Bebi membuka matanya begitu merasakan kilauan mentari pagi yang menerobos masuk dari celah-celah gordyn. Kepalanya terasa sedikit sakit. Dia meringis pelan, lalu beranjak dari ranjang ketika hawa dingin mulai terasa. Tangan Bebi refleks menjcari remote AC. Siapa yang menghidupkan AC ketika cuaca di Jakarta masih musim hujan begini?
Begitu tangan Bebi meraih remote AC, Bebi tercenung beberapa saat. Samar-samar potongan ingatan tentang dirinya yang menghabiskan sisa malamnya bareng Reza, lalu entah bagaimana alurnya tapi Bebi ingat saat dirinya mendesah kepanasan hingga cowok itu terpaksa menghentikan cumbuannya dan tubuhnya yang melengkung saat merasakan dorongan dahsyat yang keluar dari tubuhnya, membuat Bebi nyaris melompat dari ranjang. Ingatan apa itu?
Buru-buru Bebi meraba seluruh tubuhnya lalu mengintip dari balik selimut yang dipakainya, dan menemukan tubuhnya bener-bener polos tanpa kain apapun, ditambah suara dengkuran lirih dari cowok di sampingnya membuat Bebi menutup mulutnya ketika ssadar punggung telanjang yang berbaring di sampingnya adalah punggung Reza.
Ya Tuhan, apa yang udah mereka lakuin?
Lidah Bebi mendadak terasa kelu. Tatapannya langsung nanar. Bahunya bergerak naik turun, air matanya tumpah seiring isak tangisnya yang mulai terdengar.
*
Bebi membuka matanya begitu tersadar dan langsung berlari ke kamar mandi. Lagi-lagi perutnya terasa sangat eneg dan membuatnya pengin segera memuntahkan isi perutnya meskipun cuma cairan kuning yang berhasil dimuntahkannya. Bebi terduduk lemas di lantai. Membuatnya mau gak mau akhirnya menghela nafas.
Diam-diam dirinya menghitung, bahwa hari ini adalah hari keempatnya mengalami gejala muntah-muntah akut di pagi hari semenjak pulang dari Belize. Bahkan kadang hampir satu hari penuh dirinya harus muntah-muntah. Makanan dan minuman apapun yang masuk ke dalam mulutnya selalu berhasil dimuntahkan kembali olehnya. Jangan-jangan ...
GAK! GAK MUNGKIN!
Bebi menggelengkan kepalanya. Dia gak mau berpikir yang enggak-enggak walopun sempet menyadari kalo dirinya sempet tidur seranjang dengan Albercio waktu mereka di Bali tempo hari itu. Toh walopun tidur seranjang, tapi jelas-jelas Bebi masih inget dengan jelas kalo saat itu mereka gak berbuat sesuatu yang gila dan keluar batas.
Tapi belom sempet Bebi berpikir lebih lanjut, lagi-lagi rasa mual menghantamnya. Membuat tubuhnya semakin lemah.
*
PRANGGG!
Albercio langsung membuka matanya perlahan begitu mendengar suara pecahan namun cowok itu gak bisa menemukan Bebi di sisinya saat cowok itu menoleh. Albercio terdiam sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke arah kamar mandi begitu menyadari asal suara gaduh di sana. Membuat Albercio langsung menyingkap kasar selimut bed cover yang semaleman tadi dipakainya lalu menjejakan kakinya ke lantai. Membiarkan rasa dingin menusuk lapisan pori-pori kulit telapak kakinya saat cowok itu melangkah ke arah kamar mandi.
"Bebi!" panggil Albercio. "Kamu kenapa?"
Hening. Gak ada jawaban apapun dari Bebi. Satu-satunya suara yang bisa didengar Albercio dari luar kamar mandi cuma suara kucuran air yang keluar dari kran air.
Albercio menghela nafas sambil langsung membuka pintu kamar mandi, dan mendesah pelan begitu menemukan Bebi yang terduduk lemas di lantai dengan wajah pucat dan rambut lepek. "Kamu gak apa-apa?"
Bebi menggeleng. "Gak kenapa-napa.", sahut Bebi dengan suara lemah.
"Kamu sakit?", sahut Albercio sambil mengurut pelan tengkuk Bebi. "Mau dipanggilin Dokter Alesha?"
Lagi, Bebi menggeleng pelan. "Gue beneran gak apa-apa, Al. Palingan cuma masuk angin. Bentaran juga sembuh."
"Mana ada masuk angin kalo muntah-muntah sampe kamu pucet begini." Albercio berusaha membangunkan posisi Bebi lalu menggendong cewek itu dengan bride style. "Saya panggilin Dokter Alesha aja ya."
"Gak usah, Vin. Gue beneran gak apa-apa kok."
"Yakin?" Albercio merebahkan tubuh Bebi ke atas kasur dan menyelimutinya. "Saya khawatir. Muka kamu beneran pucet banget, Bebi. Saya takutnya kamu muntah-muntah sampe dehidrasi begini."
Bebi mendecak sebal. "Lo denger gak sih gue tadi bilang apa? Gue gak kenapa-napa. Cuma masuk angin. Udahlah, gak usah lebay. Toh bentaran juga sembuh."
Albercio menghela nafas. "Yaudah kamu istirahat aja. Kalo ada apa-apa, kamu panggil saya ya. Hari ini saya remote kerjaan dari rumah biar bisa nemenin kamu. Saya khawatir ada apa-apa sama kamu.", sahut Albercio sesaat sebelom meninggalkan Bebi yang masih memandanginya dengan tatapan keselnya.
*
Bebi menghela nafas dan memejamkan matanya. Ini udah yang kesekian kalinya dia harus muntah-muntah dari sepanjang pagi tadi. Segala macem cara udah Bebi lakukan untuk meredakan rasa mualnya, tapi sia-sia. Bukannya mereda, malah semakin bertambah parah.
Huft. Bebi menghela nafas. Dipandanginya pantulan dirinya di cermin dalam-dalam. Albercio gak bo'ong. Wajahnya emang kelihatan pucet banget. Apalagi dengan bulir-bulir keringat dingin yang terlihat jelas dari wajahnya. Ada apa dengan dirinya sebenarnya?
"Beb!" Terdengar suara khas Albercio mengalihkan lamunan Bebi. Cowok itu mau gak mau akhirnya harus bolak-balik ke kamar mandi karna saking khawatirnya setiap kali Bebi muntah-muntah di kamar mandi. "Kamu kenapa? kamu muntah-muntah lagi?"
Namun, belom sempat Bebi menjawab ucapan Albercio, tiba-tiba pandangannya menggelap dan ...
*
Albercio menekan tunel tombol pengecil volume suara dan menghentikan laju mobilnya tepat di sebuah rumah mungil bernuansa minimalis modern setelah diliriknya selintas sosok cewek di sebelahnya. Entah sejak kapan Bebi tertidur dengan wajah yang udah gak sepucat tadi.
Albercio menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Bebi. Wajah polosnya membuat Albercio gak tega untuk membangunkannya, namun gak menghalangi untuk gak memasang senyum bahagianya. Cowok berwajah tampan bak Dewa Yunani itu pun akhirnya memutuskan untuk menggendong Bebi dan membawanya masuk ke dalam rumah, apalagi dengan kondisi Bebi sekarang.
"Selamat ya, Pak. Istri Bapak sedang hamil."
Albercio masih inget dengan jelas kata-kata yang diucapkan Dokter Alesha tadi. Pantes aja dari awal Albercio emang gak pecaya dengan ucapan Bebi saat cewek itu bilang kalo Bebi muntah-muntah karna masuk angin. Apalagi Bebi pingsan di kamar mandi dengan wajah pucat dan keringet dingin yang membanjiri sekujur tubuh cewek itu.
Albercio menghela nafas. Dia membuka pintu kamar Bebi yang bernuansa coklat kayu itu dengan sebelah tangannya dan melangkah masuk. Diturunkannya tubuh cewek itu di atas ranjang, melepaskan sendal yang masih dipakainya dan menyelimutinya.
Kemudian, Albercio memilih untuk duduk di pinggiran ranjang sambil menggenggam erat jemari Bebi. Dipandanginya dalam-dalam raut wajah cewek itu. Seorang Bebi yang udah sukses membuat hati Albercio jumpalitan, kini terbaring lemah. Di rahimnya ada makhluk kecil yang bakalan sanggup membuat Albercio rela melakukan apapun. Rela meninggalkan ato kehilangan apapun asal bukan dua makhluk Tuhan yang saat ini ada di hadapannya.
Bebi membuka matanya perlahan dan mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kepalanya masih terasa sakit. Samar-samar dia berusaha mengingat aktivitas terakhirnya sebelom akhirnya pandangannya menggelap dan ...
"Kamu udah siuman, Yank." Terdengar suara khas Albercio, membuat Bebi mengalihkan pandangannya ke arah asal suara.
"Gue dimana?", tanya Bebi dengan suara serak.
Albercio memasang senyum terbaiknya. "Kamu di rumah, Yank. Tadi kamu pingsan. Trus saya bawa kamu ke rumah sakit, dan kata Dokter Alesha, kamu gak boleh capek-capek. Kamu harus banyak istirahat."
Bebi mengerutkan keningnya. Dia merasa aneh sama omongan Albercio barusan. Emangnya dia sakit apaan sampe-sampe disuruh banyak istirahat? Seingatnya dia cuma pusing dan muntah-muntah hebat belakangan ini. Selebihnya dia hampir gak pernah menderita sakit apapun yang mengharuskannya banyak beristirahat. "Hah? Emangnya dokter bilang gue sakit apaan, Al?"
"Kamu gak sakit apa-apa.", sahut Albercio sambil memasang senyum terbaiknya.
"Kalo gak sakit apa-apa, kenapa dokter nyuruh gue banyak istirahat?"
"Kamu hamil. Delapan minggu.", sahut Albercio dengan wajah sumringah.
BOOOOM!!! DUEEEERRR!!!
Bebi bisa menghela nafas. Kepalanya mulai terasa senut-senut lagi. Dia barusan gak salah denger kan? Oh helllooooo! Gimana mungkin dia bisa hamil? Lah wong belom nikah. Jangankan nikah deh. Pacar aja dia gak punya. "Hamiil?"
Albercio menganggukan kepalanya. "Iya hamil. Kenapa emangnya?"
"Lo bercanda kan?"
"Jangan bercanda deh, Al."
"Saya gak bercanda, Sayangku. Lagian, kapan sih saya pernah bercanda sama kamu? Dari pertama kali ketemu kamu kan saya emang gak pernah bercanda sama kamu, Yank."
Bebi menutup mulutnya sambil memejamkan matanya. Bahunya bergerak naik turun. Dia sama sekali gak nyangka bakal ketiban mimpi buruk begini. Bayangkan, hamil tanpa suami! Astaga!! Mau ditaroh dimana mukanya nanti? Apa kata Lucky kalo sampe tau?
Albercio menghela nafas. Ditariknya tubuh Bebi, lalu dipeluknya erat-erat. Dibiarkannya air mata dan tangis cewek itu tumpah membasahi kemeja biru yang dipakainya.
*
Bebi mendesah pelan. Tatapannya lurus menerawang ke gelapnya langit malam. Pikirannya melayang bebas entah kemana, menyisakan segala tanda tanya besar yang membuatnya bener-bener drop dan gak tau harus gimana. Secara, gak pernah sekalipun dia membayangkan bakal ada di posisi ini sekarang. Udah ilang ingatan sebagian, eh ditambah dengan kehamilan yang tiba-tiba. Bener-bener udah jatuh eh tertimpa tangga pula!
"Bebi .."
Bebi menoleh ke arah asal suara dan menemukan sosok Albercio yang berdiri bersandar di kusen pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Entah dari kapan cowok itu berdiri di sana dan memperhatikan Bebi diam-diam. "Ya?"
"Udah waktunya makan malem. Kamu gak mau makan?", sahut Albercio datar.
Bebi menggelengkan kepalanya. Dia bukannya gak mau makan. Dia cuma gak selera makan. Sok atuh jelaskeun, gimana bisa dia menikmati makan malemnya sementara pikirannya berkelana? "Gak laper."
Albercio memasukkan kedua tangannya ke saku celana pendeknya, menampilkan betapa bidang dadanya sambil berjalan mendekati Bebi. Gak lama, dipandanginya manik wajah Bebi dalam-dalam. "Kamu gak laper ato emang gak selera makan?"
"Dua-duanya, Al."
Albercio menghela nafas dengan berat. Walopun selama ini Albercio bersikap dingin dan terkesan kaku, tapi sebenernya dia gak pernah gak perhatian pada Bebi. Sebisa mungkin dia mencuri-curi sela demi bisa memperhatikan Bebi walopun dari jarak jauh. Sama persis seperti yang dulu selalu dia lakukan. "Kamu gak boleh egois. Jangan bebanin diri kamu sendiri tapi ngorbanin kehidupan yang lain. Sekarang ini, ada makhluk kecil yang bersandar di diri kamu, Bebi. Hidup dan matinya bergantung dari sikap kamu. Saya tau, kamu masih bingung dan gak siap sama kondisi kenyataan yang kamu terima sekarang, tapi please jangan egois."
"Gue gak egois, Al. Gue cuma ..."
"Cuma belom siap?", sahut Albercio cepat, seolah berhasil membaca isi pikiran Bebi.
Bebi mengangguk lemah. "Gue gak tau harus gimana, Al."
Sekali lagi Albercio menghela nafas. Ditariknya tubuh Bebi ke dalam pelukannya. "Saya tau, dalam kondisi kayak sekarang kalo saya minta kamu buat nikah sama saya pun kamu pasti bakalan nolak. Dengan satu dan atau alasan lainnya. Buat saya, saya gak mau dan gak bakal maksa ke kamu buat nerima lamaran saya. Yang saya mau sekarang ini, kamu harus bisa berpikir jernih baik-baik. Kamu gak bisa selamanya belagak kuat ngadepin ini semua sendirian. Kandungan kamu dan perut kamu semakin lama bakal semakin kelihatan di mata orang, sedangkan status kamu masih single. Apa kamu udah siap dengan konsekuensinya? Sekali lagi saya tekankan ke kamu, Bebi. Saya tulus mencintai kamu. Saya tulus pengin nikahin kamu, gak peduli apapun kondisi kamu. Saya janji, bakal nerima dan sayang sama anak di kandungan kamu ini kayak anak kandung saya sendiri. Jadi please, pertimbangkan baik-baik."
Gantian sekarang giliran Bebi yang menghela nafas. Sambil membiarkan air matanya tumpah membasahi kedua pipinya. Sumpah demi Tuhan, Bebi bener-bener gak tau harus menyebut ini sebagai musibah, bencana, ato anugerah. Apalagi ditambah dengan omongan Albercio barusan. "Gue minta waktu buat mencerna ini semua, Al."
Albercio menganggukkan kepala, lalu dikecupnya puncak kepala Bebi dengan lembut. "Pasti. Sekarang, kamu makan dulu ya. Udah waktunya makan malem, dan kamu dari tadi pagi cuma baru makan bubur sekali doang. Kamu boleh sedih, marah, kecewa ato yang lainnya. Tapi kamu gak boleh egois. Biar gimanapun, janin yang sekarang ada di kandungan kamu tetep harus ternutrisi."
Alhasil, sekali lagi Bebi mengangguk lemah.
*
"Al", panggil Bebi. Setelah hampir tiga jam saling berdiam diri, akhirnya Bebi memilih untuk buka suara sesaat setelah menghela nafas. Sabodo amat deh pake bahasa lo-gue. "gue mau resign."
Albercio mengangkat kepalanya dan memandangi manik wajah Bebi dalam-dalam. Konsentrasinya langsung ambyar begitu mendengar omongan cewek itu barusan. "Kenapa?"
Bebi membiarkan langkah kakinya masuk ke dalam kamar Albercio. Lalu menjatuhkan bokoknya di pinggir ranjang Albercio. "Kenapa?"
"Kenapa apanya, Al?"
"Kenapa harus sampe resign?", tanya Albercio datar.
"Gue gak siap.", sahut Bebi lirih. "Walopun mungkin ini emang jalan takdir gue untuk nerima ini semua sendirian."
Albercio menggeleng. "Jangan gitu. Jangan apa-apa kamu simpen sendirian dan jadi masalah bom waktu buat kamu ke depannya, Bebi. Ada saya di sini untuk kamu."
Sekali lagi Bebi menggelengkan kepalanya. "Al, lo bisa ngomong kayak gitu karna lo gak ada di posisi gue sekarang! Lo gak tau gimana rasanya jadi gue sekarang di posisi ini!"
Gantian, sekarang giliran Albercio yang mendesah pelan, lalu digenggamnya dengam lembut jemari Bebi. "Bebi, kamu lupa tadi pagi saya bilang apa ke kamu? Kandungan kamu dan perut kamu semakin lama bakal semakin kelihatan di mata orang, sedangkan status kamu masih single. Apa kamu udah siap dengan konsekuensinya? Sekali lagi saya tekankan ke kamu, Bebi. Saya tulus mencintai kamu. Saya tulus pengin nikahin kamu, gak peduli apapun kondisi kamu."
Bebi menarik tangannya dari genggaman Albercio sambil mendecak dengan kesal. "Lo tulalit. Gak nyambung sama apa yang gue bilang barusan!"
Albercio langsung mengerutkan keningnya begitu mendengar omongan Bebi barusan. Beneran loh, apalagi ini pertama kalinya ada orang lain yang menyebut dirinya tulalit. Astaga! Tapi anehnya Albercio sama sekali gak merasa marah ato gimana. B aja gitu kan.
"Yang tulalit itu kamu, Bebi.", sahut Albercio sambil memasang senyum terbaiknya. "Jadi intinya, kamu tuh minta resign karna gak kuat ngadepin konsekuensinya?"
Entah mendapat dorongan darimana, Bebi malah mengangguk pasrah. Dia gak bo'ong. Dia emang gak kuat, ralat, gak siap buat ngadepin konsekuensinya. Apalagi sampe detik ini dia bener-bener gak tau siapa ayah biologis dari janin yang ada di kandungannya meskipun potongan-potongan ingatan yang tadi sempet muncul malah mengingatkannya dengam wajah Reza dan meninggalkan tanda tanya sendiri di benaknya.
"Bebi, justru karna saya berusaha menempatkan diri saya ada di posisi kamu sekarang, makanya saya berani push kamu untuk nerima lamaran saya. You have no choice, Bebi. Sekarang ato nanti, kamu tetep harus nikah secepatnya.", lanjut Albercio.
"Ya tapi anak ini bukan darah daging lo, Al. Lo gak usah belagak jadi pahlawan buat gue.", sahut Bebi kesal.
Albercio menghela nafas. Rasa panas mulai menjalar ke otaknya seiring dengan emosinya yang mulai mendidih. "Astaga, Bebi. Sumpah demi Tuhan, gak ada niat sekalipun di hati saya buat lelagaan jadi pahlawan buat kamu sekarang! Harus berapa kali saya bilang ke kamu? Saya ngelamar kamu karna saya cinta sama kamu. Saya gak peduli ini anak saya ato anak cowok lain. Saya gak peduli! All i need is you, Bebi."
"Tapi, Al .."
"Gak ada tapi-tapi, Bebi.", sela Albercio. "Pikirin ini baik-baik. Demi kamu dan calon anak kita."
Bebi menghela nafas. Gak tau kenapa tiba-tiba sukmanya bergetar begitu mendengar omongan Albercio barusan saat dia menyebut janin di kandungan Bebi sebagai calon anak kita. Sebegitu besarnya kah cinta Albercio padanya? "Kasih gue waktu."
Albercio mengangguk. "Saya kasih kamu waktu seminggu untuk tenangin diri kamu dan bikin keputusan. Dan selama seminggu itu juga kamu boleh cuti ato enggak, bebas. Terserah kamu. Senyamannya kamu. Kalo kamu udah siap sama keputusan kamu, kasih tau saya. Oke?"
Gantian, sekarang giliran Bebi yang mengangguk. "Makasih, Al."
*