Chereads / Wind Flower / Chapter 20 - 17

Chapter 20 - 17

Oohhhh oh, oh..

It never crossed my mind at all.

It's what I tell myself.

What we had has come and gone.

You're better off with someone else.

It's for the best, I know it is.

But I see you.

Sometimes I try to hide

What I feel inside,

And I turn around.

You're with him now.

I just can't figure it out.

Tell me why you're so hard to forget.

Don't remind me, I'm not over it.

Tell me why I can't seem to face the truth.

I'm just a little too not over you.

Not over you....

Memories, supposed to fade.

What's wrong with my heart?

Shake it off, let it go.

Didn't think it'd be this hard.

Should be strong, movin' on.

But I see you.

Sometimes I try to hide

What I feel inside.

And I turn around,

You're with him now.

I just can't figure it out.

Tell me why you're so hard to forget.

Don't remind me, I'm not over it.

Tell me why I can't seem to face the truth.

I'm just a little too not over you.

Maybe I regret everything I said,

No way to take it all back, yeah...

Now I'm on my own..

How I let you go, I'll never understand.

I'll never understand, yeah, oohh..

Oohhh, oohhh, oohhhh..

Oohhh, ooohhhh, oohhh.

Tell me why you're so hard to forget.

Don't remind me, I'm not over it.

Tell me why I can't seem to face the truth.

I'm just a little too not over you.

Tell me why you're so hard to forget.

Don't remind me, I'm not over it.

Tell me why I can't seem to face the truth.

And I really don't know what to do.

I'm just a little too not over you.

Not over you, oohhh..

---

Reza memijit pelipisnya dengan lelah sambil melepaskan headset bluetooth yang dari tadi menyumpal telinganya. Matanya masih memandang lurus ke layar laptop di hadapannya yang sedang menampilkan sederet nominal angka beberapa digit. Diliriknya selintas jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu pagi.

Pukul setengah satu pagi, masih terlalu pagi untuk memulai pekerjaan. Istirahat yang cukup sebelum memulai marathon pekerjaannya ketika matahari terbit. Tapi hari ini berbeda. Pikirannya terus melayang ke satu nama. Membuat Reza lagi-lagi menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya. Dia udah berusaha untuk tidur, tapi gak bisa. Setiap kali dia memejamkan matanya, selalu aja ada yang mengganjal pikirannya. Apalagi kejadian tadi siang yang masih membekas di benaknya, Membuat Reza tanpa sadar mengepalkan tangannya.

Selama ini Reza berusaha selalu ada di samping Bebi. Selama ini dia berusaha selalu mengabaikan cewek-cewek cantik yang mendekatinya, bahkan tanpa segan mengusir mereka. Selama ini hati dan cintanya selalu tertuju pada senyuman Bebi yang selalu membuat jantungnya gak karuan dan darahnya yang berdesir hebat. TAPI KENAPA CEWEK ITU MALAH MEMILIH ALBERCIO?!

Reza memijit pelipisnya dan menghela nafas. Cowok itu bener-bener harus ambil keputusan, sebelom terlambat dan Bebi bener-bener menikahi Albercio.

Reza merogoh saku celananya, menekan sederet angka yang dikenalnya, lalu menghela nafas sambil membiarkan seseorang di seberang sana menjawab panggilan teleponnya.

"Halo, Ricky? Ini gue Reza. Gimana soal yang tadi?"

"Oh itu.", sahut Ricky dari seberang telepon sana. "Sorry sebelomnya nih, Bos. Tapi sekarang saya udah gak main begituan lagi. Jadi mohon maaf ya, Bos. Bos harus cari orang lain lagi."

Reza meremas ponselnya. Rasa panas mulai merambat naik ke ubun-ubun kepalanya sampe-sampe mukanya memerah. Ini kedua kalinya dia ditolak dan jelas itu membuat emosinya mendidih. "Lo bilang apa barusan? Lo gila ya?!"

Ricky menggelengkan kepalanya meskipun dia tau kalo Reza gak bisa melihatnya. "Gue gak gila, Bos. Gue cuma udah gak mau ngelakuin hal kayak gitu lagi. Gue takut, Bos."

Reza mendecak kesal. Ini pertama kali Reza dengar soal ketakutan Ricky. Oh hellooooooo! Kenapa baru sekarang tuh cemen bilang takut? Kenapa gak dari dulu-dulu?! Huh! "Lo bener-bener gila, Rick! Sekarang aja lo bilang takut. Dulu-dulu kemana?! Ayolah tolongin gue. Sekali ini aja bantu gue buat ngelewatin orang. Lo gak usah pikirin apapun. Berapapun harga lo, gue bayar cash sepuluh kali lipat."

Ricky mendesah pelan. Dia tau Reza bakal meresponnya begini. Secara dari jaman kapan tau, Reza emang selalu mengandalkan Ricky khusus untuk urusan lewat-lewatin orang begini. Entah udah ratus orang yang harus kehilangan nyawanya di tangan Ricky. Tapi sumpah demi apapun. Kali ini, Ricky emang bener-bener pengin berhenti dari dunia begituan. Apalagi saat ini ada bayi kecil yang baru aja lahir dari rahim istrinya. Toh biar gimanapun, dia gak mau karmanya di masa lalu bakal menghantam anak cucunya. Ricky bener-bener bersumpah bakal melepaskan semua urusan jagal menjagal hidup orang lain lagi.

"Gue bener-bener minta maaf, Bos. Gue udah gak bisa lagi ..."

-KLIK-

Belom sempet Ricky menyelesaikan omongannya, Reza udah lebih dulu memutus sambungan teleponnya dan membanting ponselnya sampe hancur.

*

Bebi memajukan bibirnya beberapa senti dan memasang ekspresi manyun-manyun ala duck face sambil menatap wajah tenang Albercio yang masih terpaku ke layar tabletnya begitu Driver Louis menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah sakit ibu dan anak. "Kita ngapain sih di sini, Al?"

Albercio menutup cover tabletnya dan memandangi wajah Bebi dengan lembut sambil memasang senyum terbaiknya. "Periksa kandungan kamu."

Bebi menggelengkan kepalanya dan menghela nafas. Dia sama sekali gak ngerti isi pikiran Albercio. Kejutan demi kejutan yang dilakukan cowok itu ternyata masih sama. Gak pernah bisa membuat Bebi untuk menolak. "Aku gak mau, Al."

Sekali lagi Albercio memasang senyumnya. Digenggamnya dengan lembut jemari Bebi sambil sesekali dikecupnya punggung tangan cewek itu. "Kenapa kamu gak mau? Emang kamu gak pengen tau perkembangan calon anak kita? Saya aja penasaran, mukanya mirip saya ato kamu ya?"

Bebi mendecak kesal sekaligus terharu begitu mendengar omongan Albercio barusan. Ini kali keduanya cowok itu menyebut janin di kandungan Bebi dengan sebutan calon anak kita. Ya Tuhan ... entah harus gimana lagi Bebi sekarang ini? Seharusnya gak ada hal lain yang membuatnya bersyukur, tapi gak tau kenapa sampe saat ini dia masih belom bisa nerima takdirnya sekarang ini dengan selapang dada. "Mukanya belom keliatan, Al."

"Kenapa belom keliatan? Ahh ... padahal saya bener-bener penasaran.", sahut Albercio sambil mengelus perut Bebi. "Hari ini kamu diperiksa sama Om Dokter dulu ya, Anakku."

Lagi, Bebi terharu dan membiarkan air matanya tumpah membasahi kedua pipinya. Membuat Albercio mengalihkan pandangannya dan langsung buru-buru menghapus sisa air mata di pipi Bebi. "Apaan sih, Al?"

Albercio menghela nafas dengan pelan. Dia bisa memahami kalo Bebi emang belom sepenuhnya bisa menerima takdirnya sekarang ini, tapi bukan berarti cewek itu bisa terus memenangkan egonya begini. "Sayangku, Manisku, Cintaku ... jangan begini atuhlah. Saya tau kamu masih belom bisa nerima kondisi dan situasi sekarang ini. Tapi please, jangan egois. Gak cuma saya yang kepengen anak ini lahir dan tumbuh dewasa sebagai anak kita, tapi anak ini juga kepengen lahir dan membahagiakan kita dengan segala suka cita nantinya. Ayolah."

Gantian, sekarang giliran Bebi yang menghela nafas. Dipandanginya wajah Albercio dalam-dalam dan menemukan kesungguhan hati cowok itu. Membuat Bebi menyadari satu hal. Albercio bener-bener serius padanya. "Oke."

"Nah gitu dong.", sahut Albercio sambil memasang senyum terbaiknya. Lalu turun dari mobil dan menggandeng Bebi dengan erat.

*

Albercio langsung memasang senyum terbaiknya begitu memasuki ruangan Dokter Rinaldi. Bahkan saat cowok itu menjatuhkan bokongnya di kursi, Albercio masih memasang senyum penuh pesonanya. Bukan apa-apa, setelah sekian lama akhirnya dia ketemu lagi dengan sahabatnya dari jaman kuliah dulu. "Sorry nih saya datengnya telat, Di. Oh ya, kenalin, ini calon istri saya."

"It's okay." Dokter Rinaldi mengangguk pelan. Dia memaklumi omongan Albercio barusan. Gak lama, dr. Rinaldi mengalihkan tatapannya ke arah Bebi dan menyalami cewek itu. "Halo Mbak Bebi. Udah berapa minggu usia kandungannya?"

Bebi mengangguk dan memasang senyum tipisnya. "Delapan minggu, Dok."

Sekali lagi dr. Rinaldi memasang senyumnya sambil melirik ke arah Albercio. Dia sama sekali gak nyangka kalo seorang Albercio yang selama ini dikenalnya berhati dingin ternyata ...

"Mukanya kira-kira mirip saya ato mamanya nih, Di?", sahut Albercio begitu menyadari arti tatapan dari sahabatnya. Dia memaklumi kalo sahabatnya sampe meliriknya seniat itu. Apalagi selama ini kan emang Albercio dikenal sebagai cowok kalem berhati dingin. Tapi saat ini, semua penilaian semacem gitu udah gak berpengaruh apapun buat Albercio. Rasa cintanya pada Bebi membuat Albercio gak peduli lagi soal jaga image.

"Kita USG dulu aja ya. Semoga ganteng seperti papanya, kalo cowok. Dan kalo cewek, semoga cantik seperti mamanya.", sahut Dr. Rinaldi ramah.

Bebi melirik selintas ke arah Albercio, dan langsung mengangguk ragu begitu Albercio mengangguk. Tanda kalo cowok itu setuju dengan omongan dr. Rinaldi barusan.

*

Albercio tersenyum tipis sesaat sambil menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Bebi setelah memarkirkan mobilnya di lot parkir apartemennya dan menoleh ke wajah Bebi. Entah sejak kapan cewek itu tertidur pulas seperti sekarang. Wajah polos dan penuh ketenangan Bebi membuat Albercio gak mau membangunkannya. Albercio menghela nafas. Cowok berwajah tampan bak Dewa Yunani itu pun akhirnya memutuskan untuk menggendong Bebi dan membawanya masuk ke dalam apartemennya. Ini adalah salah satu cara yang paling tepat daripada harus membangunkannya.

Albercio diam-diam salut dengan cewek yang saat ini ada di gendongannya. Bertahun-tahun cewek itu hidup mandiri di tanah perantauan. Segala sesuatunya dia kerjakan sendiri. Meskipun sempat goyah saat seseorang melukai Lucky dan Reza yang kini menghamilinya, namun ketangguhan dan ketegaran cewek itu bener-bener udah gak perlu diragukan lagi. Albercio sadar, emang ada cewek dimanapun yang bakal masih bisa tetep berusaha tegar menerima kenyataan seperti Bebi sekarang ini, bahkan tanpa bener-bener berbuat nekat yang bisa melukai dirinya dan janinnya.

Albercio membuka pintu kamar Bebi yang bernuansa coklat kayu itu dengan sebelah tangannya dan melangkah masuk. Diturunkannya tubuh cewek itu di atas ranjang dan melepaskan sepatunya. Ada gurat perasaan sedih sekaligus haru menyusup di hati Albercio. Dan karna itulah, Albercio bener-bener berjanji bakal berusaha semampunya untuk membahagiakan Bebi. Bakal berusaha mengganti semua air mata duka cewek itu dengan air mata kebahagiaan. Bakal berusaha mati-matian menjaga dan melindunginya.

"Sleep tight, Calon Istri dan Anakku." Albercio mencium kening Bebi sesaat sebelom bergegas keluar dan menutup pintu.

*