Chereads / Detektif Mitologi / Chapter 10 - Rendezvous

Chapter 10 - Rendezvous

Aku mendatanginya, lorong yang gelap dan sepertinya menuju suatu tempat. "Kita akan lewat sini besok pagi, sekarang kita bermalam di luar sini dulu."

"Baik, itu ide yang bagus, Tuan." Albert kemudian memunguti ranting-ranting pohon yang berjatuhan karena mati untuk membuat api unggun dan aku membantunya. Tak lama Nick dan Bimo juga mengangkat sebuah batang pohon besar yang tergeletak di tanah dan mereka membawanya ke tengah, berdekatan dengan dinding tebing.

"Kurasa kita harus jauh-jauh dari jurang saat tidur dan merapat ke dinding batu ini," kata Bimo sambil menepuk dinding.

"Kau benar-benar suka tidur berjalan, ya, Bemo." Nick menyeringai sambil mengangkat alisnya, seperti oom-oom genit yang menggoda gadis di bawah umur, mengerikan sekali.

"Siapa bilang."

Langit semakin gelap setelah matahari benar-benar bersembunyi di balik cakrawala, jingga berubah kelabu lalu hitam. Bulan belum muncul, jikapun iya, saat ini sedang bulan separuh. Untung saja tidak ada awan dan tanda-tanda akan hujan, jadi milyaran bintang mulai tampak mengedipkan cahayanya.

Api unggun sudah menyala di depan kami, batang pohon besar tadi aku gunakan sebagai tempat duduk bersama Nick di sebelahku. Albert sudah terbaring di dekat api dengan tas sebagai penyangga kepalanya, sepertinya dia kelelahan.

Bimo berada di sampingnya, duduk bersila sedang menghangatkan sup kalengan yang telah dibuka dan dijepit dengan kayu yang lalu didekatkan ke api.

"Nick, apa kita tidak perlu menutup telinga kita lagi saat ini?"

"Kurasa tidak perlu, Junior. Duyung akan bernyanyi saat melihat manusia, dan kita tak terlihat dari sini."

"Tapi api ini kan bisa jadi petunjuk mereka, Prof." Bimo ikut nimbrung.

"Percayalah, mereka tidak bisa melihatnya dari bawah." Setelah berkata Nick merebahkan badannya, "aku tidur dulu, tubuh tuaku harus lebih banyak istirahat."

"Salah kau sendiri ikut, Nick. Padahal tidak ada yang mengajakmu." Nick hanya tersenyum dan terlelap setelah aku mengatakan itu. Sebenarnya aku sangat bersyukur karena ada dia.

"Yod, kau bilang kau tinggal di Inggris, kenapa Profesor bilang kau ada di Skotlandia?"

"Aku ada di Inggris sampai umur 12 tahun, lalu pindah ke Glasgow hanya sebentar sampai kedua orangtuaku menghilang."

"Oh, begitu. Aku hanya tahu ceritamu sedikit sebelum kau pindah ke jawa." Bimo menyantap sup hangatnya sampai habis kemudian menguap, tak lama dia pun terlelap.

Aku membaringkan tubuhku, menatap bintang-bintang dan terbayang wajah lembut ibuku. Rambutnya yang pirang, matanya yang kelabu, tersenyum manis seolah menginginkan aku menemukannya. Dan wajah tegas ayah, senyumnya seolah mengatakan bahwa dia bangga dengan jalan yang kupilih.

...

Paginya, aku terbangun karena belalang yang menempel di hidungku. Langit masih sedikit gelap dan matahari belum nampak, tentu saja, karena kemarin matahari terbenam di depanku, jadi harusnya 'dia' terbit di belakangku, di sisi lain pulau yang terhalang tebing ini.

Aku duduk dan mengusap mata karena penglihatanku belum terbiasa. Api sudah mati, hanya meninggalkan abu yang sebagian tertiup angin menempel di bajuku dan sisa-sisa kayu yang ujungnya hitam tidak habis terbakar.

Nick masih pulas tertidur disampingku, begitu juga Bimo. Dan saat ku lihat Albert, aku terkejut, bukan karena dia, tapi sosok yang berdiri di sampingnya.

Sosok itu pendek, hanya setinggi separuh dari manusia normal dewasa, rambutnya kumal dan acak-acakan. Kain di tubuhnya terlihat lusuh, kulitnya menghitam terlihat kotor.

Aku hendak meneriakinya saat dia menunduk mendekat ke wajah Albert, tapi sosok itu berbicara, "Kapten! Kapten Albert! Syukurlah."

"Hah?" Aku sedikit terkejut pada orang pendek ini dan teriakannya membangunkan semuanya, termasuk Albert yang langsung menatapnya.

"Cah... Cahyono! Syukurlah, kau masih selamat!" Albert berpelukan dengan orang pendek tadi, dia harus berlutut agar tinggi keduanya sama. Aku tak menyangka jika ternyata anak Tuan Rusman sebenarnya agak cebol atau boncel. Tapi aku lega, kami menemukannya disini dan dalam keadaan selamat.

"Kapten, mereka siapa?"

"Oh, mereka teman-teman yang ikut mencari kalian." Albert menoleh pada kami, aku melambaikan tangan, kulihat Nick dan Bimo melakukan hal yang sama, mereka terlihat senang sepertiku. "Mana yang lainnya, Yon?"

"Ayo, kalian ikut saya dulu, nanti saya jelaskan."

Kami membereskan barang-barang kami, memastikan kalau api unggun benar-benar telah padam lalu mengikuti Cahyono yang sudah menunggu di mulut goa yang ditemukan Albert kemarin.

Goa yang sekarang berbeda dengan yang kami lewati sebelumnya, goa ini masih ada cahaya yang masuk karena ada beberapa lubang dengan berbagai ukuran di dinding goa yang langsung menghadap laut. Goa ini seperti terowongan yang berada di sisi tebing pulau karang dengan beberapa lubang seperti jendela di sampingnya, jika jatuh dan keluar dari lubang itu, tamatlah riwayatmu.

Kami mengikuti Cahyono yang berjalan di depan, walau dia boncel, gerakannya cukup gesit. Aku masih tidak percaya jika dia anak Tuan Rusman. Di dalam terowongan, aku menemukan lubang bercabang yang sepertinya mengarah ke tempat lain, gelap dan menurun, tapi kami tidak ke sana dan tetap berjalan menyusuri terowongan ini.

Jika dipikir, pulau ini seperti labirin, banyak sekali cabang-cabang dari goa yang mengarah ke suatu tempat. Jika aku melawan logika, tempat ini seperti di buat oleh manusia, tapi logikanya, manusia tidak bisa menciptakan pulau, atau memahat sebuah pulau batu karang raksasa menjadi sebuah labirin seperti ini. Sehebat apapun para orang itu bahkan yang bisa menciptakan piramida di Mesir atau memahat Petra.

Setelah agak lama berjalan, kami tiba di tempat yang mirip dengan tempat bermalam kami tapi lebih luas. Sebuah tempat datar dan lapang dengan tumbuhan dengan jurang dan tebing di sisi pulau dan menghadap ke laut. Di sini terdapat lebih banyak lagi pohon-pohon bercabang.

Albert menjatuhkan tasnya begitu sampai dan berlari, terlihat dia mendatangi seorang pemuda yang sepertinya menunggu dari tadi di sini. Mereka berpelukan dan sejenak berbincang, tidak terdengar olehku karena cukup jauh.

Aku, Nick dan Bimo masih berdiri melihat mereka dari jauh. Cahyono yang ada di sampingku mengulurkan tangannya pada kami bertiga.

"Terimakasih, Tuan-tuan. Perkenalkan saya Cahyono."

"Yodha." Aku menyambut jabat tangannya.

"Saya Nicholas, panggil Nick saja. Saya kagum dengan anda, Tuan Cahyono. Maaf, meski badan anda kecil tapi sepertinya anda tidak kenal takut."

Duh, memang Nick sama sekali tidak punya sopan santun, aku khawatir itu akan menyinggung Cahyono.

"Saya Bimo, Tuan Cahyono. Pasti ayah anda begitu mengenal anda hingga menjadikan anda sebagai pengawas. Dia sangat mengkhawatirkan anda."

Aku melirik pada Cahyono, wajahnya terlihat bingung, tapi kemudian malah aku yang bingung karena dia tertawa.

"Hahaha. Terimakasih, Tuan Nick. Memang, meski saya kecil dan mengalami masalah pertumbuhan, tapi itu tidak menghilangkan jiwa pelaut saya yang sudah turun-temurun. Dan saya kira kalian salah paham."

Aku mengangkat alisku, heran. Salah paham apa yang dia maksud.

"Ayah saya tentu paham saya, tapi beliau sudah meninggal, jadi tidak mungkin khawatir. Dan saya hanya anak buah kapal bukan pengawas."

Cahyono terkekeh, "mungkin yang Tuan-tuan maksud adalah Ali, putera Tuan Rusman, itu dia." Cahyono menunjuk pada seorang pemuda yang berjalan menghampiri kami bersama Albert.

Sial, sudah ku duga dia bukan anak Tuan Rusman dan kami bertiga berpikiran sama. Aku hanya meringis pada Cahyono sedangkan Nick dan Bimo malah tertawa dengan kebodohan mereka sendiri.

"Tuan-tuan, perkenalkan. Ini Ali, putera Tuan Rusman." Albert menepuk punggung Ali. "Ali, mereka adalah para Detektif Mitologi yang membantuku untuk mencarimu."

Ali tersenyum pada kami dan mengulurkan tangannya. Dia masih sangat muda, mungkin masih belasan tahun atau awal dua puluhan. Berambut cepak dan berbadan kekar meski tidak terlalu tinggi. Dia menggunakan jaket parasut dengan robekan di beberapa bagian.

"Saya Ali Sulaiman, maaf merepotkan anda semua." Dia berbicara sambil menunduk-nundukkan kepalanya, seorang pria yang pemalu dan sangat sopan.

Kami berenam duduk di batang-batang kayu mati yang di taruh berhadapan. Ali dan Cahyono memakan makanan kaleng yang ada di tas yang Albert bawa, sebenarnya aku khawatir jika nanti bekal kami akan habis lebih cepat.

Ali dan Cahyono bercerita bahwa malam itu dia keluar dari dek untuk mengawasi keadaan. Cahyono dan seorang ABK lagi yang bernama Karim sedang berada di luar. Saat itu dia mendengar sesuatu dari kejauhan dan tidak sadarkan diri. Mereka sadar sewaktu merasa wajah mereka ditampar-tampar oleh seseorang dan ternyata itu Karim, dan mendapati mereka di tempat yang tidak dikenal.

"Kami berada di kolam besar di dalam goa pulau karang ini dengan batu besar yang lebar di tengah-tengahnya, kami berada di atas batu tersebut." Ali bercerita dengan wajah serius.

"Ya, waktu itu Karim membangunkan kami yang tidak sadar sambil berteriak 'bangun! Ayo cepat pergi! Nanti kalian dimakan', lalu saat kami sadar sepenuhnya, ternyata Karim sedang berhadapan dengan beberapa wanita telanjang yang berenang di air. Dada mereka terlihat, saya sempat takjub melihat itu. Saya kira mereka bidadari yang mandi, tapi Karim menendang-nendang ke arah mereka. Dan waktu salah satu dari mereka meloncat, saya terkejut mereka berbadan ikan." Cahyono bercerita sambil menirukan suara dan memperagakan gerakan seseorang yang disebut Karim itu.

Aku melirik pada Nick dan Bimo yang tersenyum melihat Cahyono, mungkin menahan tawa.

"Berarti hanya kalian yang tidak sadar sedangkan Karim tetap sadar? Lalu dimana dia?" Aku agak heran ada orang yang bisa kebal suara duyung.

"Maaf, Tuan Yodha." Albert menyela, "sebenarnya dia itu tuli. Dia mengalami kecelakaan saat sedang mengelas badan kapal dan tabung di sampingnya meledak dan memecahkan gendang telinganya."

"Ooh..." pantas saja, harusnya aku menyadarinya. "Berarti dia melihat kalian berdua menceburkan diri ke laut dan berenang mengikuti kalian yang dibawa duyung. Kenapa dia tidak memberitahukan pada yang lain malah nekat begitu."

"Memangnya kalau Karim tuli kenapa, Kapten?" Cahyono mengernyit heran.

"Kalian tidak sadar karena suara duyung, makhluk yang kalian temui itu. Teman anda, Karim tidak terpengaruh karena dia tuli. Lalu dimana dia?"

"Itulah kami tidak tahu, setelah itu kami menceburkan diri ke kolam dan sempat bingung harus kemana, karena ada beberapa mulut goa yang gelap di samping kolam." Ali meneruskan ceritanya.

"Kami memutuskan berenang ke arah mulut goa yang tidak terhadang makhluk-makhluk itu dan ternyata tidak terlalu gelap hingga kami menemukan beberapa bangkai kapal kayu di sana. Kami mengambil beberapa papan yang kami jadikan rakit untuk menyusuri goa dengan mengandalkan penglihatan kami yang terbatas karena semakin gelap."

"Bangkai kapal?"

"Iya, Tuan Yodha. Beberapa bangkai kapal lama yang terbuat dari kayu."