Beberapa pegawai membantu memindahkan barang-barang Isyana ke ruangannya yang baru. Lula yang masih kebingungan akan posisinya, masih terpaku menatap meja kerja atasannya yang mulai kosong. Melihat sekretarisnya yang hanya bengong, Isyana menghampiri lalu menyenggol lengannya.
"Kamu mau bawa barang-barang ini sendirian?" tanya Isyana sambil menunjuk ke arah meja kerja Lula.
Lula memperbaiki letak kacamatanya. Ia sebenarnya mengerti akan pertanyaan Isyana, tetapi masih ada ragu dalam dirinya. "Maksudnya, Bu?"
"Ya kamu mau pindahan sendiri atau dibantu oleh OB?" Isyana memutar bola matanya lalu melipat kedua lengannya di dada. Melihat tidak ada respon dari Lula, kembali ia berkata,"Masih mau jadi sekretaris saya, tidak?"
"Mau, Bu. Mau." Lula mengangguk gugup meskipun tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Ia pun menghampiri salah satu OB lalu meminta untuk mengangkut barangnya juga.
Hari ini memang tidak ada agenda penting dan pekerjaan rumit yang harus diselesaikan. Itu lah alasan mengapa Isyana memanfatkan waktu santainya untuk pindah. Terhitung hari ini, ia memang sudah harus memulai mengambil alih segala wewenang dan pekerjaan sebagai Vice President. Karena ia tahu seberapa berat posisi tersebut, ia menolak perayaan akan dirinya. Padahal, beberapa staf dan bahkan Presdir pun menawarkan hal tersebut.
Selain karena ia merasa beban pekerjaannya akan semakin berat, Isyana pun berpikir bahwa mendapatkan jabatan dengan cara seperti ini rasa-rasanya tidak lazim untuk dirayakan. Ia tidak menganggap bahwa ini sebuah prestasi. Pergeseran kekuasaan tanpa melalui rapat dewan direksi berarti bukan terpilih karena diinginkan oleh banyak orang, tetapi karena keadaan yang mendesak. Isyana malu bila harus berhura-hura karena jabatan barunya.
Suara berisik terdengar kencang dari balik lift. Ketika pintu lift terbuka, Isyana mendapati Rey sedang membawa buket bunga di tangannya. Di sebelah kanan dan kiri Rey ada seorang yang memegang sekaligus meniup terompet dan satunya lagi membawakan kue tart. Tiga orang itu menghampiri Isyana yang belum selesai membereskan kepindahannya.
"Selamat Kak Isya karena sudah diangkat menjadi Vice President di Hang-G Automotive." Rey menyodorkan buket bunga yang kemudian disambut dengan senyum ceria dari Isyana. Kue tart yang dibawa oleh ─entah siapa Isyana tidak mengenalnya─ diberikan kepada Lula yang sama terkejutnya seperti Isyana.
"Terima kasih, Adik kesayanganku." Isyana menyambut kecupan di pipi yang diberikan oleh Rey. Lalu, ia berbisik menyebalkan,"Sayangnya aku sedang tidak suka perayaan."
Rey tahu persis akan reaksi kakaknya. Ia hanya tersenyum seolah tidak peduli bila usahanya membuat Isyana bahagia ini tidak berhasil. Ada hal lain yang ingin ia bicarakan dengan Isyana. Itu lah alasan di balik kejutan yang diberikan, karena dirasa tidak mungkin bila ia tiba-tiba datang tanpa terlihat harmonis ─dan tentunya tanpa memberikan ucapan selamat yang heboh. Bila seperti itu, pasti muncul gunjingan dan tanda tanya besar. Belum lagi, ia tidak ingin disangka iri karena naiknya jabatan Isyana.
"Beres-beresnya belum selesai, Kak?" Rey menyapukan pandangannya. Banyaknya pegawai yang mondar-mandir membawa barang, sebenarnya cukup menjawab pertanyaan Rey. "Padahal aku ingin mencoba duduk di ruangan Vice President."
"Merayakan dengan traktiran makan siang sepertinya kurang fancy ya, Kak," ujar Rey lagi.
"Iya. Lagipula aku sudah ada janji makan siang dengan seseorang," balas Isyana.
Jantung Rey tiba-tiba saja berdebar. Ia menatap telisik ke arah Isyana. Dari kalimat kakaknya, ia yakin bahwa Bastian lah yang akan menemaninya makan siang. "Tapi, makan siang sepertinya seru juga, Kak. Kita makan siang saja, deh."
"Rey, aku kan sudah bilang tidak bisa." Isyana melirik kasar ke arah Rey. "Nanti malam saja kita wine party," ajak Isyana sambil mengerling.
"Aku penginnya sekarang, Kakak," rengek Rey.
Tingkah adiknya membuat Isyana penasaran. Sepertinya bukan serta merta ingin memberikan perayaan dan makan siang bersama. Ia yakin, ada hal yang ingin dibicarakan oleh Rey.
"Ruanganku yang dulu sudah kosong." Isyana menatap sekeliling. "Sembari menunggu ruangan baruku selesai dirapikan, bagaimana kalau kita makan tart-nya di sini saja."
Mata Rey berbinar saat tahu Kakaknya mengerti kode rumit yang ia lemparkan. "Ide bagus, Kak!" soraknya gembira. Lalu, ia melirik ke arah Lula. "Eh, ada Lula. Kamu mau cake?"
Lula menggeleng.
"Bagus! Kue yang dibuat dengan banyak telur di dalamnya tidak cocok untuk menjaga keidealan tubuh. Kamu udah langsing, nanti kalau gemuk kan nggak lucu lagi," goda Rey sambil mencolek pipi Lula.
"Astaga, Rey." Isyana memukul kepala adiknya pelan. "Kamu udah punya pacar, masih aja ganjen."
"Sakit, Kak." Rey mengusap kepalanya. Kemudian menoleh ke arah Lula. "Semoga kamu betah ya menjadi sekretaris Bu Isya yang galak ini," ujarnya kepada Lula sambil tetap tersenyum nakal.
Baik Lula maupun Isyana, keduanya tidak menanggapi. Isyana pun masuk ke dalam ruangannya dan menekan tombol privasi. Rey kemudian menyusul sambil membawa kue tart dan membiarkan pintu tertutup.
Ruangan kosong yang mereka isi memberikan gema pada langkah kaki keduanya. Rey duduk di seberang Isyana setelah meletakkan kue di atas meja yang membatasi kaki mereka.
"Cepat katakan, aku tidak ingin terlambat makan siang." Isyana menumpangkan sebelah kakinya lalu mengamati jemari tangannya. Sepertinya ia harus pedicure, pikir Isyana.
"Makan siang dengan si berengsek itu, ya?" tebak Rey. Kedua sikunya menopang pada lutut.
"Bastian Malela. Dia punya nama, Rey. Kamu kenapa sih? Dia kan sudah bilang tidak mengenalmu!" bentak Isyana.
Emosi Rey pun mulai tersulut. Padahal awalnya ia ingin sekali menyampaikan berbagai argumen yang sudah disiapkan dengan nada datar. "Dia pura-pura tidak kenal denganku, Kak Isya."
"Dia tidak kenal denganmu, Reytama. Mungkin yang punya masalah denganmu adalah sepupunya yang memiliki wajah yang mirip dengan Bastian," jelas Isyana mengutip sanggahan Bastian kemarin malam.
Rey tersenyum sinis. "Sepertinya Kakak tidak mengenal pacar baru Kakak dengan baik, ya." Rey membiarkan Isyana melotot kesal. "Bastian Malela. Ia adalah anak tunggal dari anak tunggal Ardoni Malela. Masih asing dengan nama itu?" Rey menyolek krim pada kue di meja lalu memasukkan ke dalam mulutnya. "Kata-kataku rumit ya, Kak? Baik aku perjelas. Bastian Malela adalah satu-satunya cucu Ardoni Malela, Presdir Armagh Company yang hingga saat ini memiliki saham penuh atas perusahaannya."
Karena tidak ada respon dari kakaknya, Rey pun melanjutkan, "Jadi, amat sangat tidak mungkin seorang Bastian punya sepupu. Ah, ya, susah sih kalau nggak memanfaatkan Google dengan baik dan benar."
"Terus, kamu ke sini cuma mau membahas bahwa ia musuhmu?" Isyana kesal karena waktunya terbuang oleh pembicaraan tidak penting dengan adiknya. Padahal, seharusnya ia sedang mengarahkan pegawainya untuk mendekor ruangan Vice President sesuai dengan keinginannya. Bukan seperti sekarang, ia biarkan dan sudah pasti hanya akan diletakkan tanpa estetika.
"Dia bukan orang baik. Cari pacar yang lain saja, Kak," ucap Rey yang membuat Isyana mendengus sebal.
"Kalau dia musuhmu, apa itu artinya musuhku juga? Tidak, kan?! Dia bermasalah denganmu bukan berarti menjadi orang yang tidak baik untukku!" sergah Isyana. Ia melihat jam pada pergelangan tangannya. "Aku mau pergi. Sudah, ya."
"Kak Isya!" Rey menahan Isyana dengan cara meraih tangannya. Sekarang keduanya sama-sama berdiri. "Tolong untuk kali ini percaya padaku." Entah harus menyatakan dengan tatapan seperti apa lagi hingga bisa membuat kakaknya mendengar ucapannya.
"Minggir!" Isyana menepis tangan Rey. Ia pun berjalan menjauh dan dengan cepat, Rey mengikuti. Isyana menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Jangan ikut campur pada urusan pribadiku."
Langkah kaki Rey terhenti. Rasanya memang sulit membuat Isyana percaya. Terlebih lagi, mereka memang tidak pernah memiliki hubungan yang baik. Mungkin Isyana tidak percaya karena ia mengira bahwa Rey mengada-ada.
"I warned you, Kak Isya," ucap Rey lirih.
~~~
Perkataan Rey cukup terekam jelas di ingatan Isyana. Meski terlihat tidak peduli, sebenarnya Isyana percaya dengan hasil pencarian profil Bastian dan keluarganya.
"Ada masalah, Sya?" tanya Bastian yang sedari tadi mengamati diamnya Isyana. "Apa makanannya tidak enak? Atau, kamu kurang sehat?"
Pertanyaan bertubi-tubi yang menurut Isyana terdengar seperti sebuah perhatian, membuat Isyana menggeleng lalu tersenyum. Ia pun menghapuskan rasa ragu dalam dirinya. Kalau memang yang bermasalah dengan Rey adalah pria di hadapannya, dan pria itu menutupi karena merasa tidak enak pada dirinya, it's not a big deal. Harusnya, ia tidak begitu peduli bila memang kedua laki-laki ini bertengkar.
"Ada yang ingin aku sampaikan. Tapi, melihat keadaanmu seperti ini, aku ragu untuk mengatakannya sekarang," ujar Bastian.
Dengan cepat Isyana memperlihatkan rasa penasarannya. Kata-kata Bastian dengan mudah memprovokasi keingintahuannya. "Aku baik-baik saja, sungguh. Katakan saja sekarang," pintanya.
"Lain kali saja. Kita cari waktu yang lebih nyaman." Bastian tersenyum lalu meneguk tehnya.
"Sekarang saja. Aku tidak suka insomnia karena penasaran," rajuk Isyana. Matanya terus memandang Bastian dengan tatapan memohon.
Melihat respon Isyana seperti itu, Bastian pun tersenyum lalu meraih tangan Isyana yang sedang ada di atas meja. "Aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku tidak sanggup untuk menahannya." Bastian sepertinya tidak mengetahui bagaimana cara Isyana menahan napas karena sentuhan darinya.
Isyana tidak ada keinginan untuk mendesak Bastian lagi. Ia tahu ada kalimat lanjutan yang harus ditunggu dengan sabar. Dengan ekspresi membeku, Isyana hanya terdiam menatap sorot mata Bastian yang terasa hangat.
"Aku menyukaimu." Terdengar helaan napas dari arah Bastian. "Sejak awal kita bertemu," lanjutnya. Ia balik memandang Isyana yang masih terdiam. Ia pun mulai bingung harus mengatakan apa lagi dan merasa bahwa Isyana sangat terkejut atas pernyataannya yang tidak jelas.
Keadaan hening. Yang tersisa di keduanya adalah suara denting piring dan sendok yang terdengar di sekitar. Bahkan riuh suara orang berbicara pun tidak ada. Keduanya tuli karena pikiran masing-masing.
Merasa tetap tidak ada respon dari Isyana, Bastian pun kembali memperjelas arah pembicaraanya. "Kamu mau jadi pacarku, Isyana?"
Sedari awal, Isyana tidak menolak tangannya digenggam oleh Bastian. Walau ia sadari, ada keringat yang terasa di antara kedua tangan mereka yang membuat dirinya tidak nyaman. Harusnya, Bastian paham kalau ia tidak menolak pernyataan yang diajukan oleh pria itu. Namun, sepertinya Bastian memang tipikal laki-laki pada umumnya yang tidak memahami isyarat atau pun kode seorang wanita. Akhirnya, dengan ragu, Isyana pun menanggapi pernyataan Bastian. "Bukannya kita sudah pacaran sejak kamu mengajakku makan malam, Bas?"
Kalimat Isyana membuat Bastian melepaskan genggamannya lalu meraih gelas dan meneguknya sekaligus. Isyana menutup mulutnya yang tertawa.
"Kamu bilang ke Ella kan kalau aku pacarmu," ujar Isyana. Ia memangku dagunya dengan tangan yang sempat digenggam oleh Bastian.
"Ella? Siapa dia?" Bastian semakin mengerutkan dahi.
"Resepsionis Hang-G Automotive." Isyana melihat mulut Bastian membulat. Ia pun semakin ingin tertawa sekaligus tersipu.
"Maafkan kelancanganku saat itu." Pernyataan Bastian kali ini tidak terdengar menyesal sama sekali. "Jadi?"
"Jadi apa?" goda Isyana. Ia kemudian mengangkat gelasnya dan mengarahkan ke Bastian. "Mau bersulang untuk hari jadi kita?"
Senyum bahagia menguar dari ekspresi Bastian. Ia langsung mengangkat gelasnya dan menempelkan pada gelas Isyana hingga terdengar dentingan. Mereka bersulang meskipun hanya disaksikan oleh Honey Tea yang sama-sama mereka pesan.
"Aku ingin nanti kita bersulang anggur," protes Isyana setelah meneguk habis minumannya.
"As your wish, My Queen."