Aku tidak percaya ada tempat seperti ini. Kukira peri pun hidup di dunia yang sama dengan manusia, maksudku di bumi yang normal, dan mereka hanya bersembunyi di suatu tempat yang susah dijamah manusia. Aku tidak paham dengan penjelasan dimensi-dimensi lain yang ada di dunia, bagiku itu sesuatu yang mustahil.
"Tempat apa ini?" tanya Bimo.
"Tadi kan aku sudah bilang kalau ini dunia peri!" jawab Ibe.
"Lalu mau kemana lagi kita, Yod?" tanya Bimo padaku.
"Ini menarik, Bimo. Bukankah begitu?" jawabku sambil tersenyum padanya.
"Yah, ini luar biasa. Meski mengejutkan, tapi ini benar-benar luar biasa. Profesor pasti akan sangat iri jika kita menceritakan ini nanti," jawabnya yang lalu memandang sekitar dunia yang menakjubkan ini.
"Setuju, deh!" seru Kinanti.
"Ya, jika kita bisa pulang," kataku lalu Bimo dan Kinanti pun melotot.
Aku menoleh ke belakang, ternyata pintu keluar kami tadi hanya sebuah tebing batu yang rata dan rendah, tingginya kira-kira lima meter dan berada di kaki bukit berumput ungu. Dan kata Ibe, di balik bukit tersebut hanya ada bukit-bukit yang lain, artinya tempat ini memang berada di dimensi lain dunia ini. Sejak pertama melihat pun sudah bisa ditebak, mana ada langit dan bulan di bawah tanah.
Ibe lalu membawa kami berjalan menyeberangi lapangan rumput dan mengajak kami masuk ke dalam hutan dengan pepohonan yang tumbuh rapat. Aku tidak tahu nama-nama jenis pohon apa saja yang tumbuh di sini, semuanya berbentuk dan berwarna aneh. Ada yang seperti pohon beringin namun berbatang kelabu dan berdaun ungu, ada pohon dengan cabang tiga dan berdaun mirip cemara, seperti payung-payung raksasa yang terlipat berwarna ungu.
Sering sekali kujumpai gerombolan jamur-jamur raksasa yang tingginya hampir dua meter bertangkai kuning dan berpayung marun dengan pola polkadot dengan lingkaran berwarna jingga. Yah, sebenarnya warna-warna tadi tidak terlihat jelas atau mungkin bukan warna aslinya karena cahaya bulan yang redup dan berwarna biru ini membuat mataku harus bekerja lebih keras untuk melihat.
Sesekali dari kegelapan yang jauh di tanah terlihat sinar-sinar hijau yang gemerlap, menyala lalu menghilang dan kembali menyala. Cahaya hijau itu bergerombol dan menari dengan indah tanpa alunan musik.
"Apa itu kunang-kunang?" tanya Kinanti.
"Bukan. Itu pixie," jawabku singkat.
"Seperti apa mereka?" tanya Kinanti lagi.
"Mereka sangat kecil dan suka bergerombol di kegelapan dengan membawa sesuatu yang menyala redup. Tenang mereka tidak akan mengganggu karena kita tidak memiliki kuda," jawabku.
"Kuda?" Kinanti terlihat kebingungan.
"Ya, kuda. Mereka suka mencuri binatang itu dari manusia."
"Yah, mengganggu pun kita bisa melawan mereka," kata Kinanti lagi sambil mengencangkan ikat pinggangnya yang terselip golok 'maut'-nya disana.
"Jangan meremehkan mereka Kinan, ini dunia mereka," kataku. "Kita yang semestinya waspada."
"Bukankah tadi kita sudah bisa mengalahkan salah satu dari mereka? Dimanapun kita lebih unggul."
"Kinan, menurutmu hewan tunggangan apa yang paling baik?" tanyaku.
"Tentu saja kuda," jawabnya.
"Itu menurutmu. Tapi tahu kah kau bahwa legenda Thor si Dewa Petir menggunakan kambing gunung sebagai binatang penarik keretanya."
"Hah? Yang benar?" Kinan merasa bingung.
"Itu karena binatang itu lebih hebat dari kuda jika berada di pegunungan batu," kata Bimo ikut menimpali.
"Nah, bahkan unta lebih berguna daripada kuda jika di gurun. Begitu pula llama jika kau di tempat bersalju. Ini adalah dunia peri, kita seperti kuda yang berada di pegunungan batu sedangkan mereka adalah kambing gunung," kataku.
"Ya. Aku paham, Luk," jawab Kinanti sambil tersenyum namun kemudian memasang wajah masam. Setidaknya ceramahku tadi membuatnya lebih waspada, aku tidak ingin sesuatu hal buruk terjadi padanya karena kelalaiannya sendiri.
"Sudah ngobrolnya dan membicarkan tentang 'kami'?" tanya Ibe tiba-tiba. "Nah, kita hampir sampai di desa para knockers, di seberang desa kami ada desa hob-goblin yang berseberangan dengan desa goblin. Mungkin tidak layak disebut desa, mereka membuat tempat tinggal di dalam gua-gua."
"Lalu?" tanyaku pada Ibe.
"Diantara desa mereka itu ada tempat untuk menuju dunia kalian, kalau ingin pulang kalian harus kesana," jawab Ibe.
"Oke, baiklah. Kami akan kesana tapi sebelumnya ada yang ingin kutanyakan, Ibe,"
"Apa? Jenis kain yang kusukai? Sudahlah, kau berikan apa saja aku akan suka."
"Kau tahu apa hubungan benda ini dengan tempat ini?" tanyaku sambil menunjukkan benda perak bergambar singa pada Ibe.
Mata Ibe terlihat melebar, "kau mencuri itu darimana?!"
"Ini milikku. Aku tidak pernah mencurinya," jawabku.
"Kau berbohong, kan?" tanya Ibe lagi.
"Sungguh, jika aku mencuri benda seperti ini aku tidak akan bertanya padamu apa sebenarnya benda ini. Memangnya ada pencuri yang mencuri barang yang bahkan tidak tahu apa fungsinya? Tidak ada, sobat," jawabku.
Ibe nampak berpikir sejenak sambil menatap kami bertiga dengan curiga, lalu dia mengangguk.
"Lebih baik kalian mampir dulu ke rumahku," katanya.
Kami berjalan mengikuti Ibe, berbelok dan menyusuri jalanan sempit di dalam hutan dan kali ini lebih banyak tanaman-tanaman pendek yang tumbuh. Sepanjang jalan, aku terus melihat sekeliling. Mengagumi semua isi yang ada di dunia peri ini, dunia temaram yang tentram dan sunyi.
Tak lama, kami tiba di sebuah 'perkampungan' di mana terdapat rumah-rumah kecil dari kayu kelabu yang semua ukurannya hampir sama. Atap rumah-rumah itu hanya setinggi kepala manusia dewasa dan terbuat dari genting berwarna hitam legam yang tidak tersusun rapi. Rumah-rumah yang mungil hanya memiliki dua jendela kecil yang mengapit sebuah daun pintu kecil seperti wajah aneh dengan mulut yang diapit sepasang mata yang menyala jingga karena cahaya api penerangan dari dalam rumah. Perkampungan ini terlihat begitu sepi, mungkin mereka sedang tertidur, tapi memang dunia peri ini sudah sangat sepi, sih. Jalanan sempit selebar satu meter berkelok membelah deretan rumah-rumah para knockers kami lewati hingga sampai di depan rumah Ibe.
Sama seperti rumah-rumah knockers lain yang tampak seragam, rumah milik Ibe pun sangat kecil. Yang unik, rumah Ibe berbentuk bulat seperti pohon besar yang ditebang dan atasnya diberi atap, membuat rumahnya terlihat nyentrik dan berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya.
"Mungkin agak susah, tapi ayo masuklah!" kata Ibe sambil membuka pintu rumah berbentuk setengah lingkaran dan tingginya tidak sampai dadaku.
Kinan masuk lebih dulu ke rumah Ibe sambil menunduk lalu disusul aku yang juga melakukan hal yang sama. Dan Bimo, dengan bodohnya masuk ke rumah sambil merangkak setelah aku sampai ke dalam.
Di dalam rumah Ibe terasa lebih hangat, luasnya hanya selebar kamar tidur di rumah kakek. Tidak ada sekat-sekat di dalam ruangan, begitu masuk terlihat sebuah meja kecil dengan dua buah kursi kayu yang juga sama kecil. Terdapat sebuah lampu minyak yang menyala ditaruh diatas meja.
Sebuah ranjang kayu dengan alas kain kusam terdapat di sebelah kanan pintu dan diletakkan menempel pada dinding rumah. Ada juga benda aneh berbentuk persegi dari batu si sudut lain dengan lubang diatasnya, mungkin itu sebuah tungku karena terdapat lubang seperti cerobong asap pada atap diatasnya dan berjelaga.
Kami bertiga langsung duduk begitu di dalam karena berdiri pun masih harus menunduk. Duduk di atas lantai dari tanah menghadap Ibe yang duduk di kursi kayu di depan kami.
"Kalian mau minum? Aku masih punya satu panci gwonne hangat," kata Ibe.
"Hah? Kuweni? Apa itu?" tanya Bimo.
"Gwonne! Minuman enak khas gnome tapi kami juga suka. Terbuat dari rebusan ulat pohon tar, dibumbui dengan daun wangi dan gula dari pohon wart," jawab Ibe.
"Oh, terimakasih. Aku tidak haus. Mungkin dia haus," jawab Bimo sambil menunjuk padaku.
"Baguslah, aku juga hanya berbasa-basi. Kudengar manusia suka berbasa-basi menawarkan jamuan di rumah. Hahaha!" Ibe tertawa.
"Sudah kuduga, kau memang pelit," kata Bimo.
Raut muka Ibe kembali menjadi serius dan menatapku lalu mengadahkan tangannya, memberi isyarat untuk melihat benda perak yang kubawa. Aku memberikan padanya dan dia mulai mengamati benda itu.
"Kau. Pasti kau ada hubungannya dengan teman-teman manusiaku," kata Ibe sambil menatapku.
"Teman-teman manusia?" tanyaku.
"Kami knockers membantu manusia untuk menggali lubang, para knockers memanggil mereka 'tuan' tapi tidak dengan aku. Aku mengganggap mereka teman," kata Ibe lagi.
"Lalu apa benda ini milik mereka?"
"Ya, tentu saja. Aku heran kenapa kau begitu bodoh tidak mengetahui apa ini padahal kau mungkin salah satu dari mereka,"
Aku sebenarnya juga kesal dengan mulut besar Ibe yang suka berkata kasar, tapi memang aku seorang yang penyabar— atau setidaknya bisa pura-pura sabar— berbeda dengan Bimo.
"Lalu apa fungsinya?" tanya Bimo.
"Apa itu berbahaya?" Kinanti pun ikut bertanya.
"Sebenarnya ini rahasia, tapi sepertinya aku tidak tahan untuk bercerita," jawab Ibe. "Ini adalah sebuah kunci."
Aku sudah menduga hal itu, tapi aku tetap terkejut. Jika itu memang kunci untuk membebaskan salah satu anak dari Echidna, berarti seharusnya tempat terkurungnya memang ada di sini. Entah itu Sphinx atau yang lainnya dan itu benar-benar ada disini!
"Tunggu, Ibe. Berarti kau tahu tentang Echidna?" tanyaku.
Ibe melotot padaku. "Ibu dari monster-monster itu. Ya, tentu saja semua mengetahuinya."
"Berarti salah satu anaknya itu terkurung disini?" tanyaku lagi.
"Hah? Tidak-tidak! Tidak ada satupun monster atau anak dari wanita ular itu yang terkurung disini," jawab Ibe.
"Lalu itu kunci untuk apa?" tanya Bimo.
"Tentu saja sesuatu yang berharga yang tersimpan di dunia peri ini, orang-orang yang kemari dan membuat labirin itulah yang membawanya," kata Ibe.
"Benda berharga seperti apa?" tanya Kinan.
"Kalian ini! Tanya bergantian!" kata Ibe dengan kesal.
"Jawab saja!" seru Bimo.
"Kebetulan aku sempat melihatnya sebentar saat mereka menunjukkan benda itu kepada kami, tapi kami tidak tahu apa itu. Sebuah benda berbentuk prisma bening seperti piramid mini yang menyala dan sepertinya ada benda yang tertanam di dalamnya, seperti sebuah potongan mata rantai hitam, rantai yang digunakan untuk mengikat Cerberus."
...