Chereads / Batas Kebencian / Chapter 6 - Kejutan dalam Kejutan

Chapter 6 - Kejutan dalam Kejutan

Rey menatap kalung berlian yang sudah dipesannya beberapa hari lalu. Tidak sabar rasanya ingin segera berjumpa dengan malam lalu memberikan kejutan kepada Mita.

Dua puluh satu tahun, umur yang terpaut jauh dengan Rey. Sekarang, ia sudah kepala 3. Namun, saat kumpul bersama dengan teman-teman dan bahkan keluarga, tidak nampak perbedaan umur yang signifikan.

Rey memandangi cermin. Ia menyentuh permukaan dagunya untuk memastikan tidak ada yang tersisa dari hasil mencukur. Mita tidak suka kumis maupun jenggot. Geli katanya. Ah, membayangkan ekspresi Mita membuat Rey malah semakin tidak keruan.

Sebenarnya, sudah 3 hari Mita meninggalkan dirinya karena ada proyek di luar kota. Katanya, baru dini hari ia sampai di apartmentnya. Rey sudah merencanakan untuk mendekor apartment Mita untuk kejutan sesampainya gadis itu nanti. Bahkan demi menjaga keontetikkan kejutan yang diberikan, Rey bersedia mengerjakan tanpa dibantu asisten-asistennya. Asistennya hanya bertugas mencari bahan yang ia perlukan, selebihnya ia lah yang menyelesaikan.

"Hari ini, kayaknya saya libur lagi ya, Tuan?" tanya Mirwan. Rey menjawab dengan mengedipkan sebelah matanya.

"Antar ke kantor saja, terus kamu pulang dan bawakan mobil favorit saya," pinta Rey. Mirwan pun mengacungkan jempol.

"Oh ya, Pak. Soal Ani, dia sekarang tidak punya pekerjaan," ujar Mirwan tiba-tiba.

Rey baru tahu beberapa waktu yang lalu bahwa Mirwan ternyata berpacaran dengan Ani. Mendengar nada bicara Mirwan yang terasa sangat khawatir, Rey pun akhirnya menawarkan, "Mau kamu yang saya naikkan gajinya atau Ani yang saya beri pekerjaan?"

"Terserah Tuan saja."

Rey mulai memikirkan siasat yang membuat semua orang di sekitarnya tetap aman.

~~~

"Rey, ke ruangan saya sekarang." Brawijada, Presdir Hang-G Fashion tiba-tiba saja menghampiri ketika Rey baru sampai di lobi kantor. Dengan kerutan penuh penasaran, Rey pun mengekor Brawijada.

Orang tua Rey dan Isyana memang dengan sengaja menaruh kedua anaknya di posisi general manager. Alasannya agar mereka tidak langsung memegang kendali tanpa mempelajari masalah di perusahaannya masing-masing.

Mereka bersyukur karena Bara tidak seperti beberapa temannya yang menyuruh sang anak memulai pekerja dari bawah. Tidak terbayang rasanya ketika harus menjadi tukang bersih kamar mandi yang disegani rekan kerja lain.

Presdir dari setiap anak perusahaan Hang-G Grup rata-rata adalah anggota keluarga Hanggara yang sudah mendekati usia pensiun. Sehingga diharapkan nantinya Rey dan Isyana bisa langsung menggantikan posisi utama tanpa harus menunggu tingkatan jenjang karir yang berlapis.

Rey tidak langsung duduk ketika sudah masuk ke ruangan Brawijada, pamannya. Ia tetap menerapkan etika meskipun mereka satu keluarga. Jangan duduk sebelum diminta.

Setelah melihat Brawijada memanggil sekretarisnya untuk mencetak 2 lembar kertas yang masih belum Rey ketahui, baru lah ia menyuruh keponakannya itu untuk duduk.

"Kamu tahu kan ada fashion week di Paris?" tanya Brawijada.

Rey memang bekerja di dunia itu. Hanya saja ia terkadang tidak begitu mengikuti event yang dirasa tidak ada sangkut pautnya dengan job description miliknya. Setiap ada pameran fashion di luar negeri, Rey akan mengutus bawahannya untuk ke sana dan memberikan laporan padanya. Saat Brawijada bertanya sambil menyodorkan selembar itinerary, Rey hanya bisa terkejut.

"Aku yang ke sana, Om?" Rey merasa butuh penjelasan lebih.

"Coba lah ke sana. Om pikir, kamu bisa dapat banyak ilmu untuk mengembangkan perusahaan ini. Dua tahun lagi Om melepaskan posisi ini untuk kamu," jelas Brawijada.

Pada kertas tersebut, tertera 4 hari ia harus berada di sana. Rey hanya bisa menghela napas dalam.

"Kalau aku berangkat besok saja, bagaimana, Om?" tawar Rey ragu.

"Astaga, Rey. Kamu baca yang teliti." Pernyataan Brawijada membuat Rey mendekatkan matanya pada kertas tersebut. "Kamu memang berangkat besok dini hari. Jam 3. Bisa, kan? Ya anggap liburan." Brawijada mengakhiri kalimatnya dengan tertawa.

"Oh, iya. Maaf, Om. Aku kurang fokus."

"Makanya, jangan dulu kenal wanita, Rey. Wanita hanya akan menyita konsentrasi karir kamu," sindir Brawijada. Kalimat ini rasanya bukan sekali dua kali ia dengar. Entah mengapa hubungannya dengan Mita seolah banyak yang tidak menyetujui.

"Baik, Om. Aku akan persiapkan untuk ini." Rey pun beranjak menuju ruangannya sambil mengamati kelas apa yang dipesankan oleh Om Brawijada untuk penerbangannya nanti.

~~~

Satu hal yang terpikir oleh Isyana ketika menyuruh Lula mencarikan tiket pesawat ke Paris adalah tidak lain untuk mendekati Hang-G Fashion. Karena Rey bisa masuk ke dalam Hang-G Automotive, maka ia pun bersikeras agar bisa menjalin satu bentuk kerja sama dengan perusahaan tekstil itu. Meski hanya skala kerja sama yang kecil.

"Bu, first class-nya penuh," ujar Lula di balik pintu. Entah lah, Isyana cukup aneh dengan sekretaris barunya itu. Apa fungsinya pesawat telepon bila ia lebih sering berbicara secara langsung.

"Cari maskapai lain," pinta Isyana tanpa menoleh sedikit pun ke arah Lula. Ia masih fokus dengan daftar rencana yang sempat diajukan oleh bawahannya.

"Sudah, Bu. Tetap tidak ada. Semua penuh."

Baru lah Isyana mengangkat kepalanya. Ia menghela napas. "Jadi saya dapat kelas bisnis?"

Lula mengangguk.

"OK." Jawaban Isyana membuat Lula kembali ke kursinya. Beberapa saat kemudian, surel masuk berupa summary ticket untuk keberangkatan pukul 3 dini hari.

Isyana akui, ia memang terlambat mencari jadwal penerbangan. Andai saja tidak terlalu banyak insiden beberapa minggu yang lalu, mungkin ia bisa ingat bahwa ada fashion week dalam waktu dekat. Ah, sudah lah. Kelas bisnis pun masih bisa dinikmati dengan nyaman. Hanya saja, entah siapa orang yang akan duduk di sampingnya.

Sempat Isyana mengajak Riri untuk turut serta. Ia berpikir bahwa Riri pasti bisa memberikan saran dan ide brilian untuknya selama di sana. Tidak dipungkiri, Isyana yakin bahwa Riri bisa cukup membantu dalam rencananya kali ini.

Namun, Lazudi memprotes hal tersebut. Menurutnya, Riri bukan orang dalam perusahaan. Hal tersebut cukup riskan mengingat beberapa saat lalu Isyana yang baru saja dikhianati oleh asisten yang paling ia percaya. Lazudi tahu kedekatan Isyana dengan Riri. Hanya saja ia ragu dengan ide bosnya tersebut. Berdasarkan pertimbangan itu lah, Isyana pun mau tidak mau harus melakukan perjalanan panjang sendirian.

~~~

Tepat pukul 11 malam, Rey berangkat menuju apartment Mita. Ia sudah mengalokasikan waktu selama kurang lebih 1 jam untuk mendekorasi apartments sang pacar. Mita sempat mengabari bahwa dirinya sampai pukul 1 dini hari. Rey hanya bisa membayangkan wajah lelah Mita yang kemudian berubah menjadi bahagia ketika melihat kejutan apa yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang olehnya.

Candle light dinner, taburan kelopak bunga mawar merah di lantai, aroma bunga-bungaan di seluruh penjuru apartment, dekorasi romantis di kamar tidur, semuanya sudah terbayang oleh Rey. Ia sampai mengemudikan mobilnya dengan tidak sabar.

Sesampainya di apartment Mita, Rey yang sudah hafal dengan kode pintu, bisa dengan leluasa masuk ke dalamnya. Namun, ia melangkah ragu ketika ada sepasang sepatu Mita dan di sebelahnya ada sepasang sepatu pria.

Entah apa yang membuat Rey sedikit menahan napas dan berjalan perlahan. Ia melihat ke sekeliling, ada sebuah koper di ruang tengah. Hal yang membuat Rey mengerutkan dahi adalah, sebuah jas pria teronggok di sofa.

"Ah, pelan-pelan."

Rey sangat yakin bahwa suara yang didengarnya adalah milik Mita. Beberapa saat kemudian terdengar suara seorang pria.

"Bukannya kamu suka kalau aku cepat seperti ini. Lenguhan kamu terdengar semakin menggoda."

Kaki Rey membeku. Debar jantungnya kencang. Kepalanya panas seolah aliran darah menumpuk ke atas dan membuatnya ingin meledak. Namun, ia bingung hal apa yang harus dilakukan. Apakah harus menunggu mereka selesai, atau ia harus masuk ke dalam dan melihat apa yang sedang pacarnya perbuat dengan seorang pria di dalam kamar.

Ketika suara erangan semakin terdengar, Rey sungguh tidak tahan. Ia lantas membuka pintu kamar dan tidak perlu lagi menebak adegan apa yang dipertontonkan oleh Mita dan seorang pria yang tidak pernah ia kenal.

"Rey?" Mita terlonjak. Namun, ia tidak bisa menghampiri Rey karena kedua tangannya terikat di tepi ranjang.

Rey hanya bisa menjatuhkan semua benda yang seharusnya ia pasang sebagai dekorasi di apartment Mita. Ia berbalik dan menunggu Mita menjelaskan semuanya.

~~~

Sebenarnya, merapikan koper bukan lah hal yang sering dilakukan oleh Isyana. Selama ini, selalu Ani atau sekretarisnya yang mengerjakan. Namun, ia masih cukup trauma dan tidak ingin ada hal buruk terjadi selama keberangkatannya ke Paris.

Meskipun tidak terlatih dengan baik, Isyana masih sempat bersenandung saat menggulung pakaiannya. Di hadapannya terdapat iPad yang sedang memutarkan video tutorial merapikan koper. Hanya bermodal video itu saja, Isyana merasa ia sudah ahli karena bisa dengan rapi memasukkan semua yang ia bawa.

Satu jam kemudian, 2 koper sudah selesai ia kunci. Sekarang saatnya ia kembali kebingungan dengan memilih pakaian apa yang nyaman untuk perjalanan jauh.

Ingatannya tiba-tiba saja tertuju pada Rey. Ia lupa, tidak sempat memastikan siapa yang diutus Hang-G Fashion untuk berangkat ke Fashion Week.

Dengan lincah, jemarinya mengetikkan pesan kepada Lula. Tanpa perlu menunggu lama, Lula pun menjawab.

'Pak Rey yang berangkat, Bu Isya.'

Mulut Isyana membulat dengan raut wajah tak peduli. Informasi yang didapat dari Lula membuat ia berdoa semoga selama di sana tidak berpapasan dengan rival sejatinya itu.

Masih ada sekitar 2 jam lagi sebelum jadwal boarding. Isyana pun meminta Pak Sunip untuk menyiapkan kendaraan sedangkan ia memilih untuk mandi. Selama perjalanan, tidak mungkin mandi, kan.

~~~

"Rey." Mita duduk menghampiri pria itu dengan pakaian lengkap.

Selang beberapa saat, laki-laki yang tadi bersama Mita, keluar tanpa menoleh ataupun pamit. Benar-benar menganggap Rey tidak ada. Kesal dengan polah seperti itu, Rey langsung memanggil dengan nada yang keras.

"Urusan kita belum selesai!"

"Sepertinya kita tidak punya urusan," jawab laki-laki itu sambil menoleh dengan muka masam.

Rey berhasil menahan kepalan tangannya agar tidak mendarat bertubi-tubi di tubuh laki-laki itu tetapi ia gagal menahan perginya sosok yang sudah meniduri Mita.

"Rey maaf, aku khilaf," ujar Mita. "Aku—"

"Jam berapa kamu pulang ke Indonesia?" tanya Rey dengan mengabaikan permintaan maaf Mita.

"Kemarin siang." Mita menjawab sambil menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa berbohong?" bentak Rey.

Jujur saja, Rey tidak ingin menampar atau melakukan kekerasan fisik terhadap Mita. Bahkan, ia pun tidak ingin membentak dan mengeluarkan kalimat kekesalan kepada pacarnya itu. Ia malah lebih tertarik untuk meniduri pacarnya sampai gadis itu tidak bisa berkutik karena kelelahan setelah melayani 2 pria sekaligus. Hanya saja, ia ingat pukul berapa harus berangkat.

"Aku tidak lama. Hanya ingin memberikan ini." Rey menyerahkan buket bunga. Sedangkan kalungnya, ia urungkan untuk diberikan dan masih tersimpan di saku jasnya. "Aku harus pergi ke Paris. Pesawat lepas landas 2 jam lagi."

"Rey, kita bagaimana?" Ada genangan air di sudut mata Mita yang paling benci dilihat Rey.

"Nanti kita bahas lagi kalau aku sudah pulang." Rey beranjak dari kursinya lalu berjalan menuju pintu. Saat Mita meraih tengan Rey, ia menghempaskannya.

"Aku belum bisa memaafkan kamu," ujar Rey. Mita terdiam. Pintu apartments tertutup.

~~~

Meskipun gagal memesankan first class, setidaknya Isyana bersyukur karena Lula berhasil check in lebih awal sehingga bisa menempatkan dirinya di kursi samping jendela. Hal itu memungkinkannya untuk tidak perlu menoleh ke arah teman perjalanannya yang sampai saat ia duduk, belum juga muncul.

Beberapa saat ketika seseorang duduk di sampingnya, Isyana merasa tidak asing dengan aroma parfum yang digunakan orang tersebut. Hal itu lah yang membuatnya sontak menoleh untuk memastikan bahwa dugaannya tidak tepat.

Ketika tatapan keduanya bertemu, Isyana hanya bisa kesal setengah mati.

~~~

Rey menyesal karena sudah meliburkan Mirwan. Ia sangat tidak berkonsentrasi selama menyetir. Berkali kali ia lupa beberapa lampu merah yang hampir saja diterobos. Saat lampu hijau, ia malah harus diberi klakson panjang agar menginjak pedal gas.

Mita memang bukan cinta pertamanya. Namun, ia sudah yakin kepada gadis itu. Dan, ia memang sudah sangat mencintainya. Rencana jangka panjang untuk hubungannya dengan Mita sudah tergambar dengan sempurna.

Rey tidak tahu apakah ia bisa memaafkan Mita atau malah meninggalkannya. Hal paling bodoh yang ia akui adalah, ia masih mencintai Mita setelah apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Sesampainya di bandara, ia mulai limbung. Selain karena belum makan (jelas, rencananya ia akan makan dengan Mita), ia juga mulai kehilangan semangat menjalani hari.

Rey berjalan gontai mengikuti arahan pramugari. Sempat ia melirik wajah pramugari tersebut dan memperhatikan tubuhnya. Haruskah ia mengajak pramugari cantik tersebut itu tidur —short term saja— untuk membalaskan dendam dan amarahnya kepada Mita. Rey mengusap wajahnya kasar.

Setelah duduk, Rey sudah mendapati seorang wanita tengah melihat ke arah jendela. Ia juga sempat terpikir untuk berkenalan saja. Karena nampaknya, wanita itu sangat modis. Tubuhnya ramping, sesuai dengan seleranya. Ya, nanti saja, kalau ia sudah terlalu gila dengan pikirannya, ia mungkin akan mengajak wanita di sebelahnya untuk tidur dan juga pramugari yang bernama Agnes.

Rey memasang sabuk pengaman dan menyumbat kedua telinganya dengan headphone. Ketika Rey menyadari seorang di sampingnya menoleh dan mengamati dirinya, ia pun tidak nyaman dan balas menoleh.

Tatapan mereka berpaut. Dan saat itulah, Rey menelan ludahnya karena ia hampir saja meniduri gadis yang terlarang.

"Sekretaris kamu tidak pandai memilih maskapai dan kursi di dalam pesawat, ya?" Suara manis di sampingnya membuat Rey semakin kesal.

"Sekretaris Kakak saja yang masih amatir memilihkan untuk bosnya." Rey malas berdebat. Ia memejamkan mata dan menaikan volume musik yang tengah didengarnya.

Rey yakin, Isyana pasti masih berbicara padanya. Namun, ia malas menanggapi. Alih-alih berangkat dengan tenang, ia khawatir malah akan kesal sepanjang waktu.