"Happy falling in love, Cantik." Bastian berkata sambil membelai lembut rambut Isyana. Jangan ditanya, gelenyar aneh pun menjalar di tubuh Isyana. Wajar saja, sudah lama tidak ada pria yang menyentuhnya seperti itu.
Ah, sebetulnya ada, Riri. Namun, siapapun pasti menyangsikan apakah Riri pantas dipanggil pria.
Dentingan 2 gelas wine terdengar di ruang makan rumah Bastian. Gemerlap chandelier menemani mewahnya sajian makan malam yang disediakan untuk Isyana. Semua ini dilakukan sesuai janjinya: merayakan hari jadi mereka.
"Kamu yang menyiapkan semua untukku?" Sangat terpukau Isyana melihat sajian di rumah Bastian.
"Idenya aku sendiri. Sisanya orang-orangku yang membantu. Aku tidak sepengangguran itu, Cantik." Bastian menjawab dengan jujur. Menyiapkan hal dengan menyuruh orang saja, cukup membuatnya kewalahan karena selalu menerima telepon dadakan. Apalagi kalau harus menyiapkan sendiri.
"Kamu suka?" tanya Bastian. Sentuhan demi sentuhan seolah tidak terlepas dari setiap kalimat yang diutarakan oleh pria itu. Bastian selalu membelainya atau bahkan menempelkan bibir ke anggota tubuh Isyana.
"Sangat suka. Kamu kreatif, cerdas, dan, ah, harus apa lagi pujianku padamu?" Isyana tersipu. Bastian pun tergelak.
"Aku tidak sesempurna itu, Cantik. Karena malam ini, hanya kamu yang sempurna." Bastian benar-benar merayu Isyana. Orang awam pun pasti mengerti bara asmara yang tersulut di pria itu.
Masih dengan tatapan tidak percaya, Isyana tersenyum simpul kepada pria di hadapannya. Rasa terkejutnya masih membuat ia menimbang apakah harus senang atau takut.
Takut?
Benar. Perlahan Isyana takut dengan keadaan barunya ini. Perusahaan Kakek Goban tidak pernah menempatkan orang asing. Selain itu, ia akan sangat canggung bila harus bekerja sama dengan kekasihnya. Terlebih, posisinya berada di atas.
"Kamu kenapa? Seperti ada yang mengganjal di pikiran. Apa yang sedang kamu lamunkan?" tanya Bastian.
Isyana terhenyak. Ya, dia memang tidak sadar sedang memandang dengan tatapan kosong padahal pria di hadapannya tidak pernah melepas pandangannya.
"Apa kamu nyaman dengan posisi kita berdua?" Isyana bertanya to the point. Dia benar-benar tidak ingin ada rahasia dalam hubungannya. Segala kekhawatiran akan dia sampaikan pada kekasih barunya itu.
"Tidak apa-apa, Sayang. Seorang wanita cantik berada di atas, biasanya lebih menarik." Bastian mencondongkon tubuhnya sambil meraih dagu Isyana. Sebuah kecupan pun didaratkan pada bibir merah merona milik gadis itu. "Kamu masih khawatir?"
Isyana menggeleng meski sebenarnya gestur itu sungguh mengkhianati keadaan yang sebenarnya. Kembali ia menyesap sedikit anggurnya.
"Kamu sudah kenyang?" tanya Bastian. "Mau pindah ke sofa?" tawarnya kemudian.
Tanpa menolak, Isyana berdiri mengikuti Bastian. Tangan kanannya digenggam oleh pria itu.
Kaki telanjang Isyana merasakan lembutnya karpet yang mengalasi sofa. Sebuah televisi besar dinyalakan oleh Bastian setelah keduanya duduk. Pria itu pun mendorong pelan kepala Isyana agar merebah pada dadanya. Bastian mengganti channel televisi dengan sebelah tangannya, sedangkan tangan yang satunya lagi sibuk memainkan rambut Isyana.
"Kamu suka film apa?" tanya Bastian setelah cukup putus asa dengan tayangan di televisi. "Oh, biar aku tebak. Drama Korea?"
"Hahaha, tidak." Isyana mengangkat kepalanya. "Aku suka thriller." Isyana mengambil alih remote dan memilih kesukaannya.
"Tidak suka yang romantis? Romkom, mungkin," tawar Bastian.
"Not. That's too lame."
"Bagaimana kalau adegan romantisnya kita saja yang buat?" Bastian seperti sudah tidak sabar dengan keberadaan Isyana di sampingnya. Ia menarik lengan Isyana sehingga membuat tubuh gadis itu tersungkur di dadanya.
Dengan menuntut, Bastian mencumbu bibir Isyana. Gerakannya membuat gadis itu terengah karena tidak ada jeda untuk bernapas. Bastian mengaitkan kedua jemari mereka. Isyana benar-benar tidak bisa berkutik. Tubuhnya berada di bawah kendali Bastian.
Drrrttt.…
Isyana membuka matanya.
Drrrttt....
"Ponselku." Isyana buru-buru mendorong tubuh Bastian dan ia bangkit dari sofa tempat adegan pemanasan tadi. "Maaf." Setengah berlari, Isyana menjauh dari tempat Bastian duduk.
"Oh, thanks, Rey."
Ucapan Isyana sontak membuat adiknya yang ada di balik telepon, mengernyit heran. "Thanks? For what? Ah, sudah lah, bukan itu alasanku menelepon Kakak. Kak Isya ada di mana sekarang?"
"Di rumah teman," jawab Isyana berbohong. Euh, tidak sepenuhnya berbohong sih, Bastian kan memang temannya. Teman tidur lebih tepatnya.
"Teman? Sejak kapan Kakak punya teman?" Ujaran sarkas Rey tidak serta merta tong kosong belaka.
Rey tahu persis kakaknya seperti apa. Kearoganan kakaknya membuat semua teman semasa kuliah meninggalkannya. Padahal, logikanya pasti banyak yang ingin berteman dengan anak pengusaha kaya raya di kota ini. Sayangnya, Isyana tidak seterbuka itu dalam persahabatan.
Isyana memutar bola matanya. "Ada apa?"
"Bagikan lokasi sekarang juga. Aku jemput Kakak pulang." Suara Rey terdengar panik di sana.
"Untuk apa? Aku tidak mau!" tolaknya ketus. Isyana menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki. "Sudah, ya, aku sedang sibuk."
"Eh, Kak. Kak Isyana!" Suara samar Rey terdengar sesaat sebelum Isyana menutup panggilannya sepihak.
"Ada apa, My Queen?" Suara Bastian membuat Isyana tersenyum simpul.
"Adikku menelepon," jawab Isyana. Dia segera meraih lengan Bastian dan berjalan mengajaknya masuk lagi ke rumah. "Lupakan saja, bukan hal penting."
"Sudah selesai teleponannya?" tanya Bastian.
"Kamu bisa lihat sendiri, kan." Isyana mendadak badmood. Walaupun pembicaraan dengan adiknya di telepon bukan untuk bertengkar, dia tetap merasa tidak enak hati.
"Kamu kenapa? Ada masalah dengan Rey?" Bastian seolah punya indera khusus untuk mengetahui kegelisahan Isyana. Atau, Isyana terlalu mudah ditebak dari raut wajahnya saja.
"Kalau aku menghentikan malam ini sampai di sini, kamu tidak apa-apa?" tanya Isyana penuh keraguan.
Bastian tersenyum sebentar sebelum menjawab permintaan Isyana. "It's OK, My Queen. Sepertinya kamu memang kelelahan. Kita masih punya banyak waktu untuk bersama. Kita masih punya ratusan bahkan jutaan malam untuk dinikmati."
Jawaban Bastian menenangkan Isyana. "Aku minta maaf ya, Bastian."
"Tidak perlu meminta maaf, kamu tidak membuat kesalahan apapun." Bastian mengusap lembut punggung Isyana. "Ya sudah, aku minta pekerjaku untuk menyiapkan mobil."
"Aku akan mengambil tasku sekaligus merapikan pakaian dan riasan." Isyana berjalan beriringan dengan Bastian.
Saat Bastian pergi ke garasi, Isyana berjalan ke kamar kecil. Di dalam sana, Isyana mengantongi ponselnya. Namun, dia penasaran dengan notifikasi di layar depan.
Ternyata Rey mengirimkan pesan.
'Aku tidak perlu meretas ponsel kakak, kan, untuk mengetahui Kak Isya dimana!'
Isyana mengepalkan tangannya. Kalau bukan sedang di rumah Bastian dan kalau bukan tengah menjaga image, sudah dipastikan akan mengacak-acak deretan peralatan mandi yang ada di hadapannya.
'Aku akan laporkan ke pihak berwajib kalau kamu berani melakukan itu!' balas Isyana dengan cepat.
Beberapa saat kemudian, panggilan telepon masuk.
"Apa lagi, Rey?" Isyana sebetulnya kesal tetapi mendadak dia penasaran karena Rey tidak pernah seposesif ini.
"Pulang sekarang!" bentak Rey.
"Iya aku pulang. Memangnya ada apa? Papa sakit? Mama sakit?" Pikiran Isyana langsung tertuju pada kedua orang tuanya. Namun, kalau memang terjadi sesuatu pada mereka, sekretaris pribadi orang tuanya yang akan mengabari Isyana lebih awal.
"Sampai jumpa di rumahmu." Klik. Rey menutup panggilan telepon seolah membalas perlakuan Isyana beberapa menit lalu.
"Dasar adik menyebalkan!!" Isyana hanya bisa marah sambil berbisik.