"Selamat malam kakakku yang cantik," sapa Rey di depan pintu utama rumah Isyana.
Kakaknya baru saja turun dari mobil dan berbalas kecupan selamat tinggal dengan Bastian. Wajah Isyana yang awalnya masih semringah, berubah menjadi ketus saat disuguhkan oleh kehadiran Rey.
Sengaja Rey bersembunyi di balik pintu kala itu. Dia malas berpapasan dan harus berbasa basi dengan Bastian. Walau begitu, tetap saja dia mengintip di balik viltrase jendela untuk melihat wajah bejat si Bastian. Saat melihat lelaki berengsek itu mengecup kedua pipi Isyana, ingin rasanya membersihkan pipi kakaknya dengan alkohol.
"Ada apa sebenarnya? Sepenting apakah sampai menyuruhku untuk pulang?" Isyana sebetulnya senang-tidak senang ketika Rey menyuruh pulang. Dia senang karena Rey bisa menyelamatkannya dari sentuhan yang belum diinginkan Isyana, di satu sisi dia sebal karena Rey membuatnya seperti anak kecil yang dilarang pulang larut malam oleh orang tuanya.
"Aku hanya rindu makan malam dengan kakakku yang cantik," jawab Rey tanpa dosa.
"Apa?! Jangan mengada-ada kamu, ya!" Isyana sudah ancang-ancang memukul Rey dengan tasnya hingga gerakan itu terhenti. "Yang benar saja! Kamu mengajak makan malam denganku sedangkan kamu sudah membuka hidangan wine sebelum itu."
Rey langsung menjauhkan sedikit tubuhnya dari Isyana. Dia mengendus aroma mulutnya sendiri. Ah, benar juga, tadi di lupa kalau sudah berbagi anggur dengan Rinka.
"Hanya welcome drink. Aku belum makan menu utama. Jadi, bagaimana?" Rey masih tetap teguh pendirian, untuk saat ini.
"Aku mengantuk, aku mau tidur. Lagipula aku sudah makan. Kamu makan saja sendiri. Aku akan minta asisten dapur untuk menyiapkan makan malam untukmu." Isyana berlalu pergi setelah tahu perintah untuk pulang bukan karena alasan yang penting.
"Ya sudah kalau begitu, aku juga pulang saja. Terima kasih sudah pulang dengan selamat," ujar Rey sambil memandangi punggung kakaknya yang menjauh.
Kalimat Rey membuat Isyana berhenti berjalan. Dia berbalik hendak menanyakan rasa penasarannya pada Rey, tetapi dia terlalu malas untuk itu sehingga hanya melihat kepergian Rey.
Setelah pintu ditutup, Isyana segera berjalan ke kamarnya. Berendam air hangat dengan busa sabun melimpah pasti sangat menenangkan, pikirnya.
Di tempat lain, tepatnya di dalam mobil, Rey segera menelepon Rinka.
"Bagaimana? Semua aman terkendali, Rey?" tanya Rinka sesaat setelah dia mengangkat teleponnya.
"Semua sesuai rencana. Kak Isya pulang tanpa lecet sedikitpun. Hanya saja—"
"Hanya saja apa, Rey? Jangan bilang kamu tidak mengatakan tentang Bastian pada Kak Isya." Rinka sudah menduga sejak awal. Saat respon dari Rey hanya diam, Rinka langsung berargumen lain, "Kenapa tidak kamu sampaikan, Rey?"
"Aku rasa tadi aku kelewat tenang saat tahu Kak Isya baik-baik saja. Dan menurutku, tadi bukan waktu yang tepat untuk mengatakan hal itu pada Kak Isya." Sebetulnya Rey hanya mencari alasan dari keputusannya. Dia tahu, Rinka pasti tidak setuju.
"Seharusnya lebih cepat lebih baik, Rey. Tapi, sudahlah, aku tidak ada hak untuk menuntutmu. Lagipula ini urusan keluarga kalian. Aku hanya orang luar yang kebetulan terlibat dan peduli," kata Rinka kemudian.
"Jangan berkata seperti itu, Rin. Kamu sudah sangat membantu. Namun, kali ini aku pikir bukan waktu yang pas dan bisa masuk ke pikiran Kak Isya."
"Ingat prinsipnya, Rey. Kita sama-sama tahu kalau Kak Isya akan sangat sulit ditembus. Yang perlu kita lakukan adalah mengulang. Dengan pengulangan, pasti akan cukup mengganggu pikiran Kak Isya," ujar Rinka.
"Baiklah, akan aku coba mulai besok. Mungkin ada baiknya aku menjalin hubungan persaudaraan lebih intens dengan Kak Isya." Rey memutuskan panggilan telepon karena dia sadar kalau percapakan itu mereka lakukan di pelataran parkir rumah Isyana.
'Ada apa kamu masih di depan rumahku? Sedang mengawasiku?!'
Sebuah pesan menyasar ke ponsel Rey. Rey hanya tersenyum membaca deretan kalimat penuh kecurigaan dari sang kakak.
'Betul sekali. Aku sedang memastikan Kak Isyana mandi dengan benar dan tidak pergi ke luar lagi bersama Bastian malam ini.'
Rey membalas seraya memutar kemudi untuk berbalik arah. Sudah saatnya dia pulang.
Isyana yang mengintip dari celah gorden, menutup kembali setelah melihat mobil Rey menghilang di halamannya. Dia pun merebahkan tubuh ke atas kasur empuk yang sprainya baru diganti beberapa menit lalu.
Belum juga dia sempat memejamkan mata, suara notifikasi email masuk ke ponselnya. Dia tahu itu adalah emaik urusan pekerjaan karena suara notifikasinya dia khususkan. Namun, malam malam begini? Siapa yang berani mengganggunya?
Mata Isyana yang awalnya sudah lelah, tiba-tiba terbelalak lebar. Sebuah pesan dari Lazudi menunjukkan data pengeluaran tidak terduga yang dilakukan atas namanya.
"Halo, Bu Isyana. Selamat malam," sapa Lazudi saat Isyana meneleponnya.
"Aku tidak pernah melakukan transaksi besar-besaran seperti ini!" seru Isyana yang tidak terima karena ada yang menggunakan namanya untuk transaksi supply bahan.
"Saya juga yakin kalau itu bukan Bu Isyana yang melakukan. Saya hanya ingin menanyakan, apakah Bu Isyana sudah menutup akses pribadi dari komputer di ruangan sebelumnya?" tanya Lazudi dengan hati-hati.
"Maksudnya di ruangan yang sekarang ditempati Pak Bastian?" ulang Isyana memperjelas.
"Betul, Bu Isya. Karena kalau akses tanda tangan berkas virtual masih belum ditutup, besar kemungkinan hal ini bisa terjadi tanpa sepengetahuan Bu Isyana," jelas Lazudi.
"Tapi, mana mungkin Pak Bastian yang menggunakan data pribadiku," Isyana menyangkal sekaligus tidak percaya.
"Sebaiknya Bu Isyana segera mengecek. Atau, mungkin bisa dengan menelepon Pak Bastian," saran Lazudi.
"Baiklah. Terima kasih informasinya Pak Lazudi. Aku akan segera mengeceknya." Panggilan ditutup, Isyana mengganti dengan panggilan ke Bastian.
"Argh, sial!" Isyana melempar ponselnya ke atas kasur. Hal itu karena Bastian tidak bisa dihubungi.
Dalam keadaan seperti ini, Isyana bingung harus mempercayai siapa. Hingga akhirnya dia sendiri yang memutuskan untuk pergi ke kantor dan mengeceknya.
Buru-buru Isyana meraih outer untuk menutupi pakaian tidurnya. Dia tidak ada waktu untuk berganti pakaian.
Pak Sunip diperintahkan untuk mengantarnya ke kantor. Lula pun diteleponnya untuk mendampingi. Walau dia tidak yakin sekretarisnya bisa datang bersamaan dengannya. Karena jarak rumah sekretarisnya ke kantor dibanding dirinya, lebih jauh Lula.
Sesampainya di kantor, Isyana menerobos sekuriti dan meninggalkan keheranan. Pak Sunip yang sempat mencuri dengar percakapan Isyana dengan Lula, mencoba menjelaskan sebisanya kepada sekuriti di depan.
Isyana masih punya akses ke ruangan manager QA. Namun, saat menekan kode, kombinasi angka tersebut salah.
Pasti Bastian sudah menggantinya!
Beberapa saat kemudian Lula datang. Melihat atasannya panik, dengan segera Lula mencoba meretas kode keamanan pintu itu.
"Kamu bisa melakukannya?" tanya Isyana keheranan.
"Khusus untuk kepentingan Bu Isyana saja, ya. Tolong jangan beritahu siapapun." Lula nampak ketakutan kalau kemampuannya itu dipermasalahkan oleh Isyana.
"Dengan syarat tidak dilakukan di luar perintahku," lanjut Isyana.
Pintu ruangan Bastian terbuka. Isyana langsung menyalakan komputer yang ada di sana.
"Password lagi, Lula." Isyana menoleh ke arah Lula.
"Biar aku selesaikan." Dengan gerakan jemari yang cepat, Lula kembali berhasil membuka kunci komputer di meja Bastian.
Hingga saat Isyana akan membuka akun pribadinya, suara berat terdengar di balik pintu.
"Halo, Sayang. Kamu sedang sibuk apa dengan benda-benda di ruanganku?"