"Junior..."
"Hmm?"
"Junior..."
"Ibu?"
"Hei, bangun!"
"Aku masih mengantuk, ibu."
"Ibu dan ayah akan pergi ke Wales pagi ini, ibu sudah berpesan pada Ellena untuk memastikan sarapan hingga makan malammu, kau harus makan, ya."
"Tenang, Sayang. Junior akan makan saat dia lapar. Ayo berangkat!"
"Ya, pergilah. Aku akan tidur lagi, bu."
"Hei, Junior. Simpan benda ini baik-baik, jangan tunjukkan pada siapapun termasuk Nick. Ayah akan kembali."
"Ya, ayah. Hoahm..."
"Tidurlah lagi, sayang. Ibu akan kembali."
...
"Yod? Yodha!"
"Apa?"
"Kau yakin akan pergi ke China?" seperti biasa, Bimo selalu menatapku dengan wajah serius.
"Kita kan mendengar waktu di pulau karang, Bimo. Adam berkata bahwa ayahku mungkin pergi ke sana."
"Tapi China sebelah mana?"
"Nick pernah bilang, dia dan ayahku punya kenalan di sana. Bahkan orang itu katanya akrab dengan ayahku waktu dia masih muda dan belum menikah. Besar kemungkinan ayahku pernah ke tempat orang itu." aku memutar-mutar gagang cangkir berisi kopi di depanku, kali ini aku tidak akan membiarkan Bimo merebutnya.
"Hmmm..." Bimo menggaruk-garuk dagunya, "bisa saja Adam hanya mendengar gosip atau hanya 'katanya' saja, kan?"
"Mau gosip atau bukan, itu satu-satunya kabar terakhir ayahku berada setelah mereka ke Wales."
"Lalu kapan kita akan berangkat, Yod?" Bimo bangkit dari tempat duduknya dan mendekatiku.
"Secepatnya," aku mengangkat cangkirku dan segera menghabiskan isinya, aku tahu daritadi Bimo sudah meliriknya, "setelah kita singgah dulu ke tempat kakekku di Jawa."
Bimo memajukan bibir sebelah bawahnya melihatku menghabiskan kopi, "kenapa tiba-tiba kau ingin ke sana?"
"Ada sesuatu yang ingin ku ambil," aku bangkit dari tempat dudukku di perpustakaan pribadiku ini dan menaruh kembali cangkir ke meja, "nih, kalau mau, aku sisakan sedikit untukmu."
Bimo mengambil cangkir dan melongok isinya, ekspresi wajahnya sangat jelek, "ini kan tinggal ampasnya!"
...
Aku dan Bimo pergi ke sebuah desa di Jawa Tengah, ke rumah kakekku, rumah masa kecil ayahku, dan aku pun pernah tinggal sebentar di sana bersama Nick setelah orangtuaku menghilang. Dulu waktu masih tinggal di Eropa, sesekali aku dan kedua orangtuaku berkunjung ke rumah kakek.
Desa ini seperti tidak pernah berubah, letaknya yang jauh dari perkotaan membuatnya seperti desa terpencil meski sudah sedikit modern. Terletak di kaki gunung dan dikelilingi hutan dengan sedikit perumahan. Hampir tiap-tiap rumah berjauhan dan memiliki halaman yang luas, pemandangan yang begitu asri dan hijau. Orang dari kota besar tiba di sini bagai melepas kantong plastik yang diikat di kepala yang membuat sesak napas, rasanya begitu lega.
Kakek dan Nenek sudah meninggal, rumahnya kini kosong, tapi tetap bersih meski bertahun-tahun tidak dihuni karena paman dan bibi yang tinggal tidak jauh dari sana selalu membersihkannya.
Ayahku sebenarnya anak tunggal, paman dan bibi yang aku maksud adalah sepasang suami istri, dan bibiku tadi adalah anak dari adik kakekku. Jadi dia adalah adik sepupu ayahku. Penjelasan yang cukup membingungkan, tapi dia dan ayah tumbuh bersama dan dia sangat baik.
Setelah beberapa jam perjalanan melalui pesawat dan bus, kami tiba di rumah kakekku. Kami disambut oleh bibi, namanya Bibi May. Seperti nama barat? Tidak, dia asli Jawa tidak seperti ayahku yang blasteran. Nama sebenarnya Sekar Mayang dan dipanggil Mayang di keluarga, ibuku lah yang dulu memanggilnya May dan membuatku memanggilnya seperti itu juga sejak umurku masih lima tahun.
"Jalu, sudah lama sekali kau tidak berkunjung," Bibi May memelukku seperti seorang ibu yang merindukan puteranya, "kau tidak kangen dengan bibimu ini?"
"Tentu saja rindu, Bibi May. Apakah kalian sehat-sehat saja?"
"Tentu saja, kau tidak lihat Bibimu ini semakin gemuk saja? Hahaha."
Bibi May sebenarnya tidak gemuk, malah cukup langsing dan cantik. Umurnya sekitar limapuluh tahun, dengan kulit sawo matang dan rambut ikal yang disanggul di belakang.
"Oh, ya. Kenalkan ini temanku, Bimo."
Bimo yang daritadi hanya diam, mengulurkan tangannya sambil tersenyum bodoh, "saya Bimo, tante. Partnernya Yod... maksud saya Jalu."
"Oh, nak Bimo. Ayo kita masuk dulu, Bibi sudah mempersiapkan semua sejak kau menelepon untuk berkunjung kemari, Jalu."
Kami bertiga memasuki rumah kakek, sebuah rumah joglo-- rumah adat jawa-- yang umurnya sudah tua, namun rumah ini masih megah dan kokoh. Sudah beberapa tahun aku tidak ke sini, sejak pergi dan tinggal dengan Nick di Jakarta, aku hanya beberapa kali berkunjung, sampai aku dewasa dan Nick pindah ke sebuah kota di Pulau Kalimantan.
Semuanya tidak berubah, kursi dan meja dari kayu jati dengan ukiran-ukiran masih pada tempatnya dan bersih. Beberapa lukisan dan keris juga wayang, masih terpajang di dinding-dinding rumah.
"Nah, kalian bisa langsung istirahat di kamar, Bibi akan pulang dulu dan membawa makanan untuk kalian. Oh, ya, pamanmu juga nanti akan kemari, Jalu."
"Ya, Bibi May."
Bibi May lalu pergi untuk ke rumahnya yang tidak jauh dari sini. Aku segera menuju kamar dan diikuti oleh Bimo. Aku menuju sebuah kabinet kecil di kamar yang dulu ku gunakan, dan seperti dugaanku, semuanya belum berubah.
"Yod, kau seperti tokoh superhero laba-laba itu, ya? Punya bibi bernama May." Bimo mulai dengan candaan bodohnya.
"Ya, sayang sekali pamanku bukan bernama Ben."
Aku membuka kabinet dan mencari sesuatu saat Bimo tertawa dan mulai membuka koper yang dia letakkan di atas kasur. Tapi aku tidak menemukan apa yang ku cari, padahal seingatku benda itu ku letakkan di sana. Mungkin paman atau bibi mengambil dan menyimpannya, akan kutanyakan nanti.
"Kau mencari apa, sih?"
"Begitu membaca catatan milik Harry tentang 'penjara' makhluk-makhluk keturunan Echidna dan 'segel' yang digunakan, aku teringat benda yang diberikan ayahku dulu, Bimo."
Mata Bimo melebar, "maksudmu, kau memiliki 'segel' itu, Yod?"
"Entahlah itu salah satunya atau bukan, tapi aku teringat ayah menyuruhku untuk tidak memberi tahu siapapun, termasuk Nick."
"Ketemu?"
"Belum. Seingatku, aku menaruhnya di sini lebih dari sepuluh tahun yang lalu..."
"Gila! Itu kan sudah lama sekali, Yodha. Kau menyepelekan benda itu, bagaimana kalau itu benar-benar..."
"Bimo. Dulu aku tidak mengerti apa-apa tentang segel itu dan, lihat! Keadaan sekarang berubah, aku baru tahu apa dan siapa yang sekarang kita hadapi dan apa sebenarnya kenyataan tentang orangtuaku."
"Memangnya seperti apa benda itu?"
Aku duduk di atas ranjang dan berusaha mengingat, "sebuah logam bulat seperti cakram, dengan relief tebal bergambar sesuatu."
"Sesuatu? Seperti apa?" Bimo mendekatiku, berdiri tepat di depanku.
"Aku tidak terlalu ingat, seperti singa yang berdiri atau semacamnya."
"Cerberus?"
"Kurasa bukan, kepalanya hanya satu."
"Jangan-jangan, orang-orang itu sebelumnya pernah kemari. Mereka mencari informasi tentang ayahmu, Yod."
"Itulah yang aku khawatirkan, Bimo. Jarang ada yang tahu asal-usul ayahku karena dia jarang sekali pulang kemari, tapi untuk mengetahui bahwa di sinilah ayahku berasal, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin."
"Jika benar benda itu adalah salah satu segel seperti yang dikatakan Harry dan berada di tangan mereka, wah, bisa gawat."
Tok! Tok!
Sebuah ketukan di pintu kamar, membuat kami menoleh serentak. Wajah orang yang mengetuk pintu kamar yang tidak tertutup itu tersenyum padaku dan Bimo hingga gigi putihnya terlihat.
"Apakah aku mengganggu percakapan kalian?" kata wanita muda itu.
Bimo terlihat terpana melihat wanita itu, pandangannya tak lepas sampai beberapa detik. Seorang wanita muda berkulit putih dengan rambut hitam panjang dan bergelombang, matanya lebar dengan alis tebal dan dia memang cantik. Sejenak aku tidak mengenalinya, tapi aku ingat gadis si alis tebal ini. Dia Kinanti sepupuku, anak Bibi May.
"Hai!" Kinanti menyerbu masuk dan tiba-tiba meninju ringan perutku. Kelakuan wanita satu ini jauh dari kata ke-'wanita'-an, berbanding terbalik dengan cara dia bicara yang seperti gadis berumur belasan tahun, padahal dia sudah berumur duapuluh lima tahun.
Aku mengusap perutku dan memandanginya, dia memakai celana jeans dan kaos oblong pria, "kau tidak berubah, ya. Kita lama tidak bertemu, bersikaplah baik sedikit, setidaknya buatkan kami minum."
"Siapa temanmu, itu?" Kinanti memandang ke arah Bimo yang masih melongo lalu mengulurkan tangannya. "Hai, aku Kinanti."
"Bim... Bimo."
Aku hanya menggelengkan kepala melihat Bimo sampai tergagap-gagap berhadapan dengan Kinanti.
"Senang bertemu denganmu, Bimo."
"I... iya. Sama-sama." Ekspresi bodoh Bimo dibalas cengiran oleh Kinanti.
"Ku lihat tadi kau seperti sedang mencari sesuatu."
"Ya, memang."
"Ketemu?"
"Belum. Kinan, kau pernah melihat benda berbentuk cakram... emm, kira-kira segini." Aku membuat tanda bulat dengan kedua tangan untuk menggambarkan besarnya benda yang ku cari pada Kinanti. "Sepertinya dulu kusimpan benda itu di sini."
Sejenak Kinanti mengerutkan keningnya hingga mata lebarnya menyipit, kemudian dia wajahnya tampak normal kembali.
"Maksudmu benda dari perak dan berelief?"
"Iya, itu! Dimana!?" Aku berkata dengan keras dan memegang kedua pundak Kinan karena terkejut, tapi itu membuatku jadi nampak tidak keren, "ehm, maksudku, sekarang benda itu ada di tempatmu, Kinan?" aku memelankan suaraku agar kembali menjaga image sebagai orang yang tenang.
"Bu... bukan padaku, tapi kau bisa bertanya pada ayahku nanti. Dulu, ada pencuri yang masuk ke sini, seluruh lemari dan rak-rak isinya berhamburan, tapi anehnya tidak ada barang yang hilang."
"Apa?"
"Ya, begitu. Sepertinya banyak rahasia di depanmu yang harus kau singkap, hidupmu menyenangkan ya."
"Kinan, kau tahu, kan, Paman Surya tidak menyukai tentang hal-hal seperti ini."
"Memangnya ada apa dengan benda itu, Luk?"
Jadi, apa benar benda itu adalah salah satu dari 'benda yang paling dicari' seperti apa yang ditulis oleh Harry. Kenapa ayah menitipkan padaku yang dulu tidak mengetahui apa-apa, bukankah itu malah berbahaya? Lalu, bagaimana Paman Surya tahu kalau benda itu istimewa, dia tidak terlalu suka dengan 'pekerjaan' yang berbau mitos seperti ini, bahkan cenderung membencinya.
"Eh, kau memanggil dia apa tadi?" Bimo bertanya pada Kinanti dengan mengarahkan telunjuknya padaku. "Luk-luk?"
"Oh, aku sejak kecil memanggil Jalu dengan 'Luluk'. Itu karena dari dulu dia sangat pendiam dan sombong. Hahaha." Kinanti memukul lenganku dengan telapak tangannya. Sedangkan Bimo, jangan tanya lagi saat ada yang membuatku malu seperti ini dia tidak akan bisa berhenti tertawa. Kinanti yang cerewet dan usil suka menggodaku yang tidak banyak omong dan mengolok-olokku dengan panggilan aneh sejak kecil. Apa hubungannya nama 'Luluk' dengan sifat pendiam dan sombong.
"Ya, dan kau sangat cerewet dan sangat tidak kreatif dalam memberi nama untuk mengejek."
Mereka berdua terus tertawa, ku rasa aku juga merasa senang, sudah lama aku tidak ke sini dan suasana ini mengingatkanku pada masa laluku di sini.
"Luk, aku tahu kau seorang yang punya pekerjaan 'spesial' dan kebetulan kau di sini."
"Ya, lalu?"
Kinanti memang mengetahui tentang keluarga ku yang 'spesial', begitu juga keluarganya. Tentu saja tidak mengherankan karena mereka adalah keluargaku, meski mereka tidak berhubungan dengan makhluk-makhluk mitos seperti keluarga kakekku.
"Beberapa tahun terakhir, beredar kabar ada makhluk-makhluk aneh yang mengganggu sekitar sini. Katanya mereka tinggal di gunung sebelah sana dan turun ke desa untuk mengganggu manusia."
"Makhluk seperti apa? Kau bilang 'makhluk-makhluk; jamak, berarti lebih dari satu." aku tertarik dengan cerita Kinanti.
"Ya. Makhluk-makhluk itu kecil, orang-orang desa meyakini mereka itu adalah jembalang atau semacamnya."
"Hei, kita ini bukan paranormal yang menangkap hantu, jembalang kan..."
"Bimo. Ya, kalau menurut mitos di sini, jembalang itu semacam hantu tanah, seperti makhluk halus, tapi aku meyakini sesuatu bahwa jembalang itu sebenarnya 'sesuatu', salah satu dari makhluk-makhluk purba seperti yang lain."
"Jadi, kau mau melihatnya, Luk?"
"Tentu saja." senyumku mengembang.
Blam!
Pintu kamar yang setengah terbuka tiba-tiba terbuka lebar. Aku baru sadar, bahwa sedari tadi seseorang mengawasi kami dan mendengar semuanya.
...