Lantai ini terus membawa kami turun, ini benar-benar lubang yang sangat dalam. Semakin ke bawah, suhu semakin lembab dan panas, debu-debu tipis terlihat melayang di sekitar lampu badai yang kubawa. Suara derak terus terdengar, entah dari gesekan antara lantai dengan dinding atau suara mesin yang membuat lantai ini bergerak.
"Bagaimana orang pada masa lalu bisa membuat yang seperti ini?" kata Kinanti.
"Jangan meremehkan masa lalu, Kinan. Kita merasa teknologi terus berkembang dan masa sekarang jauh lebih maju dari masa lalu, tapi bagaimana seandainya sebenarnya masa lalu pernah memiliki puncak teknologi yang lebih maju tapi lalu menghilang." kataku.
"Atau disembunyikan." Bimo meneruskan ucapanku.
"Nah!" aku mengarahkan 'pistol' jariku pada Bimo.
"Ya, ya. Dan mereka membangunnya dibantu oleh alien." Kinanti menampilkan ekspresi wajah yang tak acuh.
Bruk!
"Aaaah!"
Sesuatu jatuh dari kegelapan di atas dan menimpa Kinanti, dia berteriak kaget dan 'sesuatu' itu mengait di bahunya. Sesuatu yang kurus berjari-jari dan hitam itu lalu jatuh ke lantai setelah Kinanti menyibakkan dengan sebelah tangannya.
Aku mendekat dan kusinari lantai dengan cahaya lampu, "cuma ranting pohon yang kering."
"Syukurlah, ku kira apa tadi." kata Bimo, wajahnya masih nampak terkejut.
Kinan masih menyapu-nyapu pundaknya dengan sebelah tangan sambil menatap ranting kering itu.
"Yang jadi masalah, tidak ada pohon di lubang ini-kan?" kataku.
Kami pun saling berpandangan dan mendongakkan kepala ke atas. Lantai terus turun dan kami menunggu akankah terjadi sesuatu, namun tidak ada apa-apa.
Tiba-tiba suara seperti sesuatu yang jatuh terdengar kembali. Aku memandang berkeliling sambil mengarahkan sinar lampu, lalu aku diterjang oleh sesuatu yang melompat ke wajahku.
Aku menggenggamnya dan ku banting ke lantai dan bisa kulihat seekor makhluk berukuran kecil berwarna hitam dan kurus seperti belalang. Tubuhnya seperti kerangka monyet berlengan panjang dengan kuku-kuku yang tajam di telapak tangannya dan besar tubuhnya tidak lebih besar dari seekor tikus yang kurus.
"Apa itu?" tanya Bimo dan Kinan hampir bersamaan lalu mereka menghampiri makhluk itu yang tergeletak dan berdaya di depanku. Begitu melihatnya, Kinan menjerit pelan.
"Apa itu peri?" tanya Kinan.
"Ini kan..." Bimo melihat sambil mengusap-usap dagunya berusaha mengingat sesuatu.
Makhluk itu mengeluarkan suara serak sambil berusaha bangkit perlahan, sepertinya bantinganku tadi membuat beberapa tulangnya patah.
"Itu..." baru saja aku akan menjelaskan, suara benda jatuh itu terdengar lagi, lagi dan lagi.
"Aaaah!" Kinan menjerit lagi, kali ini sambil memegang kepalanya.
Seekor makhluk kecil berada di atas kepalanya sambil menarik rambut Kinan, kukunya yang runcing bersiap ditusukkan ke wajah Kinan.
Plak!
Bimo memukul makhluk tadi hingga terlempar dan menabrak dinding. Tapi muncul satu lagi, lalu ada lagi. Kami di kelilingi oleh makhluk-makhluk kecil yang mengerikan dan berusaha mencelakai kami. Sedangkan lantai ini terus bergerak ke bawah dan sama sekali belum berhenti, hanya ada dinding di sekitar kami. Kami terjebak!
Aku menendang, meraih dan membanting mereka, begitu juga Kinanti yang kini sudah kembali mengeluarkan goloknya. Wanita itu sangat mengerikan, dengan kesal dia asal mengayunkan goloknya ke bawah. Aku khawatir, takut goloknya malah akan melukai kakiku atau Bimo. Tapi Bimo lebih kejam lagi, dia menginjak-injak setiap makhluk mungil yang medekatinya dan terdengar suara tulang-tulang rapuh yang patah dengan sangat menjijikkan.
Aku merasakan perih di kakiku, sepertinya beberapa makhluk itu berhasil menusukkan kukunya yang tajam menembus celanaku. Susah sekali berkelahi dengan makhluk-makhluk mungil ini sambil membawa lampu badai. Kulihat Kinan sekilas karena khawatir, sepertinya lengannya juga berdarah.
"Mati kalian!" teriak Bimo yang sudah terpojok ke sudut tembok yang sekitarnya terlihat gelap dan dia terus melakukan gerakan menginjak asal-asalan. Sepertinya ia sangat terdesak hingga menempel ke dinding, terdengar suara gesekan bajunya dengan dinding yang seolah bergerak ke atas - sebenarnya lantai inilah yang terus turun.
Bruk!
"Woah!" terdengar suara Bimo berteriak tapi seperti tertelan sesuatu dan terjatuh.
Glek!
Lantai seketika berhenti, dan aku sedikit terhuyung-huyung. Sambil terus menendangi makhluk-makhluk kecil yang seperti tidak ada habisnya ini, aku mendekat ke arah Bimo tadi, tetapi dia tidak ada!
"Kinan! Dimana Bimo?"
"Mana kutahu! Aku sedang sibuk disini!" jawab Kinan.
Kemana dia? Seperti sihir saja tiba-tiba menghilang dan suaranya tadi terdengar aneh.
"Hoi! Aku disini!" terdengar suara Bimo dari atas.
Aku mengangkat lampu badaiku dan terlihat Bimo sedang berjongkok di ambang sebuah lubang persegi yang besar di dinding, sepertinya itu pintu selanjutnya dari perjalanan ini. Jaraknya sekitar dua setengah meter lebih di atasku.
"Kenapa berhentinya malah jauh dari pintu seharusnya, sih?!" umpat Kinan yang sudah berada di sampingku.
"Entahlah, mungkin lantainya sudah rusak! Ayo, Kinan. Kau naik dulu biar ku bantu!"
Aku melemparkan lampu pada Bimo dan ditangkap olehnya, lalu dia meletakkannya di bibir lubang. Lalu aku menunduk dan memberi isyarat pada Kinanti agar berpijak di tanganku dan naik tempat Bimo. Aku jadi teringat saat membantu Bimo dan Nick naik ke lubang di goa pulau karang, (baca : File : Putreri Duyung #7) namun kali ini tak mungkin aku mendorong pantat Kinan.
Makhluk-makhluk itu masih berada di belakangku dan bergelayut di celana, sementara Kinan sudah di atas. Aku membalikkan badan dan menendang mereka tanpa ampun.
Krak!
Lantai ini bergoyang dan bergetar lalu sedikit anjlok, kini lubang itu lebih tinggi lagi dariku.
"Yod, ulurkan tanganmu!" teriak Bimo sambil tiarap di bibir lubang dan berusaha menjangkau aku.
Aku berusaha menggapai tangan Bimo tapi tidak sampai. Aku berusaha lagi sambil melompat tapi gangguan dari makhluk-makhluk ini membuatku tidak leluasa.
Glek!
Lantai ini kembali anjlok, sepertinya akan kembali turun tapi bagaimana jika malah runtuh? Aku sekuat tenaga melompat meraih tangan Bimo meski kini semakin tinggi hampir berjarak tiga meter dariku dan tak mungkin bisa kuraih.
"Pegang ini, Luk!" Kinanti mengulurkan ranselnya ke bawah hingga bisa ku jangkau lalu aku meraihnya. Ranselnya terlihat kosong, rupanya tadi dia mengeluarkan seluruh isinya dulu agar bisa dijadikan pengganti tali guna menolongku.
Kraaak! Grek!
Lantai yang aku pijak runtuh dan meluncur ke bawah, ke dalam lubang gelap yang sangat dalam bersama makhluk-makhluk kecil itu. Sedangkan aku bergelantungan memegang ransel yang lalu ditarik oleh Kinanti dan Bimo.
Perlahan aku bisa mencapai bibir pintu menganga pada dinding ini dan Bimo menarik lenganku. Lalu kurasakan sesuatu memanjat dari punggungku menuju ke kepalaku dan melompat ke arah Kinanti yang masih dalam posisi seperti merangkak setelah menolongku.
"Aaaarkh!" makhluk kecil itu menjerit dengan suara serak melengking sambil meloncat.
Tak disangka, dengan sigap Kinanti berhasil menangkapnya dengan tangan kanannya, lalu tangan kirinya dengan cepat meraih kedua lengan makhluk itu yang nampak terkejut tak bergerak. Kini makhluk itu tak berdaya di kedua tangan Kinan, yang lalu mengulurkan tangannya keluar hingga berada di atas lubang.
"Dadah, jelek!" kata Kinanti pada makhluk itu lalu melepas genggamannya.
"Aaarkh! Aarkh! $%-+!" makhluk itu meluncur, jatuh bebas ke dalam lubang gelap sambil berteriak dan mengumpat dengan suara yang tidak jelas.
"Cepat bantu aku!" teriakku pada Bimo yang melongo melihat Kinan sedangkan tangannya masih memegang lenganku.
"Oh, maaf, Yod."
Kini kami semua sudah berada di lubang pintu tersebut, ternyata ini adalah mulut lorong persegi yang lebar. Dengan masih terengah-engah, aku menoleh pada Kinanti.
"Kau tidak apa-apa, Kinan? Tanganmu berdarah." kataku.
"Hanya luka kecil." jawab Kinanti sambil kembali memasukkan benda-benda ke dalam ranselnya yang tadi 'dituang' olehnya ke lantai lorong ini untuk mengosongkan ranselnya.
"Hei! Kau membawa ini, kenapa tidak dikeluarkan dari tadi?" kata Bimo sambil mengambil sebuah senter di tumpukkan benda-benda milik Kinanti.
"Itu..." Kinan lalu melirik padaku.
"Itu karena kau bodoh dengan menaruhnya di bagian terbawah ranselmu dan kau tidak ingin aku melihat benda apa saja yang kau bawa, atau lebih tepatnya satu benda saja yang tidak boleh kulihat. Bukan begitu, Kinan?" kataku sambil menatap wanita muda itu.
Kinanti diam lalu memandang tumpukan barangnya lalu mengambil sesuatu di dalam tumpukan itu. Sebuah benda bulat berwarna perak dan menunjukkannya padaku.
...