Chereads / Batas Kebencian / Chapter 5 - Tebaran Bunga Saffron

Chapter 5 - Tebaran Bunga Saffron

Melihat Isyana mengobrak-abrik isi lemarinya, membuat Riri merengut di pojokan kamar. Semua pakaian terlempar acak dan pastinya terlepas dari gantungan. Hingga isi lemari berwarna merah muda itu kosong, Isyana sempat berhenti sejenak. Namun, ia masih tidak puas lalu berjalan menuju rak sepatu. Sampai di depan pintu rak, baru lah Riri dengan segera menghampiri dan sigap menarik lengan Isyana.

"Berhenti, Beib. Semua pakaian dan sepatu kamu itu nggak bersalah." Riri memeluk Isyana.

"Aku nggak suka dipeluk." Refleks Riri menjauhkan tubuhnya. "Aku ingin dress terbaru Vera Wang. Sekarang."

Dengan gugup, Riri langsung menelepon asistennya untuk mengabulkan pesanan Isyana. Sempat Riri menaikkan nada beberapa oktaf karena asistennya membuat alasan. Tidak bisa, Isyana tidak bisa menerima alasan apapun bila situasi hatinya sedang sekacau ini.

Elma, penanggung jawab dapur di rumah Isyana, mengetuk pintu. Riri membuka sedikit untuk memastikan apa dibawa oleh wanita paruh baya itu.

"Teh chamomile dan macaroon," ujar Elma gusar. Suara kekacauan di kamar Isyana terdengar oleh semua asisten di rumah tersebut. Karena itu lah, semuanya berusaha berhati-hati menyikapi keadaan tersebut. Salah sedikit, masa depan pekerjaan mereka terancam.

Panggung drama digelar di rumah Isyana tadi malam. Seolah mengisahkan antara majikan yang jahat dengan pembantu yang teraniaya. Padahal nyatanya, Isyana lah yang dikhianati.

Ani, seorang gadis berumur 20 tahunan yang sudah lama menjadi asisten Isyana bahkan orang yang paling ia percaya ternyata menaburkan duri di permadani kesetiaan. Padahal, saat Ani masuk ke dalam keluarganya, Isyana lah yang membantu menyekolahkan sampai lulus SMA. Saat itu, Ani masih berumur 15 tahun dan bekerja karena putus sekolah. Di bawah wewenang Isyana, Ani hanya boleh bekerja di hari Sabtu dan Minggu saja. Setiap hari, Ani harus belajar dan sekolah dengan benar. Hal sederhana yang dilakukan Ani di hari biasa paling hanya menyiapkan piring untuk sarapan saja, tidak lebih. Bagi Isyana, mempekerjakan anak di bawah umur itu tidak ada dalam prinsip hidupnya.

Isyana sempat menawarkan Ani untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Ada banyak kampus yang menyelenggarakan kelas karyawan sehingga bisa membuat Ani tetap bekerja di pagi dan siang hari. Namun, Ani menolak. Katanya, menjadi asisten Isyana sudah lebih dari cukup, ia tidak berniat untuk mencari pekerjaan lain yang mengharuskannya memiliki ijasah yang lebih tinggi.

Sayangnya, Isyana tidak selalu jadi malaikat. Ia bukan lah gadis yang bisa dengan mudah memaafkan. Terlebih lagi, kesalahan yang dilakukan oleh Ani terhitung sangat fatal.

Tanpa mempedulikan waktu, malam tadi Isyana menyeret Ani keluar dari rumahnya. Tidak ada yang bisa menahan. Semua sisten yang tinggal di rumah Isyana hanya bisa menonton seraya berdoa semoga hal itu tidak terjadi pada diri mereka.

"Beib, dress-nya sampai satu jam lagi. Minum ini dulu," tawar Riri sambil menyodorkan cangkir teh.

Ragu-ragu Isyana meraih cangkir tersebut lalu mengamati permukaan air di dalamnya. "Kamu saja yang minum punyaku." Isyana kembali menyodorkan kepada Riri.

"Iya, iya, aku minum." Riri menyeruput teh tersebut. "Tuh, aman."

Namun, tetap saja Isyana tidak ingin menyentuh minuman itu. Entah sampai kapan ia harus tidak percaya pada hidangan yang dibuat oleh para asistennya.

~~~

Rey mengerang pelan. Ketika membalikkan badan. Ia terkejut mengetahui Mita ada di tempat tidur bersama dengan dirinya. Ia membuka perlahan selimut untuk memastikan bahwa dugaannya salah. Sayangnya, ia gagal. Baik Mita maupun dirinya, tidak ada yang mengenakan sehelai benang pun.

Jantungnya berdebar ketika ia menegakkan tubuhnya pada ranjang. Kepalanya terasa sedikit pusing. Ia masih mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Ia juga lupa mengapa bisa tertidur di kamar tamu.

Dinyalakannya lampu tidur di samping untuk mencari pelaku utama kejadian ini. Ya, botol kosong champagne memang pantas diadili. Namun, sejak kapan ia mabuk parah sampai tak ingat apapun hanya karena champagne saja?

Mata Rey membulat sempurna ketika melihat satu buah pengaman yang masih tersegel rapi. Argh! Rey hanya bisa merutuki dirinya.

Satu lagi yang harus ia cek sebelum keluar kamar. Ia menghubungkan wireless dengan server CCTV. Huft, syukur lah. Entah siapa yang sudah mematikan kamera pengawas, yang jelas, ia selamat dari kemarahan mamanya.

Pelan-pelan, Rey turun dari tempat tidur. Sempat ia mendekat ke wajah Mita yang masih nyenyak. Perlahan ia membelai rambutnya lalu mengecup keningnya.

Jam di dinding membuat ia harus bergegas mandi. Masih banyak urusan di kantor yang tidak mengizinkannya untuk datang terlambat hari ini.

Rey kembali menyalakan sambungan kamera pengawas setelah selesai mandi di kamarnya. Beberapa saat setelah terhubung, Eylisa meneleponnya. Apa lagi kalau bukan untuk menanyakan mengapa tadi malam kamera pengawas bisa mati. Rey yang memang sama sekali tidak tahu, merasa sudah berkata jujur karena memang bukan dia yang dengan sengaja mematikannya. Omelan Eylisa tetap terlontar meskipun jawaban Rey sangat masuk akal. Bahkan tuduhan bahwa Rey sudah dipengaruhi Mita, masih harus didengar oleh telinga Rey.

"Mam, kasih Rey kesempatan untuk membuat Mita bisa diterima oleh Mama," pinta Rey. "Sekarang Rey berangkat kerja dulu ya, Mam. Bye, Mam." Tanpa menunggu persetujuan Eylisa, Rey langsung mematikan sambungan teleponnya.

Mita masih terlelap saat Rey akan berangkat. Imajinasi Rey malah semakin liar saat melihat Mita. Dalam benaknya, suatu saat nanti akan selalu ada moment seperti ini di tiap paginya.

"Aku pergi dulu ya, Honey." Bukan kening yang dikecupnya, Rey memilih bibir ranum Mita yang terlalu menggoda di pagi ini.

~~~

Rey memilih untuk tidak menyalakan AC di ruangannya. Udara pagi ini sangat segar sehingga ia meminta Rinka untuk membuka jendela agar ada celah yang memungkinkan pasokan oksigen di ruangannya meningkat.

Di perjalanan tadi, selain mengirim pesan kepada Mita, ia pun sempat mengecek prakiraan cuaca hari ini. Berawan dengan suhu yang tidak terlalu panas. Kecepatan angin ringan dan kelembaban standar. Setidaknya, keadaan pagi ini bisa menetralkan gelisahnya karena sudah tidur bersama dengan Mita.

Huft, Mita. Apa yang paling tidak enak dari satu ranjang bersama pacar tetapi tidak mengingat semua hal yang terjadi.

Rey menyalakan MacBook di hadapannya lalu mengecek surel. Banyak juga ternyata berkas yang harus ia periksa. Belum lagi, dengan tidak sopannya, manager yang merupakan bawahannya, meminta ia untuk mengecek langsung situasi di dalam pabrik karena tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. "Memangnya, ada ya hal yang tidak bisa dijelaskan dengan hanya bicara atau tulisan," keluh Rey.

Rencananya, setelah ia selesai dengan 1 file laporan, ia akan beranjak ke pabrik untuk melihat apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh bawahannya.

~~~

Selama beberapa tahun ke belakang, ada 1 jalan yang tidak pernah dilewati oleh Isyana. Seolah jalan tersebut penuh dengan ranjau, Isyana tidak pernah memilih sebagai alternatif meski jalan yang ia lalui macet sekalipun. Jalan itu tidak lain adalah jalan menuju Hang-G Fashion.

Pagi ini, dengan longdress berpita di leher dan aksen tali di kedua ujung tangannya, ia mengendarai Porche sekenanya. Sangat tidak sinkron sekali dengan style-nya yang feminin.

Sengaja Isyana tidak diantar sopir. Ia tidak ingin Pak Sunip menjadi pelampiasan amarahnya karena pasti akan mengendarai mobil dengan tenang dan Isyana tidak suka ketenangan ketika amarahnya berada di ubun-ubun.

Sesampainya di gerbang masuk, ia melihat Rolls Royce yang sedang dilap oleh Mirwan. Kalau saja ia tidak ingat untuk menjaga sikap, ingin sekali rasanya membenturkan mobilnya dengan mobil adiknya yang berengsek itu.

"Maaf, Bu, ada keperluan apa?"

Sapaan resepsionis membuat Isyana menghentikan langkahnya lalu menoleh tanpa berbalik badan. "Kamu tidak kenal saya?"

Sontak sekuriti yang berjaga di depan menghampiri resepsionis tersebut dan menyenggolnya. "Mohon maaf Bu Isyana. Ini resepsionis baru kami."

Isyana menyilangkan kedua tangannya. "Tumben Pak Reytama mengganti personil di kantornya."

Tidak ada tanggapan. Yang ada hanya lah keadaan kikuk antara resepsionis dan sekuriti tersebut.

"Mari saya antar," tawar sekuriti.

"Tidak perlu," tolak Isyana. Ia pun melenggang melewati kedua orang tersebut.

Setelah bayangan Isyana menghilang dan diterka sudah memasuki lift, baru lah resepsionis itu bertanya, "Itu siapa?"

"Kakaknya si Bos."

"Ya ampun. Mampus aku." Resepsionis itu memukul keningnya. "Kenapa nggak ada yang kasih tahu?"

"Kakaknya memang jarang bahkan tidak pernah ke mari. Sudah lah, paling kau dipecat sebelum jadi karyawan tetap," ujar sekuriti itu sambil berlalu dan meninggalkan wajah pucat si resepsionis.

~~~

Isyana tidak menyapa satu pun karyawan adiknya. Ia berjalan lurus melewati kubikel-kubikel. Saat masuk ke ruang penghubung antara sekretaris dengan general manager, Rinka sempat berdiri dan hampir saja menahan. Ketika tahu bahwa Isyana yang datang, segera ia membukakan pintu ruangan Rey.

"Hai, Adik. Aku nggak terlalu pagi kan jalan-jalan ke sini?" Senyum merekah Isyana kontras sekali dengan wajah ketus selama ia berjalan di dalam kantor. Padahal sebenarnya, otaknya sudah dipenuhi dengan umpatan dan sumpah serapah. Isyana lalu duduk di hadapan Rey yang memasang wajah bingung.

Sengaja keduanya menunggu sampai Rinka menyuguhkan air mineral kepada Isyana. Setelah itu, mode jendela ruangan Rey diganti dengan mode privasi: tertutup oleh tirai berupa kain keras yang kedap suara. Tidak lupa Rey pun menyalakan AC. Meskipun setelahnya ia merasa ujung kulit seperti ditusuk udara dingin, tetapi tatapan dingin Isyana lebih menyeramkan daripada temperatur di ruangannya.

"Dulu aku berpikir bahwa makna dari darah yang lebih kental dari air adalah hubungan persaudaraan yang tidak akan pernah terlepas meskipun dihujani oleh berbagai prahara. Family comes first." Isyana menarik napas dalam-dalam, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Ternyata bukan itu maknanya."

Jujur saja, Isyana harus mengumpulkan keberanian yang lebih untuk menghadapi adiknya saat ini. Apalagi setelah tahu hal yang dilakukan oleh Rey padanya sangat lah di luar dugaan. Bahkan ketika mereka berdua terisolir dari luar seperti ini, ada rasa gemetar yang untungnya bisa disembunyikan.

"Darah lebih kental dari air itu menandakan bahwa kebencian dalam sebuah keluarga tidak akan bisa dengan mudah dihapuskan." Isyana masih berusaha setenang mungkin saat tangannya meraih gelas air mineral di meja Rey. Refleks ia mengurungkan niat untuk minum ketika mengingat kejadian yang dilakukan oleh Ani.

"Kak, kalau mau berfilosofi, bagaimana jika Kakak menjadi dosen saja dengan mendirikan Universitas Hang-G. Tidak perlu banyak bicara di sini." Kalimat Rey seolah menjadi detonator dari keadaan kondusif yang awalnya diciptakan oleh Isyana.

Isyana tersenyum sinis seraya berkata, "Ide bagus. Nanti kamu jadi office boy di kampus itu."

"Kak Isya, aku masih banyak pekerjaan. Bila hanya berdebat tidak penting, bisa kah Kakak─"

BRAK!

Rey tersentak ketika mendapati Isyana menggebrak mejanya.

"Aku juga punya banyak pekerjaan. Aku hanya ingin mengingatkanmu saja, sedari awal kita sudah berjanji untuk bertarung secara sehat. Lalu, apa maksudnya dengan memberi racun kepadaku?" Mata Isyana memerah. Ia pun masih berada di posisi berdiri.

"Racun?" ulang Rey. Keningnya berkerut.

Isyana membuka clotch lalu mengeluarkan sebuah toples kecil. Ia kemudian menebarkan isi toples itu ke arah Rey.

"Apa setelah kamu berhasil membunuhku, kamu akan membunuh orang tua kita demi harta, Reytama?!" bentak Isyana. Ia tengah berusaha agar matanya tidak mengeluarkan air sama sekali.

"Aku masih bingung dengan arah pembicaraan kita. Ini bunga saffron, kan. Kakak alergi bunga ini, kan?" Rey masih mengerutkan keningnya.

"Dan kamu menyuruh Ani menyeduh bunga saffron ini lalu memberikannya kepadaku." Saat melihat Rey berdiri, Isyana mundur beberapa langkah. "Kalau ini maunya kamu, oke, kita bermain kotor saja, Rey!" lanjut Isyana.

"Kak, tunggu. Aku berani sumpah, aku tidak pernah menyuruh Ani seperti itu dan aku tidak pernah berniat mencelakai Kakak." Rey nampak tidak terima dengan tuduhan Isyana.

"Oh ya?" Isyana berbalik. Ia memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan dengan Rey yang menurutnya sudah mulai tidak waras karena obsesi.

"Beri aku 1 hari untuk membuktikan tuduhan Kakak salah," pinta Rey.

"Tidak perlu." Isyana sudah melangkah ke luar ruangan Rey. Ia pun berlalu tanpa membalas sapaan dari Rinka.

Rey tidak mengejar. Ia hanya terduduk lesu sambil meraih beberapa helai bunga saffron yang berceceran di mejanya. Hari yang cerah dan sejuk ini perlahan menjadi sangat menyengat baginya. Pendingin ruangan yang awalnya tidak akan menemani pagi ini, lantas ia turunkan suhunya. Tidak lupa ia pun melonggarkan dasi dan melepas 2 kancing kemejanya.

"Rinka, bisa tolong panggilkan OB untuk membersihkan ruangan saya?" perintah Rey lewat telepon.

"Baik, Pak."

"Oh, ya. Kamu tidak perlu masuk. Biar OB saja yang langsung ke mari," pinta Rey lagi. Ia tidak ingin Rinka bertanya mengapa banyak helaian bunga saffron. Biar lah ia hanya tinggal berbohong kepada OB yang tidak akan tahu kejadian sebelumnya.

Rey memijat pelipisnya. Ia kemudian meneguk sekaligus kopi yang sudah dingin.

Beberapa saat kemudian, ia terbahak.