Chereads / Batas Kebencian / Chapter 7 - Paris I'm not in Love

Chapter 7 - Paris I'm not in Love

Rey ingat terakhir kali ia berlibur bersama Mama, Papa, dan Isyana. Tidak jauh, hanya ke Universal Studio Japan. Saat itu ia dan Isyana masih duduk di bangku sekolah dasar. Entah bagaimana ceritanya, mereka tidak pergi saat weekdays. Alasan yang dikatakan oleh papanya adalah karena taman hiburan akan penuh sesak bila dikunjungi di hari Sabtu dan Minggu, meskipun mereka sudah mengantongi express pass, tetap saja harus mengantri. Kini, saat lagu Calvin Harris yang berjudul Weekend memutar di playlist acak yang ia pasang, dirinya baru menyadari, sepertinya saat berlibur dulu, ia dan Isyana sengaja dibuat bolos sekolah oleh Mama dan Papa.

Membahas mengenai sekolah, bagi Rey, tidak ada keuntungannya sama sekali selain selembar ijasah saja. Orang bilang, sekolah itu menyenangkan, banyak teman, dan bisa bergonta-ganti pacar. Sedang bagi dirinya, jangankan bergonta-ganti pacar, teman yang bertahan sampai saat ini saja tidak ada. Teman-teman saat sekolah dulu hanya sebatas berhubungan di kelas saja. Setelah ia lulus, tidak ada satu pun yang kembali menyapanya. Kalaupun ada, pasti karena mencari keuntungan saja.

Rey pun penasaran akan keadaan kakaknya. Apakah Isyana bernasib sama dengan dirinya yang terlampau mandiri saking tidak memiliki teman sama sekali. Apa Isyana masih punya geng yang bisa diajaknya party setiap Jumat malam atau saat kepalanya ingin meledak.

Diliriknya Isyana yang masih asik menatap ke arah jendela. Rey pun melihat selintas warna biru jernih langit pagi ini. Beruntungnya mereka karena duduk bukan di posisi matahari terbit sehingga masih bisa ada pemandangan langit yang dilihat tanpa harus menutup jendela. Sekilas, Rey tersenyum mendapati dirinya yang tiba-tiba saja teringat saat perjalanan ke Jepang bersama kakaknya.

"Aku duduk di sini," rengek Rey.

"Kursi kamu di situ. Ini kursiku!" bentak Isyana.

Tidak lama berselang, Rey pun menangis dan membuat kedua orang tuanya melepaskan sabuk pengaman untuk melihat keadaan. Bahkan pramugari pun menghampiri mereka.

"Rey kenapa?" tanya Eylisa. Isyana yang tidak peduli pada tangisan adiknya, terus saja memandang ke arah jendela.

"Aku mau duduk di sebelah jendela," ujar Rey. Isyana masih tetap bergeming dan tidak ingin bila ia menoleh, lantas kedua orang tuanya membujuk untuk bertukar tempat. Kursi sebelah jendela adalah miliknya.

"Kak Isya..."

"Nggak mau!" Isyana langsung berteriak padahal papanya belum membahas apapun.

Akhirnya, jalan tengah yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka adalah bertukar tempat. Isyana duduk dengan mamanya sedangkan Rey duduk dengan papanya. Adil, dua-duanya bisa duduk di sebelah jendela dan melihat pemandangan yang sama.

"Mau apa kamu terus memandang ke sini?" Rey terperangah saat sadar bahwa ternyata Isyana sedang mengamatinya. "Mau duduk di pinggir jendela?"

Rey menggeleng. Kakaknya masih saja tidak ingin mengalah. Meskipun sebenarnya Rey tidak ingin berpindah duduk. Rey kembali dengan layar hiburan di depannya. Ia menggeser beberapa film yang ditawarkan. Tidak ada satu pun yang menarik. Lebih tepatnya, semua film itu sudah pernah ia tonton dengan Mita.

Mita lagi, Mita lagi. Rey masih belum tahu apa yang harus ia lakukan dengan hubungannya. Meskipun sakit melihat Mita dengan orang lain, tetapi ada satu sisi dalam dirinya yang membuat ia membenci diri sendiri. Ia berpikir, mungkin Mita seperti itu karena ia kurang perhatian, kurang berbagi waktu, atau….

Ya, Rey akui, mereka memang tidak pernah melakukan hubungan intim. Apa mungkin itu yang diinginkan Mita dalam hubungan mereka? Saat tragedi 'hilang ingatan champagne' setelah kumpul Keluarga Hanggara pun, ia melihat Mita begitu menginginkan hal tersebut.

"Kamu sendiri? Atau nanti Mita menyusul?" Isyana mulai bosan dan memutuskan mengajak Rey bicara. Namun, ia tidak menyadari volume yang dipasang di pemutar musik Rey, membuat suara siapapun tidak akan terdengar. "Woy, aku ngajak ngobrol."

Rey masih diam. Adiknya malah memejamkan mata.

"REYTAMA!" Entah suara Isyana terdengar sampai ke kursi berapa. Yang pasti, ia berhasil membuat Rey melepaskan headphone-nya. "Dasar nggak sopan."

"Kakak nggak lihat aku lagi dengar musik?" protes Rey. Ia tidak terima dipelototi seperti itu oleh kakaknya.

"Aku pikir kamu nggak mau aku ajak bicara."

"Memang!" Kalimat Rey membuat Isyana menutup pembatas antara tempat duduknya dengan Rey.

"Kenapa, Kak Isya?" Rey mengetuk pelan pembatas tersebut. Isyana pun menurunkannya. "Maaf," tambah Rey.

Isyana tersenyum simpul dan mengernyit heran. Seorang Reytama meminta maaf kepadanya? Sejak kapan? Wah, pasti ada yang tidak beres. Isyana pun mulai tertarik untuk mencari tahu dan berbincang banyak dengan adiknya.

"Kamu ke Fashion Week sendirian atau nanti Mita menyusul?" ulang Isyana dengan nada yang lebih ramah. Dilihatnya Rey yang menelan ludah. Wajahnya pucat dan tidak bersemangat. "Eh, kamu putus?" terka Isyana.

"Nggak tahu deh," jawab Rey malas. Walau sejujurnya ia butuh teman cerita.

"Eh, cerita dong Rey. Siapa tahu aku bisa semakin menertawakan kamu." Rey melirik kesal saat Isyana tertawa lebar. Jelas itu membuat Rey urung untuk mencari iba. "Bercanda, Rey. So?"

Pembicaraan mereka terputus ketika sarapan pagi dihidangkan. Hingga akhirnya, tidak ada lagi pembahasan apapun sampai mereka mendarat di Charles de Gaulle.

Ketika Isyana disambut oleh orang yang menjemputnya, ia sempat melirik ke arah adiknya yang terlihat panik. Rasa ingin tahunya pun menguar. Ia kemudian menghampiri Rey.

"Kamu menginap di mana?" tanya Isyana. Rey masih belum menjawab, ia sibuk dengan gawainya. "Kamu kenapa, Rey? Ada masalah?" Tidak tahu kenapa, kata hati Isyana mengatakan bahwa Rey memang sedang tidak baik-baik saja.

"Aku baik-baik saja, Kak. Kakak duluan saja bila sudah dijemput." Rey mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum kaku. Isyana belum menyerah. Ia tidak akan beranjak sampai muka panik adiknya menghilang.

"Kak, ada apa lagi?"

"Ayolah, Rey. Barangkali aku bisa bantu."

Rey terduduk lesu. "Aku lupa meminta cetakan pesanan hotel. Aku lupa mengisi pulsa untuk roaming internasional. Sekarang, pulsaku habis. Dan, dompetku ketinggalan."

"Se-fatal itu, Rey?" Isyana menggelengkan kepala. "Ikut aku dulu." Isyana berjalan. Ketika menengok ke arah adiknya, ternyata ia masih diam dan tidak mengekor.

"Reytama!" bentak Isyana.

Akhirnya Rey pun menurut.

"Pakai pulsa aku dulu agar kamu bisa komunikasi dengan Rinka. Kalau kamu ada rekening ponsel, mungkin kita bisa ambil uang di sini. Kalau tidak ada, pakai uang aku dulu."

"Terima kasih, Kak. Nanti aku ganti." Rey menjawab dengan suara yang lesu.

"Oh, aku lupa. Tidak sekadar diganti. Harus ada imbalannya." Isyana terkekeh.

"Kalau imbalannya persentase saham, aku lebih baik jadi gelandangan di sini sampai ada orangku yang menjemput." Rey berbalik arah. Isyana langsung menarik ujung kemejanya.

"Bukan itu." Isyana belum melanjutkan kalimatnya sebelum Rey benar-benar berdiri tegak di hadapannya. "Kamu cukup cerita saja ada masalah apa. Teledor seperti ini, rasa-rasanya bukan seperti kamu." Isyana masih penasaran dengan adiknya. Urusan pembagian saham, masih bisa dibahas dan disiasati nanti, kan.

~~~

Rey masih tidak memiliki semangat dan gairah bekerja meskipun ia sudah 3 hari berada di kota mode ini. Banyak wanita cantik yang lalu lalang bahkan menggodanya, sama sekali tidak membuat Rey mampu meningkatkan mood-nya. Kamar hotel yang sudah dipesankan oleh Rinka ternyata bermasalah. Mau tidak mau, Rey mengikuti saran Kakaknya. Isyana memilihkan kamar hotel yang bersebelahan. Namun, keputusan untuk tetap dekat dengan dalih pengalihan pikiran, tetap tidak bisa menolong masalah yang tengah dihadapi Rey. Pengkhianatan seperti itu, terlalu menyakitkan.

'Rey. Mau minum?'

Sebuah pesan masuk dari Isyana muncul di pop up handphone-nya. Untuk ke sekian kali, Rey heran dengan berbagai kebaikan yang ditawarkan oleh kakaknya. Namun, Rey tidak ambil pusing dengan semuanya. Keberadaan Isyana di sampingnya yang selalu tersenyum meski mungkin hanya sebuah kepalsuan seperti setiap kumpul dengan keluarga besar, cukup membuatnya tidak merasa kesepian. Ia tidak bisa membayangkan betapa kosongnya pikiran bila selama di Paris, ia harus berjalan seorang diri.

'Boleh.'

'Kamu yang traktir, ya.'

Rey tertawa sedikit ketika membaca balasan pesan kakaknya. Ia tidak menjawab tetapi tidak menolak.

'Bar-nya ada di rooftop. Rooftop hotel ini bagus banget. Kali aja kamu mau sekalian bunuh diri setelah hangover.'

Kini Rey tertawa lebar. Mati sia-sia karena wanita jelas tidak ada di dalam kamusnya. Sedalam Mita menorehkan luka, sesakit apapun gadis itu merusak palung hatinya, semesta tidak akan pernah berhenti menaburkan keindahannya. Ia masih bisa bernapas meski sesak. Ia masih bisa melihat mentari yang silih berganti dengan rembulan meski pandangannya kabur karena air mata.

Rey melihat jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu untuk berganti pakaian. Ia akan menikmati malam ini dengan kakaknya, meninggalkan semua luka di Paris, dan kembali ke Indonesia esok hari dengan energi dan perasaan yang baru.

Meski ia tidak tahu harus putus dengan Mita atau bertahan tetapi hidup dipenuhi bayang-bayang ketakutan akan dikhianati lagi.

~~~

Potongan punggung Isyana terlampau terbuka. Senyum menggoda dengan menyebalkannya ditujukan kepada Rey. Andai saja inses tidak berdosa, mungkin ia bisa melampiaskan semua kemelutnya kepada wanita dewasa yang tengah berjalan mendahuluinya.

Rey mempercepat langkahnya agar bisa menggandeng lengan Isyana. Namun, dengan pelan, kakaknya melepaskan genggaman tersebut. Isyana berbisik, "Kamu mau apa, Reytama?"

"Jadi pasangan Kakak," jawab Rey polos.

"Enak saja. Kita cuma minum, bukan jadi pasangan." Tatapan Isyana lurus ke depan saat berbicara dengan Rey yang berjalan di sampingnya. "Aku mau mencari pasangan di sini."

"Heh?"

"Buat main-main aja, Rey. Lihat, arah jam 11. Aku suka tatapan lapar seperti itu." Isyana tersenyum sinis.

"Sepertinya bukan ide bagus, Kak," tolak Rey. Seketika ia merasa bahwa kalimatnya terdengar posesif kepada sang kakak. "Tapi terserah Kak Isya saja," ralatnya.

Isyana menyunggingkan senyum. "Oke, kita nikmati malam ini berdua saja, Rey. Lagi pula, jarang-jarang kan kita sengaja berlibur. Siapa tahu besok lusa, kita malah saling bunuh."

"Kak Isyana!" Rey tidak membentak, hanya ada penekanan saja saat ia memanggil nama kakaknya. "Kenapa dari tadi bahas bunuh terus sih, Kak. Kakak bosan hidup?" Rey mulai kesal. Ia langsung menegak satu sloki minuman di hadapannya.

"Rey, aku bawa cermin." Isyana mencondongkan tubuhnya ke arah Rey. "Oh, cermin di toilet lebih besar. Kamu bisa pergunakan itu untuk melihat siapa sebenarnya yang sedang bosan hidup." Isyana terkekeh pelan.

Wajah Rey tidak berubah masam seperti setiap Isyana melontarkan kalimat sarkas padanya. Kali ini ia malah merasa tertampar. Ia tidak lagi berkata-kata. Ia lantas mengisi ulang slokinya lalu kembali menegak sekaligus.

"Rey."

"Ya?"

"Patah hati bisa membuat orang berubah, ya," celetuk Isyana. "Untuk ke sekian kalinya aku berkata bahwa kamu seperti bukan kamu. Aku malah tidak suka kamu yang sekarang, Rey. Aku lebih suka bertengkar daripada melihat muka yang penuh drama kisah nyata di televisi."

Rey tersenyum. Ia tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Lidahnya kering dan pikirannya masih kosong. Apa yang dilakukannya di sini, bersama kakaknya, ia anggap sebagai sebuah cara agar bisa menahan diri untuk tidak melompat dari rooftop atau melakukan tindakan putus asa lainnya. Apa yang dikatakan Isyana memang benar, dirinya lah yang bosan hidup.

"Rey, kalau kamu berani jatuh cinta, kamu juga harus berani patah hati." Isyana meneguk perlahan gelasnya. "Itu teori dasar kisah cinta. Tidak melulu akan berjalan mulus."

Rey menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia hanya merasa sudah terkurung dalam deretan angka di usianya. Semakin lama, semakin ia lelah mencari dan ingin segera berlabuh. Rey lupa, mungkin bagi Mita yang masih teramat muda, pasti banyak hal yang ingin dicoba. Dan keseriusan, belum ada dalam benak gadis itu. Sayangnya, Rey bukan lagi untuk bermain-main.

Entah ia sudah menuang minuman berapa kali, tetapi tubuhnya masih sepenuhnya sadar. Padahal ia ingin sekali melupakan semuanya dengan rasa sakit kepala dan tak sadarkan diri karena mabuk parah. Sejurus kemudian, ia melihat kakaknya yang ternyata sedang memandang kosong ke arah jendela. Sekilas, ada rasa nyaman dengan keadaan seperti ini. Lelah juga bertengkar hanya karena harta.

"Kak Isya, besok jadwal penerbangan kita berbeda." Rey memulai pembicaraan.

"Lalu?" Isyana menanggapi tanpa menoleh. Pemandangan lampu berkilau dari balik jendela masih lebih menarik bagi Isyana ketimbang berbincang dengan makhluk yang sedang patah hati di hadapannya.

"Aku mau minta Rinka menukar agar kita bisa pulang bersama." Pernyataan Rey sukses membuat Isyana terganggu.

"Untuk apa? Kita masing-masing saja, Rey." Isyana akui, meskipun satu maskapai, mereka tidak akan duduk bersebelahan karena Isyana sudah mendapatkan kursi first class.

"Ya biar bareng pas di bandara. Kita main drama lagi seperti biasa," tawar Rey. Ia sedikit terkekeh.

"Enggak ah, males." Isyana membuang muka. "Keakraban kita cukup sampai di sini," Ia menambahkan. Pernyataan tegasnya membuat Rey merengut.

"Nona Isyana?"

Isyana dan Rey langsung menoleh ketika sebuah sumber suara mendekati meja mereka. Namun, keduanya memberikan respon yang sangat bertolak belakang. Isyana tersenyum, sedangkan Rey menahan geram.

Pria yang memanggil nama kakaknya bukan lah orang yang baru ditemui oleh Rey untuk pertama kalinya. Dan, ingatan Rey masih berfungsi normal meskipun ia sudah banyak minum. Seketika ia kembali tersulut emosi.

"Ada urusan apa Anda ke mari?" Rey membuat kesalahan terbesar. Ia bangkit sekaligus dari kursi dan lupa akan keadaannya. Sehingga belum sempat pria itu menjawab, Rey sudah tersungkur ke atas lantai marmer.

"Rey! Astaga. Kenapa kamu berdiri sih?" protes Isyana. Lebih tepatnya, gadis itu terkejut dengan apa yang terjadi pada adiknya.

Samar-samar, Rey masih mendengar nada khawatir kakaknya dan derap langkah sepatu pantofel dari para pelayan yang menghampirinya.

Sesaat kemudian, semuanya gelap bagi Rey.