Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 21 - Knockers

Chapter 21 - Knockers

"Bagaimana—?" Bimo terheran-heran dengan apa yang terjadi. Tidak hanya dia, sebenarnya aku pun heran. Tapi aku sudah menduga hal ini pasti akan terjadi, makanya tadi aku memberi tanda di salah satu pintu labirin tanpa sepengetahuan Bimo dan Kinanti.

"Kau tahu darimana, Luk?" tanya Kinanti sambil mendekatiku.

"Lihat! Aku diam-diam menempelkan plester luka yang kuambil dari tasmu ke dinding di pintu masuk ini," kataku seraya menunjuk ke benda yang menempel di dinding suram itu. Memang tidak terlihat jelas dari jauh karena begitu kecil, tapi aku hanya berfirasat saja tadi untuk menghampirinya.

"Kalau begitu kita ambil jalan yang lain dan memberi tanda di setiap pintu atau cabang yang kita lewati," kata Bimo.

"Benar," kataku.

Kami meneruskan perjalanan dengan melewati pintu yang lain setelah sebelumnya memberi tanda dengan menempelkan plester luka di setiap pintu atau tikungan yang kami lewati.

Labirin ini cukup membingungkan, lebih membingungkan daripada jalan pikiran wanita — kurasa. Aku sendiri pernah sekali bermain di wahana labirin di taman bermain, tapi yang namanya permainan ya cukup mudah untuk menemukan jalan keluar. Namun kali ini benar-benar labirin yang sesungguhnya dan luar biasa, berada puluhan meter di bawah tanah dan terbangun rapi dengan ukuran besar. Manusia-kah yang membangunnya? Sebelumnya pulau karang yang ku temui pun cukup membuatku kagum, manusia memang hebat.

Beberapa kali kami bertemu kembali dengan jalan yang barusan kami lewati hingga hampir membuat kami putus asa dan kehabisan plester luka.

"Dari tadi kita hanya berputar-putar terus, Yod," kata Bimo yang menampakkan wajah lemas.

"Kinan, kau pakai saja sisa plester ini untuk mengobati luka di tanganmu. Kita akan mencari cara lain," kataku.

"Tidak usah, Luk. Hanya luka kecil dan sekarang sudah kering karena sudah daritadi."

Aku menarik lengan Kinanti dan menempelkan plester luka di lukanya — bekas cakaran peri gigi tadi— dengan paksa.

"Kau bawa plester luka tapi tidak kau pakai sama halnya kau bawa senter tadi," kataku.

"Jangan menyindir!" kata Kinanti sambil menarik lengannya dariku.

"Tidak adakah suatu petunjuk atau peta di sini?" kata Bimo yang lalu berjongkok dan menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Memangnya ada orang bodoh yang membuat labirin namun menaruh peta di dindingnya?" jawab Kinanti yang mengusap-usap bekas lukanya.

"Hei, kalian kesini!" perintahku sambil melambaikan tangan pada kedua temanku.

"Ada apa, Yod?"

"Sudah, kesini saja!"

Mereka berdua lalu menghampiriku dengan wajah penasaran.

"Kau menemukan petunjuk, Luk?"

"Kurasa..."

Aku lalu melepas sebelah sepatu dan kaus kakiku, lalu meletakkkan kaus kaki di lorong dan menyuruh mereka berdua yang kebingungan dengan apa yang aku lakukan untuk bersembunyi di salah satu sudut pintu lorong bersamaku.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Kinanti.

"Sst," aku menyuruh mereka diam dengan menaruh telunjuk di bibirku. "Kecilkan lampu badai dan matikan senternya."

Sekitar sepuluh menit kami terdiam, Kinanti sepertinya tidak sabar dan penasaran dengan apa yang aku lakukan. Sedangkan Bimo, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang berusaha mengingat sesuatu atau menerka-nerka.

Aku berusaha melihat dalam kegelapan melihat kaus kaki putihku yang tergeletak dengan memicingkan mata. Ini merupakan pertaruhan bagiku, anggap saja aku sedang beruji coba untuk berjudi.

"Kau sudah gila, Luk? Bukannya mencari jalan keluar malah melakukan hal aneh dengan menaruh lalu melihat kaus kakimu sendiri," bisik Kinanti. "Kau berharap kaus kakimu hidup lalu bergerak mencari jalan keluar?"

Tiba-tiba sesuatu terjadi dan membuatku senang.

"Lihat, Kinan! Memang 'itu' bergerak," kataku sambil menunjuk ke arah kaus kakiku.

Benda itu bergerak-gerak sedikit lalu terangkat, melayang di udara. Aku bisa menduga pasti mereka berdua di belakang sedang menganga keheranan.

Dengan cepat aku bangkit dan melompat ke arah kaus kakiku itu dan menyorotkan senter.

Terlihat makhluk kecil mungkin setinggi anak berumur tiga tahun dengan hidung dan telinga yang lancip dan berkulit pucat. Mengenakan pakaian kelabu yang sudah lusuh dan berlubang lengkap dengan tudung kepala lancip yang berwarna sama. Wajahnya seperti orang dewasa dengan sedikit jenggot berwarna putih yang tumbuh.

"Aargh! Hentikan, bodoh! Kau menyakiti mataku!" teriak makhluk itu sambil melindungi matanya dengan kedua telapak tangannya yang pucat.

Dengan buru-buru Bimo dan Kinanti menghampiri sampai menabrak punggungku untuk melihat apa yang terjadi.

"Wow! Apa itu? Kurcaci?" tanya Kinanti.

"Ooh," suara Bimo terdengar terkesima dengan apa yang dilihatnya. "Bisa dibilang begitu, Kinan. Tapi mungkin lebih tepatnya dia itu dwarf atau hobgoblin."

"Hei! Jaga mulutmu, bodoh. Jangan samakan aku dengan para makhluk itu!" teriak makhluk itu masih sambil menutupi matanya karena cahaya senterku.

"Kami bukan musuh. Kami hanya tersesat disini, mungkin kau bisa menolong kami," kataku dan menurunkan cahaya senterku dari wajahnya.

Aku sudah menduga bahwa akan bertemu dengan makhluk seperti ini di terowongam ini. Meski hanya menduga, namun perkiraanku benar dan semoga yang satu ini cukup bersahabat meski kelihatannya dia tempramental. 'Lingkaran peri' yang kulihat di atas tadi memang membuatku penasaran, meski kami sudah bertemu rombongan salah satu jenis peri yang jelek tadi.

"Huh! Cari saja jalan sendiri," kata makhluk itu menyilangkan tangan.

"Kalau begitu, kembalikan kaus kakiku."

Makhluk itu melirik sebentar, dan pura-pura tidak mendengar.

"Dengar, aku akan memberimu pakaian atau kain yang baru tidak hanya kaus kaki yang hanya sebelah itu," kataku bernegosiasi. Aku tahu, beberapa peri sangat menggilai kain atau pakaian dan beberapa jenis diantaranya bahkan akan menawarkan diri untuk mengabdi pada orang yang memberinya pakaian.

"Benarkah?" jawabnya masih sambil melirik dan menyilangkan tangan.

"Ya, asal kau beritahu kami cara keluar dari labirin ini."

"Oke, setuju," jawabnya yang lalu terlihat senyum di wajahnya yang yah, sedikit buruk.

Aku melihat pada Kinanti yang masih keheranan menatap makhluk itu lalu Bimo yang manggut-manggut menatapku karena aku berhasil mendapatkan setidaknya sedikit harapan.

"Sebagai tanda jadi, akan ku serahkan sebelah kaus kakiku," aku duduk dan kembali melepas sepatu dan kaus kaki. "Ngomong-ngomong, siapa namamu? Apakah kau gnome?"

"Panggil saja aku Ibe dan aku bukanlah gnome," katanya. Lalu dia berpaling pada Bimo, "dan aku juga bukan dwarf atau hobgoblin, bodoh!"

"Dasar cebol, dari tadi mulutmu kasar sekali," kata Bimo yang terlihat marah.

"Kau bukan gnome? Lalu?" tanyaku.

"Aku buccas atau mereka sering menyebut kami knockers. Kami yang sering menolong para penambang untuk menggali lubang atau memukuli biji logam di bawah tanah dan aku tak terbiasa dengan cahaya terang." jawab Ibe.

"Bukan gnome, berarti tidak ada sesuatu yang berharga disini," gumam Bimo.

"Aku memang bukan gnome, tapi bukan berarti disini tidak ada benda berharga yang dijaga. Dan di labirin ini memang tidak ada, tapi setelah keluar dari sini, kalian akan menemui banyak dari mereka," kata Ibe dengan wajah masamnya pada Bimo.

"Maksudmu ada banyak gnome dan yang lain disini?" tanyaku. "Dan juga benda berharga?"

"Oh, mulut besarku," seru Ibe sambil menampar pelan bibirnya sendiri.

"Apa itu gnome? buccas? dwarf?" tanya Kinanti.

"Mereka semua jenis peri, Kinan," jawabku. "Ada lebih dari duapuluhan jenis peri asal kau tahu."

"Wow!" Kinanti terkejut dengan mengangkat alisnya.

"Ya, dan jenis buccas seperti Ibe ini jarang sekali ditemui."

"Kurasa semua jenis peri sangat jarang ditemui," kata Kinanti yang memang sih ada benarnya, tapi hanya untuk orang 'awam' seperti dia.

"Hei, kalian tidak sopan dengan membicarakan orang di depan hidungnya," kata Ibe dengan wajah marah, tapi memang sepertinya seperti itulah wajahnya.

"Sudahlah, kau pura-pura tuli saja!" kata Bimo yang tampaknya daritadi kesal terhadap Ibe.

"Diam kau, bodoh!"

"Kau yang diam, cebol!"

Bimo dan Ibe terus saling mengejek, mereka berdua memang sama-sama bodohnya.

"Hahaha. Kalian seperti dua anak kecil yang berkelahi karena kalah adu kelereng," Kinanti tertawa dengan ulah mereka.

"Dia yang anak kecil!" jawab Bimo dan Ibe bersamaan sambil saling tunjuk.

"Sudah cukup," kataku menyela. Kalau tidak, sampai dunia kiamat pun saling mengejek mereka tidak akan pernah selesai.

"Nah, Ibe. Aku akan menanyakan banyak hal padamu, tapi itu nanti saja. Sekarang kami harus menemukan jalan keluar dari sini."

"Ayo, ikuti aku!" kata Ibe. "Kuharap kalian tidak akan terkejut nanti."

Yah, sebenarnya aku sudah terkejut daritadi saat Ibe bilang kalau ada banyak jenis peri di sini. Entah seperti apa lagi tempat yang akan kami temui begitu keluar dari sini nanti.

Pertama-tama, Ibe membawa kami ke jalan pertama kami masuk yang memang kami tidak jauh dari situ karena hanya berputar saja. Lalu dia mengatakan, "ingat! Kanan selalu benar dan kiri adalah salah."

"Maksudmu?" tanya Bimo.

"Begini, bodoh. Rahasia dari labirin ini adalah bahwa kau harus berjalan dengan terus mengikuti tembok di sebelah kananmu. Agar mudah, kau berjalan saja dengan terus menyentuh tembok sebelah kanan," kata Ibe sambil menepuk-nepuk tembok labirin.

Oh, aku tak menyangka sama sekali kalau ternyata harus seperti ini.

Kami semua lalu berjalan menyusuri labirin sekali lagi dengan terus menyentuh tembok sebelah kanan. Jika itu berbelok ke kanan makan kami akan kesana, jika lurus maka kami akan lurus dan seperti itu seterusnya hingga kami menemui jalan buntu dengan tembok yang warnanya lebih cerah.

Ibe mendekat ke tembok lalu memungut sebuah palu tambang dan mengangkat lalu menaruh di pundaknya.

"Nah, kita sudah sampai," kata Ibe.

Ibe mengetuk tembok itu beberapa kali dengan palunya lalu tembok ujung lorong suram itu terangkat ke atas.

Cahaya redup berwarna biru muncul dari balik tembok seiring terangkatnya tembok yang merupakan pintu pembatas dari labirin dan sebuah tempat di sana.

Saat seluruh tembok terangkat dan kami semua keluar dari labirin, terlihat pemandangan yang menakjubkan. Sebuah tempat yang luas berbukit-bukit dengan rumput berwarna ungu dan beberapa pohon kelabu dengan daun berwarna sama dengan rerumputan dan tempat ini begitu remang. Bulan bersinar lembut di atas dengan cahaya biru menyinari tempat ini. Jauh di seberang bukit terdapat hutan lebat yang gelap dengan pohon yang rapat dan lebih jauh lagi terlihat siluet dari gunung-gunung. Kami berada di sisi dunia lain di bumi ini.

"Selamat datang di dunia peri," kata Ibe.

...