Bebi menghela nafas. Dadanya mulai terasa sesak lagi. Membayangkan kejadian penusukan kemaren membuat bulu kuduknya meremang. Apalagi pelakunya belom ditangkep, dan Lucky masih harus dirawat di rumah sakit begini. Rasanya kalo punya kemampuan indra keenam atopun supranatural, pengen rasanya Bebi menusuk ubun-ubun orang yang udah melukai Lucky. Gak peduli mau pake boneka pudu ato apa.
Bebi merogoh saku celananya, mengambil sebuah ponselnya lalu membuka kontak. Namun, gerakannya terhenti di satu nama. Dia galau dan malu. Masa soal begini aja dia harus menelepon Albercio?
-TIKTOKTOK-
Sebuah suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Bebi, membuat cewek itu buru-buru berlari ke arah pintu dan tatapannya terpaku. Satu-satunya orang yang barusan melintas di pikirannya sekarang malah berdiri gagah di depan pintu. "Albercio?"
Albercio tersenyum semanis mungkin. "Kamu belom tidur? Boleh saya masuk?"
Bebi mengangguk pelan dan membuka pintunya lebar-lebar, membiarkan Albercio masuk ke dalam kostannya. "Kok balik lagi ke sini? Ada apa?"
"Boleh saya masuk?" Albercio mengulang pertanyaannya walopun dengan tatapan dingin dan datar seperti sebelumnya.
Bebi menganggukan kepalanya dan membuka lebar-lebar pintu kosannya, membiarkan Albercio masuk. "Ada apa, Al?"
"Kamu udah makan? Kok masih melek? Kenapa gak istirahat? Kalo kamu sakit gimana?"
"Belom.", sahut Bebi pelan. "Baru mau merem eh lo dateng."
Albercio menarik tangan Bebi, membuat cewek itu duduk di sampingnya. "Kenapa belom makan? Jangan nyiksa diri kamu sendiri."
"Gak selera makan, Al."
"Kamu beneran gak selera makan ato masih kepikiran sama yang saya tanyain tadi? Ato ada masalah lain yang kamu pikirin?" Albercio menghela nafas. "Saya kan udah bilang sama kamu. Lupain semua hal yang udah bikin kamu kecewa dan sakit hati. Saya juga gak paksa kamu buat cerita soal apapun kalo emang kamu gak mau dan gak siap buat cerita sama saya. Kamu juga gak usah khawatir. Cepet ato lambat saya bakal nemuin orang yang udah bikin Lucky begini."
Bebi menggelengkan kepalanya. "Gak gitu maksud gue, Al."
Albercio mendesah pelan. Dipandanginya manik wajah Bebi dalam-dalam. "Siapin baju-baju kamu. Mulai malam ini kamu tinggal sama saya di apartemen saya. Supaya saya bisa mantau kamu."
Bebi menggeleng. "Gak usah, Al. Gue di sini aja."
Albercio menghela nafas. Dipandanginya sosok Bebi dalam-dalam. "Kenapa sih kamu selalu bantah omongan saya? Apa perlu saya nikahin kamu secepatnya biar kamu gak banyak bantah?"
"Gak gitu maksud gue, Al."
"Gak gitu, trus gimana? Bebi, kalo kamu begini, ini tuh malah bikin saya jadi khawatir sama kamu."
Bebi melirik sebal ke arah Albercio. Bener-bener deh atasannya ini. Lagi suasana begini tetep aja yang dibahas pernikahan. Mentang-mentang kakaknya memberinya kepercayaan. "Yaudah. Tunggu di luar sebentar. Gue siapin dulu barang-barangnya."
"Kenapa saya harus nunggu di luar?" tanya Albercio polos.
Bebi menghela nafas. "Lo dateng ke sini buat nyari ribut sama gue?"
Albercio memasang senyum terbaiknya. "Jangan ngambek. Iya-iya, saya tunggu di teras. Jangan lama-lama, nanti saya kangen."
Bebi geleng-geleng kepala. Dia sama sekali gak nyanga kalo atasannya itu sekarang bener-bener berubah menjadi orang yang sangat-sangat menyebalkan.
*
Bebi gak bisa menahan dirinya untuk gak memasang ekspresi muka yang bingung saat Albercio menghentikan mobilnya di hotel bintang 5. Gak perlu ditanya lagi, ini udah kedua kalinya Albercio sengaja memberhentikan mobilnya ke hotel bintang 5 cuma demi makan siang.
"Al, kenapa sih sih lo seneng banget ngabisin duit cuma buat makan siang di restoran mewah begini?"
Albercio menghela nafas. "Ini kedua kalinya kamu nolak ajakan makan siang dari saya secara halus, Bebi. Maksud dan niat saya tuh baik. Biar kamu gak stress."
"Yang ada gue malah makin stress. Ini bukan level gue, Al."
"Loh kok gitu?"
"Iyalah. Kita cuma makan siang, Al. Tapi untuk ukuran gue, ini tuh terlalu mewah. Dan gue ngerinya, lama-lama gue malah jadi takut sendiri kalo-kalo abis ini lo ternyata cuma ngasih harapan palsu aja."
"Harapan palsu gimana maksud kamu? Kamu gak percaya sama saya gitu? Semua yang saya lakuin ini supaya kamu bisa nyaman, Bebi. Apalagi dengan kondisi kamu yang sekarang."
"Kondisi gue?", sahut Bebi kesal. "Al, gue baik-baik aja. Gue cuma gak selera makan karna lagi banyak hal yang gue pikirin sekarang."
Lagi, Albercio menghela nafas. Digenggamnya tangan Bebi dengan lembut sembari diusap perlahan punggung tangannya. "Kamu gak perlu mikirin apa-apa, Bebi. Biar itu jadi tugas saya."
"Kenapa?"
"Karna saya mencintai kamu, Bebi."
Bebi mengerutkan keningnya. Gak tau kenapa tiba-tiba kepalanya senut-senut gak karuan dan kakinya lemas. Untung aja Albercio dengan sigap menopang tubuhnya, kalo gak bisa-bisa Bebi udah jatuh pingsan di lantai. Gak pernah Bebi merasa begini sebelomnya. Rasanya seperti .. ah entahlah! Bebi juga bingung.
"Bebi, kamu gak kenapa-napa?"
Bebi berdehem sesaat. Dipandanginya wajah Albercio dalam-dalam dan menyadari ada sesuatu yang tiba-tiba mencelos dari hatinya. Sesuatu yang terasa agak menyakitkan. "Gak kenapa-napa."
"Beneran gak kenapa-napa? Kita pulang aja ya? Biar nanti saya suruh koki di apartemen buat masakin kamu aja. Gimana?"
Bebi menggelengkan kepalanya. "Gue beneran gak kenapa-napa. Tadi cuma agak keliyengan aja tiba-tiba. Tapi sekarang udah enggak."
"Beneran?", sahut Albercio agak gak percaya.
"Iya. Beneran."
"Yaudah kalo gitu. Kita lanjut makan siang di sini ya? Saya janji abis ini kita langsung pulang biar kamu bisa langsung istirahat."
Bebi mengangguk pelan dan mengikuti langkah Albercio memasuki lobby hotel menuju sebuah restoran yang berada di dalamnya.
*
Albercio memutar knop pintu apartemen sesaat setelah menempelkan kartu akses. Diam-diam cowok itu menghela nafas. Seenggaknya sekarang dia bisa sedikit bernafas lega karna bisa mengawasi Bebi kapanpun dia mau selama cewek itu tinggal di apartemen ini untuk sementara waktu. Apalagi cowok itu juga bener-bener menepati omongannya untuk menjaganya.
Lalu, Albercio meletakkan tiga koper yang dibawanya ke dalam kamar utama, membuat Bebi memandangi setiap sudut ruangan dengan satu tempat tidur berukuran king size dan connecting door yang langsung menghubungkannya ke kamar sebelahnya. Warna cat dinding yang pastel nan cerah memberikan kesan kalem dan adem.
"Ini kamar kamu.", ucap Albercio tenang. "Kamar saya di sebelah. Kalo kamu ada apa-apa, bisa langsung ke kamar saya lewat connecting door itu."
Bebi mengangguk pelan. Tatapannya masih memandangi setiap inchi ruangan tempatnya berdiri itu. Untuk cowok semodel Albercio, kamar bernuansa begini lebih cocok sebagai kamar anak cewek. Mungkin cowok itu emang sengaja mempersiapkannya di awal.
"Ini kamar siapa, Al?"
"Kamar anak kita nanti.", sahut Albercio santai sambil memasang senyum selebar mungkin. "Kenapa emang?"
"Gue serius, Al. Ini kamar siapa? Emang gak apa-apa kalo gue tidur di kamar ini? Nanti kalo ada keluarga lo dateng trus mergokin gue tidur di kamar ini, gue jadi gak enak."
"Serius. Ini kamar calon anak kita nanti."
Bebi geleng-geleng kepala. Albercio bener-bener menjadi bucin sekarang. Budak cinta. Entah karna kebelet kewong ato apa, Bebi bener-bener gak ngerti. Padahal dari awal ketemu, cowok itu selalu kekeuh gak bakal naksir Bebi. Faktanya? Ya begitulah ... antara omongan dan kelakuan gak ada yang sinkron!
"Satu-satunya keluarga yang saya punya itu ya Papa, Beb. Kalo Mommy yang waktu itu kamu liat itu kan ibu sambung aku. Dan udah lama pisah juga dari Papa."
Bebi mengangguk-anggukan kepalanya. Ini kedua kalinya Albercio menceritakan soal keluarganya. "Kenapa lo cerita soal keluarga lo ke gue? Emang lo gak takut gue bakal bocor?"
Albercio mengambil posisi duduk di pinggir ranjang dan menepuk sisi sebelahnya, isyarat untuk Bebi supaya duduk di sampingnya. "Saya tau kamu gimana, Bebi. Dan saya percaya sama kamu. Jadi kamu tenang aja."
"Tapi, Al .."
Belom sempet Bebi menyelesaikan ucapannya, tau-tau Albercio mencium bibirnya. Kali ini berkali-kali lipat lebih lembut dan tenang. Malah cowok itu memberikan pancingan supaya Bebi membalasnya.
Albercio langsung mencium puncak kepala Bebi begitu melepaskan bibirnya dari bibir Bebi. "Kamu istirahat aja hari ini. Kalo mau kerja, besok aja kita berangkat bareng. Kalo ada apa-apa, telepon saya. Kalo butuh sesuatu di rumah ini, kamu bisa minta tolong sama Rina."
Bebi mengerutkan keningnya. Kebiasaan Albercio yang sekarang udah amat sangat dihafalnya. Tanya jawab tanya. "Rina?"
Albercio mengangguk. "Asisten pribadi kamu di rumah ini."
"Asisten pribadi?"
"Iya. Asisten pribadi kamu. Setiap penghuni rumah ini masing-masing punya dua asisten pribadi dan sopir pribadi. Satu khusus urusan general, satu khusus bodyguard. Oh ya, saya lupa bilang juga. Selama kamu di sini, kamu gak usah repot-repot masak ato apapun itu karna saya udah memperkerjakan koki khusus. Dan juga saya udah suruh sepuluh bodyguard saya buat jagain Lucky selama di rumah sakit sampe semua kondisi aman terkendali dan pelaku penusukannya ketangkep."
Gantian, sekarang giliran Bebi yang menganggukan kepalanya. "Makasih ya, Al."
"Iya.", sahut Albercio sambil memasang senyum terbaiknya. "Yaudah, kamu sekarang istirahat ya. Inget, kamu gak usah ngapa-ngapain selama saya gak ada."
Bebi mengerutkan keningnya. "Lo mau kemana?"
Albercio menarik tangan Bebi, membawanya ke dalam genggamannya sambil sesekali dielusnya perlahan punggung tangan cewek itu. "Saya mau ke kantor dulu. Ada beberapa kerjaan yang harus selesaikan."
*
Bebi menghela nafas. Cewek itu bener-bener gak mengerti. Semua perlakuan dari Albercio padanya membuatnya merasa seperti terjebak di ruang nostalgia. Membuatnya merasa seolah diinginkan. Membuatnya merasa seolah ... Ah entahlah.
Bebi masih inget gimana dinginnya tatapan Albercio dulu saat pertemuan pertama mereka itu. Apalagi ucapannya itu loh .. "Jangan coba-coba main-main dengan saya!". Tapi semakin lama dia mengenal Albercio, semakin Bebi menemukan sisi-sisi kehangatan yang selama ini gak pernah dimunculkan dari sosok seorang Albercio. Secara kan yang selama ini Bebi tau, dari hari pertama Albercio menginjakkan kaki di perusahaan tempatnya bekerja, cowok itu selalu menyebalkan, dingin, arogan, dan susah ditebak yang pernah Bebi kenal di sepanjang karirnya sebagai seorang sekretaris. Malah saking gak bisa ditebaknya, apapun yang dilakukan Albercio selalu menjadi kejutan yang gak bisa disangkal bagi Bebi.
Bebi melirik jarum jam dindingnya. Udah hampir waktunya jam makan malem, tapi Albercio belom juga pulang. Dari semenjak pergi tadi sampe sekarang cowok itu malah gak ngasih kabar, walopun dengan WA sekalipun. Berbagai pikiran melayang ke satu-satunya sosok itu.
"Kamu lagi ngelamunin apa, Bebi?"
Bebi menoleh ke arah asal suara dengan wajah bingung. Tepat di ambang pintu, ada Albercio yang udah entah dari kapan cowok itu berdiri di situ sambil melipat tangan di dada. "Lo udah pulang? Kok gue gak denger suara bel?"
Albercio masuk ke kamar Bebi dengan gaya santuynya. Cowok keren itu memasang senyum terbaiknya. Kemudian mengambil posisi duduk di pinggir ranjang Bebi. "Udah. Barusan. Kamu lagi asik ngelamun, makanya gak kedengeran. Lagi ngelamunin apa sih?"
Bebi menggeleng dan memasang senyumnya. "Udah makan? Mau dimasakin apa?"
"Masak? Emang kamu bisa masak?"
"Jangan mentang-mentang muka gue standar trus lo bilang gue gak bisa masak!", ancam Bebi kesal.
Albercio menggeleng. "Gak usah. Kita makan di luar aja yuk."
Bebi menghela nafas dan mengangguk pasrah. Albercio emang special. Saking spesialnya sampe-sampe Bebi takjub dengan semua kejutan yang dibuat cowok itu tanpa memberi kesempatan Bebi untuk memilih menerima ato menolak. Dan lagi-lagi Bebi gak tau harus menyebut ini semua sebagai anugerah ato ..
"Kok ngelamun?" Suara lembut Albercio membuyarkan lamunan Bebi, membuat cewek itu menoleh ragu ke arah asal suara. "Ayo sana siap-siap. Dandan yang cantik ya."
"Emang mau kemana? Mau makan dimana? Nanti kalo kita makan di luar, yang nemenin Ka Lucky siapa?"
"Kan saya udah bilang ke kamu tadi siang. Saya udah suruh lima pengawal saya untuk nemenin Kak Lucky di rumah sakit. Lagian, saya juga udah izin dia kok mau ajak kamu pergi dulu."
"Emang kita mau kemana? Mau makan dimana? Di resto mewah lagi? Gak mau ah."
Albercio memasang senyum gelinya. Dari dulu, Bebi emang gak berubah. Nanya sendiri, jawab sendiri. Hahaha ... "Kamu lucu."
Bebi mengerutkan keningnya. Merasa janggal sama omongan Albercio barusan. "Lucu? Apanya yang lucu? Gue kan lagi gak ngelawak, Al."
"Ya kamu lucu. Kamu nanya sendiri, jawab sendiri."
Bebi gak menjawab. Dia malah sengaja memasang ekspresi duck face sesaat saking keselnya. Membuat Albercio semakin merasa gemas padanya.
"Tebak aja.", sahut Albercio mesra sambil memeluk tubuh Bebi dari belakang. "One of your dream city."
Bebi menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gak mungkin! Gak mungkin Albercio sampe tau kota-kota impian yang pengin Bebi datangi. Albercio pasti bercanda soal ini. "Jangan bercanda, Al. Emang lo tau kota impian yang gue kepingin banget datengin?"
"Tau, dan kamu tinggal sebut aja mau ke mana yang pengen kamu datengin duluan. Malah kalo kamu mau datengin semua kota di Eropa juga boleh."
"Jangan sok tau deh, Al."
"Bukan sok tau. Saya emang tau semua soal kamu."
"Oh ya? Emang lo tau dari mana coba?"
"Saya tau semua soal kamu lebih dari yang kamu pikirin", sahut Albercio sambil memutar tubuh Bebi dan membuatnya beradu pandang dengan Albercio. "Makanya kamu tolong berenti bermain-main sama saya. I've got you, Bebi."
"For your information, Tuan Muda Albercio yang terhormat, sekalipun gue gak pernah dan gak akan pernah main-main dengan pekerjaan gue. Dan gue sampe sekarang masih gak ngerti, main-main yang lo maksud itu dari segi dan sudut apa? Jujur nih ya, ini tuh jadi pertanyaan gue selama ini. Apa kita pernah ketemu dan saling kenal sebelomnya?"
"Dijawabnya nanti aja. Sekarang kamu buruan siap-siap.", sahut Albercio sesaat setelah mengecup pelan pipi Bebi.
Lagi, Bebi harus menghela nafas dan mengalah.
*
"Al, udah belom sih?"
Bebi menggenggam tangan Albercio dari sepanjang perjalanan tadi. Bukan apa-apa, ini semua gara-gara cowok itu memaksa Bebi untuk memakai penutup mata. Alasan klasik, kan namanya juga kejutan. Padahal ya, sumpah, Bebi tuh paling sebel kalo dikasih kejutan tapi harus menutup mata dulu. Dan sekarang Albercio memperlakukannya begitu. Jadi, kebayang kan gimana sebelnya Bebi?
"Ini bentar lagi sampe. Sabar.", sahut Albercio. Sesaat kemudian, cowok itu membuka ikatan kain penutup mata Bebi sambil menahan senyumnya dan membiarkan Bebi mencerna sendiri suasana pemandangan yang saat ini dilihatnya.
"Al!", teriak Bebi histeris. "Ini Belize, Al. Kita di Belize!"
"Welcome to Belize." Albercio mengangguk. Dugaannya bener. Bebi sesenang itu berada di sini. "Gimana, kamu suka?"
Bebi langsung mengangguk cepat dan menghambur diri ke pelukan Albercio saking senengnya. Lagi-lagi dia gak habis pikir dengan kejutan dari Albercio. Belize coy! Di saat banyak pasangan yang memilih Maldives untuk menghabiskan waktu bersama, Albercio malah membawa Bebi ke Belize! Wow .. emejing kan! Bener-bener lain daripada yang lain.
*