Rasa kesal membuat Rey berjalan terburu-buru ke arah pintu keluar. Beberapa orang yang berpapasan dengannya, ia tabrak tanpa permintaan maaf. Sempat juga ia menyenggol waiter yang sedang membawa sajian. Untung saja tidak sampai menjatuhkan piring dan gelas.
Setelah keluar dari restoran, Rey tidak menyadari tatapan heran dan panik dari Mita. Ia berdiri dan mencoba mengejar Rey. Namun, Rey sudah masuk ke dalam mobilnya dan melajukan tanpa menoleh ke arah restoran. Mita yang kebingungan, langsung menghubungi ponsel Rey.
Berkali-kali panggilan telepon dari Mita diabaikan oleh Rey. Baru setelah ia merasa membutuhkan ponselnya untuk menghubungi seseorang, Rey pun mengangkat panggilan dari Mita.
"Aku akan hubungi Mirwan untuk menjemputmu pulang," ujar Rey tegas.
"Ada apa, Sayang? Apa ada hal buruk yang terjadi?" Hanya itu yang berani Mita tanyakan dari sekian banyak keingintahuannya. Jauh dari lubuk hatinya, ia merasa bahwa Rey sebenarnya marah padanya. Selama ini, Rey tidak pernah meninggalkan dirinya secara-tiba-tiba seperti itu. Bahkan ketika ada hal yang sangat penting dan dadakan pun, Rey pasti mengajak serta Mita.
"Nanti aku hubungi kamu lagi." Rey tidak menjelaskan dan langsung mematikan teleponnya. Ia kemudian menghubungi Mirwan sesuai janjinya.
Sebenarnya bisa saja Rey mengajak serta Mita pulang. Namun, emosinya berkecamuk sehingga ia pun merasa kembali kesal pada gadis itu. Pertemuannya dengan Isyana dan Bastian benar-benar memporak porandakan hatinya. Belum lagi, Bastian dengan polosnya berpura-pura tidak kenal padanya. Padahal, ia masih ingat kalimat yang sempat diujarkan oleh laki-laki itu ketika berada di apartement Mita.
'Mereka berpacaran, Bos.'
Sebuah pesan masuk dan muncul di layar ponselnya. Hampir saja Rey menginjak pedal rem saking terkejutnya, kalau saja ia tidak ingat bahwa dirinya sedang mengemudi di tol dalam kota. Kepalanya mendadak sakit dan perutnya bergolak menghasilkan rasa mual. Rey memutuskan untuk mencari tempat menepi guna memastikan tulisan yang ia baca dari pesan yang diterimanya adalah benar.
Ternyata, sampai ia dekat ke arah rumahnya, tidak juga ditemui pom bensin. Terpaksa Rey memilih untuk langsung pulang dan menelepon si pengirim pesan di rumah saja.
Pintu gerbang terbuka secara otomatis. Dua orang satpam yang sedang berjaga, berdiri di kedua sisi pagar untuk menyambut majikannya. Rey yang biasanya membuka kaca jendela dan membalas sapaan para satpam, lantas tetap menjalankan mobil dengan mengebut menuju tempat parkir di belakang rumah.
Setelah turun dari mobil, Rey berjalan dengan cepat menuju ruang kerjanya. Ia kemudian menekan tombol dial.
"Sejak kapan mereka berpacaran?" tanya Rey tanpa basa basi.
"Belum ada informasi menuju ke sana, Bos. Tadi sore, laki-laki itu hanya berkata bahwa Isyana adalah pacarnya."
"OK. Terima kasih informasinya. Aku akan transfer sesaat lagi." Rey menutup teleponnya. Ia memijit pelipisnya. "Dasar Kak Isya bodoh!" Rey menendang kursi yang ada di hadapannya.
Tidak hanya laporan berupa percakapan Bastian dengan resepsionis di Hang-G Automotive, Rey pun mendapatkan foto-foto ketika lelaki itu menemui Isyana. Spion memang Rey simpan di perusahaan kakaknya itu. Awalnya ia merasa hal tersebut tidak terlalu berguna karena laporan yang biasanya disampaikan sebatas kegiatan harian Isyana seperti meeting, jam berapa kakaknya datang, dan pergi ke mana saja selama jam kerja. Namun, kali ini ia pasti akan sering mengeluarkan uang untuk membayar laporan yang pastinya akan semakin sering ia terima.
'Sayang, aku baru sampai rumah. Kamu udah makan?'
Pesan masuk dari Mita hanya dilirik oleh Rey. Sebelumnya, ia pun mengabaikan panggilan telepon dari pacarnya tersebut yang muncul berkali-kali. Wajar saja Mita terus menghubungi, Rey kan memang berjanji akan cerita setelah ia sampai di rumah. Namun, hingga ia berganti pakaian pun, sama sekali tidak ada keingingan untuk menepati ucapannya.
Membaca pertanyaan Mita, Rey jadi memegang perutnya yang tiba-tiba keroncongan. Karena pertemuannya dengan Bastian, ia jadi tidak nafsu makan. Namun, pikiran dan keadaan tubuhnya tidak sinkron. Nyatanya, meski tidak berkeinginan makan, ternyata ia lapar.
Tangan Rey meraih remote yang letaknya tidak jauh dari kursi. Ia menekan salah satu tombol yang akan membuat Lina mengetuk pintu kamarnya.
"Tuan belum makan?" tanya Lina setelah ia menghampiri Rey. Gelengan kepala menjawab pertanyaan Lina dan membuat wanita itu melanjutkan pertanyaan. "Tuan mau kami buatkan apa?"
~~~
"Sepertinya kamu punya adik yang posesif," ujar Bastian setelah selesai mengunyah suapannya.
Isyana tersenyum simpul. Ia menahan untuk tidak tertawa lebar karena mendengar opini Bastian. Setelah meneguk minumannya, ia pun melanjutkan makan. Namun, ada tanda tanya besar yang terus mengusik dirinya. Meski ragu, Isyana akhirnya tidak tahan juga untuk mengutarakan pada Bastian.
"Sewaktu di Paris, Rey mengumpat saat bertemu denganmu. Sama seperti tadi." Isyana menutupi keresahannya dengan mencelupkan lembaran nori pada mirin. "Apa kalian saling kenal dan pernah punya masalah sebelumnya?"
Bastian terbahak sebelum menjawab. "Aku kan sudah bilang, ini pertama kalinya aku bertemu dengan adikmu. Jangankan punya masalah, kenal saja tidak."
"Sudah 2 kali Rey memperlakukanmu seperti itu. I just wonder─"
"Sepupuku. Ia memiliki wajah yang agak mirip denganku. Mungkin saja ia salah orang. Mungkin yang ia kenal dan bermasalah dengannya adalah sepupuku," potong Bastian.
Isyana tidak ingin memperpanjang pembahasan mengenai Rey sehingga ia kembali menikmati sajian sushi di hadapannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain makan makanan yang tidak membuat gemuk, terlebih bersama orang yang dikaguminya sejak awal, batin Isyana.
"Nanti aku coba tanyakan pada sepupuku," tawar Bastian ketika melihat Isyana yang nampak belum puas dengan penjelasannya.
"Tidak perlu, Bas. Lagipula aku tidak terlalu ingin tahu urusan pribadi adikku," jawab Isyana sambil tersenyum.
Tidak lama berselang, mereka pun selesai makan malam. Sesuai dengan dugaan Isyana, pertemuan mereka kali ini terasa masih sangat canggung. Meskipun begitu, Isyana sangat nyaman dengan kepribadian Bastian yang sopan dan menyenangkan. Ketampanan Bastian seperti hanya nilai tambah saja pada diri laki-laki itu.
"Mau mampir?" tawar Isyana ketika mobil Bastian berhenti di depan rumahnya.
"Mungkin lain kali. Masih ada yang harus aku kerjakan agar besok siang bisa mengajakmu lunch."
Isyana menyembunyikan wajahnya yang tersipu. "Ya sudah kalau begitu. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini." Lengan Isyana ditahan ketika ia akan membuka pintu mobil.
"Tunggu, biar aku yang bukakan pintunya." Dengan sigap Bastian turun lalu berlari kecil. Ia kemudian membukakan pintu sambil menyediakan tangannya untuk digenggam oleh Isyana. Belum sempat gadis itu turun, sebuah kecupan mendarat pada lengannya.
"Bastian," ucap Isyana lirih. Karena tindakan Bastian, ia merasa kehilangan tenaga untuk sekadar berdiri.
"Selamat malam, My Queen."
Isyana tidak ingin menoleh lagi ke arah Bastian ketika pintu pagarnya terbuka. Ia tidak sanggup menahan rona merah yang memenuhi seluruh wajahnya. Bahkan, debar jantungnya sangat tidak keruan. Padahal cuma begitu saja, protes Isyana pada dirinya sendiri. Ia kemudian berlari ke arah rumah dan membuat beberapa asisten rumah tangga yang tengah menyambutnya, merasa aneh karena majikannya tersebut berlari sambil tersipu.