Penghangat di kamar hotel dinyalakan hampir di suhu maksimal. Isyana memilih duduk di sofa sambil memandang ke arah jendela. Langit masih gelap, tetapi ia tidak sedikit pun merasa mengantuk.
Tangannya menggenggam cangkir berwarna gold. Isinya sama sekali belum ia teguk. Ia hanya ingin membiarkan telapak tangannya menikmati sensasi hangat-agak-panas. Mungkin setelah cairan di dalam cangkir tersebut dingin, ia pun tidak akan berniat meminumnya.
"Errrgh.…"
Isyana menoleh ke arah suara pria yang membuatnya terjebak di sini, di kamar hotel beraroma maskulin tersebut. Entah mengapa ada perasaan yang menyebalkan dan berhasil meliputi dirinya. Melihat Rey tiba-tiba ambruk di hadapannya beberapa saat lalu, ia tidak bisa mengira akan sepanik itu. Bahkan, kepanikannya membuat ia lupa bahwa sebelum kejadian tersebut, ada sesosok pria yang menyapanya.
Siapa, ya? Isyana benar-benar tidak punya clue apapun.
Pertanyaan lain yang mendesak pikirannya adalah mengapa Rey sangat emosi ketika pria itu muncul. Sebenci apapun Rey padanya, tidak pernah sampai memunculkan kemarahan separah itu. Sayangnya, Isyana tidak sempat berbincang. Ia terlalu fokus mengurus adiknya yang menyebalkan itu. Selain meminta bantuan waiter untuk membopong tubuh Rey, ia juga harus mengurus supaya kejadian di luar kontrol itu tidak sampai ke telinga keluarga besar dan siapapun yang mengenal mereka.
Pria itu, berlalu begitu saja. Namun, ketampanannya membuat Isyana diam-diam terpesona.
Sial, sejak kapan ia peduli dengan hal yang bernama cinta?
"Mita. Pramita...."
Mendengar Rey mengigau, lamunan Isyana pun buyar. Ia menoleh kesal ke arah makhluk di atas ranjang itu. Ingin rasanya menyiram wajah Rey dengan minuman di dalam cangkir yang dipegangnya.
"Aku sayang kamu, Mita."
"Astaga, bucin sekali kamu, Rey." Isyana melenguh tanpa sedikit pun memalingkan pandangannya.
"Dingin.…"
Sontak Isyana meletakkan cangkirnya dan menghampiri Rey. Ia lantas menaikkan selimut sampai menutupi leher adiknya lalu duduk di samping tempat tidur sambil memperhatikan wajah Rey yang sekilas mirip dengan dirinya.
"Rey, kamu tahu, aku iri padamu." Isyana berkata lalu memalingkan pandangannya —kembali ke arah kaca jendela yang gordennya sengaja ia buka lebar. "Aku iri karena kamu laki-laki. Aku iri karena kamu bisa setenang itu menghadapi emosi yang aku miliki dan masalah yang kita punya."
"Mita.…" Tiba-tiba saja tangan Rey meraih lengannya. Sontak Isyana menoleh.
"Huft, bahkan saat kamu disakiti oleh Mita pun, ternyata kamu punya rasa cinta yang teramat besar ya, Rey." Isyana kembali berkata setelah mengetahui Rey masih belum sadar. "Aku lupa rasanya jatuh cinta. Aku iri kamu bisa punya rasa itu, Rey."
"Aku sayaaang kamu...."
Mendengar Rey yang terus saja bergumam, Isyana terpikir untuk menyumpal mulut adiknya itu dengan kaus kaki.
"Berisik kamu, Rey!"
~~~
Sinar matahari yang menembus jendela kamar hotel membuat Rey mengernyit saat dirinya mulai terbangun. Merasa terganggu, ia pun berbalik posisi. Rasanya, masih sangat ingin menikmati posesifnya tempat tidur.
Saat berbalik badan, ia mendapati seseorang yang tengah memunggunginya. Mita?
Rey menggeser tubuhnya mendekat. Perlahan, ia membelai rambut gadis itu. Namun, ketika menyadari bahwa sejak kapan Mita mengganti warna rambut pirangnya menjadi hitam, ia pun menghentikan gerakannya.
Seperti biasa, Rey menyibak selimutnya untuk memastikan dugaan negatif yang ia miliki. Ia sekarang ingat, tadi malam ia sedang berada di bar bersama dengan kakaknya dan—
Memorinya terhenti pada sosok pria yang membuatnya ingin menghajar sampai babak belur. Ya, setelah itu, ia tidak tahu apa ia berhasil membuat pria berengsek itu terluka atau malah ia meniduri wanita asing yang sedang berbaring dengan pakaian lengkap di kamar hotelnya.
Rey mencari ponselnya di nakas. Ada secangkir teh dingin di sana. Ia yakin, minuman itu bukan miliknya. Gadis di sampingnya ternyata punya selera yang kolot sekali, pikir Rey.
Dulu, sebelum bertemu dengan Mita, terbangun dalam keadaan seperti ini bukan lah hal yang asing. Hal yang terkadang membuatnya kesal adalah, ia bahkan tidak ingat dan tidak menikmati apapun yang terjadi. Tidak terbayang olehnya, ia harus kembali mengalami hal seperti ini. Mita yang membuat ia berubah, tetapi ia juga yang membuat Rey kembali pada tabiat buruknya itu.
Awalnya, Rey berniat untuk memesan sarapan lalu mandi. Namun, entah mengapa aroma tubuh gadis yang beberapa saat lalu satu selimut dengannya, membuat ia sangat penasaran. Ia pun mengendap-ngendap untuk mengintip wajahnya. Belum sempat ia berjalan ke arah gadis itu, ternyata sang gadis bergerak dan membuka matanya.
"Hah? Kenapa Kakak tidur di kamarku?!" seru Rey. Bahkan ia sempat tersedak oleh air liurnya sendiri.
~~~
Tidak terpikir sedikit pun oleh Isyana untuk pindah dari sofa ke ranjang. Entah karena terlalu lelah atau karena malas berjalan menuju kamar hotelnya, ia memutuskan untuk rebahan di kasur king size yang ditempati oleh Rey. Ia pikir, tidak masalah karena jarak antara dirinya dan Rey cukup jauh. Dalam benaknya, bilamana ia tertidur pun, Rey tidak akan bangun terlebih dahulu karena efek alkohol pasti masih mempengaruhi adiknya di pagi hari.
Ketika matanya berserobok dengan Rey, refleks ia menegakkan tubuhnya.
"Heh!" Seruan Rey membuat Isyana sepenuhnya terjaga.
"Aku ketiduran." Isyana memijat pelipisnya gusar.
"Ya, ya, ya. Sekarang kan udah bangun. Sana pergi." Kalimat Rey membuat Isyana melirik sinis.
Isyana turun dari ranjang lalu mencari heels-nya. "Dasar, adik kurang ajar!" Ia mengarahkan sebelah sepatunya ke kepala Rey. Untungnya, Rey bisa menghindar.
Jelas saja Rey tidak paham reaksi kemarahan yang ditujukan oleh kakaknya itu. Ia sendiri cukup kesal karena mengira Isyana adalah teman ONS-nya. Belum lagi, ia sempat membelai rambut kakaknya. Sontak rey bergidik.
"Oh, kamu berhutang penjelasan soal pria semalam." Isyana menoleh sesaat sebelum ia sampai di pintu kamar.
"Kakak tidak perlu tahu."
Isyana berkacak pinggang. Ia mengurungkan niatnya untuk keluar. Langkah kaki telanjangnya mendekati Rey. "Dengar ya, Reytama. Kamu yang membuatku tertidur di sini!"
Rey masih tidak paham dengan pernyataan kakaknya. Namun, belum sempat ia menanggapi, pintu sudah dibanting kasar oleh Isyana. Rey mengangkat kedua bahunya tidak peduli.
~~~
"Bu Isyana, saya sudah menjadwal ulang penerbangan. Untuk packing, perlu saya minta pihak hotel untuk membantu?" Suara Lula terdengar dari balik ponsel Isyana yang sengaja di-loudspeaker.
Isyana belum menjawab. Ia masih menimbang-nimbang. Terpaksa ia me-reschedule penerbangannya karena kejadian Rey tadi malam. Harusnya, siang ini ia sudah meninggalkan Paris. Karena ia terbangun 2 jam sebelum jadwal keberangkatan, mau tidak mau ia harus mengubah waktu. Untung saja ia masih bisa mendapatkan kursi di kelas bisnis. Meskipun sebenarnya ia cukup kesal karena menukar kenyamanan di first class dengan bisnis lagi.
"Bu, 3 jam lagi," ujar Lula mengingatkan.
"Saya packing sendiri saja." Isyana masih merasa insecure. Merapikan koper sendiri, nampaknya pilihan yang tepat meskipun ia harus kelelahan.
"Baik, Bu." Tepat sebelum Isyana memutus telepon, Lula menahannya. "Sebentar, Bu."
"Saya mau packing, Lula," sergah Isyana.
"Ini soal pria yang mencari Bu Isyana sejak Ibu berada di Paris."
Kekesalan Isyana menguar dan beralih menjadi rasa ingin tahu yang tinggi.
"Namanya Bastian. Bastian Malela. Ia penerus tunggal Armagh Company. Sekarang, karena Kakeknya masih menjabat sebagai presiden direktur, ia ditempatkan sebagai general manager di perusahaan tersebut."
"Armagh Company? Perusahaan apa itu?" Isyana memainkan ujung rambutnya.
"Material pesawat komersil." Jawaban Lula membuat otak materialistis Isyana berputar dan bereaksi dengan cepat.
"Dia tidak berkata apa-apa perihal tujuannya mencari saya?" Isyana mengerutkan kening sekaligus penasaran.
"Ada. Tapi saya sudah berjanji akan menyampaikan ini kepada Bu Isya setelah Bu Isya sampai ke sini." Isyana tidak suka jawaban Lula.