Chereads / Batas Kebencian / Chapter 1 - Gadis Berambut Hitam

Batas Kebencian

🇮🇩SkylaMaryam
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 70.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Gadis Berambut Hitam

"Ini trend terbaru, Beib. Coba dong sekali-kali bikin perubahan. Nggak bosen emang hitam melulu?" Kalimat ini bukan sekali dua kali didengar oleh Isyana. Bari yang lebih senang dipanggil Riri adalah salah satu penata rambut wanita keluarga Hanggara. Dari 12 penata rambut, Isyana memilih Riri karena hanya ia lah satu-satunya pria. Menurut Isyana, menggunakan jasa dari seorang pria tentu tidak akan semenyebalkan wanita. Oke, memang ia akui, Riri tetap suka bergosip seperti para wanita. Namun, ia tahu bahwa Riri tidak seperti penata rambut wanita yang di belakang kerap menggunjingkan konsumennya.

Saat duduk si bangku kuliah, Isyana menggunakan jasa Nura ─hasil rekomendasi Eylisa, mamanya. Sampai suatu ketika, ada satu helai uban di rambutnya. Nura sedikit bergumam mengenai rambut putih tersebut. Isyana tidak menyangka bahwa hal ini bisa menyebar sampai ke keluarga besar Hanggara dan bahkan menjadi gunjingan. Saat kumpul keluarga di tahun baru, Isyana banyak diberi petuah seolah memiliki 1 helai uban adalah sebuah aib. Ada yang berkata bahwa Isyana tua sebelum waktunya. Ada pula yang berkata bahwa itu biasanya terjadi karena masih muda tetapi sudah tidak perawan. Cih! Apa hubungannya?

Bagi Isyana, itu adalah tuduhan terparah dalam hidupnya. Sejak saat itu, ia meminta Eylisa untuk memberhentikan Nura. Ia pun tidak lagi percaya kepada penata rambut wanita. Bukan bermaksud mendiskretkan wanita, hanya saja ia merasa trauma.

"Beib, gimana? Ganti, ya?" tawar Riri lagi.

Isyana mendesah. Ia menatap ke arah kaca besar yang bertengger di hadapannya. Pantulan wajahnya memperlihatkan betapa sinkron mata cokelatnya dengan rambut hitam legam yang tidak pernah tersentuh hidrogen peroksida. Refleks jemarinya memainkan ujung rambut.

"Riri, dengarkan aku. Pertama, aku nggak suka warna rambut selain hitam. Meskipun mewarnai rambut menjadi trend di akhir zaman atau bahkan cara seleksi masuk surga ternyata berdasarkan warna rambut, no thanks." Isyana memandang gerakan Riri yang tengah menyisir rambutnya dengan lembut.

"Duh, berlebihan banget sih nolaknya, Beib" ujar Riri yang kemudian mencolek pipi Isyana.

"Kedua, please don't beib me," tambah Isyana disambut senyum kecut dari Riri.

"Maaf, maaf, aku kebiasaan. Eh tapi kenapa sih?" tanya Riri sambil kembali menyisir rambut gadis di hadapannya.

"Karena Riri bukan pacar aku─"

"Eh, ya ampun. Aku kan sukanya sama lekong. Kalau sama cewek itu, aku gemes aja, tapi nggak suka." Riri menanggapi pernyataan Isyana sambil bergidik. Respon Riri membuat Isyana tertawa.

"Ya udah, Beib, aku mau kayak biasa aja ya. Nggak usah aneh-aneh, asal wangi dan awet sampai sore. Ada meeting soalnya," ujar Isyana.

"Beib? Katanya nggak mau dipanggil itu. Ah kamu, gimana sih." Lagi-lagi Riri mencolek pipi Isyana.

"Kan aku yang manggil. Nggak apa-apa kalau manggil. Kalau dipanggil, aku nggak mau."

Riri mendelik sebal disusul dengan tawa Isyana.

Siluet matahari pagi mengintip dari celah jendela di ruang rias Isyana. Dengan segera, salah satu ART yang baru saja mengambil nampan berisi piring bekas sarapan Isyana, meraih remote untuk menutup lapisan kaca jendela. Tirai pun sengaja ia buka setelahnya karena tidak akan ada sinar matahari yang terik menerobos dan mengganggu kaca ruang rias tersebut.

"Hari ini Non mau pakai sepatu yang mana?"

Isyana menoleh, gestur yang membuat Riri kesal karena mengganggu konsentrasinya dalam mengatur rambut gadis itu. "Aku masih bingung. Aku pakai blazer hitam aja kok."

"Saya akan meletakkan pilihan sepatu yang dirasa cocok dengan outfit Non hari ini. Lima pilihan seperti biasa kan, Non."

"OK." Isyana kembali menatap lurus ke arah cermin. "Riri, nanti pilihkan sepatu, ya," ujarnya setelah hanya tinggal mereka berdua di ruang rias.

"Kebiasaan deh ah," protes Riri.

"Kan kamu selalu tidak ketinggalan zaman dan fashionable. Apa lah aku yang nggak pernah baca majalah fashion. Kamu banyak bantu aku, Beib." Tentu saja pujian itu membuat Riri merona. Ia pun dengan senang hati mengiakan keinginan Isyana.

Isyana melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu 50 menit untuk berangkat ke kantor. Ia pun memperhitungkan waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan mobil yang baru akan dipilihnya. Masih sangat banyak waktu, mengingat jarak tempuh menuju kantor hanya dibutuhkan 20 menit saja. Ia kemudian meraih ponselnya lalu men-dial Pak Sunip.

"Pak Sunip, hari ini Audi hitam ya. Biar pas dengan outfit aku." Tanpa menunggu tanggapan sopir pribadinya, ia langsung mematikan panggilan telepon. Sebenarnya tidak perlu lah Isyana menjelaskan alasan memilih warna mobil yang akan dipakai. Entah lah, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

"Beib."

"Ya? Eh, kok aku malah noleh sih dipanggil itu," sesal Isyana. Riri pun sukses dibuatnya tertawa.

"Kenapa, Cantik?" Riri memberikan last touch pada rambut Isyana setelah meneteskan vitamin pada kedua telapak tangannya.

"Sudah ada pilihan sepatu untuk aku?" Isyana berdiri lalu berjalan ke arah deretan sepatu yang sudah disiapkan oleh Ani. "Tosca?"

"Jangan! Merah saja."

"Kalau merah, aku harusnya pakai Lambo merah dong," gerutu Isyana.

"Duh, dengar. Kamu kan mau meeting. Karena warna blazernya terlalu kuat di hitam, kamu harus pakai satu warna pemikat. Merah itu mencolok loh untuk menampilkan sisi pemimpin."

"Benarkah?" Isyana menyilangkan kedua tangannya di dada. "Harus ganti mobil, nggak?"

"Kalau masih ada wak─"

"Pak Sunip, ganti lambo merah, ya." Klik. Isyana memamerkan deretan gigi ber-veneer-nya ketika melihat Riri yang tengah menggelengkan kepala.

"Ya sudah. Aku pulang ya, Cantik." Riri mengecup kedua pipi Isyana.

"Terima kasih, Ri." Isyana melambaikan tangan sesaat sebelum Riri menghilang dari balik pintu.

~~~

Isyana membuka kacamata hitam sesaat setelah menuruni mobilnya. Ia lupa dengan pilihan mobilnya yang menuntut tidak menggunakan sopir. Ketika menyetir tadi, ia lantas menelepon Pak Sunip untuk membawa kembali mobil yang ia pakai dan menukarnya untuk pulang nanti. Ia tidak suka menyetir sendiri.

"Selamat datang, Bu Isyana." Sambutan diiringi dengan badan yang membungkuk membuat Isyana merasa risih.

"Kamu pegawai baru di sini?" tanya Isyana. Pertanyaan itu cukup membuat Ardi─nama yang sempat terbaca oleh Isyana di dada sebelah kiri pria tersebut─ terlihat gugup.

"Baru 3 hari, Bu." Kembali Ardi membungkukkan badan.

Isyana kemudian mendekat ke arah telinga Ardi. "Kamu tahu, saya tidak suka dengan orang yang gila hormat."

Sontak Ardi semakin pucat pasi. Ia tidak lagi membungkukkan badan. Tubuhnya berdiri dengan kaku.

"Jadi, tidak perlu membungkukkan badan lagi ya, Pak Ardi." Isyana mengerling ke arah Ardi. Sedangkan laki-laki yang ditaksir berusia di bawah Isyana, semakin terkejut dengan pernyataan gadis itu. Terlebih lagi, ia dipanggil dengan sapaan yang sopan, bukan hanya nama seperti general manager lainnya yang sempat ia sapa di lobi kantor.

"Nggak usah tegang. Semoga betah di sini, ya." Isyana menepuk lengan Ardi ditambah dengan bumbu senyuman manis yang membuat Ardi berubah dari kaku menjadi tersipu.

"Siap, Bu." Senyum Ardi mengembang sempurna.

Isyana pun berlalu menuju pintu lift yang tombolnya sudah ditekan oleh seorang pria di sampingnya. Setelah pintu lift terbuka, Isyana masuk dan kembali tombol lantai tujuan gadis itu ditekan oleh pria tersebut. Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka di lantai 3.

"Ruang meeting sudah siap, Bu Isyana. Anda mau saya buatkan minuman apa?" tanya sekretarisnya.

"Memangnya kantor ini sekarang sudah menyediakan beragam jenis minuman, ya?" Isyana malah balik bertanya.

"Euh─ tidak, Bu."

"Di sini hanya ada kopi, teh, dan air mineral. Tolong kamu catat kalau saya lebih suka air mineral." Jawaban Isyana membuat sekretarisnya mengangguk sekaligus gemetar. Ia pun kemudian berjalan menuju pantry untuk menyiapkan minuman.

Sekretarisnya saat ini adalah orang yang baru bekerja selama 1 bulan. Bisa dikatakan bahwa Lula─nama sekretaris barunya─ masih berada di tahap magang. Isyana sudah sering sekali berganti sekretaris. Ia cukup kesulitan menemukan orang yang cocok mengatur jadwalnya sebagai General Manager Technical Quality Assurance di Hang-G Automotive, anak perusahaan dari Hang-G group.

Sengaja ia memilih posisi di pabrik sektor 3 yang memiliki income lebih besar daripada Hang-G Fashion yang dipegang oleh adiknya. Baginya, seorang kakak sudah seharusnya memiliki wewenang yang lebih tinggi dari seorang adik, meskipun adiknya laki-laki. Namun tetap saja, ia masih kesal karena pilihan yang dijatuhkannya tidak mengubah jumlah pembagian saham antara dirinya dengan sang adik: lima puluh-lima puluh. Ia anak tertua. Seharusnya ia bisa mendapatkan yang lebih besar, kan?

"Selamat pagi. Saya selaku moderator pada meeting kali ini, tidak akan terlalu banyak berbasa basi demi mengoptimalkan waktu. Pada periode produksi 3 bulan ke depan, tim bahkan harus melakukan stock opname karena permintaan onderdil meningkat. Namun sebelumnya, kita beri tepuk tangan untuk general manager kita tercinta, Ibu Isyana Laurivia Hanggara" ujar Lazudi, Manager QA.

Ketika tepuk tangan ditujukan kepada Isyana, tentu saja ia tersipu malu.

"Kalian berlebihan," protesnya sambil tidak menutupi senyumnya yang tetap mengembang. "Lanjutkan agenda meetingnya, Pak Lazudi."

"Agenda pertama meeting kali ini membahas beberapa perubahan perjanjian kerja sama dengan supplier─"

"Ada yang diubah?" potong Isyana.

"Iya, Bu. Tapi tidak semua supplier yang meminta perubahan itu. Hanya 1 saja," lanjut Lazudi.

"Siapa?" Ini lah kebiasaan yang selalu dimaklumi oleh bawahannya, Isyana sering sekali memotong pembahasan karena terlalu curious dan tidak sabaran.

"PT Andaraka Gas. Khusus untuk pengisian gas nitrogen pada beberapa ban kendaraan."

"OK, saya akan telepon Pak Mikola sekarang juga. Dia masih presdirnya, kan?" ujar Isyana sambil mengambil ponselnya yang sedari tadi diletakkan di atas meja.

"Tunggu, Bu Isya." Lazudi menahan lengan Isyana. "Perubahan yang ditawarkan justru membuat keuntungan lebih pada perusahaan kita."

"Oh, baiklah. Silakan jelaskan terlebih dahulu." Isyana yang tadi sempat berdiri, kembali duduk dengan santai menunggu penjelasan Lazudi dan timnya. Gestur tenang Isyana pun membuat hampir seluruh peserta meeting menghela napas lega.

Seperti itu lah hal yang selalu terjadi bila meeting dengannya. Isyana selalu terburu-buru mengambil kesimpulan berdasarkan dugaan negatifnya saja. Untungnya, selalu ada yang bisa menenangkan kegegabahan GM-nya itu.

Kali ini, meeting berjalan lancar dan ditutup dengan senyum mengembang dari semua peserta. Selain karena waktu meeting yang relatif singkat, mereka pun mendapat 1 cake yang dibagikan atas komando Isyana. Mood-nya sedang baik pagi ini. Meskipun sebenarnya, ia memesan cake kepada sekretarisnya saat di tengah meeting tadi dengan tujuan untuk sedikit mempelonco pegawai barunya itu.

~~~

Isyana menyandarkan punggungnya pada kursi. Ia menggoyang-goyangkan tempat duduknya dengan pandangan mengarah ke jendela luar. Hari ini sangat cerah. Bukan hanya sepatunya saja yang membuat ia semangat, sang surya pun seolah ikut tersenyum dan menyerukan untuk tetap bahagia di hari ini. Langit yang nampak dari tempatnya duduk, benar-benar berwarna biru dan tanpa lapisan kapas awan yang menghalangi. Lagi-lagi ia dibuat tersenyum oleh semesta yang menyambut dirinya dengan baik.

"Cantik, makannya cari pacar, jadi nggak risih saat aku panggil 'beib'." Kalimat Riri ketika ia memasuki mobilnya tadi pagi, tiba-tiba saja terngiang.

Pacar? Sepertinya sudah cukup lama kepalanya tidak pernah bersandar pada dada seorang pria. Ketika ia menyetir mobil 2 pintunya pun, ia merasa kesepian. Selama ini, ia terlalu fokus pada pekerjaan demi mencari kesan dari ayahnya. Ya, apa lagi kalau bukan karena ia ingin menambah porsi saham yang diberikan oleh generasi ke-7 keluarga Hanggara, Oscar Magenta Hanggara.

Isyana mengetuk jemarinya pada meja. Berkas yang harus diperiksa dan ditandatangai masih teronggok di hadapannya. Masih ada waktu 15 menit untuk ia rehat setelah meeting tadi, pikirnya. Terlebih berkas itu tidak sedang dalam kejaran deadline.

Pacar? Ah, kerja dulu saja. Bukankah hal seperti itu akan datang dengan sendirinya? Setiap manusia ditakdirkan berpasangan, kan? Wanita itu bukan mencari, tetapi dicari, Isyana. Ia bergumam di dalam hati. Setelah menghidu napas dalam-dalam, ia pun mulai membuka berkas yang harus diperiksanya.

Baru sekitar 20 menit fokusnya tertuju pada tumpukan kertas beratus-ratus halaman, tiba-tiba pintu diketuk oleh Lula.

"Ada tamu yang tidak memiliki janji dengan Bu Isyana," ujar Lula dengan hanya menongolkan kepalanya saja seolah menahan agar pintu itu tidak dimasuki oleh tamu yang belum diizinkan oleh managernya.

"Siapa?" Belum sempat Lula menjawab, tamu tak diundang itu langsung menerobos masuk ke dalam ruangannya.

"Kakak, apa kabar?" Wajah tampan yang membuat Isyana terkejut, menimbulkan efek dirinya yang refleks berdiri dan memasang raut ketus.

"Kamu mau apa datang kemari?!" sergahnya.

"Aku kangen kakakku yang cantik," goda seorang pria yang langsung duduk di sofa samping meja kerja Isyana.

Pria tampan itu adalah Reytama Abraham Hanggara, adik kandung Isyana yang hanya terpaut 1 tahun 2 bulan saja. Pria dengan sorot mata yang mirip dengannya adalah musuh terbesar dalam hidup Isyana selama ini.