"Aku tidak terima kalau kamu membalas pengkhianatan diriku dengan cara seperti ini." Bibir Mita bergetar. Dia yang sedari tadi tidak kehilangan rona di wajahnya, kini menatap dengan penuh kelu. "Aku tidak sudi kamu ada hubungan dengan sekretarismu itu!"
Rey tersenyum sinis.
"Kamu ada hubungan dengan Rinka, Rey?" Mita setengah membentak.
"Iya, ada. Sebagai seorang atasan dan sekretarisnya," jawab Rey usil. Dia masih tidak bisa menyembunyikan senyum tipisnya. Ingin rasanya terus melihat Mita cemburu seperti ini.
"Rey, aku serius! Kamu bohong kan padaku? Sebetulnya kamu ada janji dengan Rinka, kan? Bukan dengan klien?!" Tantrumnya Mita membuat beberapa orang di sekitar mereka menatap perseteruan tersebut.
Rey tidak pandai berbohong. Namun, kali ini dia akan berusaha. Selain karena yang akan dilakukannya dengan Rinka bukan hal negatif seperti yang Mita bayangkan, ada hal lain yang lebih penting daripada hubungan percintaan.
"Aku harus menjawab pertanyaan yang mana dulu? Pertanyaanmu banyak sekali, Honey." Rey menyentuh ujung dagu Mita, tetapi ditepis oleh gadis itu.
"Jawab semuanya." Ada yang panas di kedua mata Mita. Ternyata dia bisa juga menangis karena takut kehilangan Rey.
Rey menghela napas dalam. "Oke. Aku jelaskan. Aku tidak ada hubungan seperti yang kamu pikirkan."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Pertanyaanku bukan itu saja. Jawab yang lainnya," rengek Mita.
"Aku sudah merangkum semua jawaban dari pertanyaanmu yang bertumpuk itu. Percayalah padaku kalau aku memang hanya sebatas bos dan sekretaris dengan Rinka," papar Rey.
"Lalu kenapa Rinka ada di rumahmu?" selidik Mita lagi.
"Aku menyuruhnya ke rumah karena ada berkas yang tertinggal. Selain itu, aku perlu pakaian baru. Aku tidak akan sempat pulang ke rumah untuk mempersiapkan semuanya." Rey merasa bangga karena dia punya alasan logis untuk mengurangi kecurigaan Mita.
Mita meniupkan udara lewat bibirnya. "Oke, aku percaya."
"Clear, ya, Honey. Aku sudah terlambat." Rey sempat mengecup kening Mita sebelum meninggalkannya.
"Chat aku kalau kamu sudah sampai, Rey!" ujar Mita sambil setengah berteriak.
Rey mendengar ujaran Mita, tetapi dia tidak menjawab bahkan menoleh. Pikirannya sudah tertuju pada Rinka yang ternyata sudah ada di rumahnya.
Di jalan, Rey menelepon Rinka.
"Sorry sudah membuatmu menunggu," ujarnya sesaat setelah Rinka menerima panggilannya.
It's okay, Pak Rey. Aku punya banyak waktu luang untuk malam ini. Bahkan kalau bapak meminta untuk menginap, aku siap." Ada tawa kecil di ujung kalimatnya.
"Rinka...."
"Ya, Rey. Kenapa? Kalimat tadi terdengar seperti godaan sekretaris yang nakal, ya?" Rinka terkekeh setelah itu. "Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal yang aneh denganmu, Rey."
"Bukan begitu, Rin. Aku yang harusnya khawatir. Bagaimana kalau aku yang tidak tahan dengan kehadiranmu dan bagaimana kalau malah aku yang menginginkanmu," celetuk Rey. Entah itu berasal dari hatinya atau dia hanya iseng, tanggapan Rinka di luar dugaan.
"Mudah saja. Tinggalkan Mita dan jadikan aku kekasihmu."
"Hahaha, kau ini!" Kini giliran Rey yang terbahak. "Nanti, ya. Kita masih butuh gadis itu."
"Ya, betul sekali. Kita masih membutuhkan Mita. Oleh sebab itu, jangan sampai hubungan kalian renggang." Mita berkata dengan serius.
Rey jadi ingat kejadian tadi. Sepertinya dia harus mengirim pesan atau bahkan menelepon Mita setelah dia sampai. Benar kata Rinka, jangan sampai dia putus dan bermasalah dengan Mita sebelum tujuannya tercapai.
"Aku tutup teleponnya, ya, Rey. Aku lapar," ujar Rinka tiba-tiba.
"Kamu mau pesan makanan atau meminta asistenku untuk menyiapkan makanan untukmu?" tawar Rey.
"Sebetulnya, aku sudah meminta terlebih dahulu. Aku kan tamu, Rey. Masa tuan rumah membiarkan tamunya menunggu sambil kelaparan." Kembali Rinka terkekeh.
Rey tidak tahu kalau gadis tersebut semenyenangkan itu. Selama ia jadi sekretarisnya, tidak pernah ada kalimat kasual begitu. Bahkan gestur dan sikap Rinka selalu profesional.
"Makanlah yang banyak. Kalau kurang enak, pesan saja ke luar. Tagihannya kirim ke kantor saja," saran Rey.
"Baik, Pak Rey. Terima kasih atas jamuannya."
"Nanti setelah aku sampai rumah dan mandi, kamu yang harus menjamu aku, ya," goda Rey. Jujur saja, dia hanya usil.
"Maaf, Pak Rey, saya sedang datang bulan." Rinka menutup teleponnya.
Rey tergelak, bukan marah. Dia memang hanya bercanda dan Rinka pintar sekali membuat situasi menjadi renyah.
Dia jadi tidak sabar sampai rumah. Selain karena perlu teman bicara, hal yang ingin dibahas dengan Rinka adalah kemelutnya hari ini.
Untung saja jalanan sekarang tidak semacet saat mengantarkan Mita pulang. Rey pun bersiul selama dalam perjalanan.
Pelataran rumah Rey yang luas memperlihatkan mobil Rinka yang tengah terparkir di sana. Rey segera turun setelah sampai dan menyerahkan kunci kepada pegawainya yang sedang stand by.
Bergegas dia ke ruang tamu untuk menyapa Rinka.
"Aku mandi dulu," ujarnya sambil menoleh sedikit.
"Santai saja Pak Rey. Aku akan menunggu," jawab Rinka.
Sesaat Rey tersadar akan sesuatu. Dia kembali ke ruang tamu untuk memberi perintah lain pada Rinka.
"Ke ruang kerjaku sekarang, Rin. Kamu menunggu di sana saja. Kita juga bahas pekerjaan di sana saja." Ya, Rey ingat ada mesin pengawas yang akan terhubung langsung dengan orang tuanya dan itu tidaklah baik.
"Baik, Pak."
Rey jadi mengerti kenapa Rinka memanggilnya dengan sapaan sopan. Sekretarisnya itu memang tahu perihal CCTV yang ada di rumah Rey.
Selain kamar mandi dan kamar tidur, ruang kerja Rey pun tidak terekam CCTV. Meski jalan menuju ke sana tetap terlihat. Namun, Eylisa pasti tidak akan curiga kalau Rey membawa Rinka ke tempat kerjanya.
Setelah sebentar menunggu, Rey muncul ke hadapan Rinka dengan aroma kayu-kayuan yang menguar dari tubuhnya. Rinka sempat menelan ludah karena selain wangi, Rey berpakaian santai yang mana kausnya memperlihatkan cetakan dada bidang dan perut sixpack-nya.
"Apa tidak terlalu wangi untuk sekadar diam di rumah, Pak Rey?" tanya Rinka sebagai pengalihan pikirannya.
"Boleh tidak kamu tidak usah memanggil pak di sini. Aku merasa risih." Rey tidak menanggapi komentar Rinka.
"Okay." Rinka mengangguk sambil mengangkat kedua alisnya. "So, mau kita mulai dari mana, Rey?"
"Sejauh mana yang kamu ketahui, Rin?" Rey menghempaskan tubuhnya dengan nyaman ke atas sofa, sedangkan Rinka masih duduk dengan tegak.
"Ada yang mengatur agar Kak Isyana naik jabatan dan posisinya yang dulu disisipkan oleh orang lain." Rinka menyilangkan kakinya. "Oh, aku ralat, posisinya sekarang disisipkan oleh orang kepercayaan seseorang di sana."
"Lalu?"
"Awalnya aku mengira kalau itu adalah idemu, Rey. Kamu ingin menghancurkan Kak Isya dengan cara seperti itu. Namun, saat tahu kalau kamu tidak memiliki hubungan baik dengan Bastian, aku jadi yakin bukan kamu pelakunya." Rinka sekarang ikut menyandarkan punggungnya ke sofa.
"Dari mana kamu tahu akan semua ini?" Rey mendadak mencurigai Rinka. "Kenapa kamu bisa masuk terlalu dalam di Hanggara Group?"
"Aku minta maaf sebelumnya kalau aku lancang. Namun, aku memang sedang mencari tahu sesuatu yang berhubungan dengan keluargaku," jawab Rinka. Wajahnya tiba-tiba tegang.
"Keluargamu?" ulang Rey.
"Kita bahas ini belakangan, ya, Rey. Aku janji, aku akan menceritakannya. Sekarang, biar aku sampaikan apa yang aku ketahui." Rinka sudah siap membuka semuanya untuk Rey. Tentu saja dia punya alasan akan hal itu.
"Oke, aku akan ulang pertanyaanku, dari mana kamu bisa tahu hal yang tidak aku tahu padahal aku menaruh mata-mata di Hang-G Automotive." Rey terbawa suasana tegang.
"Aku melalukan hal yang sama denganmu, Rey." Rinka menjawab sambil tersenyum.
"Apa? How could?"
"Sayangnya, orang kepercayaan yang kamu simpan di Hang-G Automotive tidak secerdas orangku." Rinka mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum menyindir.