Chereads / Wind Flower / Chapter 22 - 19

Chapter 22 - 19

Pagi baru aja memulai hari. Mentari pun mulai beranjak dari singgasana semesta di ufuk timur seiring dengan nyanyian merdu dari burung-burung kecil di atas ranting pohon. Begitupun dengan birunya langit yang mulai terhampar luas dengan beberapa awan yang bergerak pelan dan semilir angin yang berhembus.

Bebi menghela nafas. Tatapannya terpaku pada pantulan dirinya di cermin yang menampilkan sosok seorang cewek dengan riasan flawless serta rambut yang di sanggul dengan gaya trending jaman now dan tubuh yang dibalut dengan gaun pengantin berwarna putih berekor panjang.

"Bebi Sayangku .. kamu kenapa ngelamun?" Terdengar suara khas Albercio sesaat setelah cowok itu masuk ke kamar Bebi dan berdiri di belakang Bebi sambil memegangi kedua bahu istrinya itu. "Ada yang ganggu pikiran kamu?"

Bebi menggeleng pelan. "Enggak, Al."

"Kalo gak ada yang ganggu pikiram kamu, kenapa kamu ngelamun? Ini hari bahagia kita loh."

Bebi membalikkan badannya dan membiarkan manik matanya beradu pandang dengan tatapan teduh Albercio. "Kamu bahagia?"

Albercio memasang senyum terbaiknya dan mengangguk pelan. "Saya bahagia. Kamu tau kenapa? Karna sekarang cewek cantik yang sekarang ada dihadapan saya ini udah sah jadi istri saya dan sebentar lagi saya juga bakal jadi seorang ayah dari bayi yang ada di kandungan kamu ini."

Bebi mengangguk pelan. Sebisa mungkin cewek itu membiarkan seutas senyum tipis di wajahnya. "Makasih udah memilihku, Al. Makasih kamu udah berkorban banyak untukku."

Albercio mengangguk. Dielusnya dengan lembut punggung Bebi. "Love needs a sacrifice, Bebi. Tapi menurutku, cinta saya ke kamu bukan sesuatu yang membutuhkan pengorbanan. Dangsin-eul saranghamnida, Bebi. So please mulai saat ini lepasin semua beban kamu. Bagilah dengan saya, apapun itu. Sedih kamu. Kecewa kamu. Marah kamu. Kebahagiaan kamu."

Bebi mengangguk pelan. Sumpah demi apapun dia merasa terharu begitu mendengar omongan Albercio barusan. Inikah yang dinamakan anugerah yang gak boleh didustainya? "Makasih, Al."

Lagi, Albercio mengangguk pelan dan mencium kening Bebi. Lama dan mesra. "Sekarang ayo kita turun ke bawah. Gak enak sama tamu-tamu yang lain. Kita kan belom nyambut mereka."

"Kamu turun duluan aja. Aku mau tenangin diri dulu. Lima menit lagi baru turun."

"Yaudah. Beneran loh ya lima menit?"

Lagi, Bebi mengangguk. Jantungnya berdegup semakin gak menentu. Apalagi sampe sekarang Bebi sendiri sama sekali gak pernah menyangka dirinya bakal ada di sini sekarang setelah melalui banyak kerikil yang melukai perjalanannya.

Tapi langkahnya terhenti di anak tangga terakhir. Tatapannya terpaku ke sosok seseorang yang sama sekali gak diharapkannya. Bebi bener-bener gak tau harus gimana. Dia speechless. Dan yang pasti, lututnya sekarang bener-bener lemes. Secara seingetnya dia emang gak mengundang Reza ke hari pernikahannya sekarang, tapi kenapa cowok itu bisa ada di sini sekarang?

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Sebentar aja.", ucap Reza pelan tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Bebi. "Bisa?"

Bebi menghela nafas dengan amat sangat pelan. Tatapannya masih terpaku ke wajah Reza dan mulutnya masih terkunci rapat-rapat. Tangannya mengepal. Tanda kalo dirinya berusaha menahan semua emosi yang tiba-tiba membuncah gak karuan. "Diantara kita udah gak ada yang perlu dibicarain lagi, Mas."

Gantian sekarang giliran Reza yang menghela nafas sambil menundukkan wajahnya sesaat sebelom akhirnya memberanikan diri mendekati Bebi. Tatapan matanya yang tajam terlihat berkali-kali lipat lebih menyeramkan dari sebelomnya. Gak lama, cowok itu mencondongkan tubuhnya, berusaha mensejajarkan bibirnya dengan telinga Bebi.

"Sampe kapanpun Mas gak rela kamu nikah sama Albercio. Dan Mas juga gak rela kalo anak yang ada di rahim kamu ini bakal manggil Albercio dengan sebutan Papa. Kamu tau kenapa? Karna seharusnya yang harusnya kamu nikahin itu Mas, bukan Albercio itu. Apalagi sekarang kamu hamil anak Mas."

Bebi menatap dalam-dalam sepasang manik mata Reza dan berusaha mengabaikan rasa takutnya. Gak tau kenapa tiba-tiba naluri keibuannya menyuruhnya untuk bertindak. Siapapun boleh aja menyakitinya, tapi Bebi gak bakal ngebiarin siapapun menyakiti anaknya dan keluarga kecilnya ini.

"Mulai sekarang lo jangan pernah lagi muncul di depan gue, Mas. Gue gak mau ketemu lo lagi. Gue juga gak peduli sama omongan lo barusan. Lo tau kenapa? Karna saat ini Albercio adalah orang yang tepat untuk jadi ayah dari anak ini. Dan gue bakal pastiin anak ini gak bakal pernah menganggap lo sebagai ayah biologisnya. Camkan itu baik-baik."

Reza memasang senyum sinisnya. Ubun-ubun kepalanya beneran mendidih sekarang. Bisa-bisanya Bebi ngebela Albercio abis-abisan begini padahal apa coba bagusnya? Tanpa sepengetahuan Bebi, Reza mengeluarkan pisau lipatnya dan diacuhkan tepat ke perut Bebi. "Bebi .. kalo Mas gak bisa milikin kamu, maka cowok lain juga gak boleh milikin kamu."

"Lo ngancam gue, Mas? Gue gak takut!", sahut Bebi lantang. Cewek itu sengaja meninggikan nada suaranya biar ada orang lain yang siap menolongnya dan membawanya sesegera mungkin menjauh dari cowok gila yang sekarang ada di hadapannya saat ini, padahal tanpa sepengetahuan Bebi kalo daritadi Albercio berdiri dari balik dinding dan mendengar semua percakapan mereka - Bebi dan Reza. " Sekarang mendingan lo pergi dari sini. Jangan pernah lo berani nunjukin muka lo di depan gue lagi!"

Reza menggelengkan kepalanya dan tiba-tiba ...

"ALBERCIO!!!", teriak Bebi histeris begitu Albercio muncul begitu aja di hadapannya dan membiarkan pisau Reza malah menusuk perutnya. "TOLOOONG!!!"

Albercio menggelengkan kepalanya. tubuhnya ambruk. Darah segar mulai merembes membasahi kemeja putihnya seiring dengan rasa dingin yang mulai menyergap tubuhnya. Tatapannya terfokus ke Bebi. "Kamu gak kenapa-napa?", tanya Albercio terbata-bata.

Bebi mengangguk. Bahunya bergerak naik turun. Air matanya mulai tumpah membasahi kedua pipinya membuat tatapannya auto nanar meskipun dia sempet melihat Reza langsung kabur begitu aja meninggalkannya. "Bertahan, Al. Aku mohon. Bertahanlah. Kita ke rumah sakit sekarang. TOLOOOONGGGG!!!"

Sekali lagi Albercio menggelengkan kepalanya. "Bebi ... kalo nyawa saya gak selamat, tolong jaga anak kita baik-baik. Rawat dan didik dia dengan kelembutan. Sampaikan padanya kalo saya amat sangat mencintainya."

Gantian, sekarang Bebi yang geleng-geleng kepala. Air matanya semakin deras. Rasa panik mulai membuncah di kepalanya. Dan entah mendapat dorongan kekuatan darimana, Bebi berusaha memapah tubuh lemas Albercio ke arah area ballroom resepsinya, berharap Albercio bisa segera mendapat pertolongan dan nyawanya bisa diselamatkan.

*

Bebi sama sekali gak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat penampilannya saat ini. Apalagi dengan noda darah yang menempel di gaun pengantinnya. Dia juga gak peduli sama sekali dengan make up di mukanya yang mulai cracky berantakan karna air matanya yang dari tadi terus menerus tumpah di pipinya. Satu-satunya hal yang dia peduliin sekarang cuma Albercio. Entah gimana, Bebi pengen nyawa cowok itu selamat.

Bebi harus menghentikan langkahnya begitu brankar yang ditempati Albercio memasuki ruang operasi. Cewek itu juga harus terpaksa melepaskan genggaman tangannya dari tangan Albercio. Gak lama, cewek itu terduduk lemas di depan pintu ruang operasi sebelom akhirnya Tuan Rein memapahnya ke kursi tunggu.

"Tenangin diri kamu, Bebi. Percaya sama Papa, Albercio pasti bakal selamat.", ucap Tuan Rein sambil mengelus punggung menantunya itu. "Papa tau banget gimana cintanya dia sama kalian. Jadi Papa yakin banget kalo Albercio bakal selamat dan bisa ngelewatin masa kritisnya."

Bebi mengangguk lemah sambil menghapus air mata di pipinya. Dia bener-bener gak tau harus gimana. Rasanya, dia bener-bener gak siap kalo-kalo harus kehilangan Albercio apalagi setelah semua yang udah cowok itu lakukan untuknya. Membuat Bebi diam-diam berjanji bakal berusaha sebaik mungkin menjadi ibu dan istri yang membahagiakan Albercio. Dan melepaskan semua soal masa lalunya, termasuk melupakan Reza. "Iya, Pa."

"Papa bakal di sini nemenin kamu sampe kondisi Albercio siuman.", lanjut Tuan Rein yang langsung dijawab dengan anggukan kepala dari Bebi.

*

Albercio membuka matanya perlahan dan langsung mengedarkan pandangannya sebelom akhirnya sepasang manik matanya menemukan sebuah genggaman tangan Bebi di tangannya. Membuat cowok itu tersenyum samar. Sumpah ... dia sama sekali gak nyangka kalo Bebi bakal ada di sini, malah masih dengan riasan pengantin di mukanya meskipun bukan lagi dengan gaun pengantin seperti tadi saat cewek itu susah payah membawanya ke rumah sakit.

"Sayangku ...", panggil Albercio pelan. Membuat Bebi membuka matanya perlahan dan langsung memandangi Albercio dengan setengah gak percaya. "Kenapa masih di sini? Kamu harus istirahat, Yank. Kamu kan lagi hamil."

Bebi menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Aku istri kamu, Al. Udah jadi kewajiban aku untuk ngedampingin kamu di apapun kondisi kamu. Lagipula kamu juga pernah minta aku kan buat dampingin kamu. Ya kan?"

Albercio mengangguk pelan. Diulasnya seutas senyum tipisnya. "Saya mencintaimu dengan sederhana, tanpa pernah banyak meminta. Kamu akan tahu, sampe nanti hidupku berlalu, saya cuma bakal bawa cinta kamu aja."

Bebi mengangguk pelan. Rasa haru auto menyergapnya, membuatnya merasakan sesuatu yang baru kali ini dirasakannya. Entah apa itu. Dan sekali lagi Bebi bener-bener gak tau harus gimana, selain bersyukur karna Albercio bener-bener membuktikan omongannya. "Makasih ya, Al."

Gantian, sekarang Albercio yang mengangguk pelan. "Saya yang harusnya berterima kasih ke kamu. Kamu udah buka hati kamu dan nerima saya jadi suami dan ayah dari anak-anak kita."

Bebi gak menjawab. Cewek itu malah langsung menghambur diri dan memeluk Albercio.

*