Chereads / Batas Kebencian / Chapter 3 - Undangan Keluarga Hanggara

Chapter 3 - Undangan Keluarga Hanggara

Berkali-kali Isyana membaca berkas yang beberapa saat lalu diminta kepada Lazudi. Ia memijat keningnya. Sampai saat ini, tidak ada satu pun pernyataan dalam berkas tersebut yang memungkinkan membuat Hang-G Automotive merugi.

Isyana melempar tumpukan kertas itu dengan kasar. Beberapa saat kemudian, suara ketukan dari balik pintu terdengar. Isyana hanya menoleh dan menunggu orang yang mengetuk untuk membuka pintu sendiri.

"Non, makan dulu. Ini sudah siang. Non belum makan sejak bangun tidur." Ani adalah satu-satunya asisten di rumah Isyana yang boleh membuka pintu setelah mengetuk.

Isyana mengernyit. "Iya kah?"

"Saya sudah siapkan sup herbal asparagus. Katanya baik untuk menangkal virus corona," ujar Ani.

"An, aku kan udah bilang, jangan terlalu sering percaya pada pesan berantai di Whatsapp," kata Isyana sambil menggelengkan kepala.

"Itu bukan dari pesan berantai kok, Non. Saya lihat di televisi kalau mengkonsumsi curcuma bisa mencegah terinfeksi virus corona," jelas Ani. Isyana pun terdiam. Terlalu memikirkan urusan pekerjaan membuatnya tidak up to date pada berita terkini.

"Terima kasih ya, An. Aku turun sebentar lagi." Ucapan Isyana membuat Ani kembali menutup pintu.

Isyana melihat jam dinding. Agak aneh juga karena sudah jam 2 siang tetapi ia belum lapar. Setelah mengingat bahwa ia harus menjaga kesehatannya, akhirnya ia pun beranjak dari kursi untuk menuju ruang makan.

"Mungkin aja setelah makan, aku bisa menerka rencana busuk apa yang tengah dijalankan oleh Rey," ujarnya sambil berjalan menuruni tangga.

~~~

Rey suka sekali steak. Kali ini, yang membuatnya lebih menikmati potongan rapi daging sapi di hadapannya adalah tentu saja berkas perjanjian dengan Hang-G Automotive dan wajah cantik Mita yang sedari tadi melayaninya. Potongan steak itu, Mita yang melakukannya. Mita memang calon istri idaman.

"Kayaknya ada yang lagi seneng malam ini. Sampai-sampai memesan minuman anggur untuk dinner," celetuk Mita. Matanya menyelidik. "Ada apa sih, Sayang?"

"Ada kamu nemenin aku," jawab Rey lalu menyuapkan potongan daging untuk Mita.

"Aku serius. Ada apa sih?" tanya Mita setelah selesai mengunyah. "Jangan main rahasia-rahasiaan sama aku, Sayang."

"Nggak ada apa-apa, Honey. Steak kan cocoknya dengan minuman anggur." Rey mengedipkan sebelah matanya. Ia rasa belum saatnya Mita tahu hal-hal yang terlalu pribadi mengenai dirinya. Di sisi lain, ia pun merasa sanksi apabila Mita harus mengetahui sisi ambisius pada dirinya.

"Oke lah kalau begitu." Mita tidak ingin memaksa meskipun ia tahu Rey tidak seperti biasanya begini. "Oh ya, Sayang. Besok aku—"

"Maaf, Honey." Rey menatap layar ponselnya yang berkedip. "Mama telepon." Kemudian ia memperlihatkan kepada Mita.

"OK."

"Halo, Mam."

"Rey, kamu lagi di mana?" tanya Eylisa dari balik telepon.

"Dinner, Mam, sama Mita.'

"Nanti Mita kenalin sama Mama dong, Rey," pinta Eylisa. "Kamu ya, udah pacaran setahun lebih masa belum pernah diajak ke rumah."

"Nanti ya, Mam. Aku sama Mita masih sibuk dengan urusan pekerjaan." Rey menjawab sambil menatap Mita dan menggenggam tangannya.

"Minggu depan ya, Rey," desak Eylisa.

"Aku diskusi dulu sama Mita, Mam."

"Minggu depan ada kumpul keluarga, Rey. Kamu ajak Mita ya." Seperti sebuah kewajiban, Eylisa nampak tidak peduli dengan agenda anaknya.

"Ok, Mam." Telepon terputus, Rey pun kembali dengan seorang gadis yang tengah menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Minggu depan ada kumpul keluarga. Kamu ikut, ya. Kamu bisa kosongkan jadwal buat ini kan, Honey?"

"Minggu depan?"

"Jadwal kamu padat, ya? Eh, tadi apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Rey ketika ia ingat saat memotong pembicaraan Mita.

"Besok aku ke Maldives. Ada photoshoot," jawab Mita ragu. Yang membuatnya gamang adalah pemotretan itu selama 7 hari. Namun Mita belum berniat mengabari Rey soal ini.

"Bukan liburan dengan laki-laki lain, kan?" tanya Rey. Kumat kalau menurut Mita.

"Sama laki-laki lain lah, Sayang. Banyak malah," goda Mita.

"Honey, nggak usah mulai deh."

Mita tertawa. "Ya enggak lah, Sayang. Laki-laki yang ikut kan cuma tim kerja aku. Aku itu setia sama kamu, Rey."

"Jadi gimana, Sayang? Kamu bisa hadir di acara Keluarga Hanggara, kan?"

~~~

Sempat Isyana berpikiran negatif terhadap Ani karena ia bisa begitu nyenyak tidur sampai saat ini, pukul 10 malam. Apa Ani menambahkan obat tidur ke dalam sup karena mendendam padanya. Atau kah....

Isyana berhenti berpikir. Lupakan saja. Toh, ada untungnya juga ia tertidur pulas. Ia memang perlu recharge energi untuk esok hari.

Tubuhnya terkulai di atas kasur saat kedua tangannya meraba ke sekeliling tempat tidur untuk mencari ponselnya. Nah, dapat!

Jemari ber-nail polish bening itu dengan lincah mengetik pada layar untuk membalas satu per satu pesan yang masuk selama ia tertidur. Gerakannya terhenti saat sebuah pesan masuk yang memiliki tingkat priority paling tinggi.

Mama.

Ia tidak berniat membaca secara lengkap pesan yang dikirimkan. Ia baru menyadari ada beberapa panggilan tidak terjawab dari mamanya. Buru-buru ia menelepon balik tanpa mempedulikan sekarang jam berapa.

"Mam, ada apa?" tanya Isyana saat panggilannya diterima.

"Kamu kemana aja? Baru nelepon jam segini. Udah baca pesan Mama?"

Isyana melirik kembali pesan mamanya. Panjang, ia pun mengeluh, "Cerita aja deh, Mam. Mataku perih kalau lama lihat layar."

"Duh, manja banget ini anak gadis Mama." Isyana tersenyum saat Eylisa mengomel. "Intinya, minggu depan ada kumpul keluarga besar." Kalimat lanjutan mamanya membuat kedua matanya langsung segar.

"Oh, iya, Mam."

"Di pertemuan kali ini, kamu yang pilih dresscode untuk keluarga kita ya. Bagusnya sih sekalian dikirim kalau udah jadi."

"Oh, Ok, Mam. Nanti aku pilih warna, hubungi desainer, lalu hasilnya aku kirim ke rumah Mama." Pikiran Isyana langsung tertuju pada sebuah warna yang sedang ingin ia gunakan.

"Jangan lupa konfirmasi ke grup Whatsapp keluar besar ya. Mama nggak mau kalau warna outfit keluarga kita samaan dengan yang lain," pinta Eylisa.

"Siap, Mam. Nanti aku langsung kirim ke grup soal warna. Serahkan semua ke aku, Mam." Isyana mengangguk seolah mamanya bisa melihat.

"Jangan lupa, tanya Rey ukuran Mita, ya."

"OK, Mam." Isyana tahu, permintaan mamanya yang ini pun pasti harus dituruti.

"Ya sudah, Mama tidur lagi, ya. Kamu itu, telepon jam segini," protes Eylisa.

"Maaf ya, Mam. Tadi aku masih sibuk," bela Isyana. Sibuk tidur maksudnya, lanjutnya di dalam hati.

"Selamat malam, Gadis Kecilku."

Klik.

Mita? Mita siapa? Ya ampun! Isyana menyesal tidak bertanya soal siapa yang dimaksud oleh Eylisa. Namun, bertanya pun hanya akan membuat mamanya curiga. Ia menduga Mita adalah pacar adiknya. Salahnya, ia tidak pernah mencari tahu masalah pribadi adiknya. Ia lebih tertarik pada trading Hang-G Fashion dan segala progress perusahaan tersebut.

Mengetahui akan keadaan terdesak itu, Isyana pun mengirim pesan kepada Riri. Ia yakin, Riri yang suka bergosip, pasti tahu siapa Mita.

Isyana: 'Ri, Mita itu pacarnya Rey?'

Riri: 'Iya, Beib'

Isyana : 'Kamu pernah lihat orangnya?'

Riri: 'Pernah dong, Beib. Kamu juga pasti pernah lihat.'

Isyana: 'Eh, siapa memangnya?'

Riri: 'Pramita Alana'

Isyana: 'Model itu?'

Riri: 'Yup, Beib'

Isyana meletakkan ponselnya setelah selesai chat dengan Riri. Ia pun kembali merebahkan tubuhnya. Tidak lama dari itu, Isyana kembali mengambil ponselnya lalu mengetikkan nama Pramita Alana di laman pencarian. Berderet informasi dan berita muncul di sana, termasuk foto kebersamaan dengan Rey.

Seperti halnya seorang stalker yang expert, Isyana membuka sosial media milik Mita. Huft, ke mana saja ia selama ini. Di Instagram Mita, banyak sekali foto berdua dengan Rey.

Setelah selesai men-scroll (tidak sampai bawah, terlalu banyak feed-nya), Mita menekan link nomor yang tertera di Instagram Mita. Ia kemudian meneruskan ke Lula untuk meminta sekretarisnya itu menghubungi managernya Mita.

Belum selesai Isyana mengetik chat kepada Lula, sekretarisnya itu sudah meneleponnya.

"Bu Isya, saya nge-fans sama Pramita Alana. Serius saya harus menghubungi managernya? Terus, saya harus tanya apa, Bu?" Lula berkata dengan ceria.

"Cari tahu ukuran badannya Pramita," jawab Isyana singkat.

"Terus, apa lagi, Bu?" Terdengar Lula masih sangat antusias.

"Itu saja."

"Hah?"

"Sudah ya. Selamat malam."

"Eh, tunggu, Bu." Isyana menahan jarinya untuk menutup panggilan telepon. "Kalau cuma ukuran badan, saya bisa dapat tanpa harus menelepon managernya."

"Oh, OK. Kirimkan secepatnya, ya. Terima kasih, Lula."

Isyana menghela napas lega. Beruntung sekali Lula adalah penggemar Mita, meskipun ia tidak peduli akan pengakuan sekretarisnya itu.

Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Lula. Gadis itu benar-benar gerak cepat. Ketika melihat jarum jam, Isyana memutuskan untuk melanjutkan tugas dari mamanya besok saja. Ia pun berharap Lula bisa diandalkan kembali untuk hal ini.

~~~

'Sudah siap berakting di hari Minggu wahai kakakku tercinta?'

Rey meletakkan ponselnya di atas meja setelah mengirim pesan kepada Isyana. Tidak ada clue apapun mengenai tanggapan yang akan dihadapinya. Kakaknya yang memiliki mood terlalu naik turun seperti roller-coaster, terkadang cukup sulit ditebak.

Tidak lama pesannya dibalas hanya dengan 1 emoji saja: acungan jari tengah. Mendadak Rey gusar. Dalam benaknya, bila Isyana masih sangat kesal, akan sangat tidak mudah bagi mereka untuk berpura-pura baik-baik saja di hadapan keluarga besar.

Segera Rey menyambar ponselnya lalu berjalan keluar ruangan. Sambil menunggu lift terbuka, ia mengirim pesan kepada Mirwan untuk menjemputnya di lobi.

"Ketemu Kakak Cantik ya, Tuan?" Mirwan berkata sambil membukakan pintu untuk Rey. "Mawar putihnya sudah saya siapkan." Ia menunjuk ke setangkai bunga yang disimpan di jok depan.

"Cerdas! Kamu mau naik gaji?" tawar Rey usil. Mirwan hanya tertawa.

Sesampainya di kantor Isyana, Rey kembali gugup. Pertama, ia tidak mengabari kedatangannya. Kalau ternyata kakaknya sedang tidak berada di tempat, ia harus bagaimana. Kedua, ia khawatir kakaknya tidak bisa diajak berdiskusi.

"Hai, Lula. Makin cantik aja."

Lula menoleh dan tertegun. Ia mengamati Rey dari atas sampai bawah. Keningnya berkerut.

"Pak Pratama, ya? Yang waktu itu ngusir saya di ruangan Bu Isyana, kan?"

"Reytama. Tunggu, apa? Ngusir?" Kini giliran Rey yang mengerutkan kening. Lalu ia tertawa setelah mengingat makna dari frase 'mengusir'. "Ah, kamu. Jangan baperan kalau jadi sekretaris Bu Isyana. Dia kalau udah kumat, bisa lebih horor dari hantu di film Conjuring."

"MAKSUDNYA APA WOY?"

"Ya Tuhan!" Rey benaran terkejut. Bentakan Isyana membuat mawar yang sedari tadi digenggamnya terjatuh.

"Jangan kotori lantai. Buanglah sampah pada tempatnya!" cecar Isyana lagi setelah melihat setangkai mawar putih di samping kaki Rey.

"Kakak, aku masuk, ya. Mau numpang buang sampah." Rey memamerkan deretan giginya meskipun jantungnya masih berdebar kencang.

"Aku mau pergi," jawab Isyana ketus.

"Aku antar," tawar Rey.

Isyana menatap penuh selidik. Ketika sudah menyadari sesuatu, ia pun tidak menolak tawaran adiknya.

"Tunggu, aku simpan dulu bunganya di ruangan Kakak, ya."

"Nggak perlu!" Bentakkan Isyana membuat langkah kaki Rey terhenti. "Aku nggak terima bunga yang sudah jatuh."

"Kan belum 5 menit, Kak Isya." Rey merajuk. Ketika pelototan kakaknya yang didapati, Rey pun akhirnya menyerahkan mawar putih itu kepada Lula. "Untuk kecantikanmu yang tiada tara."

"Maaf, Pak, saya juga tidak terima bunga yang sudah jatuh," tolak Lula.

"Haduh, ada apa sih dengan wanita-wanita di sini?!" Rey menggaruk kepalanya sedangkan Isyana dan Lula kompak tertawa.

~~~

Isyana duduk di dalam mobil Rey. Ia sebenarnya hanya akan pergi makan siang. Terdengar bukan hal yang urgent untuk sebuah alasan menolak kehadiran Rey, tetapi baginya perut adalah nomor satu.

Ketika mengetahui adiknya datang dan nampak memaksa ingin mengantarnya pergi, ia tahu pasti ada hal yang ingin dibahas. Isyana memang sangat jarang berkomunikasi menggunakan ponsel dengan Rey. Mereka memilih bertemu. Alasannya jelas, mereka tidak percaya pada telepon selular yang bisa dengan mudahnya disadap orang lain. Bertemu adalah solusi yang paling aman. CCTV tidak akan merekam pembicaraan. Yang harus mereka lakukan hanyalah bergerak gerik dengan baik dan benar agar tidak terlihat seperti sedang berseteru.

"Ada apa?" tanya Isyana setelah duduk dengan nyaman.

"Soal pertemuan keluarga, aku akan mengajak Mita. Jadi, aku akan mengenalkannya secara lisan sekarang."

"Pramita Alana," ujar Isyana. Melihat Rey yang terkejut, ia pun melanjutkan, "Model yang sekarang baru merintis vlog."

Rey tersenyum sinis. "Harusnya aku nggak perlu buang-buang waktu untuk bertemu ya kalau Kak Isya udah stalking sebanyak itu."

"Tidak masalah. Barangkali ada hal lain yang ingin kamu sampaikan." Isyana meraih gelasnya lalu menyesap perlahan.

"Dia tidak tahu kalau kita bermusuhan." Raut wajah Rey kembali serius.

"Oh, menarik. Lalu?" Isyana menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Kalau Kak Isya membenci aku, tolong jangan pernah membenci dia juga." Pernyataan Rey ditanggapi dengan tawa terbahak Isyana.

"Memangnya kenapa? Kamu sama dia kan sepaket." Isyana menyangga dagu dengan tangannya di atas meja.

"Aku sangat mencintainya."

Kembali Isyana tertawa. Sampai-sampai beberapa pengunjung di resto memandang ke arah mereka berdua.

"Kak, kenapa sih malah tertawa? Nggak malu emang jadi pusat perhatian?" Rey mulai kesal.

"Adikku sayang─" Isyana bangkit sedikit dari kursinya untuk berbicara mendekat ke telinga Rey. "Akting aku udah bagus, kan? Dengar, ya. Aku tidak peduli sesayang apa kamu sama dia. Yang aku pedulikan adalah saham papa."

Rey mengepalkan tangannya di bawah meja.

Isyana kembali duduk lalu berbicara dengan pelan. "Ada Pak Broto dari Ethanida Corp di 2 kursi belakang dari kita. Kamu tahu kan dia siapa?"

Selintas Rey menoleh lalu berpura-pura memanggil pelayan. Rey mulai paham mengapa Isyana tertawa kencang tadi dan dengan sengaja menarik perhatian banyak orang di situ. Kini, kegundahannya akan pertemuan keluarga besar nanti, hilang sudah.