Tergopoh-gopoh Lina menghampiri Rey yang sedang menyantap sarapannya. Omelete dan jus jeruk, itu adalah permintaan Rey setelah ia bangun tidur. Refleks Rey menoleh ke arah asisten rumah tangganya tersebut yang datang dengan gerakan terburu-buru.
"Ada apa?" tanya Rey setelah menelan gigitan omeletnya.
"Ada Non Mita, Tuan," jawab Lina sambil tersenyum tanpa dosa.
"Nggak usah disuruh masuk." Rey mengabaikan kabar dari Lina walaupun sebenarnya ada aliran panas di tubuhnya yang menjalar dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Sudah saya suruh masuk, Tuan. Sekarang Non Mita sedang menunggu di ruang tamu."
Rey menggaruk kesal rambutnya. Ia kemudian menyeka sudut bibirnya dengan tissue. "Lain kali nggak perlu disuruh masuk. Usir sekalian." Pernyataan Rey membuat Lina mengerutkan keningnya dan merasa tidak enak.
"Tapi Non Mita kan pacar Tuan Rey." Lina menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Oh, Tuan sedang bertengkar, ya?"
Tidak ingin menjawab, Rey pun bangkit dari kursinya dan berniat kembali masuk ke kamar. Namun, langkahnya terhenti oleh ucapan Lina.
"Sebaiknya selesaikan masalah Tuan. Tidak baik bila menghindar."
Dengan sekali hentak, Rey membalikkan badan. Ekspresi mukanya bisa dengan mudah diartikan oleh siapapun bahwa ia sedang gusar. "Masalahnya, saya tidak tahu harus bagaimana." Rey berharap Lina bisa memberikan lebih dari sekadar saran yang tadi.
Namun, yang diharapkan oleh Rey tidak ia dapatkan. Lina hanya berlalu sambil menggumamkan kata 'fighting' dengan pose khas di drama Korea. Rey hanya bisa menghela napas dalam dan berjalan perlahan ke arah ruang tamu. Beberapa meter sebelum sampai, ia merapikan pakaian dan juga wajahnya. Ia mengatur agar bisa menampilkan muka tegar padahal di dalam hatinya ambyar.
Pintu automatic terbuka bersamaan dengan Mita yang menoleh ke arah kedatangan Rey. Langsung Mita berlari dan memeluk Rey. Sesaat, Rey menikmati aroma tubuh Mita. Baru setelah menyadari bahwa itu salah, Rey mendorong pelan tubuh Mita menjauh.
"Ada apa kamu ke mari?" tanya Rey dingin. Lebih tepatnya, ia sedang menyembunyikan debar jantung yang tidak keruan karena pelukan tadi.
"Aku, aku minta maaf, Rey. Maaf." Mita menjatuhkan tubuhnya di lantai, menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan menangis.
Ini adalah kali pertama Rey melihat Mita menangis. Ditambah lagi, gadis itu menangis karena dirinya. Jujur saja, Rey lemah akan hal ini. Saat itu, satu hal yang terpikir oleh Rey: berbalik dan meninggalkan Mita. Baginya, tindakan tersebut bisa menahan dirinya untuk tidak menyeka air mata Mita lalu memeluknya.
Ketika Rey baru saja menggerakkan satu kakinya, ia tersentak karena lengan Mita meraih kedua kakinya. Kembali Mita memohon. Kali ini, kedua kaki Rey membeku tetapi hatinya mencair. Ia menunduk seraya meraih tangan Mita untuk melepaskan pegangannya. Ia pun berbalik dan mengangkat tubuh Mita agar berdiri.
"Satu kesempatan saja ya, Honey," ujar Rey. Kedua tangannya kini menangkup wajah Mita lalu menghapus air matanya. Belum puas dengan hanya menyeka, Rey mencium lembut bibir Mita.
Selemah itu memang seorang Reytama.
Mita mengangguk mendengar pernyataan kekasihnya. Rona bahagia menguar di wajahnya yang sedari tadi pucat. Tanpa ragu, ia memeluk erat Rey seraya berbisik, "Terima kasih, Sayang."
Kali ini, pada kesempatan yang diberikan untuk Mita, Rey tidak ingin lagi kecolongan. Ia harus lebih overprotective kepada Mita. Otaknya berputar saat ia masih berpelukan dengan Mita di ruang tamu. Satu hal yang terpikir olehnya hanya lah memberikan sopir pribadi untuk Mita. Setidaknya, ia bisa tahu kemana saja Mita pergi dan gadis itu tidak bisa dengan mudah bertemu dengan pria lain.
~~~
Mata Isyana masih tertuju pada Mawar Juliet yang bertengger di vas kecil pada meja kerjanya. Biasanya vas itu kosong, benar-benar pajangan saja. Kecuali bila Reytama datang dan mengoloknya, vas bening yang dibelinya saat liburan ke Roma pasti berisi mawar putih yang hanya bertahan satu minggu saja.
"Isyana Laurivia Hanggara, benar?"
Suara berat yang menyebut namanya dengan lengkap seolah menjadi nada yang terus berputar di telinganya. Padahal sudah lebih dari 24 jam sejak ia bertemu dengan sumber suara yang menggetarkan dadanya.
Pembicaraan setelah kejadian tubrukan di bandara tidak berlangsung lama. Pria itu hanya menyapa lalu berpamitan. Kesal, penasaran, dan gemas bercampur aduk dalam benak Isyana. Bahkan mungkin, ada bumbu perasaan aneh yang menyatu juga dengan kemelut dalam dirinya. Saat tadi pagi sepucuk surat dan setangkai Mawar Juliet disodorkan oleh Lula, bukan hanya vas kecilnya saja yang berbunga, dirinya pun sama.
'Semoga harimu indah, Nona Isyana. Dari seseorang yang kau tabrak di bandara.'
Ah, kesal sekali. Masih saja pria itu menuduh dirinya yang menabrak. Selain itu, sampai saat ini Isyana masih belum tahu siapa nama pria tersebut. Andaikan ia bisa mendapatkan namanya saja, dalam hitungan menit ia bisa mengetahui semua identitas pribadi pria tersebut. Ingatannya hanya mereka detail wajahnya, seperti bulu-bulu halus di sekitar pipinya, mata hitam pekatnya yang menatap tajam tetapi menyorotkan kelembutan, dan alisnya yang tebal. Ia pun masih ingat betapa tinggi pria tersebut sampai membuat dirinya dengan tinggi 175 cm harus mendongakkan kepala.
Argh! Kenapa tidak ada aplikasi yang bisa mentranformasikan memori otaknya ke dalam data digital Google sih!
Isyana menggerak-gerakkan kursinya ke kanan dan kiri. Sebelah kakinya ditumpangkan ke yang lain, dan tangannya menggenggam bolpoint yang sedang digigiti bagian atasnya. Ia tidak menyadari bahwa sedari tadi Lula sudah ada di depan pintu dan tengah memperhatikannya.
Melihat atasannya sedang melamun, Lula cukup sanksi untuk menegur. Meskipun Isyana melayangkan pandangan kosong sambil tersenyum sendiri, hal itu tetap saja membuat Lula tidak ingin mengganggu. Namun, email dari Presdir yang ia terima beberapa menit lalu, mau tidak mau harus dilaporkan segera kepada Isyana. Dengan langkah ragu, Lula pun bersiap bila ia dicecar karena keputusannya.
"Permisi, Bu Isyana," sapa Lula sambil tersenyum. Nampak Isyana masih berada di dunia imajinernya. Lula berdeham sebelum kembali memanggil atasannya yang seperti sedang jatuh cinta. "Permisi, Bu Isyana. saya─"
"Eh, kamu." Isyana menegakkan posisi duduknya. "Ada apa, Lula?" Ia meletakkan bolpoint setelah mengusap bagian atasnya dengan jemari.
"Saya tadi meneruskan email dari Pak Presdir. Karena belum ada notifikasi apa-apa dari Bu Isya, saya jadi kepo lalu─"
"Kamu baca TANPA persetujuan saya, begitu?" Penekanan di sebagian kalimat yang Isyana katakan membuat Lula merasa ada keringat yang mengalir di pelipisnya.
"Maaf, Bu. saya─"
"It's OK, Lula. Saya juga sedang malas membaca." Isyana memotong pembicaraan Lula lagi. Kali ini Lula berhasil dibuatnya terheran-heran. "So' apa isinya?" tanya Isyana dengan nada yang di luar espektasi sekretarisnya.
"Vice President mengundurkan diri pagi ini, jadi─"
"Apa? Om Willy mengundurkan diri?" Isyana membelalakkan matanya sambil berdiri. Lula pun kembali tidak merasa nyaman. "Biar aku tebak. Akan ada pemilihan Vice President dalam rapat dewan direksi, kan?"
"Tidak, Bu," jawab Lula.
Isyana kembali duduk dan mengerutkan kening. Jawaban Lula menciptakan banyak tanya yang baru ia sadari penjelasannya bisa didapatkan bila ia sendiri yang membaca email dari Presdir. Ia pun menyentuh layar tabletnya lalu membuka email.
"Lula, terima kasih. Kamu boleh keluar dan melanjutkan pekerjaan kamu," pinta Isyana. Lula pun menundukkan tubuhnya meski tidak terlihat oleh Isyana. Isyana masih terlalu berdebar saat menunggu lampiran email terbuka.
Di luar dugaan bahkan jauh dari tebakannya, Isyana masih tidak bisa percaya dengan apa yang ia baca. Hingga ia memutuskan untuk membaca ulang sampai 3 kali. Ingin rasanya ia berteriak setelah mengetahui apa yang ia baca adalah benar. Karena tidak tahan, Isyana pun benar-benar berteriak. Suara kencangnya membuat Lula membuka pintu dan masuk dengan terburu-buru ke ruangannya.
"Ada apa, Bu Isyana? Bu Isyana baik-baik saja, kan?"
~~~
Setelah meminta Mirwan mencarikan sopir untuk Mita, ia kembali ke kantornya. Meskipun hari ini cukup membahagiakan baginya, tetapi masih ada rasa tidak yakin atas keputusan yang sudah ia buat. Terbersit sesal dan merasa bodoh karena bisa dengan mudahnya memaafkan Mita. Apa cinta terlalu meracuni pikiran rasionalnya kah sampai ia seperti ini.
Tidak ingin kembali terlarut dalam keadaan yang membuatnya muak, Rey pun memutuskan untuk kembali fokus kerja. Laporan kunjungannya ke Fashion Week belum sedikitpun ia garap. Bila ia tidak memohon-mohon kepada kakaknya akan berkas data yang tidak sempat dimintanya saat berada di Paris, mungkin ia tidak akan bisa menuliskan satu patah kata pun untuk laporan. Meskipun Isyana tidak memberikan secara cuma-cuma, setidaknya bayaran untuk permintaannya itu tidak terlalu berat.
"Bayar tagihan kartu kreditku selama 3 bulan, deal?"
Rey tersenyum saat tahu permintaan Isyana. Walaupun limit kartu kredit kakaknya tidak terbatas, tetapi ia tahu gaya hidup dan anggaran belanja musuh bebuyutannya itu tidak se-freak gadis-gadis matre di luar sana. Hanya 3 bulan jelas tidak masalah baginya. Kecuali bila tiba-tiba kakaknya membeli kapal ferry.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu diketuk dan tak lama seseorang pun masuk.
"Om Braw, eh, Pak Presdir. Sebuah kehormatan dikunjungi oleh petinggi seperti Anda." Rey membungkukkan tubuhnya yang kemudian disambut dengan tawa renyah dari pria di hadapannya itu.
"Boleh Om duduk, ya. Kamu santai saja," ujar Brawijada setelah memilih untuk duduk di sofa tamu.
Rey pun berjalan dari balik meja kerjanya dan menghampiri Brawijada. "Aku pesan minuman dulu ya, Om."
"Nggak usah. Tadi Om sudah pesan ke Rinka. Sebentar lagi dia datang," tolak Brawijada.
Keduanya menoleh saat pintu terbuka dan sosok Rinka masuk dengan nampan di tangannya.
"Terima kasih, Rinka." Rey menoleh kembali ke arah Rinka. "Mode keluarga ya, Rin." Dilihatnya Rinka yang tengah mengacungkan jempol sambil tersenyum. Mode keluarga yang dikomandokan oleh Rey pun langsung diterapkan. Terkadang Rey menyebut mode privasi dengan mode keluarga. Intinya, ruangan Rey tertutup sempurna oleh peredam suara.
"Ada apa, Om Braw? Tumben."
Brawijada tidak langsung menjawab. Ia menyesap minumannya perlahan seperti sedang mengulur-ulur waktu. Rey yang sudah terlampau tegang bahkan tidak ada keinginan untuk menikmati seduhan yang disajikan oleh Rinka. Ia tidak peduli bila isi cangkirnya dingin.
"Buruk atau baik, Om?" tembak Rey tidak sabar. Adik kedua dari papanya pun langsung tertawa seolah bisa menebak tabiat keponakannya.
"Relatif." Brawijada menjawab singkat lalu meletakkan cangkirnya kembali di atas tatakan.
Tubuh Rey masih menegang. Ia benar-benar tidak bisa menerka ada perkara apa sampai-sampai di tengah jam kerja, Om Braw yang merupakan Presdir Hang-G Fashion datang ke ruangannya. Hal yang penting tentang perusahaan saja biasanya disampaikan lewat telepon. Jadi, se-urgent apakah pembahasannya kali ini.
"Rey, kamu tahu, terkadang baik dan buruk bagi seseorang dan orang yang lain itu benar-benar relatif. Bahkan semua ini berlaku pula pada kuasa Tuhan. Yang baik menurut kita belum tentu baik menurut-Nya."
Tangan Rey menyentuh dasinya untuk sedikit melonggarkan. Ia tidak suka hal yang bertele-tele, tetapi mau tidak mau ia harus mendengarkan dulu apa yang disampaikan oleh Om Braw meskipun intronya mungkin masih panjang.
"Iya, Om. Rencana Tuhan kan tidak pernah kita tahu. Andai saja bisa berdiskusi langsung dengan Tuhan, mungkin aku bisa berbincang berjam-jam untuk memilih apa yang Dia ingin sekaligus aku suka," jawab Rey. Akhirnya ia pun meraih gagang cangkirnya lalu melongok isinya sebelum mengalirkan ke kerongkongannya.
"Kamu masih merokok, Rey?" tanya Brawijada di luar topik.
"Itu dulu, Om. Aku hanya coba-coba semasa sekolah. Saat Mama marah sebegitu hebat, aku tidak pernah menyentuh lintingan tembakau lagi." Mengakui hal itu terasa memalukan sekaligus membanggakan bagi Rey. "Om mau merokok? Kita bicara di balkon saja atau bagaimana?" tawar Rey ketika ia sadar pertanyaan Brawijada mungkin sebuah kode.
"Di sini saja. Om hanya sebentar," sanggah Brawijada.
Kalau sebentar, kenapa tidak berkata intinya saja sih, gumam Rey dalam hati.
"Om Willy mengundurkan diri di Hang-G Automotive."
Rey belum menyampaikan pertanyaan yang sudah berkecamuk dalam kepalanya saat ia mendengar kabar dari Om Braw. Ia masih menunggu kelanjutannya.
"Posisi General Manager Hang-G Automotive kosong." Kalimat ini lah yang akhirnya membuat Rey tidak tahan untuk bertanya.
"Kenapa kosong. Kak Isya kan yang ada di posisi itu?" Kini Rey membuka dua buah kancing kemejanya.
"Dia yang gantikan Vice Manager Hang-G Automotive tanpa melalui rapat dewan direksi." Brawijada kembali meneguk minumannya yang sudah hangat. "Aneh, ya?"
"Nggak sih Om. Mungkin ini maunya Kakek Gorban." Rey menghela napas yang mendadak sesak sebelum melanjutkan kalimat yang berbau dusta. "Lagipula, Kak Isya cukup kompeten untuk berada di posisi itu."
Brawijada yang tidak mengetahui perseteruan kedua keponakannya itu jelas tidak menaruh curiga akan pernyataan Rey. Ia mendengar hal itu seperti pujian standar seorang adik kepada kakaknya. "Yang aneh maksud Om, posisi General Manager itu tidak bisa dibiarkan kosong, Rey."
Rey berpikir keras untuk mencerna pernyataan Brawijada. "Mungkin akan ada rapat untuk pemilihan penggantinya, Om. Mungkin mereka masih merancang dan mencari kandidatnya." Hanya itu yang terlintas di benak Rey.
Brawijada tidak langsung menanggapi kemungkinan yang dipikirkan oleh Rey. Baru setelah ia mengosongkan isi cangkirnya, pernyataan yang mengejutkan Rey pun dilontarkan. "Tidak ada, Rey. Yang Om dengar, posisi itu akan dibiarkan kosong hingga nanti ada yang bisa langsung mendudukinya tanpa harus terlibat dalam pemilihan apapun."
Antara harus percaya atau tidak akan pernyataan Brawijada, Rey hanya bisa diam dalam kebingungan. Selama ini, Om Braw adalah satu-satunya adik papa yang paling dekat dengannya dan tentu saja paling ia percaya. Namun, keanehan yang terjadi kali ini lantas menjadikan dirinya gamang. Karena bisa saja Om-nya itu hanya mendengar kabar burung perihal posisi General Manager di Hang-G Automotive.
Brawijada bangkit dari duduknya. Rey refleks mengikuti Om-nya yang berjalan ke arah pintu.
"Om hanya menyampaikan itu saja, Rey, walau kakakmu pasti akan mengabari juga nantinya" Brawijada menepuk pundak Rey.
"Terima kasih banyak, Om. Setidaknya aku jadi bisa membuat perayaan kejutan untuk Kak Isya," ujar Rey yang benar-benar mengkhianati isi hatinya.
"Rey."
"Ya, Om Braw."
"Tolong jaga kakakmu. Om rasa ada hal yang tidak beres yang bisa mencelakainya."
Rey tidak menanggapi dan membiarkan Brawijada menghilang dari balik pintu. Kalimat terakhir Om Braw terdengar seperti mantra yang meremangkan bulu kuduknya. Ia memang sedang bersaing dengan kakaknya. Ia pun membenci gadis cantik itu. Namun, bila hal buruk terjadi pada kakaknya, bukannya suatu saat bisa saja menimpa dirinya juga, kan?