"Erlkonig? Raja peri?" Bimo dan Kinanti bicara hampir bersamaan, bahkan ekspresi mereka pun tidak jauh beda. Dengan mata yang melebar dan wajah penuh pertanyaan.
"Kau tahu darimana, Yod?"
"Ada sebuah puisi populer pada jaman dulu saat kita masih dalam pemerintahan Hindia Belanda. Seorang penyair Jerman bernama Johann Wolfgang von Goethe, membuat sebuah puisi dengan judul Erlkonig yang artinya Raja Peri," kataku.
"Seperti apa isinya?" tanya Bimo.
"Itu mengisahkan tentang seorang anak kecil dan ayahnya yang pulang kemalaman. Dengan mengendarai kuda, mereka berdua pulang ke rumah setelah mereka pergi ke desa sebelah dan melewati sebuah hutan dalam perjalanan mereka. Saat melewati hutan, si anak yang membonceng berkata pada ayahnya bahwa ia melihat makhluk seram yang terus mengikuti mereka berdua."
"Lalu, Yod?"
"Ayahnya menoleh ke belakang dan tidak melihat apapun, jadi ia menyangka anaknya tengah berbohong atau berhalusinasi karena takut. Si anak kembali berkata bahwa makhluk itu masih mengikuti mereka dan kali ini dia berkata bahwa itu adalah raja peri.
Meski berkali-kali anaknya berkata sepanjang perjalanan bahwa raja peri itu mengikuti mereka, sang ayah tetap tidak percaya dan akhirnya menyuruh anaknya untuk diam atau dia akan marah. Si anak pun diam dan itu membuat ayahnya tenang.
Selama perjalanan, anaknya terus diam tanpa merengek-rengek lagi, bahkan tidak berkata sepatah kata pun, dan akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Saat itulah ayahnya menyadari bahwa anaknya sudah tidak bernyawa lagi dengan tubuh kaku masih mendekap pinggang ayahnya."
Bimo kembali melotot dan menganga. "Puisi yang seram!" bisiknya.
"Begitulah."
"Mungkin motifasinya membuat puisi seperti itu untuk menakut-nakuti anak kecil agar tidak keluar malam-malam. Seperti halnya juga budaya di sini," kata Bimo sambil mengusap dagunya dan memandang ke atas.
"Tapi seharusnya yang takut malah para ayah, kan? Agar mereka tidak mengajak anaknya untuk bepergian malam hari. Entah kenapa puisi itu begitu populer pada masa lampau," kataku.
"Kau tahu dari mana, Luk?" tanya Kinanti.
"Aku pernah membacanya, tentu saja. Saat puisi itu populer, aku belum lahir."
"Itu hanya puisi karangan, kan?" tanya Bimo.
"Tentu saja itu karangan. Peri itu ada. Tapi Raja Peri... aku belum pernah membaca atau mendengar ada orang yang pernah bertemu dengannya. Tapi sepertinya puisi itu juga berdasarkan mitos yang ada di sana. Bahwa Raja Peri itu memang ada."
"Jadi benar-benar peri yang akan kita hadapi?" kali ini Kinanti yang bertanya dengan nada biasa tanpa ketakutan.
Mereka berdua seperti sepasang wartawan yang penuh rasa penasaran, bergantian menanyaiku.
"Entahlah, tapi aku punya firasat yang tidak enak," jawabku. "Mungkin aku akan dimarahi lagi oleh Paman Surya seperti dulu karena bersamamu dengan hal seperti ini."
"Kau bicara apa - sih, Luk. Kita 'kan bukan anak kecil lagi," kata Kinanti menanggapi kata-kataku.
Tentu saja bukan itu yang aku khawatirkan, sesuatu yang tidak mengenakkan terbesit di dalam benakku.
Kinanti mendengus lalu kembali memandang pada relief di tembok, jari-jari tangannya menyapu setiap lekuk yang membentuk lambang yang sepertinya sudah tidak asing lagi. Dia menyentuh bagian pedang yang terbalik pada relief dan ternyata benda itu bisa bergeser. Lalu Kinanti memutarnya searah jarum jam hingga ujung pedang tegak ke atas.
Krak! Bruk!
Suara yang keras dan kasar terdengar di belakang kami, seperti suara papan kayu yang jatuh. Sebuah lubang persegi berukuran kira-kira satu meter persegi menganga di belakang kami.
"Itu jalan masuknya?" kata Bimo yang lalu menghampiri lubang.
Aku melirik pada Kinanti yang juga menatap lubang. Seperti merasa diperhatikan, dia lalu melihatku.
"Aku tidak sengaja tadi. Aku meraba bagian yang berbentuk pedang dan merasa bisa memutarnya, lalu aku melakukannya dan... kita menemukannya," kata Kinanti menunjuk ke arah lubang tadi, menanggapi tatapanku seolah mengerti apa yang ingin aku tanyakan. Dia lalu menyusul Bimo yang sepertinya sedang berusaha turun ke dalam lubang.
Bimo sudah berada di bawah saat aku menghampiri dan entah dari mana, dia mendapatkan sebuah lampu badai -lampu minyak yang ditutup dengan kaca berbentuk silinder dengan pegangan besi diatasnya- yang kini berada di tangannya. Lubang itu kira-kira sedalam dua meter, lebih tinggi sedikit dari kepala manusia biasa. Aku bisa melihat dasarnya karena cahaya di sini cukup terang, terdapat tangga besi untuk turun ke bawah yang menempel pada dinding lubang.
"Ada yang bawa korek api?" tanya Bimo sambil mendongak ke atas.
Kinanti merogoh bagian kecil dari ranselnya dan melemparkan sebuah pemantik berwarna perak pada Bimo.
"Tak kusangka, seorang wanita membawa benda seperti ini," kata Bimo yang lalu menyalakan lampunya.
"Memangnya hanya perokok yang membawa korek api kemana-mana?" Kinan berkata dengan nada ketus pada Bimo. "Ini namanya peralatan bertahan hidup di luar, Bimo."
Bimo tertawa lalu memandang ke arah depannya, "lubang ini sepertinya mulut dari lorong bawah tanah ini, di depan sana lorong yang sangat gelap."
"Baiklah. Ayo kita turun, Kinan!" perintahku.
"Ya."
"Kemarikan ranselmu, biar ku bawakan! Sepertinya kau kesulitan."
"Jangan!" jawab Kinanti dengan cepat padaku. "Aku bisa membawanya sendiri."
"Ya sudah. Syukurlah aku bisa berjalan tanpa beban," jawabku enteng meski sebenarnya sedikit heran.
Kinanti yang sudah sampai bawah lalu memandangku tanpa ekspresi dan menepuk-nepuk tangannya untuk menghilangkan debu.
"Jangan begitu, Yod. Mungkin di dalam ranselnya penuh dengan 'keperluan wanita', kau tahu itu-kan?" Bimo memperagakan dengan jari sebelah tangan seolah menunjukkan betapa tipisnya pembalut wanita seperti di iklan televisi.
Buk!
Kinanti meninju perut Bimo, tapi pria bodoh itu malah terus tertawa tanpa merasakan sakit. Aku pun sempat tertawa tapi hanya sebentar sebelum kembali memasang wajah kalemku saat Kinanti kembali menoleh ke atas.
Aku kemudian turun dan kami bersama berjalan menyusuri lorong bawah tanah yang gelap. Lorong yang berdinding lembab dan udaranya lebih hangat, entah apa yang disembunyikan oleh pembuatnya.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, lorong ini berbelok ke kanan dengan tangga berundak yang menurun. Jalan menurun ini menuju ke sebuah tempat yang lain lagi.
"Wow! Ruangan yang lain lagi!" seru Bimo. Suaranya menggema.
Kini kami berada di sebuah ruangan yang lebih besar dari lorong yang kami lewati, berbentuk kubus dengan dinding yang sudah menghitam. Terlihat dari cahaya lampu badai yang dibawa Bimo, lantai ruangan ini penuh dengan gambar-gambar timbul yang tidak terlalu jelas.
"Wah, ini seperti perburuan harta karun," kata Bimo sambil menunduk dan mengamati gambar ukiran di lantai.
Aku pun ikut melihat lantai di ruangan ini, terbuat dari batu-batu berbentuk persegi dengan ukuran sama kira-kira tigapuluh sentimeter dengan pola relief yang putus-putus.
"Apakah sampai di sini saja? Ini jalan buntu dan tidak ada apa pun di sini," kata Bimo lagi.
"Tidak. Pasti ada jalan lain, sebuah jalan rahasia." Kinanti menyusuri dinding ruangan dengan telapak tangannya.
Aku kembali mengamati lantai dan sepertinya menemukan sesuatu dari pola-pola pada lantai ini.
"Bimo, kemarikan lampu badaimu!" perintahku dan dia pun memberikan benda itu padaku.
Lantai-lantai batu ini disusun sedemikian rupa, seperti kotak-kotak pada papan catur dan gambar reliefnya berantakan. Aku berjalan berkeliling untuk mencari sesuatu dan benar saja, ini seperti dugaanku.
"Kalian masih ingat dengan permainan puzzle gambar yang terdiri dari kotak-kotak yang bisa digeser?" tanyaku pada Bimo dan Kinan.
"Oh, yang gambarnya diacak kemudian kita harus menggesernya agar tersusun menjadi gambar yang jelas?" jawab Bimo.
"Bingo! Lantai ini adalah permainan itu." Aku menunjuk pada satu bagian lantai yang kosong sebagai celah atau 'spasi' untuk menggeser bagian lantai yang lain.
"Pertanyaannya kali ini adalah; gambar seperti apa yang harus kita susun?" kata Kinanti yang ikut mengamati lantai.
"Bagaimana dengan lambang yang kita temukan di atas tadi? Lihat! Bagian yang ini berbentuk runcing, kukira ini bagian yang membentuk pedang," kataku sembari menunjuk pada salah satu bagian dari lantai batu.
"Kita coba saja," jawab Kinanti.
Ternyata tidak mudah menyusun gambar seperti ini jika bertiga, kami harus berdebat dan melempar pendapat, berkali-kali mengulangi menggeser dan mengamati agar membentuk gambar yang benar. Karena itu aku memutuskan bahwa aku akan menjadi 'otak' untuk memecahkan teka-teki ini sedangkan Bimo dan Kinanti yang menurut untuk menggeser bagian-bagian lantai. Aku merasa seperti mandor bangunan yang menyuruh anak buahnya.
Tak! Tak! Tak! Bruk!
Suara berisik samar-samar terdengar dari lorong melalui pintu masuk ke ruangan ini, sepertinya berasal dari rumah di atas kami. Suara sesuatu yang sedang berlari dengan kaki-kaki kurus dan kali ini terdengar lebih banyak.
Krak! Blam!
Kami saling berpandangan mendengar suara-suara itu, yang terakhir tadi sepertinya suara lantai kayu yang kembali tertutup, jalan untuk keluar masuk dari ruang bawah tanah ini.
"Suara apa tadi?" tanya Bimo sambil menatapku.
"Ayo cepat! Suara apa pun tadi pasti bukan berasal dari manusia, terlalu kecil untuk suara langkah kaki manusia dan tidak ada binatang yang bisa menutup pintu lantai," kataku.
"Bagaimana kalau itu manusia kecil sebesar Cahyono?" kata Bimo lagi.
"Cahyono?" tanya Kinanti yang berpaling pada Bimo.
"Meski begitu suara yang ditimbulkan juga akan lebih berat! Cepatlah! Bimo geser bagian itu ke atas!" Ingin rasanya aku memukul kepala Bimo agar otaknya sedikit mencair.
Mereka berdua segera melanjutkan menggeser batu-batu persegi berelief pada lantai itu. Saat kudengar suara-suara lembut yang perlahan mendekat dari lorong, relief pada lantai itu telah membentuk sebuah gambar dan Bimo selesai menggeser batu terakhir.
Grek! Glung! Glung!
"Wow!" Bimo berteriak terkejut.
Tiba-tiba lantai yang kami pijak turun perlahan dan membuat kami terkejut. Semakin lama semakin cepat seperti lift pada bangunan tapi bedanya ini hanya lantainya saja, meninggalkan langit-langit ruangan dan pintu masuk kami tadi yang semakin tinggi di atas kami.
Aku mendongak, melihat kembali pintu masuk kami tadi yang semakin samar karena cahaya lampu yang menjauh. Sebelum pintu masuk itu benar-benar tak terlihat, sekilas aku melihat sesuatu yang melongokkan kepalanya yang kecil dengan sepasang mata yang mengkilat. Bukan hanya sepasang, dua, tiga dan semakin banyak hingga benar-benar tak terlihat lagi karena lantai ini terus membawa kami turun.
...