peri tidak memakan manusia?"
"Ya. Peri memang tidak memakan manusia, kecuali aku!" kata makhluk itu lagi sambil mengangkat kedua tangannya seperti orang bodoh sedang menakut-nakuti anak kecil.
"Oh, ayolah! Aku mengenal bangsamu dengan baik dan aku tahu sebenarnya kalian adalah makhluk yang baik hati," kataku, padahal sebenarnya aku berbohong.
Makhluk itu terdiam sejenak dan menatapku, wajahnya yang mengerikan terlihat menyedihkan.
"Kau tahu aku tidak langsung lari saat melihatmu tadi, aku berlari karena kau berkata yang menakutkan. Aku tidak takut denganmu, sobat," kataku lagi.
"Maafkan aku menakutimu tadi," kata makhluk itu yang lalu tersenyum.
Yah, sepertinya rayuanku berhasil untuk menenangkan makhluk ini. Jika ada yang tahu, mungkin ini akan menjadi rekor dunia pertama kali ada manusia yang bisa membuat Urisk tersenyum dan itu adalah aku. Tapi aku belum pernah merayu wanita, mungkin Bimo malah lebih ahli tentang itu. Tapi ngomong-ngomong, di mana Bimo dan yang lainnya. Apakah mereka juga tersesat karena kesunyian ini, padahal tempat ini benar-benar terlihat hanya ada satu jalan saja.
"Kau melihat teman-temanku?" tanyaku padanya sambil berusaha memakai kembali sepatuku.
"Harusnya dari awal kau memperhatikan mereka," katanya sambil mendekatiku dengan perlahan.
Kini dia berjongkok di depanku. Sebenarnya aku masih merasa risih dan merinding di dekatnya tapi aku tidak ingin mengacaukan rayuanku tadi dan membuatnya tersinggung dengan menampakkan muka cemas.
"Apa mereka juga tersesat?" tanyaku lagi.
"Harusnya kalian lebih berhati-hati lagi," kata urisk sedikit berbisik, matanya terlihat melirik ke segala arah seolah mengawasi sesuatu.
Tiba-tiba dia terperanjat kemudian berlari dan menghilang ke balik pepohonan yang mengarah ke kolam-kolam.
"Yah, dia pergi begitu saja. Apa ada yang ditakuti olehnya? Mana ada makhluk seseram itu takut pada sesuatu," gumamku sambil berusaha berdiri.
Aku kembali memandang sekeliling di kesunyian jalan ini. Aduh, aku lupa! Aku harus ke arah mana? Aku berniat memanggil teman-temanku namun aku urungkan niatku. Aku yakin, meski tampak sunyi, tapi sebenarnya tempat ini sebenarnya ramai oleh makhluk-makhluk penyuka kesunyian dan jika aku berteriak mungkin malah akan mengundang perhatian mereka.
Lalu, agak jauh dari tempatku berdiri, kulihat seseorang yang sedang berdiri di samping jalan. Tidak begitu jelas terlihat karena keremangan tempat ini dan dia membelakangiku.
"Bimo?" panggilku namun tanpa jawaban.
Aku mendekatinya dan jika aku tak salah lihat orang itu malah mirip seseorang yang sangat aku kenal tapi itu tidak mungkin. Kulihat pakaian yang dia pakai begitu kuno dan sudah ketinggalan jaman, satu jaman dengan Nick waktu masih muda. Jas setelan kuno dengan topi bulat yang dipakai, seolah menegaskan bahwa dia berbeda jaman denganku.
Aku berhenti berjalan dan kini jarak orang itu denganku hanya sekitar lima meter, dengan jelas bahwa aku seperti mengenalnya meski aku tidak percaya. Tubuhku seakan lemas karena detak jantungku tak karuan melihat orang ini yang tiba-tiba berbalik menatapku dengan senyum. Orang yang jelas sekali aku kenali dan sekarang membuatku serasa sangat kacau.
"Ayah?"
...