Chereads / Batas Kebencian / Chapter 9 - Bandara dan Kepanikannya

Chapter 9 - Bandara dan Kepanikannya

"Astagaaa! Apa selama beberapa hari ke belakang dan sampai sekarang, kita berjodoh, Kak?" Rey membuka kacamata hitamnya lalu menyangganya pada kepala. Gadis yang ia ajak bicara, ternyata tidak menanggapi. Sempat ia merasa kesal, tetapi saat tahu bahwa kedua telinga kakaknya itu tengah disumpal oleh pod, ia pun urung marah.

Rey jadi ingat ketika kakaknya menolak untuk reschedule penerbangan agar mereka bisa pulang bersama. Senyum sinisnya pun terkulum. Ternyata, mau sejauh apapun kita menolak sesuatu, bila suatu hal itu sudah ditakdirkan, hal yang bisa kita lakukan hanyalah menerimanya.

Sama seperti menerima kenyataan bahwa Mita berselingkuh di depan matanya.

Huft. Kenapa harus itu sih yang ia ingat sekarang. Mendadak Rey kembali lemas. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, lalu menyandarkan punggung seakan badannya tidak memiliki tulang sebagai penyangga. Bersikeras ia menahan sakit atau mungkin air mata yang sejujurnya sudah tidak tertahan sejak pertama kali melihat kejadian itu.

Mita sempat menelepon ketika Rey berada di Paris. Namun, panggilan tersebut ia biarkan menjadi missed call. Ia masih belum memutuskan apa-apa sehingga tidak ingin pembicaraannya nanti dengan Mita hanya akan memperkeruh suasana. Masih banyak amarah berkecamuk dalam dirinya. Meski di sisi lain, rasa sayang yang dimiliki seolah bisa menghapus dan memaafkan perbuatan kekasihnya.

Rey memejamkan mata, berharap selama perjalanan pulang bisa mendapatkan keputusan yang tepat untuk hubungannya. Rasa cinta memang membuat sisi tegasnya melunak seperti jeli. Namun, rasa sakit juga membuat hatinya mengeras seperti karang. Saat ini, dua hal tersebut yang melebur dalam benaknya dan sukses mengaduk isi otak beserta perasaannya.

"Heh!" Rey tersentak saat kepalanya ditepuk oleh lembaran leaflet. "Kenapa kamu di sini?" Bentakkan Isyana membuat lamunan Rey buyar sempurna.

Setelah menetralkan keterkejutannya, Rey pun menjawab dengan tenang, "Aku duduk sebagai penumpang. Sama seperti Kakak." Rey mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum.

"Kok aku kesal, ya?!" Isyana memutar bola matanya.

"Sudah lah, Kak. Toh tidak ada salahnya kan. Justru ada baiknya," ujar Rey. Ia pun kembali terpejam sambil menanti kalimat apa yang akan diujarkan oleh Isyana.

Karena tidak ada tanggapan lagi dari kakaknya, Rey kembali menoleh. Ternyata kakaknya masih menatap dirinya dengan pandangan sangat kesal. Rey yakin, raja hutan pun pasti akan minder dengan tatapan yang seramnya melebihi singa itu.

"Sudah lah, Kak. Tidur saja," saran Rey. Tatapan Isyana membuat ia malas berdebat. Lagipula, keberadaannya di samping Isyana benar-benar kebetulan. Malah bila harus marah, dirinya lah yang punya kuasa akan hal itu. Ia sudah terlebih dahulu memegang tiket pesawat sebelum kakaknya.

"Sebentar lagi take off. Tidak boleh tidur," sanggah Isyana.

"Kakak bawel ya. Mirip Mama," celetuk Rey tanpa menoleh sedikit pun.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong, tadi Mama telepon." Pernyataan Isyana tiba-tiba saja membuat keduanya merasakan ketegangan yang berbeda. Rey pun melupakan niatnya untuk tidur di saat pesawat lepas landas.

~~~

Setelah Lula meneleponnya, ternyata agenda packing Isyana kembali terhambat. Eylisa menelepon cukup lama. Meski sebenarnya bisa saja Isyana berbicara dengan mamanya sambil membereskan pakaian, tetapi pembahasan yang diangkat oleh Eylisa membuat dirinya perlu memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi.

Alhasil, Isyana pun terpaksa menelepon Lula kembali dan menerima tawaran sekretarisnya itu untuk menyewa jasa packing dari pihak hotel. Itu pun ia lakukan setelah kepalanya terasa pening karena pembicaraan dengan mamanya.

"Mama bahas apa? Kenapa Mama nggak telepon aku juga?" tanya Rey sedikit cemas. Ia menegakkan posisi duduknya sambil mengarah ke samping.

"Mama tahu kamu mabuk." Andai Isyana tahu, sekujur tubuh adiknya sempat mengalirkan suhu dingin karena jawabannya tersebut. "Padahal aku sudah mengurus semua ke pihak management hotel. Ternyata tetap bocor."

Suara pramugari yang memperagakan pemakaian alat keselamatan diri, diabaikan oleh mereka berdua. Selain karena sudah sangat hafal, mereka sedang terjebak dalam pembahasan yang membuat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Berarti ada pengunjung yang kenal kita, Rey," telisik Isyana. Matanya menyipit.

"Iya. Berarti— eh, sebentar." Rey nampak sedang mengorek memorinya sendiri. "Laki-laki berengsek itu. Ya, aku yakin. Pasti dia yang mengadukan."

"Laki-laki yang membuat kamu tersungkur dan menyusahkan aku?" tanya Isyana tanpa menghilangkan nada sarkas. "Dia siapa, sih?"

"Kakak tidak perlu tahu." Isyana masih sangat ingat kalau ini bukan kali pertama Rey menjawab seperti itu.

"Ya setidaknya, aku bisa lacak dia dan mungkin mengancamnya agar tidak perlu ikut campur urusan Keluarga Hanggara," jawab Isyana tegas. "Tapi kan, katanya aku tidak perlu tahu. Ya sudah."

Saat Isyana menggeser batas kursi, Rey menahan. "Kak, Mama bilang apa lagi?" Rasa penasaran dan risaunya bercampur menjadi satu.

"Mama bilang kamu memalukan." Isyana menurunkan kembali pembatas kursi.

"Mati lah aku." Rey mengacak-acak rambutnya. "Tapi, kenapa Kakak sama cemasnya? Bukannya ini bisa mempengaruhi pembagian saham untuk kita berdua, ya? Kakak bisa dapat lebih banyak karena kelakuan aku yang, euh, ancur."

"Dasar adik bodoh!" Isyana kembali memukul kepala Rey dengan leaflet yang sedari tadi digenggamnya. "Aku juga disalahkan. Aku disebut tidak becus menjaga adik sendiri."

Tawa Rey meledak. Tentu saja itu membuat Isyana kembali ingin memukulnya. Namun, setelah mendengar jawaban Isyana, hatinya tidak terlalu gundah. Setidaknya menghadapi Eylisa berdua dengan kakaknya, tidak akan seseram yang dibayangkan. Wow, perasaan apa ini? Naluri saudara kandung?

"Kamu benar-benar menyusahkan, Reytama!" Isyana menghela napas panjang. "Sebenarnya, bukan hanya itu yang dibahas Mama."

Kembali Rey memasang wajah panik. Entah sudah berapa kali ia harus menyeka keringat dinginnya.

"Yang pertama, Mama tahu soal kelakuan Mita—"

"Apa?!" Mata Rey melotot sempurna.

"Yang kedua—"

"Dari mana Mama bisa tahu?"

Karena Rey sudah dua kali memotong perkataannya, Isyana pun malas melanjutkan. Terlebih Iagi, Rey tampak semakin panik. Isyana memilih untuk membenamkan dirinya dalam selimut dengan telinga ditutupi pod. Ia ingin menikmati perjalanan pulang dengan damai tanpa menatap wajah gusar adiknya.

"Kak Isya."

Isyana mengabaikan panggilan Rey. Untungnya, sang adik cukup tahu diri.

~~~

Apa yang dikatakan Rey ada baiknya juga. Mereka yang berada di satu pesawat bahkan duduk bersebelahan, setidaknya membuat sopir Eylisa yang ternyata sudah stand by di lokasi kedatangan internasional bisa menjemput tanpa harus mencari. Tidak terbayang bila mereka terpisah dan membuat Eylisa menunggu lama di dalam mobil. Bisa semakin kacau lah keadaan. Bahkan mungkin mereka berdua bisa dikira sedang bermusuhan.

Sesaat setelah landing, Eylisa menelepon Isyana. Sebenarnya tidak ada pembahasan tegang saat keduanya berbicara. Eylisa hanya mengabari bahwa ia ingin menjemput kedua anaknya. Selain itu, mamanya ingin ditemani makan siang. Hanya saja, Isyana yakin berbincang dengan mamanya saat makan siang nanti, tidak akan setenang ketika di telepon.

Isyana dan Rey berjalan berdampingan. Dengan senang hati, Rey menawarkan untuk mendorong koper kabin yang dibawa oleh Isyana. Melihat tidak ada tanda-tanda kebusukan dari tingkah manis adiknya yang tiba-tiba itu, ia pun menerima bantuan tersebut.

"Mama benar-benar ingin membahas masalah kita sekarang, ya. Duh, Mama," keluh Rey. Wajah acuh yang biasanya ditampilkan oleh Rey, langsung hilang bila sudah berhadapan dengan masalah bersama mamanya. Tidak ada lagi Rey yang setenang Sungai Gangga dan secuek Polantas.

"Ya ya ya, setidaknya ini lebih baik daripada dikarantina 14 hari karena Covid-19." Isyana mencoba menenangkan keadaan walau sama sekali tidak berhasil.

"Kak." Rey menghentikan langkahnya.

Isyana menoleh dan ikut berhenti. "Ada apa lagi? Kebelet pipis?"

"Kita nggak akan briefing dulu sebelum ketemu Mama? Setidaknya, kita punya jawaban yang sama," ujar Rey.

Di tempatnya berdiri, Isyana berpikir keras. Kenapa tidak mereka duduk sebenar di tempat makanan siap saji untuk menyamakan suara. Namun, getaran pada ponsel yang digenggamnya membuat Isyana menggeleng. "Kayaknya nggak bisa, Rey." Isyana memperlihatkan layar ponselnya yang berkedip dan memunculkan nama Mama.

"Huft. Oke, kita biarkan semua mengalir dan berdoa saja lah semoga Mama tidak berpikir macam-macam soal kita."

"Ya, Mam? Kita udah lihat Pak Romi dengan tag di tangannya, kok." Saat Isyana berkata, sebenarnya ia kehilangan jejak Pak Romi, sopir pribadi mamanya.

"Kalian langsung pulang saja. Istirahat. Kita nggak jadi makan siang. Mama harus melayat investor Hang-G TV yang meninggal," jelas Eylisa.

"Oh, oke, Mam. Hati-hati di jalan." Isyana menutup telepon lalu melompat girang ke arah Rey yang masih memasang tampang panik.

"Ada apa sih, Kak? Ngomong-ngomong, kita kehilangan batang hidung Pak Romi, loh." Rey masih kebingungan dengan ekspresi kakaknya.

"Ya udah, kamu telepon sopir kamu aja. Suruh jemput." Pernyataan Isyana membuat mulut Rey menganga. "Aku duluan ya adikku yang menyebalkan." Isyana menarik koper kabin yang masih dipegang oleh Rey. Ia pun berjalan menjauh dan melupakan reaksi adiknya yang masih mengekor.

"Kak, mau ke mana? Mama bilang apa? Kakak nggak akan ketemu Mama? Kak!"

"Enggak! Udah sana minggir." Lengan Isyana mengibas ke arah Rey seperti sedang mengusir kucing. Rey pun tidak lagi mengikutinya.

Lain dengan Rey yang langsung menelepon Mirwan. Isyana memutuskan untuk duduk santai di kedai kopi favoritnya setiap ia berada di bandara. Meski bukan memesan kopi, Isyana senang dengan Green Tea yang disajikan di sana. Ia butuh ketenangan sebentar sebelum bertemu dengan macetnya ibu kota. Selain itu, ia memang butuh tempat duduk untuk menunggu Pak Sunip menjemputnya.

Ketika sedang menarik koper kabin dengan pandangan terfokus pada layar ponsel, Isyana menabrak seseorang.

Bukan, Isyana yakin sekali kalau langkahnya sudah sangat hati-hati. Ia merasa, orang itu lah yang sengaja menabraknya.

Ketika ia mendongakkan kepala, keinginannya untuk membela diri ia urungkan. Sosok yang tengah berada di depannya mengingatkan ia pada seseorang yang pernah ditemui sebelumnya.

"Beruntung sekali ya aku ditabrak oleh wanita cantik." Senyum merekah di bibir laki-laki itu. "Apa kabar Nona Isyana?"