Kinanti menyerahkan benda itu padaku, berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar lima belas sentimeter terbuat dari perak. Sebuah gambar singa yang berdiri dengan menggenggam sebilah pedang terukir di atasnya. Ya, benda itulah yang sedang aku cari.
"Kenapa kau menyembunyikan ini dariku?" tanyaku pada Kinanti.
"Jadi itu yang kau maksud, Yod?" tanya Bimo, matanya berbinar menatap benda di tanganku.
"Ya, Bimo. Ini yang aku cari dan entah kenapa nona manis ini malah menyembunyikannya dariku," jawabku.
"Agar kau bersedia ikut kesini, Luk," kata Kinanti kemudian. "Jika kau menemukannya kau pasti akan langsung pergi dan tidak mau kuajak kemari."
Aku menatap Kinanti, sedikit tidak percaya aku dengan jawabannya. Tapi bagaimanapun, benda ini sudah berada di tanganku. Hanya masalahnya sekarang kami berada puluhan meter di bawah tanah tanpa tahu bisa keluar atau tidak.
"Sudahlah, ayo kita jalan lagi," kataku pada mereka lalu ku kantongi benda perak tadi.
"Maafkan aku, Luk," kata Kinanti yang lalu kembali memasukkan benda-benda bawaannya ke dalam ransel.
"Sini, aku bawakan. Sekarang boleh, kan?" kata Bimo yang lalu meraih ransel milik Kinanti dan wanita itu pun mengangguk.
Kami kembali berjalan melalui lorong gelap persegi yang lebar dan tinggi. Kini aku membawa senter yang tadi ditemukan Bimo di ransel, sedangkan lampu badai dibawa olehnya. Kinanti berjalan di belakang dengan masih menenteng golok, kelihatannya kini dia lebih waspada.
"Oh, ya, Luk. Tentang makhluk barusan, apa peri seperti itu?" tanya Kinanti padaku. Aku sebenarnya masih kesal dan enggan bicara tapi diam saja pun tak berguna.
"Peri itu ada banyak bukan hanya seperti yang kau pikirkan, bertubuh mungil berwajah cantik dan bersayap kupu-kupu atau capung. Yang tadi itu juga peri, lebih tepatnya peri tanah. Bahkan peri yang bisa terbang itu pun wajahnya tidak seperti yang sering digambarkan oleh orang-orang," jawabku.
"Memangnya seperti apa?" tanya Kinan.
"Mata mereka hitam seluruhnya, wajahnya sangat mungil tidak mempunyai rambut dan sayapnya seperti kelopak bunga," jawab Bimo yang sepertinya juga gatal ingin menjelaskan.
"Wah, pasti kelihatan sangat cantik," kata Kinanti.
"Lumayan," jawab Bimo lagi.
"Tapi tidak semuanya cantik, beberapa jenis peri atau elf juga punya sejarah kelam dengan manusia," kataku.
"Sejarah kelam bagaimana, Luk?"
"Kau tahu dongeng peri gigi?" tanyaku
"Aku tahu. Itu budaya dari barat, kan?" kata Kinanti.
"Ya, dimana anak kecil setiap giginya tanggal akan menaruhnya di bawah bantal lalu tidur dengan mematikan lampu lalu esok harinya gigi itu berubah menjadi uang logam." kataku.
"Memang peri gigi itu benar-benar ada?" tanya Kinanti lagi.
"Ada dan tidak ada..." Bimo menyerobot ikut menjawab sambil menaikkan alisnya, seolah dia ingin menunjukkan pada Kinanti bahwa dia pun mempunyai banyak pengetahuan tentang makhluk mitos.
"Yang jelas, dong." kata Kinanti.
"Begini," aku mulai bercerita. " Ada jenis peri tanah yang sudah hidup ribuan tahun dan tinggal di lubang-lubang di bawah tanah. Tubuh mereka yang kecil dan cakar-cakar mereka yang tajam memudahkan mereka untuk menggali lubang bahkan sampai ratusan meter di bawah tanah. Dan kau tahu apa makanan mereka?"
"Apa?" tanya Kinanti.
"Gigi manusia," Bimo kembali menyelaku sambil menatap Kinanti dengan ekspresi wajah menyeramkan. Aku menatapnya dengan kesal.
"Hah!?" Kinanti terperanjat.
"Sebenarnya dahulu mereka memakan tulang," lanjutku. "Tulang apa saja termasuk dari bangkai hewan. Karena itu mereka pintar menggali tanah, termasuk menggali tanah makam."
"Mengerikan," kata Kinanti.
"Dulu di Eropa, mereka ditemukan oleh seseorang dan bisa dikatakan kalau mereka itu bisa diperintah meski sering membangkang. Dengan kemampuan mereka, manusia bisa dipermudah untuk menggali tanah tambang guna menemukan logam untuk membuat peralatan dari tembaga, perak bahkan untuk mencari emas. Dan mereka akan diberi makanan tulang oleh tuan mereka."
"Berarti mereka tidak jahat, kan?" tanya Kinanti.
"Belum tentu," aku melanjutkan ceritaku. "Makhluk liar tetaplah liar, di dalam jiwa mereka tertanam benih kebebasan yang terus tumbuh.
Dulu ada kebiasaan jika anak kecil menanggalkan gigi susunya maka gigi itu akan dilempar ke atap - hal itu juga ada kebiasaan di daerah Jawa. Tentu saja peri tanah tidak pernah memanjat atap.
Suatu hari, anak kecil dari seorang yang memelihara mereka terjatuh hingga giginya tanggal dan tidak ditemukan dan kemungkinan para peri itulah yang menemukan dan memakannya. Mereka menemui tuannya agar setiap gigi dari anak tuannya itu tanggal untuk diserahkan pada mereka dan mereka berjanji akan membawakan lebih banyak logam-logam yang mereka temukan."
"Lalu?" tanya Kinanti lagi.
"Saat anak tuannya semakin besar dan tidak ada lagi gigi susu untuk mereka, mereka meninggalkan tuannya untuk mencari tuan yang bisa memberikan gigi susu untuk mereka. Bahkan ada kabar yang bilang mereka berani menyakiti seorang bocah demi mendapatkan apa yang mereka mau. Hingga kemudian tercipta perjanjian dengan seorang pemuka masyarakat luas agar mereka tidak menyakiti manusia dan manusia tidak akan menjadi tuan mereka lagi, namun jika ada orang yang menyediakan gigi susu yang tanggal maka mereka akan menggantinya dengan perak atau emas."
"Oh, sepertinya aku pernah membacanya kalau legenda itu diangkat ke sebuah cerita, tapi di cerita itu mereka benar-benar menculik seorang gadis kecil untuk diambil giginya. Pantas aku seperti tidak asing dengan makhluk barusan," kata Kinanti.
"Ya, cerita berjudul: JANGAN TAKUT DI..."
"Hei," Bimo yang berjalan di belakang lagi-lagi memotong perkataanku, tapi kali ini dia tidak melihatku. Dia berhenti dan menghadap ke dinding lorong sebelah kiri dan mengangkat lampunya.
"Kenapa, sih?" tanya Kinan.
"Kalian terlalu banyak bercerita sambil berjalan hingga tidak sadar bahwa kita melewatkan jalan ini." kata Bimo sambil menunjuk ke sebuah jalan lain di lorong yang kami lewati.
Aku mengarahkan cahaya senterku ke sekitar, menyapu dinding lorong dengan penglihatanku. Ternyata tidak hanya jalan yang ditunjuk oleh Bimo, di belakang kami tadi mungkin ada dua jalan lain yang terlewatkan. Kami kurang memperhatikan dan hanya berjalan lurus saja tadi.
Aku kembali mengarahkan senterku ke depan, tinggal beberapa meter lagi jalan ini buntu dan ada dua cabang lorong di samping kanan kiri dengan ukuran yang sama.
"Ini sebuah labirin di bawah tanah." kataku.
"Bagaimana ini, Yod?"
Tak kuduga, ini lebih susah dari teka-teki di lantai tadi.
"Mungkin bukan labirin, kita coba saja masuk dulu ke lorong di depan Bimo, Luk."
"Baiklah kita coba. Tapi sebelumnya — Kinan, bolehkah aku melihat isi ranselmu?" kataku.
"Silahkan."
Aku meraih ransel Kinanti yang dibawa oleh Bimo, lalu mengambil sesuatu di dalamnya. Lalu ku kembalikan ransel itu pada Bimo, "Nih, bawa lagi!"
"Huh, kukira kau yang akan membawanya. Ternyata ini lumayan berat" kata Bimo.
"Belum juga lima menit kau membawanya. Kau kalah dengan wanita, Bimo," kataku.
"Kau mengambil apa?" tanya Kinanti.
"Bukan apa-apa. Ayo, kita coba masuk dulu ke lubang yang ini," kataku.
Kami berjalan melalui pintu lorong yang tadi ditemukan oleh Bimo. Lorong ini sama lebar dan bentuknya dengan lorong di depan tadi. Jalannya berkelok dan ada beberapa kali belokan, dalam hati aku menghitung berapa kali kami belok kanan dan berapa kali kami belok ke kiri.
Aku meningkatkan kewaspadaanku, bisa saja masih ada makhluk-makhluk kecil sialan tadi atau bahkan sesuatu yang lain. Disini sangat sunyi, bahkan nafasku sendiri bisa terdengar jelas. Suara derap dan gesekan dari langkah kaki kami terdengar seperti lebih dari tiga orang yang berjalan karena gema disini.
"Sepertinya ini jalan yang benar, daritadi tidak ada jalan yang bercabang." kata Bimo.
Baru saja selesai Bimo berkata, kali ini di depan kami terdapat persimpangan. Di jalan yang bersimpangan ini pun terdapat lagi pintu-pintu lorong yang lain.
"Ternyata benar-benar sebuah labirin," kata Kinan.
"Mungkin kita harus ke kiri. Ayo!" kata Bimo.
"Tunggu, Bimo!" kataku dan lalu berjalan ke sebelah kanan menuju sebuah pintu lorong. "Kurasa, kita cuma berputar-putar saja. Pintu ini adalah tempat masuk kita tadi."
...