Aku pergi dari tempatku dan menyelinap diantara kegelapan himpitan kapal-kapal kayu besar.
"Cari mereka!" Adam berteriak dan ku dengar lebih banyak derap kaki yang berlari dan melompat di kapal-kapal di atasku. Aku juga mendengar teriakan dan pukulan dari mereka yang sedang berkelahi.
Tiba-tiba aku melihat dua orang datang ke arahku yang seketika muncul menemukanku yang bersembunyi diantara himpitan kapal-kapal. Salah satunya melompat menerjangku dengan cepat.
Dor!
Aku menembak salah satu dari mereka hingga jatuh tersungkur. Apakah dia mati? Jika iya, ini adalah pengalaman pertamaku membunuh orang. Satu lagi dari mereka berteriak sambil membawa tongkat ke arahku, mereka tidak takut mati, bodoh, atau memang otaknya dibawah sadar? Berani menyerangku yang membawa pistol.
Tak kusangka dia begitu cepat sudah berada di depanku, mengayunkan tongkatnya. Aku menghindar, menendang perutnya dengan lutut hingga dia terpental mundur.
Dor!
Aku menembaknya lagi, rasanya sudah cukup aku menembaki manusia, perasaanku benar-benar tidak nyaman dan jika bukan karena terpaksa, aku tidak akan melakukannya. Aku juga merasakan hal yang sama saat menembak duyung-duyung tadi, meski mereka bukanlah manusia.
Aku mengintip ke arah teman-temanku, mereka sedang terdesak. Albert dan Nick kini melawan tiga orang, Bimo juga berhadapan dengan seseorang dari mereka. Ali dan Cahyono masih berhadapan dengan Harpies. Mereka berdua terlihat kepayahan karena makhluk itu terus terbang dan sesekali menyambar mereka berdua. Tentu saja sangat sulit menghadapi musuh yang seperti itu.
Dor!
Aku menembak Harpies yang sedang berusaha mencakar Cahyono, makhluk itu tewas.
"Berhenti! Atau kutembak kalian!" teriakku.
Orang-orang itu berhenti menyerang teman-temanku, dan semua mata menuju padaku.
Bug!
Nick menendang salah satu dari mereka yang berada di hadapannya dan sedang mematung melihatku hingga tersungkur. Temannya ingin membalas Nick tapi aku berteriak sekali lagi.
"Berhenti!" Aku melangkah ke depan, mendekat ke mereka.
"Kau!" Adam berteriak dari atas, melotot melihatku, "Edward!"
Rupanya Adam salah mengira aku adalah ayahku, wajah kami memang mirip. Tapi apa dia bodoh, wajah ayahku yang dilihatnya hampir dua puluh tahun yang lalu seharusnya sekarang tampak lebih tua.
"Hahaha! Dasar ..."
"Nick, diam!" kataku memotong ucapan Nick. Aku tahu dia akan mencemooh kebodohan Adam, tapi aku ingin Adam tetap mengira aku adalah ayahku.
"Akhirnya aku menemukanmu, Edward Pranayodha. Aku tahu kau masih menyimpan benda itu, serahkan bersama catatan Harry yang ada pada temanmu itu juga!" Adam tampak menyeringai seolah penuh kemenangan.
"Aku tak tahu benda yang kau maksud, Adam," kataku.
"Jangan pura-pura bodoh. Benda yang bisa membebaskan Cerberus dari penjaranya, dan akan membangkitkan Echidna sepenuhnya." Wajah Adam terlihat tegang meski samar karena hanya diterangi cahaya obor. Dan kata-katanya barusan mengejutkanku, membuat rasa penasaran yang tiba-tiba muncul.
"Jadi kau berpikir aku memiliki itu?"
"Jangan membodohiku, Pranayodha. Serahkan benda itu dan kau boleh pergi dari sini."
"Oh, ya. Sebelum aku menyerahkan yang kau mau, ada yang ingin aku tanyakan padamu."
Adam mengangkat sebelah alisnya, "huh, katakan saja."
"Ada apa dengan halaman pertama milik Harry yang kau cari, aku baca tidak ada apapun disitu selain informasi tentang koloni kalian." Aku pura-pura, padahal pernah melihatnya pun tidak. Aku hanya ingat dari cerita Nick.
"Hahaha, kalian berdua memang bodoh." Adam berpaling pada Nick, "tidakkah kau ingat apa kebiasaan wanita tua di Snowdonia itu, Professor Nicholas Anderson?"
"Memang apa? Mengedutkan mulutnya? Apa itu penting? Dan Adam, bukankah aku sudah bilang panggil aku Nick saja."
Dasar Nick, masih memikirkan hal konyol disaat seperti ini.
"Dia selalu menyalakan lampu minyak di rumahnya. Catatan itu ditujukan untuknya, kau hanya akan melihat tulisan biasa jika membacanya di depan cahaya lampu minyak, tapi jika membaca dengan membelakangi cahaya lampu, kau akan mendapatkan tulisan yang lain."
"Oh, cerdik juga si Harry itu. Itu juga kenapa wanita itu memberiku saat sudah keluar rumah supaya tidak terlihat melalui lampu," gumam Nick.
"Sekarang mana kedua benda itu." Adam kembali menaikkan nada bicaranya.
"Maaf, Adam. Kami tidak membawanya. Dan kalau mau merebut apa kau berani menghadapi ini?" Aku mengacungkan pistol pada Adam.
"Meski kau menembakku, tapi pelurumu tidak akan cukup membunuh semua, termasuk para siren dibelakang kalian. Dan lagi, bagaimana kalian akan lolos dari sini? Kalian akan membusuk di sini. Sadarlah dengan posisi kalian! Saat ini kalian seperti kawanan ikan gabus yang mendatangi penggorengan. Kalian tak akan bisa ke mana-mana," kata Adam dengan sangat percaya diri.
"Wah-wah! Ingin bernegosiasi rupa-rupanya," kata Nick.
"Tak perlu bernegosiasi lagi, aku bisa merebut benda itu dari kalian," kata Adam sambil membenarkan letak kacamatanya.
"Yodha! Awas!"
Bug!
Aku merasakan tendangan keras di punggungku hingga aku terjungkal, seseorang dari mereka menendangku dan menerjangku. Perkelahian pun dimulai kembali setelah sesaat terhenti tadi.
Dor!
Aku menembak musuhku dan kutengok ke atas, rupanya Adam menghilang. Sebenarnya aku tidak berniat menembaknya, aku ingin menangkapnya hidup-hidup untuk mengetahui orangtuaku.
Kulihat teman-temanku sedang bergumul dengan musuh, Ali dan Cahyono pun membantu. Semua obor jatuh tergeletak dan masih menyala hingga membakar gagangnya. Peluru di pistolku tinggal sedikit, aku membutuhkannya untuk menghadapi duyung di belakang sana karena disanalah jalan untuk kami keluar.
Aku memukul seseorang yang ikut mengeroyok Nick, memukul kepalanya dengan gagang pistol dan menendang pantatnya.
"Kalian! Kemari!"
Sebuah teriakan dari arah perairan goa mengalihkanku, samar-samar kulihat seseorang menaiki sekoci dan membawa dayung melambaikan tangan.
Suasana bertambah ribut saat duyung-duyung menyerbunya dan orang di atas perahu kecil itu memukuli duyung dengan dayung.
"Itu Karim! Dia masih hidup!" teriak Albert.
"Semuanya kesana!" Aku berteriak setelah memberi uppercut di dagu salah satu dari mereka.
Kami semua berlari ke arah Karim, aku menembaki beberapa duyung yang berusaha naik ke perahu. Teman-temanku menceburkan diri ke air dan naik ke perahu dibantu oleh Karim.
Aku mengamankan mereka, menghadapi dua orang musuh yang masih berdiri. Dan setelah itu aku ikut terjun ke air dan menaiki sekoci.
Ali, Cahyono dan Albert bergantian memeluk Karim, mereka bertanya macam-macam padanya secara cepat dan tanpa gantian. Bagaimana dia hidup, makan apa, dan sembunyi dimana. Karim hanya tertawa dan menjawab 'syukurlah ... syukurlah', karena dia tidak mendengar yang mereka tanyakan.
Aku tidak sempat ikut bahagia bersama mereka, aku mendayung sekuat tenaga keluar menuju mulut goa, melewati bangkai-bangkai duyung yang ku tembaki tadi.
Bimo pun menemukan satu dayung lagi, lalu membantuku. Sedangkan Nick memperkenalkan kami pada Karim. Meski tidak bisa mendengar, dia pandai membaca gerak bibir, meski kadang harus dibantu dengan bahasa isyarat ala kadarnya.
Aku melemparkan pistol pada Albert, dia mengisi ulang pelurunya dan bersiaga di depan sekoci. Kami terus meluncur melewati kolam tadi dan menuju mulut goa yang terang. Beberapa kali Albert berhasil membunuh duyung-duyung yang menghalangi jalan kami hingga kami berhasil keluar dari pulau karang.
Kami semua berhasil keluar dari goa pulau karang, dan saat itu langit tampak mendung dan suasana gelap meski menurut perhitunganku ini masih siang, senja masih lama. Begitu kami sampai di luar, Albert dengan cepat menembakkan suar ke atas. Cahaya merah keluar dari pistol suar, meluncur ke jauh atas diikuti asap putih yang tebal.
"Kita akan menembakkannya lagi setiap sepuluh menit sekali," kata Albert.
Aku dan Bimo mendayung perahu dengan cepat dan berhati-hati, menjauhi pulau karang besar itu.
"Mungkin sudah aman." Bimo berkata sambil terus mendayung.
Tiba-tiba air laut yang tenang seketika bergelombang, semakin lama semakin kencang. Sekoci yang kami naiki bergerak naik turun.
"Junior, Bemo, kurasa kalian harus mendayung lebih cepat lagi." Nick melihat ke arah pulau karang dan membuat kami semua menoleh kesana.
Sebuah gelombang air aneh muncul dari perairan di samping pulau karang yang jauh dari kami, seperti gelembung-gelembung udara besar muncul dari bawah air disana. Lalu terbentuk pusaran air, mula-mula kecil lalu semakin membesar.
"Ini gawat! Cepat, Bimo!"
"Apa itu?" Albert terus memandang ke arah sana.
"Sesuatu yang mengerikan, Kapten." Wajah Nick belum pernah terlihat tegang seperti itu.
Aku mendayung sekuat tenaga bersama Bimo, sampai Albert dan Ali mendekati kami dan menggantikan kami yang kelelahan.
"Tuan Yodha, tembakkan satu lagi suar!" perintah Albert setelah menggantikan aku mendayung.
Pusaran air itu semakin besar dan lebar, arusnya sampai ke perahu kami dan membuatnya melambat. Hujan mulai turun, diiringi kilat dan gelombang yang naik turun. Ini seperti mimpi burukku waktu kecil setelah dibacakan cerita duyung oleh ibuku.
Pusaran air itu perlahan menghilang, lalu sebuah gelombang yang besar muncul dari dalam air. Seperti jutaan liter air yang disemburkan tiba-tiba dari bawah.
Gelombang air besar tadi menyapu pulau karang dengan dahsyat dan masuk kedalam goa pulau karang, apapun di dalamnya pasti hancur tertabrak air sebanyak itu yang menerjang ke dalam goa.
Bahkan gelombang tadi masih cukup besar saat sampai ke perahu kami yang jaraknya cukup jauh.
"Kapten! Anda masih punya berapa suar?" tanyaku pada Albert.
"Masih ada dua atau tiga lagi, Tuan."
Aku menembakkan suar ke langit, dan cahaya merah disertai asap kembali membumbung tinggi.
"Semoga mereka bukan berada di balik pulau, karena mereka takkan bisa melihat tanda SOS ini." Sebenarnya aku malah yakin mereka berada di balik pulau.
Gelembung aneh tadi muncul lagi, kali ini lebih dekat. Kemudian dari sebuah gelombang air yang menggunung tiba-tiba, muncul makhluk raksasa dari dalam air.