"Kamu nggak akan telat ketemu klien?" tanya Mita sambil menoleh ke arah Rey.
Rey hanya mengangkat bahu. Lagi pula, dia bukan mau bertemu dengan klien. Tidak masalah kalau terlambat. Diamnya Rey sebetulnya mencari aman agar kebohongannya tidak terendus oleh Mita.
"Tadi kan kamu janjian dengan Rinka. Suruh dia saja yang datang duluan menemui klien," saran Mita. "Atau, dia saja yang menghadapi klien. Kamu, pacarku tersayang ini, menginap di apartemenku." Mita terlihat sangat menginginkan kehadiran Rey. Terlihat dari gestur selama di dalam mobil.
Mita menyingkap sedikit dress-nya, sesekali mengangkat kakinya, dan sentuhan nakal yang ditujukan pada Rey selama menghadapi kemacetan. Rey tidak bodoh. Ia tahu kalau Mita sedang meminta sesuatu.
Tidak, Rey tidak boleh tergoda. Walaupun ia tidak tahu bagaimana rasanya dengan Mita (ingat tragedi terbangun tanpa busana tetapi tidak mengingat apa-apa?), Rey sedang lebih tertarik untuk bertemu dengan Rinka malam ini.
Rasa penasaran akan pembahasan dengan Rinka lebih menggoda ketimbang gadis murahan yang masih berstatus kekasihnya. Ya, maaf saja kalau Rey sempat menyematkan gelar itu pada Mita. Hal yang dilihatnya sebelum keberangkatan ke Paris, masih terekam jelas dalam ingatan.
Kalau bukan karena rasa sayang yang masih Rey miliki dan ada hal lain yang ingin ia korek dari gadis itu, mungkin saat ini Rey sudah menyuruh Mita naik taksi online saja dan bergegas berbalik arah ke rumahnya. Rey sekuat tenaga menahan gejolak yang sedang bergelut dalam dirinya.
"Belakangan ini kamu sering diam dan seperti tidak tertarik padaku," rengek Mita. "Kamu masih membenciku, ya?"
Rey tersenyum simpul menanggapi pernyataan Mita. "Kalau aku benci sama kamu, aku nggak bakal ada di sini untuk antar kamu pulang."
"Lalu?"
"Lalu apa? Mau ini?" Rey mencondongkan tubuhnya ke arah Mita. Bibirnya lantas menyentuh bibir gadis itu.
"Ini pertama kalinya kamu menciumku lagi setelah kejadian itu, setelah kita balikan." Mita bersemu merah. Entah karena lampu belakang mobil di depan mereka yang memantul ke kaca, atau memang benar-benar merona.
"Ah, pewarna bibirmu jadinya menempel padaku, Honey. Bagaimana kalau terlihat oleh klien nanti?" Rey menggosok-gosok mulutnya dengan tangan kiri.
"Klien kamu laki-laki atau perempuan?" Mita menyipitkan matanya.
"Memang apa bedanya kalau klienku laki-laki atau perempuan?" Rey malah balik bertanya dan itu membuat Mita mengerucutkan bibirnya.
"Kalau laki-laki, aku akan bantu kamu menghapusnya, Sayang. Kalau perempuan, akan aku biarkan ada di sana. Bahkan akan aku tambah saja di tempat lain."
"Hey!" Rey menghindar dari gerakan tiba-tiba Mita. Meskipun dia tahu kalau Mita tidak serius akan ucapannya.
"Klienku perempuan dan laki-laki. Bagaimana kalau begitu?" Rey masih mencoba menggosok mulutnya sambil sesekali bercermin pada spion. Ya, Rey sepanik itu.
Yang Rey tahu, lipstik Mita memang awet. Harusnya dia sadar kalau awet di bibir Mita maka tidak akan menempel di bibirnya juga.
Sebetulnya ini bukan perkara penampilan. Rey hanya tidak ingin ketika bertemu dengan Rinka nanti, ada jejak Mita yang membuat Rinka mengernyit dan jijik padanya.
Eh, sebentar, dia kan bisa dengan santai mandi terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Rinka? Ah, kenapa dia panik sekali karena hal ini!
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Mita yang terheran-heran menatap perubahan air muka Rey. Pria itu tiba-tiba saja tersenyum manis seolah sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan. "Tidak ada bekas lipstikku, kok. Kamu tenang saja."
"Yes, Honey. I knew it."
Situasi kembali hening meski tangan Mita tidak berhenti menyentuh Rey. Untung saja kaca mobil yang mereka tumpangi gelap, kalau tidak, keduanya akan menjadi tontonan menyenangkan gratis bagi para korban kemacetan sore itu.
Di tengah konsentrasi Rey yang agak terpecah, ia jadi ingat harus bertanya apa pada Mita.
"Honey, boleh aku tahu soal laki-laki itu?"
"Laki-laki yang mana?" Mita terasa gugup. Dia menarik tangannya dari tubuh Rey dan sekarang sedang duduk tegak menyandar pada kursi.
"Yang mengikatmu di apartemen. Yang membuatmu merintih karena terlalu cepat. Yang membuatmu berteriak karena--"
"Bastian. Bastian Malela," potong Mita karena kini, selain dia gugup, dia juga malu ketika tahu selama apa Rey mengamati hubungannya dengan Bastian.
"Siapa dia? Aku baru mendengar tetapi, namanya seperti tidak asing." Awal mula Rey tahu hubungan Mita dengan Bastian di belakangnya, Rey memang belum tahu siapa pria itu. Butuh waktu berhari-hari untuk mengetahuinya karena Rey hanya bermodalkan wajah.
Setelah ia meminta orang kepercayaannya untuk memata-matai Bastian saat pertemuan dengan Isyana di restoran beberapa waktu lalu, barulah Rey tahu siapa lelaki yang bisa membuat Mita sampai khilaf. Jujur saja, Rey insecure kala itu.
"Dia memang tidak asing di kalangan pebisnis. Di dunia aviasi, pasti banyak yang mengenalnya. Katanya sekarang dia sedang merambah ke dunia automotive juga," papar Mita.
"Dia pacar keduamu?" sindir Rey.
"Bukan. Pacarku hanya kamu. Dia mantan pacarku sebelum aku dan kamu bertemu."
"Kamu masih menyukainya?" Rey sengaja mengalihkan dengan pertanyaan yang terdengar seperti cemburu. Padahal, dia ingin mengorek hal lain. Siapa yang peduli kalau Mita masih menyukai lelaki itu. Yang penting sekarang, Mita adalah miliknya.
"Tidak. Waktu itu aku sedang mabuk. Lebih tepatnya dibuat mabuk."
"Kau bilang khilaf," sindir Rey lagi sembari melirik ke arah Mita yang sedang salah tingkah.
"Ya, aku sadar tidak sadar melakukannya, bukan karena aku masih mencintainya." Mita menghela napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. "Aku ada masalah saat di photoshoot di Maldives. Saat landing, aku sengaja pergi dulu ke klub, lalu aku berpapasan dengannya."
"Apa fungsinya aku saat itu ya? Padahal seharusnya akulah yang kamu temui saat ada masalah, bukan tempat seperti itu, bukan lelaki seperti itu juga!" Rey tiba-tiba saja terbawa emosi. Terlepas jujur atau tidaknya pengakuan Mita, ada darahnya yang mendidih.
"Ponselmu mati."
Rey jadi ingat kalau waktu itu ia memang sengaja mematikan ponselnya. Tujuannya untuk pura-pura menghilang saat ulang tahun Mita. Ingin membuat kejutan, malah dirinya yang terkejut.
"Aku membawa barang-barang untuk mendekor apartemenmu. Namun ternyata apartemenmu sudah didekorasi oleh pakaian pria lain." Rey mulai berkata sarkas.
"Aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya, Rey," kata Mita tiba-tiba.
Dari sekian pernyataan yang dilontarkan oleh Mita, hanya kalimat itulah yang tidak paling tidak Rey percaya. Kini rasanya Rey menyesal karena harus mengetahui detail yang disebutkan oleh Mita.
"Yes, Honey, aku percaya." Kebohongan sepertinya harus dibayar dengan kebohongan juga. Tidak mungkin Rey bisa percaya pada bibir merah Mita begitu saja.
Mereka akhirnya selesai juga menerjang kemacetan. Mobil Rey masuk ke pelataran parkir apartemen.
"Benar kamu tidak apa-apa terlambat menemui klien?" tanya Mita ragu. Dia mendadak tidak enak hati. "Antarkan aku sampai di sini saja, atau cancel saja bertemu dengan klien dan mainlah ke apartemenku."
"Maaf Mita, aku tidak bisa."
Tiba-tiba ponsel Rey berbunyi. Mita mengintip pesan yang muncul di layar ponsel Rey.
"Kenapa Rinka mengirim pesan kalau dia sudah sampai rumahmu, Rey?"
Rey pun gelagapan.