Chereads / Batas Kebencian / Chapter 14 - Fakta yang Tertutup

Chapter 14 - Fakta yang Tertutup

"Maafkan Om yang mengundurkan diri secara tiba-tiba. Om jadi sangat merepotkan kamu dengan jabatan itu."

Pagi sekali, ponsel Isyana terus menari di atas nakas. Hal itu cukup mengganggu permulaan harinya. Isyana mengabaikan sampai ia selesai mandi dan merias diri. Baru setelah ia duduk manis di meja makan, ia mengangkat telepon dari Om Willy sembari menikmati sarapannya.

"Aku tidak apa-apa, Om Willy. Aku anggap sebagai pengalaman baru. Yang penting sekarang, Om Willy sudah lebih tenang dan bisa fokus selesaikan masalah yang Om punya." Isyana menyelendangkan tasnya di pundak kiri lalu berjalan menuju carport. Setelah tersenyum dan mengangguk kepada Pak Sunip, ia pun masuk ke dalam mobil.

"Karena posisi GM tidak mungkin terus kosong, Om sudah menunjuk seseorang yang kompeten untuk bertanggung jawab di jabatan tersebut."

"Oh ya? Siapa?" Isyana merapikan poninya yang baru dipotong.

"Bukan anggota keluarga kita. Jadi, biar nanti kamu berkenalan saja. Hari ini, ia sudah mulai bekerja."

"Orang asing, Om? Memangnya boleh?" Isyana menghentikan semua gerakannya. Akhirnya ia terfokus pada pembicaraan dengan Om Willy yang dipikir hanya basa basi saja.

"Tidak masalah. Asalkan masih satu ideologi dengan keluarga Hanggara. Betul begitu, kan, Sya?"

Isyana belum menanggapi pernyataan Om Willy. Jujur saja, ia ragu atas keputusan adik dari ayahnya tersebut. Kakek Goban dan leluhurnya yang mendirikan semua perusahaan, tidak pernah mengubah satu aturan baku tentang siapa yang berhak menduduki jabatan penting: harus anggota keluarga.

"Isyana, dalam permainan game pun, pasti ada satu kali cheat yang bisa kita lakukan. Lagipula, posisi GM tidak terlalu mempengaruhi kebijakan yang penting. Pemegang keputusan tertinggi tetap ada di Presdir. Benar, kan, Sya?"

Isyana tahu persis Om Willy sedang mencari pembenaran akan tindakannya. Karena pengganti GM sudah mulai bekerja hari ini, maka tidak mungkin bila kontrak dibatalkan begitu saja. Bila Om Willy lakukan itu, rumor akan beredar di kalangan petinggi perusahaan lain dan tidak menutup kemungkinan, media pun akan meliput bila pihak yang dirugikan membesarkan masalah ini. Isyana bergidik membayangkan hal itu. Reputasinya pasti akan terbawa buruk. Terlebih ini adalah perusahaan yang dipercayakan oleh Kakek Goban.

"Semoga GM baru bisa bekerja sama dengan baik, ya, Om." Isyana ingin segera mengakhiri pembicaraan dengan Om Willy.

"Tenang saja, Isya. Om Damori sudah diberi tahu soal kabar ini. Tidak masalah katanya."

Isyana menghela napas setelah percakapannya lewat telepon selesai. Ia memasukan gawai ke dalam tasnya. Sambil menggigiti ujung kuku, ia menatap kosong ke arah jalanan. Isyana tidak suka orang asing masuk ke dalam dinastinya. Ia juga tidak suka bila harus melanggar aturan. Kesempurnaan adalah segalanya. Orang lain mungkin berpikir tidak apa-apa karena yang dilanggar hanya 1 aturan, tetapi baginya, itu cukup membuat resah.

Ini hari pertama dia masuk kerja, ya, gumam Isyana dalam hati. Sekelebat niat jahat teruntun dalam benaknya. Isyana tersenyum sinis. Kita lihat saja selama apa orang itu akan bertahan di perusahaanku, lanjut Isyana yang terus saja berkata dengan diri sendiri.

Mobil berhenti di pelataran. Isyana yang tidak sabar, membiarkan dirinya untuk membuka pintu tanpa dibantu Pak Sunip. Ia berjalan tergesa menuju kantornya dan mengabaikan sapaan dari pegawai lain yang sudah datang lebih dulu.

Ketika sudah masuk ke dalam lift, ia tersadar dan mengurungkan niat untuk menekan tombol lantai GM. Rasa kesalnya hampir saja membuat dirinya melakukan hal yang tidak layak. Enak saja, GM baru itu yang seharusnya menghampirinya sebagai atasan. Kembali Isyana tersenyum sinis setelah menekan tombol lift yang seharusnya.

Pintu lift terbuka di lantai 3. Isyana yang sedang memejamkan mata untuk menunggu kotak katrol itu membawanya ke lantai 4, sontak terbelalak.

"Selamat pagi, Bu Isyana," sapa pria yang kemudian masuk ke dalam lift.

"Kamu cari aku? Aku kan sudah cerita kalau aku pindah ke lantai 4," ujar Isyana sambil menatap lekat pada sosok yang selalu membuatnya terpana. Bastian.

Bastian tersenyum lalu berdiri bersampingan dengan Isyana. Ia membiarkan gadis itu mengamatinya dengan tatapan heran. "Kenapa? Aku cukup rapi kan sebagai General Manager Hang-G Automotive?"

~~~

"APA?!" Rey menggebrak meja. Rinka yang mendengar, langsung masuk tanpa permisi ke ruangan atasannya.

"Ada apa, Pak Rey?" tanyanya panik. Ketika melihat Rey melambaikan tangannya, Rinka pun menutup pintu dan kembali ke mejanya.

"Tolong awasi terus. Ingat, jangan sampai ketahuan," perintah Rey lalu menutup teleponnya.

Rey menghempaskan tubuh ke kursi. Kedua tangannya memegangi kepala. Ia kemudian memutar kursi untuk melihat ke arah kaca di sisi gedung. Ini masih terlalu pagi untuk mengetahui kabar buruk. Mood-nya untuk memulai bekerja, drop dengan sempurna.

Kedua kakinya memutarkan kursi ke arah meja. Tangannya dengan sigap menyalakan MacBook pro. Tidak lama, ia membaca daftar agenda kerjanya hari ini. List tersebut sudah dikirim oleh Rinka sebelum ia sampai di kantor. Perlahan, Rey men-scroll layar. Sial, semua agendanya sangat penting. Jelas ia tidak bisa seenaknya men-cancel.

Rey menendang laci meja. Kegaduhan yang dibuat untuk kedua kalinya, lagi-lagi menarik Rinka masuk ke ruangan.

"Pak Rey butuh ice americano?" tawar Rinka. Sejak suara gebrakan meja tadi, Rinka sudah dapat menerka bahwa atasannya sedang dalam keadaan kurang baik.

"Yes, please."

Dengan segera, Rinka keluar lalu menelepon layanan pesan antar. Selang beberapa menit, Rinka kembali mengetuk dan masuk untuk memberikan pesanan Rey. Kali ini, Rey terlihat lebih tenang meskipun ekspresi wajahnya masih kusut.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak Rey?" tawar Rinka sebelum keluar dari ruangan itu. Ketika jawaban yang didapat oleh Rinka hanya gelengan, ia kembali berkata,"Bukan sebagai sekretaris, tapi sebagai teman cerita."

Kepala Rey mendongak dengan bibir yang masih mencapit sedotan. Ia meneguk sisa cairan yang masih ada pada sedotan lalu melepaskan dari mulutnya. "Maksud kamu?"

"Maaf, Pak Rey. Saya tidak berniat lancang. Saya pikir, Pak Rey belakangan ini sedang butuh teman bicara." Nada gugup terdengar dari bibir mungil Rinka.

"Memangnya kamu mau menemani saya menikmati Dolcetto D'alba malam ini?" Seketika Rey merasa dirinya mulai lost control. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. "Sorry, Rinka. Saya tidak bermaksud─"

"Kalau Pak Rey mau, saya tidak keberatan."

Jawaban Rinka sungguh di luar dugaan. Rey menelan air liurnya.

~~~

Isyana mengetuk-ngetuk jemarinya pada meja. Ia masih belum bisa berpikir jernih setelah apa yang dihadapinya tadi pagi. Niat buruknya untuk mengerjai GM baru yang ditunjuk oleh Om Willy, menguap begitu saja. Sudah pasti tidak terlaksana karena yang menduduki posisi tersebut adalah pacarnya sendiri.

Semua orang menyambut Bastian dengan hangat. Meskipun ia tahu, beberapa di antara para staf ada yang berbisik negatif. Jangankan orang lain, dirinya sendiri saja kebingungan harus berekspresi seperti apa. Di satu sisi, ia kesal, kenapa harus Bastian. Di sisi lain, ia senang karena GM baru yang menggantikannya bukan orang asing yang tidak bisa dipercaya.

Drrrttt.

Lirikan Isyana tertuju pada benda kotak di atas meja. Ia tidak berniat meraihnya karena notifikasi pada layar bisa menunjukkan isi pesan yang masuk. Selain itu, ia juga malas menanggapi si pengirim pesan. Siapa lagi kalau bukan dari Reytama. Secepat itu ya informasi mengenai Bastian sampai ke telinga Rey?

Sementara di kantor Rey, lelaki itu masih sangat gusar. Terlebih saat pesannya diabaikan oleh Isyana. Namun, ia mencoba menunggu. Mungkin kakaknya masih sibuk merayakan kebahagiaannya.

Sayangnya, Rey tidak sesabar itu. Lima belas menit berselang, ia meraih ponselnya dan menekan panggilan cepat. Belum sempat dering pertama, Rey tersadar.

Bukannya, ini bagus. Isyana melanggar aturan baku mengenai siapa yang pantas duduk di jabatan tinggi pada setiap Hanggara Group. Dengan begitu, kredibilitas kakaknya akan menurun di mata Bara dan bahkan Kakek Goban. Ia memutar-mutar ponselnya sembari tersenyum senang.

Namun, kata-kata Om Braw tiba-tiba saja berkelebat dalam ingatannya. Kembali Rey menegakkan tubuh dan menegang. Rey melonggarkan dasinya. Hari ini benar-benar kacau. Saat meeting tadi siang pun, ia tidak berkonsentrasi. Untung saja Rinka bisa meng-handle keputusan sesuai dengan pemikirannya. Kalau tidak, ia mungkin akan asal mengangguk tanpa memahami jelas perihal detail isi rapat yang dilaksanakan.

"Sayaaang!" Teriakan ceria muncul di ujung pintu. Rey memaksakan bibirnya untuk mengulum senyum. "Kamu cape banget kayaknya ya, Sayang. Wajahnya kusut." Mita mengahmpiri Rey lalu dengan manjanya duduk dipangkuan lelaki itu.

Rinka yang menatap dengan ujung matanya, lantas memalingkan pandangan.

"Dinner di apartemenku, yuk. Aku mau pamer kemampuan baru aku." Mita memainkan dasi Rey dan membuatnya semakin longgar.

"Apa? Kamu belajar memasak?" terka Rey.

Mita langsung mengecup bibir Rey karena jawaban pacarnya itu benar. "You must proud of me, Baby."

"Sayangnya aku sudah ada janji dengan klien. Kamu telat, sih." Rey mencolek hidung Mita yang refleks cemberut karena penolakan tersebut. "Kita cari churros saja sepulang aku kerja, how?"

Mita terlihat menimbang-nimbang tawaran Rey. Akhirnya ia pun menjawab,"Ya sudah kalau gitu. Kamu coba masakan aku kan bisa besok lusa, ya. Pekerjaanmu lebih penting."

Rey melirik ke arah jam kecil yang ada di meja kerjanya. "Pulang sekarang?" Setelah melihat Mita mengangguk dan turun dari pangkuan Rey, ia pun merapikan barang-barangnya.

Suara langkah kaki Mita terdengar mendahului. Rey yang berjalan di belakang Mita, lantas berkata kepada Rinka, "Saya tunggu jam 8 malam, ya."

Sontak Mita menoleh ke belakang, tepatnya ke arah Rey dan Rinka yang sedang berbincang, "Kamu ketemu klien ditemani sama sekretaris? Tumben." Tatapan selidik diarahkan kepada lelaki itu.

"Rinka lebih paham soal ini. Jadi, aku butuh dia." Jawaban Rey hanya diabaikan oleh Mita. Gadis itu melanjutkan berjalan ke arah lift. "See you, Rin." Rey mengerling ke arah Rinka.

Sesaat sebelum Rey masuk ke dalam mobilnya, ia merogoh saku lalu mengeluarkan ponselnya yang bergetar. Langkahnya dibuat perlahan karena pesan yang muncul membuat ia berpikir keras.

'Bagaimana kalau Pak Rey menanyakan tentang Bastian kepada Mita.'

Rey semakin penasaran terhadap Rinka. Sebenarnya, seberapa banyak yang sekretarisnya ketahui tentang masalah ini?