Pesawat yang Albercio tumpangi mendarat sempurna di Jakarta, dan Albercio sendiri langsung memesan taksi meninggalkan Rere dan Seo Ji di Korea untuk mengawasi proyek. Albercio pulang seorang diri, karna sebuah video yang masuk ke akun emailnya. Albercio emang menyuruh seseorang untuk menyelidiki CCTV di sekitar kafe tempat Lucky kerja dan CCTV di sekitar kosan Bebi sekitar empat-lima bulan yang lalu, dan hasilnya keluar hari ini.
"Reza bajingan!" Albercio meremas ponselnya saat melihat sosok Reza tertangkap di CCTV. Termasuk saat cowok itu dateng bareng orang-orang suruhannya dan saat salah satu orangnya menusuk perut Lucky.
Tapi kenapa Bebi gak cerita apapun soal Reza? Kenapa cewek itu juga gak cerita soal kejadian tiga-empat bulan yang lalu?
Albercio mengacak rambutnya frustasi. Dia inget reaksi Bebi saat pertama kali mereka ketemu. Dia juga ingat beberapa kali Bebi merenung seolah berusaha mengingat ato mengenyahkan sesuatu. Ah entahlah!
Untung aja taksi yang Albercio tumpangi melesat dengan cepat sampe ke kosan Bebi. Dan cowok itu langsung menekan sederet angka nomor telepon Bebi, namun tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk. "Ya?"
"Halo, Tuan Muda?" Terdengar suara khas Joan dari seberang telepon. "Ada Nona Bebi di sini. Di rumah Tuan Rein."
-KLIK-
Albercio gak menjawab. Cowok itu malah langsung mematikan telepon dan langsung melesat pergi lagi dengan taksi yang tadi ditumpanginya.
*
Bebi terpaksa harus membuka matanya begitu mendengar suara bel rumah yang membabi buta. Kepalanya masih terasa sakit dan badannya masih terasa lemas akibat muntah-muntah tadi. Diliriknya selintas jam digital di atas meja. Jam 9 malem.
Bebi beringsut bangun dan menjejakkan kakinya ke lantai. Lalu dengan mata yang masih setengah terpejam, dia berjalan menuruni anak tangga. "Iya tunggu!"
Dan begitu pintu terbuka, tatapan mata Bebi terpaku. Rasa kantuknya langsung sirna. Di hadapannya berdiri tiga orang cowok bertubuh tegap lengkap dengan jas, dasi, dan sepatu berpantofel serta kaca mata hitam. Wajah kaku nan datar tanpa senyum. "Ya, ada apa ya?"
"Kami mau bertemu dengan Mbak Bebi.", sahut salah satu cowok bertubuh tegap itu.
"Sa ... Saya Bebi. Ada yang bisa saya bantu?" Jantung Bebi langsung berdegup cepat. Ini ada apaan sih? Perasaan dari kemaren malem dia gak melakukan kesalahan apapun. "Siapa kalian?!"
"Bisa Anda ikut kami sekarang? Tuan mau ketemu dengan Anda, Mbak."
"Tuan? Tuan siapa?!" Oke, fine. Bebi bener-bener gak ngerti mereka ini siapa. Tapi yang jelas, Bebi bisa menyimpulkan dengan satu kata untuk mereka bertiga. Mafia.
"Dijawabnya nanti aja ya Mbak. Mbak bisa ikut kami sekarang kan?" sahut cowok berjas yang satunya lagi. "Tuan udah menunggu kedatangan Mbak."
Bebi menghela nafas. "Oke, tunggu di sini sebentar. Saya ganti baju dan cuci muka dulu."
"Baik."
Bebi langsung melangkah cepat kembali ke kamarnya. Dahinya berkerut. Entah mimpi apa dia semalem sampai pagi-pagi begini malah digentayangin oleh 'mafia'. Bebi bergidik ngeri. Padahal dari semalem dia udah niat bakal bangun siang.
Setelah cuci muka dan sikat gigi, Bebi membuka lemarinya dan memilih satu kemeja berwarna peach dan satu celana panjang bahan berwarna hitam. Untuk alas kaki, dirinya memilih flat shoes warna peach juga. Kemudian, dia menguncir rambut panjangnya ala ekor kuda dan bersiap turun.
"Silakan masuk, Mbak.", ucap sang 'mafia' begitu Bebi sampai di teras dan selesai mengunci pintu. Cowok bertubuh tegap itu ternyata udah membukakan pintu mobil khusus untuk Bebi.
"Thanks.", sahut Bebi singkat.
Untuk sesaat nafas Bebi tercekat. Jiwa missqueennya bergejolak. Apalagi begitu menyadari betapa mewahnya interior kabin mobil yang ditumpanginya sekarang. Huh! Kalo ada dia gak inget kondisinya yang masih lemah gara-gara muntah-muntah tadi, mungkin Bebi udah bersemangat buat foto selfi sekarang.
*
Bebi terpaku begitu kakinya menjejakan tanah di depan sebuah rumah mewah nan megah. Dan keterpakuan cewek itu semakin sempurna begitu pintu gerbang rumah yang terbuka otomatis, dan menampilkan barisan puluhan asisten rumah tangga hingga ke pintu utama rumah. Di sisi samping rumah, ada sebuah taman yang luasnya hampir tiga perempat dari luas komplek perumahan tempat Bebi tinggal, lengkap dengan sebuah kolam ikan besar berbentuk bundar dan hiasan air mancur di tengahnya. Gila! Ini bener-bener gila! Sekalipun Bebi gak pernah bermimpi bakal menjejak kakinya di rumah semewah dan semegah ini, tapi saat ini semuanya nyata. NYATA, bukan halusinasi.
"Selamat datang di rumah kami, Nak Bebi." Terdengar sapa ramah seorang bapak-bapak yang membuat Bebi tersadar dari lamunannya dan mengangguk canggung. "Silakan masuk."
Bebi mengikuti langkah sang bapak tua itu ke dalam ruang tamu yang ternyata berdesain interior jauh lebih mewah dari desain eksteriornya. Perpaduan warna soft brown dan cream menjadi pilihan cat dinding di ruangan ini, memberikan kesan hangat sekaligus menenangkan. Sofa pilihan pun menjadi satu-satunya attention center di mata Bebi. Cewek itu sangat yakin, semua perabotan yang ada di rumah ini pasti dipesan langsung ke produsen di mancanegara. Bener-bener terlihat limited edition!
"Silakan duduk.", lanjut sang bapak itu lagi. "Mau minum apa?"
Bebi memaksakan seutas senyumannya. "Air es aja kalo boleh, Pak."
Sekali lagi Bebi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Dia masih serasa mimpi berada di rumah semegah istana ini. By the way, ini rumah siapa ya?
"Perkenalkan, saya Tuan Rein. Saya papanya Albercio.", tambah sang bapak yang ternyata bernama Rein itu. "Ada yang mau saya bicarakan dengan Nak Bebi. Soal hubungan kamu sama Albercio. Kalian baik-baik aja kan?"
Bebi terpaksa mengangguk pelan. Jujur, sebenernya Bebi sama sekali gak ngerti. Konsentrasinya belom sepenuhnya kumpul. Secara kan tadi dia terbangun karna suara ketukan yang membabi buta. Lagipula bagi Bebi, apapun itu yang berkaitan antara dirinya dan Albercio biarlah cukup mereka berdua aja yang tau. "Baik-baik aja kok, Pak."
"Ada yang ingin saya bicarakan sama Nak Bebi. Mengenai pernikahan."
Apa?! Pe..Pernikahan?! Kepala Bebi semakin terasa pusing. Haduh, mimpi apa sih dia semalem? Dateng-dateng begini langsung disodorin topik soal nikah. Anak sama bapak sama aja ternyata.
"Maaf, Pak, maksud Bapak gimana ya? Dan ini tentang pernikahan siapa dengan siapa? Mohon maaf, saya bener-bener gak ngerti maksud omongan Bapak barusan soalnya.
Tuan Rein mengangguk. Seutas senyum tulus mengembang. Dia sangat paham kebingungan Bebi. Apalagi pertemuan ini serba mendadak dan cewek itu belom pernah bertemu dengannya sebelomnya. "Saya tau siapa kamu, Nak. Kamu sekretaris anak saya di kantor kan? Dan anak saya udah beberapa kali melamar kamu."
Bebi mengangguk. Dia jadi merasa canggung. "Mohon maaf, Pak, sampe dengan saat ini saya belom menerima lamaran dari Albercio karna menurut saya, kami gak bisa maksain diri untuk nikah kalo gak didasari dengan cinta."
Sekali lagi Tuan Rein mengangguk. "Bebi, Albercio udah cerita sama kamu semuanya?"
Kening Bebi berkerut. "Cerita soal apa ya, Pak?"
Tuan Rein menghela nafas. "Soal perasaannya ke kamu."
Bebi mengangguk pelan. "Beliau udah bilang ke saya soal perasaannya ke saya, Pak. Tapi jujur, saya masih bingung dan gak ngerti. Saya merasa kalo selama ini Albercio seolah udah kenal banget sama saya, tapi anehnya saya sama sekali gak kenal sama Albercio."
Tuan Rein mengerutkan keningnya. Dia merasa ada sesuatu yang salah. "Albercio gak cerita sama kamu soal kejadian tiga bulan yang lalu?"
Bebi menggeleng pelan. "Enggak, Pak."
"Kamu beneran gak inget soal kejadian tiga bulan yang lalu?"
Bebi menggeleng pelan. Dia gak berbohong. Dia bener-bener gak inget soal kejadian apapun dalam tiga bulan terakhir, selain soal kecelakaan mobil yang membuatnya harus kehilangan sebagian ingatannya. Itupun dia mati-matian berusaha buat gak diinget-inget lagi. "Enggak, Pak."
Tuan Rein menyipitkan matanya. "Kamu bener-bener gak inget satupun soal kejadian tiga bulan yang lalu?"
Sekali lagi Bebi menggelengkan kepalanya. "Satu-satunya yang saya ingat itu cuma kecelakaan mobil dan gara-gara itu saya harus hilang ingatan sebagian, Pak."
Tuan Rein mendesah pelan. Sekarang dia bener-bener ngerti sama omongnan Bebi tadi. Apalagi begitu menyadari raut wajah bingung Bebi. Itulah makanya gak heran kalo Bebi bener-bener merasa asing pada Albercio. "Oh."
Bebi menghela nafas lalu cuma bisa mengangguk pasrah, biar urusannya cepat selesai. Pusing di kepalanya semakin menjadi. Apalagi ditambah dengan rasa mualnya begini. Euugh .. rasanya bener-bener gak karuan.
"Loh, Yank, kamu di sini?" Tiba-tiba terdengar suara khas Albercio saat Bebi masih memasang senyumnya di depan Tuan Rein. "Saya ke kostan kamu, tapi kamu gak ada. Saya cariin kamu kemana-mana, ternyata kamu lagi di sini? Kenapa hape kamu off?"
Bebi mengalihkan pandangannya dan menghela nafas. Harusnya daritadi dia pamit aja, daripada jadi panjang urusan sama nih Albercio. "Lowbat, Pak. Belom sempat saya charge dari semalem." BOHONG! Itu jawaban terdusta yang pernah Bebi ucapkan di hadapan seorang cowok paling menyebalkan. Padahal sebenarnya, memang sengaja dia matikan. Bebi udah memutuskan untuk jaga jarak dan gak mau lagi berhubungan dengan Albercio.
"Pa, udah selesai ngobrolnya sama Bebi? Albercio perlu bicara juga sama Bebi.", Albercio mengalihkan pandangannya dari Bebi ke Tuan Rein. "Boleh kan?"
Tuan Rein mengangguk lalu berdiri dan meninggalkan sepasang manusia itu. "Kamu kenapa gak bilang kalo Papa manggil kamu ke sini?" tanya Albercio begitu Tuan Rein bener-bener gak terlihat batang hidungnya. "Papa ngomong apa aja sama kamu?
"Harusnya saya yang tanya sama Bapak, Bapak udah cerita apa sama beliau?"
"Saya gak cerita apa-apa."
Bebi menyipitkan matanya. "Yakin? Kok beliau tau Bapak udah melamar saya beberapa kali?"
"Asisten pribadi Papa kayaknya yang bilang. Mata-mata Papa di kantor tuh banyak, Bebi. Mereka bisa selalu setiap saat kasih kabar ke Papa saya lagi ngapain, sama siapa, dimana.", sahut Albercio pelan. Dipandanginya manik wajah Bebi dalam-dalam. Ini pertama kalinya dia bisa melihat wajah Bebi dari dekat semenjak pulang dari Belize. Bukan apa-apa, itu karna Bebi selalu berusaha menghindar dari Albercio, terutama di luar jam kantor. "Kamu kenapa ngehindar terus dari saya? Saya ada salah sama kamu? Salah saya apa sama kamu?"
Bebi menghela nafas dalam-dalam. "Aku gak ngehindar dari kamu, Al. Aku cuma berusaha mencerna semua yang terjadi sama aku belakangan ini. Aku berusaha sendiri buat nemuin jawaban yang belakangan ini aku cari."
"Jawaban? Jawaban apa? Kamu kenapa sih?"
Bebi mendesah pelan. Dengan penuh keberanian, cewek itu sengaja membiarkan sepasang matanya beradu pandangan dengan milik Albercio. "Dari awal kamu selalu bilang ke aku buat berhenti main-main sama kamu, aku tuh jadi mikir sesuatu. Apalagi selama kita di Belize, bikin aku semakin mikir sesuatu hal itu."
"Apa yang kamu pikirin? Kamu lupa apa yang selama ini selalu saya bilang ke kamu?"
Bebi menggelengkan kepalanya. "Kenapa aku selalu ngerasa kayak kamu tuh kenal aku? Kenapa aku selalu ngerasa kayak kita pernah saling kenal dan punya hubungan dekat? Kenapa kamu bisa seyakin itu bilang cinta ke aku? Kenapa kamu juga bisa seyakin itu buat nikah sama aku? Apa yang sebenernya terjadi di antara kita, Al?"
Albercio menghela nafas. "Boleh saya tanya satu hal sama kamu? Apa yang sebenernya terjadi sama kamu tiga bulan yang lalu?"
Bebi menghela nafas. Nafasnya tercekat. Jantungnya berdegup kencang. Membuatnya mrnyadari satu hal. Namun, belom sempet Bebi menjawab omongan Albercio barusan, tiba-tiba tubuh Bebi terjatuh. Cewek itu pingsan!
Albercio mengguncang tubuh Bebi, berusaha membangunkan cewek itu. "Yank? Yank! Bangun Yank!"
*
"BEBI!"
Bebi menolehkan kepalanya begitu mendengar suara seseorang yang udah amat sangat dikenalnya, dan langsung melengkungkan seutas senyuman. Dia sama sekali gak nyangka kalo Reza bakal bener-bener dateng ke sini padahal Bebi sempet sangsi sebelomnya. Bukan apa-apa, tapi hey .. siapa coba yang gak kenal sama Adhitama Elvan Syahreza? Sok tunjuk tangan!
Adhitama Elvan Syahreza. Seorang presdir termuda dan terkenal. Gak ada satupun bisnis yang dibangunnya yang gak maju pesat, bahkan sampe ke mancanegara. Seorang cowok ganteng paripurna yang selalu bisa membuat para cewek-cewek klepek-klepek dan berteriak histeris seperti orang gila meski sekedar mendapat senyuman tipis darinya. Tapi Bebi, cewek itu mencatat baik-baik nama itu. Seseorang yang istimewa karna udah selama bertahun-tahun cewek itu selalu menganggap Reza seperti kakak kandungnya sendiri, meskipun sebenernya Bebi udah punya Lucky sebagai kakak kandungnya yang asli. Apalagi saban hari Reza selalu menghabiskan waktu luangnya di rumah Bebi, menemani Bebi hampir di segala hal sampe-sampe membuat hubungan mereka nyaris gak ada rahasia satupun.
"Udah nunggu daritadi?", tanya Reza sambil menduduki kursi kosong tepat dihadapan Bebi.
Bebi menggelengkan kepalanya. Mau nunggu selama apapun, itu udah sesuatu yang dimaklumkan Bebi. Yah namanya juga orang super sibuk. "Ya begitulah."
"Sorry ya, Beb. Tadi kerjaan lagi nanggung banget.", sahut Reza dengan rasa bersalah. "Kamu udah pesen?"
Lagi, Bebi menggelengkan kepalanya. "Belom. Gue nunggu Mas Reza dulu. Biar enak ngobrolnya sambil makan bareng."
"Tapi kalo sambil makan bareng, nanti dikira kita lagi ngedate loh.", goda Reza.
"Ya biarin aja. Suka-suka mereka mau mikir gimana soal kita. Toh yang tau aslinya hubungan kita gimana kan emang cuma kita."
Reza menganggukkan kepala dan memasang senyum terbaiknya. Walopun sebenernya dia gak sependapat sama omongan Bebi barusan, tapi demi menjaga hubungannya dengan Bebi ya mau gimana lagi? Mau gak mau dia harus tetep berusaha sesuai trek, meskipun sebenernya jauh di lubuk hati Reza mulai menyukai dan menyayangi Bebi. Bukan sebagai seorang adik, tapi sebagai seorang lawan jenis. Wajar kan? Secara cinta tumbuh karna terbiasa.
"Oh ya, Beb, Mas besok mau ada business trip ke Spore sama Kanada. Kamu mau ikut gak?", lanjut Reza sesaat setelah membuat pesanan ke pelayan resto.
Bebi menggeleng ragu. "Gak ah."
"Kenapa?"
"Takut ganggu kerjaan, Mas. Lagian juga, Bebi belom izin sama Ka Lucky."
"Gak ngeganggu, Bebi. Kan kamu bisa stay di hotel ato gak jalan-jalan selama Mas lagi handle kerjaan. Untuk urusan izin, nanti biar Mas yang bilang ke Lucky. Gimana? Paspor kamu belom abis masa berlakunya kan?"
"Belom sih."
"Yaudah kalo gitu. Kamu terima beres. Semua urusan, termasuk visa sama akomodasi, biar Mas yang urus. Gimana?"
Bebi mendesah pelan, lalu menganggukkan kepalanya.
*