Bebi memasang senyum terbaiknya sambil melempar selang air yang daritadi dipegangnya, lalu berlari kecil ke arah pager begitu melihat mobil Pajero Dakar berwarna putih yang sangat dikenalnya sambil memasang senyum terbaiknya. Dia sama sekali gak menyangka kalo Albercio bakal pulang secepat ini padahal baru kemaren pagi cowok itu izin business trip ke Singapura karna ada beberapa masalah yang harus dibereskannya di kantor cabang Singapura.
"Jangan lari, Yank. Nanti kepleset!", ucap Albercio sambil menurunkan kaca mobil begitu melihat Bebi buru-buru lari ke arah mobil yang baru aja terparkir sempurna.
"Kok cepet banget sih udah pulang?", sahut Bebi riang. "Bawa oleh-oleh gak?"
"Bawa dong.", sahut Albercio sambil membuka pintu dan turun dari mobil lalu menyodorkan beberapa paperbag berisi oleh-oleh yang sengaja dibelinya tadi dari Singapura. "Ini buat kamu, Yank."
Lagi, Bebi memasang senyum terbaiknya. Kali ini dibarengi dengan sebuah anggukan kepala. Semenjak kejadian delapan bulan yang lalu, Bebi bener-bener berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi istri terbaik untuk Albercio dan menempatkan cowok itu sebagai satu-satunya cinta di hatinya. "Makasih, Yank."
Tapi gak lama kemudian ...
Bebi memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa sakit dan melepaskan begitu aja kantong belanjaan pemberian dari Albercio. Ini udah kesekian kalinya dia merasakan perutnya sakit begini sampe-sampe serasa semua tulang di tubuhnya pada lepas semua. Namun, rasa sakitnya kali ini berkali-kali lebih hebat dari sebelomnya dan sebuah cairan merembes di sela-sela pahanya. Membuat cewek itu buru-buru meraih tangan Albercio supaya gak sampe jatoh lemas ke aspal.
Dan gak perlu dikomando lagi, Albercio langsung menggendong tubuh Bebi, memasukkannya ke dalam mobil dan memasangkan sabuk pengamannya. Lalu melesat pergi. Inilah satu-satunya alasannya mempercepat jadwal kepulangannya dan menyuruh Mark untuk menggantikannya menghandle masalah di kantor cabang di Singapura. Karna Albercio tau, HPL Bebi udah deket dan cewek itu bisa melahirkan kapan aja. "Sabar, Yank."
*
"Terus, Bu! Tarik napas!" Suara lantang Dokter Rinaldi terdengar menyemangati Bebi melewati masa kontraksinya. "Tarik napas yang dalem, Bu! Hitungan ketiga, buang dan dorong ya Bu!"
Bebi menggelengkan kepalanya dan menatap dalam-dalam ke arah Albercio. Rasanya dia udah gak kuat lagi menahan kesakitan ini. Apalagi seluruh tulang di tubuhnya juga rasanya seperti lepas semua berbarengan. Dia sama sekali gak tau kalo bakal sesakit ini saat melahirkan darah dagingnya sendiri. Terpujilah para wanita yang kuat berjuang meahirkan anak-anaknya dengan segala kesakitan seperti ini, meskipun beberapa ada yang memilih dengan cara melahirkan secara ceasar. "Sakit, Yank."
Albercio mencium pelan puncak kepala Bebi dan meneteskan air matanya. Tangannya menggenggam tangan Bebi erat-erat. Kalo aja rasa sakitnya melahirkan bisa ikut dirasakannya, udah pasti cowok itu bakal meminta supaya bisa merasakan kesakitan itu sepenuhnya. Dia bener-bener gak tega harus menyaksikan Bebi sampe sesakit ini demi melahirkan anak mereka. "Semangat, Yank. Ada saya di sini."
"Sakit banget, Yank. Aku gak kuat.". sahut Bebi. Air matanya mulai mengalir deras. Dia gak bohong. Rasanya emang sesakit itu. "Kalo tau begini aku minta operasi ceasar aja, Yank."
Albercio menggelengkan kepalanya. Tanda kalo dia gak setuju sama omongan Bebi barusan. "Jangan begitu. Anak kita udah milih jalan lahirnya sendiri. Kita sebagai orang tua harus mendukungnya. Ayo kita semangat untuk kelahirannya, Yank. Ada saya di sini."
"Terus, Bu! Tarik napas!" Suara lantang Dokter Rinaldi terdengar lagi, menyemangati Bebi melewati masa kontraksinya. "Tarik napas yang dalem, Bu! Hitungan ketiga, buang dan dorong ya Bu!"
Bebi bergeming. Dipandanginya manik mata Albercio dalam-dalam. Dan entah mendapat dorongan dari mana, Bebi merasa mendapat kekuatan penuh dan mengikuti perintah Dokter Rinaldi barusan. Sampe akhirnya ...
Albercio menolehkan kepalanya saat pertama kali mendengar suara tangisan seorang bayi pecah, membuatnya menghembuskan nafas lega dan langsung mencium kening Bebi. Lama dan intim. Dia sama sekali gak menyangka bakal sebahagia ini. Hidupnya bener-bener sempurna sekarang, dengan Bebi sebagai istrinya dan anak cewek yang baru aja dilahirkan dari rahim Bebi.
"Selamat ya, Pak. Anak Bapak perempuan.", ucap Dokter Rinaldi ramah dan memasang senyum terbaiknya. "Wah .. mukanya bener-bener secantik ibunya. Sudah disiapkan namanya?"
Albercio mengangguk pelan dan membiarkan manik matanya beradu pandang dengan manik mata Bebi.
*
Bebi membuka matanya perlahan-lahan. Dia menoleh ke sisi kiri dan menemukan Albercio yang masih terlelap dalam damai. Perlahan jemari Bebi menyusuri setiap inci wajah Albercio dan itu membuatnya tersenyum. Dia sangat bersyukur dengan kehidupannya saat ini. Semuanya berjalan dengan sangat sempurna. Suami yang sangat mencintainya dan seorang bayi perempuan yang sangat cantik.
"Selamat pagi, Sweetheart." Albercio membuka mata dan memberikan sebuah morning kiss tepat di bibir Bebi. "Kamu udah bangun?"
Bebi mengangguk dan beringsut bangun. "Udah. Kamu mau dibikinin kopi?"
Albercio menggelengkan kepalanya sambil merubah posisinya menjadi bersandar ke sandaran sofa. "Gak usah, Yank. Nanti saya pesen di cafe bawah aja. Kamu istirahat aja."
Bebi memasang senyum terbaiknya dan menjejakkan kakinya ke lantai, lalu berjalan mendekat ke arah Albercio. Langkahnya masih tertatih karna masih menyisakan perih akibat persalinannya semalem. Gak lama, cewek itu menjatuhkan bokongnya dengan perlahan. Menduduki ruang kosong tepat di sebelah Albercio dan merebahkan kepalanya ke bahu cowok itu. Tatapannya lurus memandangi sebuah baby box kaca yang berada beberapa meter di hadapan mereka.
Albercio merengkuh tubuh Bebi dan memeluknya erat. Diciumnya puncak kepala Bebi seperti biasanya. "Terima kasih, Yank. Terima kasih karna kamu udah melengkapi hidupku dan membuatku sebahagia ini. Saya bersyukur memiliki kamu dan Lovina. Anak kita."
Bebi mengangguk pelan sambil memejamkan matanya perlahan. Seberkas kisah masa lalu berputar sesaat di benaknya, menyadarkannya tentang satu hal. Takdir.
Albercio memutar tubuh Bebi, membuat cewek itu beradu pandang dengannya. Kedua tangannya tetap merangkul pinggangnya. Lalu dikecupnya perlahan bibirnya. Dilumatnya dengan lembut dan Bebi pun membalas dengan sama lembutnya. Lama bibir mereka saling berpagut.
"Terima kasih, Bebi.", ucap Albercio tulus sembari membelai pipi Bebi. "Terima kasih karna kamu tetap di sisiku. Terima kasih untuk seorang Bebi Lovina Rizki Arkana yang sangat imut dan menggemaskan. Terima kasih untuk hatimu yang udah menerimaku."
Bebi mengangguk pelan. Walopun bibirnya terkunci rapat-rapat, tapi Bebi merasakan sama seperti yang Albercio rasakan. Sebuah rasa haru dan bahagia yang amat sangat membuncah di dadanya. Ini pertama kalinya dia merasa sebahagia ini. Dan itu semua berkat Albercio. Cowok itu bener-bener membuktikan janjinya.
"Al. Semestinya aku yang makasih ke kamu. Ini semua berkat kesabaran kamu menghadapi aku. Makasih untuk cinta yang luar biasa yang selalu kamu kasih untuk aku dan keluarga kecil kita. You are the best for us. Dan aku juga mau bilang sama kamu, tentang sesuatu yang selama ini belom sempet aku bilang ke kamu."
Albercio mengerutkan keningnya. "Kamu mau bilang apa, Yank?"
Bebi menundukkan kepalanya sesaat, berusaha menutupi kedua pipinya yang tiba-tiba memerah. "I love you, Al."
"Apa? Barusan kamu bilang apa? Saya gak denger.", goda Albercio. "Coba ulangin, tadi kamu bilang apa?"
Sekali lagi Bebi menundukkan kepalanya, berusaha menutupi kedua pipinya yang memerah. "I love you. Aku cinta sama kamu. Aku tau, ini udah telat banget. Tapi percaya deh, aku gak boong. Aku beneran cinta sama kamu, Albercio Faresta Arkana."
Albercio menangguk. Sekali lagi bibir mereka saling berpagut, menuntaskan morning kiss dengan lebih manis dan dalam. Albercio bener-bener bersyukur dengan keluarga kecil yang saat ini dimilikinya dan dia berjanji bakal terus menjaga mereka sampe akhir hidupnya.
*