Albercio menghela nafas sambil melepaskan headset yang daritadi terpasang di kupingnya. Tatapannya berpaling ke sosok cewek yang berdiri melamun gak jauh darinya. Albercio bisa melihat dengan jelas usaha cewek itu berusaha mengenyahkan sesuatu. Entah apa itu.
"Ada apa, Yank?" Terdengar suara khas seseorang yang langsung membuat perhatian dan lamunan Bebi auto ambyar dan bulu kuduknya mendadak naik. Jantungnya berdegup gak karuan. Nah loh!
Bebi menoleh ke arah asal suara lalu menggeleng. "Gak kenapa-napa."
"Beneran gak kenapa-napa? Ato kamu lagi ada masalah?"
"Aku beneran baik-baik aja kok. Sorry, tadi aku ngelamun. Tadi kamu ngomong apa?"
Albercio menarik tangan Bebi, membiarkan cewek itu mendekatinya. "Kalo emang ada masalah, bagilah dengan saya. Kita bisa cari solusinya bareng-bareng."
Bebi menggelengkan kepalanya. "Gak ada masalah apa-apa, Al. Sorry tadi aku ngelamun."
Albercio melingkarkan tangannya dan membawa tubuh Bebi ke dalam pelukannya. Dikecupnya perlahan puncak kepala cewek itu. "Bebi, saya boleh jujur sama kamu?"
"Jujur? Selama ini kamu gak jujur sama aku?"
"Bukan gitu. Saya berusaha selalu jujur sama kamu. Apapun itu.", sahut Albercio pelan.
"Trus kalo gitu sekarang kamu mau jujur soal apa?"
"Saya ... saya mau kita nikah secepatnya, Bebi. Bisakah? Saya gak bisa nunggu lebih lama lagi."
Bebi mendesah pelan. Didorongnya dengan pelan tubuh Albercio sampe-sampe membuat pelukannya terlepas. "Al, kenapa kamu selalu bahas soal nikah? Gak ada topik lain emangnya?"
Albercio menggeleng. "Kamu maunya gimana? Butuh waktu berapa lama buat kamu biar bisa nerima lamaran saya?"
Bebi menghela nafas. Dibiarkannya manik matanya bertemu dengan tatapan tajam nan datar milik Albercio. Bebi tau, di luar sana, cewek manapun bakal meleleh gak karuan kalo dilamar sama cowok selevel Albercio - ganteng, tajir melintir, pinter, ya walopun kadar kedinginan dan kedatarannya udah versi akut gimana gitu - di sebuah pulau kecil yang indah, tenang, dan sarat keintiman plus romantisme.
Tapi bagi Bebi ... ah entahlah! Bukan karna Bebi gak mau nikah, cuma yang jadi masalahnya adalah Bebi sendiri aja belom yakin dengan perasaannya ke Albercio. Apalagi, kedekatan mereka masih terhitung waktu yang singkat. Ditambah lagi Bebi merasa masih harus berusaha untuk mengembalikan ingatannya yang sempat hilang gara-gara kecelakaan itu.
"Kenapa?"
Albercio menggeleng pelan. "Karna saya mencintai kamu, Bebi. Sangat mencintai kamu. Dan kamulah yang selama ini saya tunggu."
"Al, kita belom saling kenal. Gimana mungkin kamu cinta sama aku? Kan gak mungkin tiba-tiba gitu aja, Al."
*
Dear wanitaku,
Malam ini adalah malam terpanjangku. Caramu tersenyum di hadapanku tadi lagi-lagi berhasil mengoyak seluruh rasa di sukmaku, mengaburkan segala warna tak jelas yang pernah ada sebelumnya. Aku bahkan gak pernah tau sejak kapan kamu dan senyummu menjadi sesuatu yang ku rindukan sekalipun kalbuku selalu bergejolak kala sekedar mengingatmu.
Kamu .. berhasil merenggut seluruh perhatian duniaku. Kamu berhasil, wanitaku. Kamu berhasil membuatku percaya bahwa cinta pertama itu ada dan bahkan takkan pernah mati, seperti kata pepatah kuno itu. Kamu berhasil .. membuatku gagu dan bisu dalam satu waktu bersamaan saat kita saling berhadapan. Kamu berhasil .. melumpuhkan seluruh saraf di otakku saat kamu memanggil namaku dengan cara unikmu.
Tapi aku tau, hanya sampai di sini batasku. Mengagumimu diam-diam sambil terus memohon kepada-Nya agar cuma namamu yang tertulis sebagai jodoh dan takdirku. Aku tau .. ini jahat. Ini kejam. Aku memohon pada-Nya agar kamu dijauhkan dari yang lain. Tapi percayalah .. semua itu karna aku gak seperti mereka. Aku sungguh ingin menikahmu, memiliki, menjadikanmu ratu dalam segala istana yang aku miliki saat ini dan nanti, menjadikanmu sebagai ibu dari anak-anakku, dan takdir sejatiku sampai aku kembali menghadap-Nya.
---
*
"Al?" Suara lembut Bebi lagi-lagi membuyarkan lamunan Albercio. "Kamu kenapa?"
Albercio menggeleng. Diulasnya seutas senyum simpul. "Marry me, Beb."
"Jawab dulu pertanyaan aku dengan jujur. Kamu kenapa? Kamu ngelamar aku biar untuk alasan kamu biar gak dijodohin sama papa kamu?"
Albercio menggeleng. "Saya gak peduli saya mau dijodohin sama siapa. Hati saya gak pernah berpaling dari kamu, Bebi. Saya cuma mau nikahnya sama kamu. Believe me, Bebi. So, please marry me."
"Tiga bulan.", sahut Bebi pelan.
"Apanya yang tiga bulan?"
"Tadi kamu kan nanya, aku butuh waktu berapa lama buat aku biar bisa nerima lamaran kamu kan. Aku minta waktu satu bulan."
"Trus?"
"Kalo dalam satu bulan ini omongan kamu bener kalo aku cinta sama kamu, kita nikah. Tapi kalo dalam satu bulan ternyata aku emang gak ada rasa sama kamu, kita sahabatan. Gimana?"
"Gak bisa, Bebi. Itu namanya kamu makin main-main sama saya, Bebi. Tolong .. berhenti main-main dengan saya. Sebelom kamu nyesel nanti kedepannya."
"Kamu ngancem aku?" Bebi mendesah pelan. Dipandanginya wajah Albercio dalam-dalam. "Nikah itu sekali seumur hidup dan aku gak mau sampe salah bikin keputusan. Lagipula masih ada sesuatu hal yang harus aku lakuin dan itu penting di hidup aku."
"Kamu punya saya, Bebi. Saya gak akan ninggalin kamu. Saya akan bahagiain kamu. Percaya sama saya. Tolong terima lamaran saya. Saya gak mau kehilangan kamu lagi."
"Al, selama ini, selama kita deket karna emang untuk urusan pekerjaan juga, kamu selalu bersikap serba mendadak. Semuanya kayak kejutan dari kamu yang malah aku sendiri gak punya kesempatan untuk milih nerima ato enggak. Aku gak minta apa-apa dari kamu. Aku cuma minta waktu satu bulan, dan kamu gak usah khawatir. Karna selama sebulan itu aku bakal tetep profesional sama urusan pekerjaan kita. Gimana?"
Albercio menghela nafas. Mau gak mau akhirnya Albercio mengangguk lalu mengecup kening Bebi. Lama.
*
"Yank, tolong ke sini dong."
Bebi menghela nafas. Suara manja Albercio barusan membuat lamunannya ambyar dan menoleh ke arah asal suara. "Kenapa, Al?"
"Kamu gak siap-siap?"
Bebi mengerutkan keningnya. "Siap-siap kemana?"
"Siap-siap ketemu calon mertua."
Bebi mendecak kesal. "Kamu serius? Jangan bercanda, Al."
Albercio memasang senyumnya selebar mungkin. Gak tau kenapa dia mulai kerajinan menggoda Bebi. Raut wajah cewek itu berkali-kali lipat lebih terlihat menggemaskan setiap kali Albercio berhasil menggodanya. "Gak bercanda, Yank."
"Kamu mah seneng banget begitu.", sahut Bebi sambil memasang wajah kesalnya. "Pasti kamu lagi ngerjain aku kan?"
Lagi, Albercio memasang senyum lebarnya. "Kamu pasti mikirnya beneran mau ketemu calon mertua ya? Emang udah siap?"
"Ya bukan begitu maksud aku, Al."
"Trus apa dong?"
Bebi gak menjawab. Cewek itu malah membawa langkah kakinya ke beranda kamar dan menenggelamkan semua perhatiannya ke setiap ombak yang saling berkejaran lalu memecah diri di bibir pantai.
Albercio menghela nafas kemudian berjalan mendekati Bebi dan langsung memeluk tubuh cewek itu dari belakang. Dia langsung merasa gak tega begitu melihat wajah kesal Bebi barusan.
"Maaf deh. Gak lagi-lagi deh saya begitu. Kamu mau kan maafin saya?"
Bebi mengangguk pelan, namun enggan untuk melepaskan diri dari pelukan Albercio. "Aku beneran gak tau harus apa sama gimana. Ini sesuatu yang baru buat aku."
"Menurut kamu, biasanya seorang istri itu ngapain?"
"Istri?"
"Iya. Coba bayangin posisi kamu sebagai seorang istri. Apa yang bakal kamu lakuin?"
Bebi menurut dan memejamkan matanya. Sebuah bayangan dirinya mengenakan daster dengan rambut cepol sibuk berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Lalu mengantarkan suaminya sampai ke depan pintu. Lalu ...
"Gimana?" tanya Albercio, lagi-lagi membuyarkan lamunan Bebi dan membuat cewek itu membuka matanya. "Kalo posisi kamu sebagai seorang istri, apa yang bakal kamu lakuin?"
"Banyak."
"Banyak? Apa aja, coba sebutin."
"Nyiapin sarapan suami, nyiapin baju kerja suami, nganter suami berangkat kerja dan ..." Belom sempet Bebi menyelesaikan ucapannya, Albercio tau-tau udah melepaskan pelukannya dan memutar tubuhnya sehingga sekarang mereka bisa saling beradu pandang.
Albercio menggeleng pelan. "Bukan itu."
"Trus apa dong?"
"Dampingi suami kamu apapun dan gimanapun kondisinya. Itu jauh lebih penting dari semua hal lainnya, Bebi. Sama kayak posisi kamu sebagai sekretaris pribadi. Tugas kamu itu adalah mendampingi saya."
"Ini gue kan lagi dampingin lo, Al.", sahut Bebi ngegas. Dia sengaja menggunakan bahasa lamanya ; lo-gue.
"Bebi sayangku.", panggil Albercio lembut.
"Apaan sih? Lo tuh ya kalo ngomong suka bikin gue pusing. Gak ngerti. Terlalu muter-muter."
"Kamu.", sahut Albercio lembut. "Saya bukan sekedar atasan kamu, Sayang. Saya calon suami kamu. Jadi, tolong gunakan bahasa aku-kamu ato saya-kamu. Lagian saya kan belom selesai ngomong. Kamunya keburu ngegas. Kamu lagi PMS ya, Yank?"
"Apaan sih?"
"Abisnya kamu tiba-tiba ngegas gitu. Dengerin saya dulu dong, saya kan belom selesai ngomong."
Bebi menghela nafas lalu memasang raut wajah seriusnya. "Yaudah, aku dengerin nih. Kamu mau ngomong apa?"
"Tugas kamu itu cukup mendampingi saya, Bebi."
"Ya ini kan aku lagi dampingin kamu, Al."
Albercio menggelengkan kepalanya. "Badan kamu di sini emang mendampingi saya, tapi pikiran kamu lebih banyak melayang kemana-mana. Kamu terlalu sering ngelamun, Bebi. Sekarang jawab jujur sama saya. Sebenernya kamu keberatan ya jadi sekretaris pribadi saya? Atau kamu lagi ada masalah berat?"
"Keberatan dalam segi hal apa nih?"
"Dalam segala halnya. Kamu keberatan? Ato saya yang terlalu mengekang kamu?"
Bebi menghela nafas. "Enggak. Kamu sama sekali enggak mengekang kok. Maaf ya. Mungkin karna aku belom nemu sisi sregnya sama kamu. Apalagi kamu bentar-bentar omongannya ngajak nikah."
"Ya kan maksud saya baik, Bebi. Saya serius sama kamu, tapi kamunya yang seneng bener kayaknya mainin perasaan saya dari dulu."
Lah ...
"Dari dulu? Maksud omongan kamu apa, Al? Kita pernah ketemu sebelomnya? Kita pernah punya hubungan deket sebelomnya? Ato apa? Jujur nih ya, Al. Aku tuh ngerasa kayak kamu kenal banget sama aku, tapi aku bener-bener gak kenal kamu. Please, apapun itu, jelasin ke aku."
Albercio menggeleng. Tangannya merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan kecil berlapis kain beludru berwarna merah, lalu menyodorkannya ke hadapan Bebi. "Ini buat kamu."
Bebi mengerutkan keningnya. Matanya langsung membulat sesaat setelah membuka kotak pemberian dari Albercio. "Cincin?"
Albercio mengangguk. "Ini cincin berlian untuk kamu. Kamu kan minta waktu sebulan, tapi menurut saya itu kelamaan. Saya sama sekali gak ngerti kenapa kamu masih terus main-main sama saya. Jadi, saya udah pikirin ini mateng-mateng. Kalo emang kamu siap untuk nikah sama saya, tolong pake cincin ini di jari manis kamu. Tapi kalo emang kamu bener-bener gak bisa nikah sama saya, tolong kamu simpan cincin itu baik-baik. Saya yakin seyakin-yakinnya, suatu saat cincin itu bakal ada di jari manis kamu. Entah gimana caranya. Dan saya minta tolong sama kamu, tetep dampingi saya selama mungkin yang kamu bisa. Karna cuma kamu satu-satunya orang yang bisa saya percaya, selain Mark. Kamu juga gak usah khawatir. Jangan pernah ngerasa sendirian karna saya bakal selalu ada untuk kamu, Yank."
Bebi menghela nafas. Lalu menganggukan kepalanya sesaat sebelom dia menghambur diri ke pelukan Albercio, namun ada sesuatu yang tiba-tiba mencelos dari hatinya.
Albercio membelai puncak kepala Bebi dengan lembut. Matanya terpejam rapat-rapat, berusaha menahan air matanya agar tetap diam ditempat.
*