Chereads / Wind Flower / Chapter 19 - 16

Chapter 19 - 16

["Sumpah demi Tuhan, gak ada niat sekalipun di hati saya buat lelagaan jadi pahlawan buat kamu sekarang! Harus berapa kali saya bilang ke kamu? Saya ngelamar kamu karna saya cinta sama kamu. Saya gak peduli ini anak saya ato anak cowok lain. Saya gak peduli! All i need is you, Bebi."]

Kata-kata yang diucapkan Albercio tadi bener-bener melekat di benaknya, membuat Bebi menolehkan kepalanya ke sisi kanan ranjang tidurnya dan matanya terpaku pada sebuah meja berlaci kecil. Meja yang beberapa minggu ini dihindarinya untuk satu alasan. Namun, perlahan Bebi membuka laci itu dan mengambil sebuah kotak perhiasan berwarna merah.

Bebi galau. Sebagian hatinya menyuruhnya memakai cincin itu di jari manisnya seperti yang diminta Albercio, tapi sebagian lagi menyuruhnya untuk mundur perlahan dari cowok itu. Ah entahlah!

Seperti mendapat dorongan entah dari mana, Bebi melepaskan cincin berlian itu dari dalam kotaknya lalu memasangnya di jari manis tangan kanannya. Gak tau kenapa, tiba-tiba tubuhnya dialiri oleh rasa hangat. Aneh! Ini bener-bener aneh!

Bebi menghela nafas. Dia jadi galau sendiri, mengingatkannya pada pertanyaan Albercio soal pengunduran diri. Bebi tau, di jaman seperti sekarang, bukan perkara gampang untuk mendapatkan pekerjaan. Apalagi dengan segala fasilitas dan gaji seperti yang sekarang Bebi dapatkan dari perusahaan Albercio. Ditambah lagi jarang-jarang kan kalo dapet bos yang royalnya luar biasa seperti si Albercio ini? Tapi kondisi yang dialaminya saat ini masih menyuruhnya untuk tetap resign.

Bebi merebahkan tubuhnya ke kasur sambil meraba perutnya yang masih terlihat rata, lalu memejamkan matanya.

*

"Pa, Albercio mau izin nikah."

Tuan Rein menganggukkan kepala sambil tersenyum bahagia. Nah kan tuh apa tadi dia bilang? "Kapan?"

"Albercio harap sih bisa secepatnya, Pa. Tapi Albercio masih nunggu Bebi nerima lamaran Albercio dulu.", sahut Albercio sambil menuang susu segar ke dalam gelasnya. "Gimana menurut Papa?"

Tuan Rein mengangguk pelan dan menghela nafas. "Al, Papa tau, kamu minta izin untuk nikah karna kondisi Bebi yang lagi hamil kan?"

Nafas Albercio mendadak tercekat begitu mendengar omongan Tuan Rein barusan. Jantungnya seakan berhenti berdetak sekian detik. Dia sama sekali gak nyangka Tuan Rein bakal bilang begitu dan anehnya sama sekali gak ada ekspresi marah ato gimana yang terlihat dari wajah Tuan Rein. Beliau malah memasang senyum sumringahnya seolah kondisi Bebi itu bukanlah sesuatu perkara besar yang harus diributkan. "Papa tau darimana?"

"Al, Papa ini orang tuamu. Firasat orang tua biasanya jarang meleset. Bener kan apa yang Papa bilang?"

"Papa gak marah ato kecewa sama keputusan Albercio?"

Tuan Rein menggelengkan kepalanya. "Enggak. Papa gak marah. Malah Papa salut sama kamu. Keputusan yang kamu ambil udah tepat, selain emang karna kamu cinta sama dia. Dan juga kamu udah dewasa. Kamu tau mana yang terbaik untuk hidup dan masa depan kamu."

Albercio mengangguk dan memasang senyum terbaiknya. Inilah salah satu yang membuatnya bersyukur masih memiliki Tuan Rein sebagai orang tuanya. Meskipun biasanya hubungan mereka lebih sering terlihat seperti musuh yang saling ribut adu argumen, tapi untuk urusan bikin keputusan tepat emang selalu menjadi tanaman dasar yang diajari Tuan Rein. "Albercio cinta sama Bebi, Pa. Papa tau kan, selama tiga bulan terakhir ini Albercio selalu nyari Bebi kemana-mana, tapi selalu nihil. Sampe akhirnya Albercio bersyukur karna Tuhan ngabulin doa Albercio di hari pertama Albercio jadi presdir di kantor tempat Bebi kerja."

Tuan Rein menganggukkan kepala. "Dan Papa bahagia karna sebentar lagi Papa bakal punya menantu dan cucu sekaligus. Doa dan keinginan Papa juga jadi terkabul.", timpal Tuan Rein.

Sekali lagi Albercio menganggukan kepala dan memasang senyumnya.

*

Bebi sama sekali gak menyangka kalo Tuan Rein bener-bener memberikan restu padanya dan Albercio biar bisa segera menikah. Malah sekarang mereka bertiga - Albercio, Bebi, dan Tuan Rein - menghabiskan waktu bersama di sebuah galeri Miss Bride khusus untuk mencari gaun pengantin dan jas pengantin terbaik dari desainer ternama, meskipun Bebi masih merasa canggung dan malu luar biasa. Rasanya, hidupnya auto berubah menjadi putri kerajaan yang bener-bener dicintai oleh sang pangeran berkuda putih tanpa memperdulikan masa lalu dan kondisi dari sang putri itu sendiri.

"Kamu coba yang ini deh, Yank.", ujar Albercio begitu melihat salah satu gaun pengantin keluaran terbaru yang terpajang di bilik VVIP. Pernikahan mereka akan dilangsungkan tiga minggu dari sekarang. "Kayaknya bakalan pas di badan kamu."

Bebi memandangi gaun yang ada di tangan Albercio. Gaun itu adalah gaun pengantin paling sederhana yang pernah Bebi lihat. Tanpa aksen berlebih, namun penuh dengan permata. Bagian pinggang ke bawah gaun gak mengembang, namun tetap memiliki potongan ekor yang lumayan panjang. Dan warnanya yang kalem terlihat sangat pas di tubuh Bebi yang berkulit putih susu. Namun mau secantik apapun gaun yang bakal dipakainya nanti, tetep aja Bebi ngerasa gak pantes untuk memakainya.

"Yank .. kok ngelamun? Kenapa?" Terdengar suara Albercio yang langsung membuat lamunan Bebi langsung ambyar.

Bebi menoleh ke arah Albercio dan menggeleng pelan. "Gak kenapa-napa."

"Yaudah atuh, ini dicoba dulu. Kalo kamu suka, kita pakai yang ini. Kebetulan saya udah nemu setelan jasnya yang sewarna juga sama ini. Tapi kalo kamu gak suka, kita cari yang model lain lagi."

Bebi mengangguk pelan lalu bergegas ke kamar pas. Secuil rasa segan masih menghimpit ruang di dadanya, namun juga entah kenapa Bebi merasa agak bahagia. Dia yang gak sempurna ternyata begitu dicintai oleh seorang Albercio sejak bertahun-tahun lalu. Dia yang bahkan belom bisa menerima kehamilannya ternyata diterima dengan sangat lapang dan terbuka oleh seorang Albercio.

Dan tatapan Bebi langsung ke cermin begitu dirinya mengancingkan gaunnya. Gaun sepanjang lima meter berwarna sweet mocca itu dengan taburan berlian di bagian dada bener-bener melekat sempurna di tubuhnya. Bahkan berhasil menyamarkan bagian perutnya yang sebentar lagi bakal kelihatan membuncit. Membuat Bebi mau gak mau memasang senyum tipisnya.

"Gimana, Yank?", tanya Albercio dari balik tirai kamar pas.

Gak lama kemudian ... VOILA! Albercio mengedipkan mata beberapa kali begitu tirai kamar terbuka dan menampilkan Bebi dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Bener-bener pas dan membuat aura Bebi semakin terlihat cantik menawan. Ternyata pilihannya emang gak salah, sama seperti keputusannya yang dipilihnya untuk menikahi Bebi. "Cantik."

Bebi menundukkan kepalanya sesaat. Dia gak berani mengangkat kepalanya dan membalas tatapan sebegitu mesranya dari seorang Albercio Faresta Arkana. Bahkan saat cowok itu mendekat ke arahnya dan melingkarkan tangannya di pinggang Bebi lalu mencium lembut pipi Bebi.

"Kamu suka sama gaun ini?", tanya Albercio lembut. "Ato mau pilih yang lain?"

Bebi mengangkat kepalanya lalu mengangguk pelan. Bukan apa-apa, dia cuma gak mau membuat Albercio kecewa. Cowok itu udah terlalu baik padanya. "Ini aja, Al. Gak apa-apa. Gue suka kok."

"Kamu. Pergunakan bahasa aku-kamu ato saya-kamu. Kita ini kan udah mau nikah. Masa masih pake bahasa lo-gue. Gak enak sama Papa nanti.", sahut Albercio lembut sesaat setelah menganggukkan kepalanya.

"Maaf.", sahut Bebi pelan.

Sekali lagi Albercio menganggukkan kepala dan menggandeng lengan Bebi ke arah Tuan Rein sambil memasang senyum terbaiknya, membuat wajahnya yang udah ganteng dari brojol semakin terlihat ganteng berkali-kali lipat. Malahan saking terlihat gantengnya, sampe-sampe semua cewek-cewek yang ada di sana langsung terpesona padanya.

"Masih bingung, Pa?", tanya Albercio sesaat setelah menemani Bebi duduk di sofa.

Tuan Rein menoleh ke arah Albercio, lalu menganggukan kepalanya. "Di sini bagus-bagus semua, Al. Papa bingung milihnya."

Albercio mengangguk pelan. Tuan Rein gak salah. Semua pilihan jas dan gaun pengantin di sini emang bagus-bagus. Kalo gak pinter-pinter milih, yang ada bawaannya pengen dipakai semua pas acara resepsi. Gak lama, Albercio menoleh ke arah Bebi dan memberikan isyarat agar cewek itu mendekat.

"Sayang, tolong pilihin yang menurut kamu paling bagus dan pas untuk Papa.", sahut Albercio begitu Bebi berdiri di hadapannya. "Sekalian untuk saya juga ya."

Gantian, sekarang Bebi yang menganggukan kepalanya. Setelah memilih-milih, Bebi mengambil dua set setelan jas berwarna senada dengan gaun pengantin dengan potongan aksen sedikit berbeda antara yang bakal dipakai Albercio dengan yang bakal dipakai oleh Tuan Rein. Khusus set jas yang bakal dipakai Albercio memiliki gradasi warna yang semakin membuat jas tersebut terlihat mewah dan elegan. Sangat serasi dengan gaun pengantin yang tadi dipilihkan oleh Albercio. Sedangkan set jas yang bakal dipakai Tuan Rein memiliki aksen warna hitam di area kerah bawahnya.

Dan bener kan tuh! Senyum Albercio langsung mengembang sempurna sesaat setelah mencoba set setelan jas yang dipilih oleh Bebi. Membuat jantung Bebi tiba-tiba jadi berdetak cepat gak karuan.

*

Reza menghela nafas sambil mencengkeram stir mobilnya sampe-sampe buku jarinya memutih. Dari awal dia meninggalkan kosan Bebi, Reza udah yakin kalo cewek itu sengaja mengusirnya demi bisa berduaan dengan Albercio. Padahal apa coba beda dirinya dan Albercio? Sok atuh jelaskeun!

Reza merogoh saku celananya, menekan sederet angka yang dikenalnya, lalu menghela nafas sambil membiarkan seseorang di seberang sana menjawab panggilan teleponnya.

"Halo, Ricky? Ini gue Reza. Lo masih terima job ngelewatin orang?", tanya Reza sambil memandangi sepasang manusia yang berada di dalem galeri yang masih masih menjadi pusat perhatiannya. " Gue mau ngelewatin orang. Nama dan fotonya gue kirim ke whatsapp lo aja nanti. Soal bayaran, gak usah khawatir. Berapapun harga lo, gue bayar. Oke."

Gak lama kemudian, Reza menstater mobilnya dan menginjak pedal gasnya dalam-dalam. Otaknya bisa semakin mendidih kalo semakin lama berada di situ.

*

Bebi menatap wajah Albercio begitu merasakan remasan lembut di jemarinya saat Albercio menggenggamnya. Wajah datar cowok itu membuat Bebi mau gak mau akhirnya mengerutkan keningnya. Hampir sepanjang waktu Bebi bekerja sebagai sekretaris Albercio sampe saat ini, wajah datar yang dipasang cowok itu bisa dihitung pake jari. Apalagi kalo inget gimana hangat dan teduhnya wajah Albercio tadi saat di galeri, jelas wajah datar cowok itu saat ini membuat Bebi jadi bingung sendiri.

"Kenapa, Al?"

"Kamu lagi ngelamunin apa?", sahut Albercio seperti biasa. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. "Apa yang sebenernya bikin kamu terus-terusan ngelamun begini?"

Bebi menggeleng pelan. "Gak kenapa-napa."

"Beneran?"

"Iya, Al. Beneran. Aku gak kenapa-napa."

"Kalo kamu gak kenapa-napa, kenapa ekspresi kamu kayak sedih gitu pas tadi ngelamun? Ada apa, Bebi?"

Bebi menghela nafas. Dia tau, Albercio bukanlah tipe cowok yang bakal langsung diem dan merasa puas hanya setelah diberi jawaban sederhana seperti tadi. Cowok itu terlalu kritis dan pinter untuk dibohongi. Apapun itu, dia bakal terus mendesak kalo pertanyaannya belom terjawab dengan jawaban yang menurutnya pas dan memuaskan. "Kamu bener-bener mau nikah sama aku? Mau nerima aku apa adanya, meskipun dengan kondisi kayak begini?"

"Jadi itu yang daritadi kamu pikirin, Beb?"

"Kamu tuh bisa gak sih gak usah balik nanya? Tinggal jawab aja apa susahnya sih, Al.", sahut Bebi setengah kesal. Moodnya yang mulai naik turun malah dibuat semakin naik turun dan terjun bebas gara-gara Albercio.

Gantian, sekarang giliran Albercio menghela nafas. Konsentrasinya sekarang seratus persen terpusat ke wajah Bebi yang terlihat gak bersemangat. Dia sangat memaklumi maksud Bebi barusan bertanya begitu. Andaikan saat ini ada di posisi Bebi pun Albercio bakal bertanya hal yang sama. "Jamsi seuchyeo jinaneun inyeon anin georago. Sori eopsi naerideon, sojunghan gidarimdo. Geudaee meomulleo. Gyeote nama isseulge. Ganjeolhaetdeon baramdo uriui chueokdeuldo. Gaseum gipi saegin chae geudaereul saranghae."

Bebi mendecak kesal. Ya okelah Albercio emang seorang yang cerdas. CEO terkenal. Jago bahasa asing, gak cuma Bahasa Korea aja. Tapi kalo Bebi nanya dan dijawab dengan Bahasa Korea begini rasanya tuh agak-agak gimana gitu kan. Secara Bebi cuma mengerti Bahasa Korea sedikit-sedikit. Itupun berkat drama Korea yang selama ini ditontonnya. "Aku gak ngerti, Al. Kamu tuh ngomong apa sih?"

Albercio memasang senyum terbaiknya sambil menepuk-nepuk pelan punggung tangan Bebi. "Itu bukanlah sebuah takdir yang berlalu hanya untuk sesaat. Itu datang tanpa suara. Penantian yang begitu berharga ini. Saya akan tetap bersamamu. Saya akan tetap berada di sisimu. Saya akan melindungimu, seolah itu adalah takdir dari kita berdua. Dengan begitu cinta yang mendalam ini bisa bertahan tuk selamanya."

Bebi menggelengkan kepalanya. Dia merasa omongan Albercio seperti jaka sembung naik sekuter coy! "Kamu bener-bener mau nikah sama aku? Mau nerima aku apa adanya, meskipun dengan kondisi kayak begini?", Bebi mengulang pertanyaannya.

"Kamu masih gak yakin sama saya? Kamu gak percaya sama saya? Harus gimana lagi saya berusaha untuk bikin kamu bisa percaya sama saya?", sahut Albercio kesal. Sumpah demi apapun, dia paling sebel kalo ada orang yang selalu bertanya soal keseriusannya. Apapun dan siapapun itu. Untung aja Albercio cinta mati sama sosok yang sekarang ada di sebelahnya ini. Coba kalo enggak, beuh! Udah bisa dipastikan kalo Albercio bakal menurunkannya di tengah jalan begini. "Setelah waktu berlalu, aku tahu. Tak ada kebetulan dalam sebuah takdir. Walaupun takdir ditentukan dari pilihan kita, tapi terkadang takdir itu juga memilih kita. Dan melamarmu adalah salah satu hal terbaik yang saya lakukan di sini. Saya bener-bener mencintaimu, Bebi."

"Al .."

Belom sempet Bebi menyelesaikan omongannya, Albercio udah lebih dahulu mendaratkan bibirnya di bibir Bebi dan melumat bibir cewek itu dengan segala kelembutan, cinta, dan baranya.

*