Seutas senyum mengembang menghiasi wajah Albercio. Sepasang matanya lekat-lekat memandangi Bebi dari belakang. Dia tau, Bebi itu pasti merasa ... semacam takjub dan kaget dengan suasana kamar hotel yang dipesannya. Sebenarnya dia sendiri juga gak nyangka kalo semua kamar di hotel ini udah penuh terpesan. Bahkan ada beberapa lantai yang sengaja di booking oleh pengunjung.
Albercio melangkahkan kakinya mendekat dan berhenti tepat di belakang tubuh Bebi. Kedua lengan kekarnya terjulur dan merangkum tubuh cewek itu begitu aja dan dia sangat menyadari perubahan gestur tubuhnya yang langsung berubah dengan rangkulannya ini. "Gimana, suka?" Albercio merangkul bahu Bebi dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu cewek itu. "Kamar dengan twin bednya full booked. Tinggal tersisa kamar ini. Maaf ya."
"Ah palingan cuma alasan lo. Tempo hari di Bali juga lo bilang gitu. Ya kan?", sahut Bebi bete. "By the way, bisa tolong lepasin gak? Gue ... Gue gak bisa nafas."
*
Bebi langsung takjub begitu pintu kamar terbuka. Sejauh matanya memandang, suasana kamar ini cuma bernilai tiga kata - mewah, nyaman, dan wow. Bebi melangkahkan kakinya menyusuri ruangan ala room tour. Dan untuk kesekian kalinya, Albercio membuktikan ucapannya. Pelican Villas Resort adalah yang terbaik yang dipilih cowok itu.
Beberapa meter dari pintu ada sebuah ranjang berukuran king size dengan seprei berwarna putih lengkap dengan bed cover berwarna krem, yang kiri kanan tempat tidur tersebut dipercantik dengan meja-meja kecil nan imut serta dua buah lampu meja di masing-masing meja. Lalu, di pojok ruangan kamar ada kamar mandi dengan dua ruang khusus ; satu ruangan sebagai toilet lengkap dengan wastafel cantiknya dan satu ruangan lagi khusus shower yang dilengkapi dengan bath up dan dilapisi dengan pintu kaca. Kemudian, di selatan tempat tidur ada sebuah sofa 2 seater berwarna krem dengan dua buah bantal berukuram 40 x 40 cm yang menghadap ke arah led tv yang tergantung di dinding. Dan bonusnya, Bebi bisa menikmati hamparan laut biru langsung dari jendela kamarnya
"Gimana, suka?" Alberci merangkul bahu Bebi dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu cewek itu. "Kamar dengan twin bednya full booked. Tinggal tersisa kamar ini. Maaf ya?"
Hening. Mulut Bebi terkunci rapat-rapat. Bulu kuduknya meremang seiring dengan dagup jantungnya yang bergemuruh. Lagi, dengan posisi sedekat ini memberikan sensasi rasa lain di hatinya. Dan entah kenapa lututnya mendadak terasa lemas.
"Ah palingan cuma alasan lo. Tempo hari di Bali juga lo bilang gitu. Ya kan? Masa iya hotel semewah ini kamarnya bisa full booked semua?", sahut Bebi bete. "Lagian, lo tau dari mana sih soal Belize dan hotel ini?"
"Internet. Kenapa emangnya?"
"Yakin dari internet? Ato jangan-jangan lo pernah ke sini sama mantan lo ya?"
Albercio menggeleng. "Gak pernah. Saya sama dia gak pernah sampe sejauh ini."
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?"
"Ya kenapa gak pernah sampe sejauh ini? Dan sejauh yang lo maksud itu yang gimana?"
"Saya gak pernah ajak dia jalan sampe sejauh ini, Yank.", sahut Albercio gemas.
"Trus kenapa kalian bisa putus? Padahal menurut gue, dia cantik loh."
"Cantik muka belom tentu cantik hati, Yank."
"Maksudnya gimana?"
"Menurut kamu, gimana?"
"Lah kok malah nanya balik? Lo mah kebiasaan deh. Kalo ditanya apa bukannya dijawab dulu malah balik nanya. Ngeselin tau gak?"
Albercio menggeleng. "Ngeselin ato ngangenin?"
"Ih, Al. Lo bener-bener nyebelin sekarang ya!" Bebi memasang bibir manyun ala duck face.
"Iya deh iya. Maaf."
Bebi mengangguk-anggukan kepalanya. "By the way, bisa tolong lepasin gak? Gue ... Gue gak bisa nafas."
HAHAHAHAHAHA!!!! Terdengar suara tawa lepas Alberci begitu mendengar ucapan Bebi barusan.
Alih-alih melepaskan, Albercio malah membalikkan tubuh Bebi dan memeluknya lagi. "Sampe kapanpun saya gak bakal lepasin kamu, Yank."
"Kenapa?"
"Saya gak mau kehilangan kamu lagi."
"Maksudnya?"
"Listen. I've been searching for someone like you for most my life. Happiness ain't a thing I'm used to. You could have fallen hard for anyone. Plenty of fish in the sea, hey now for all of time, now I know. It's just my angel and me." Albercio semakin mengeratkan pelukannya. Dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "And now I found someone with all the boxes that I want ticked. 'Cause your love is all I ever wanted. Set my heart on fire, I needed something. This is all I wanted to be, you and I."
"Gombal!"
"Kok gombal sih? Kapan saya pernah ngegombalin kamu? Ini tuh beneran, Bebi. Your love is all I ever wanted. Set my heart on fire, I needed something. This is all I wanted to be, you and I."
"Gombal ah!"
"Ih kamu ini loh. Saya gak bercanda dan gak nggombal Bebi."
Bebi gak menjawab. Cewek itu malah menguap lebar-lebar dan sengaja berniat membuat Albercio jadi ilfil dengannya. Bukannya ilfil, Albercio malah memasang senyum terbaiknya dan menarik tubuh Bebi ke pelukannya dan sama-sama menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
"Kalo kamu ngantuk, tidur aja di pelukan aku kayak gini, Yank," ucap Albercio seolah membaca pikiran Bebi. "Aku rela kok jadi sandaran kamu selama itu bisa bikin kamu nyaman."
Bebi melirik Albercio dengan tatapan sebalnya. "Lo sengaja ya mau nyari kesempatan dalam kesempitan?"
"Kesempatan apa sih, Yank? Kamu ini loh kalo ngomong suka gak pake filter. Kan maksud saya baik. Kalo emang kamu capek, kamu bisa tidur."
*
Albercio memasang senyumnya. Pandangannya gak lepas dari sosok Bebi yang saat ini terlelap. Dengan lembut cowok itu menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Bebi. Di saat terlelap seperti ini pesona Bebi berkali-kali lipat lebih menghujam perasaan Albercio, membuat pikiran cowok itu melayang bebas.
Albercio menutup mulutnya dengan telapak tangan, berusaha menahan tawanya. Dia masih inget dengan jelas gimana hepinya Bebi tadi. Malah cuma cewek itu satu-satunya turis yang bisa dibilang paling heboh dan paling bersemangat. Pokoknya 11-12 sama bocah yang udah sehepi itu kalo ketemu air deh, padahal umurnya udah hampir kepala tiga!
"Makasih ya, Al." Suara serak Bebi tiba-tiba mengalihkan dunia .. eh perhatian Albercio.
"Kenapa, Yank? Kok kebangun?"
Bebi menggeleng pelan. Matanya masih setengah terpejam. "Lo kenapa belom tidur?"
"Belom ngantuk, Yank. Kamu lanjut tidur lagi ya. Maaf kalo saya jadi membangunkan kamu."
Sekali lagi Bebi menggeleng pelan. "Gak apa-apa. Lo jangan tidur malem-malem ya. Gue gak mau kamu sakit."
Albercio mengangguk. Ini kali kedua Bebi memberi perhatian untuknya. Walopun dengan cara yang simpel dan sederhana. "I know you love me, Bebi."
Bebi gak menjawab. Dirinya terlalu digelayuti rasa kantuk dan lelah. Namun, lengan cewek itu tiba-tiba merengkuh pinggang Albercio erat-erat membuat tubuh atletis Albercio merapat ke tubuh Bebi.
*
Albercio memijit pelipisnya dengan lelah. Matanya masih memandang lurus ke layar laptop di hadapannya yang sedang menampilkan sederet nominal angka beberapa digit. Data keuangan dan data karyawan di perusahaan lain yang baru aja dikuasainya. Diliriknya selintas jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu pagi.
Pukul setengah satu pagi, masih terlalu pagi untuk memulai pekerjaan. Harusnya dia masih terlelap dengan mimpi indah dan istirahat yang cukup sebelum memulai marathon pekerjaannya ketika matahari terbit.
Tapi hari ini berbeda. Pikirannya terus melayang ke satu nama. Albercio menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya. Dia udah berusaha untuk tidur, tapi gak bisa. Setiap kali dia memejamkan matanya, selalu aja ada yang mengganjal pikirannya.
Albercio berdiri sambil membawa cangkir kopi lalu menyesap kopi sambil memandangi meriahnya langit malam dengan taburan bintang-bintang. Untuk yang kesekian kalinya, dia terjaga meskipun dalam hitungan jari, fajar akan tiba menyapa semesta. Dan untuk yang kesekian kalinya juga, menghela nafas lalu mengalihkan pandangannya ke siluet seseorang yang terlelap beberapa meter di hadapannya.
Jujur, saat ini Albercio merasa dadanya sesak. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Gak cuma itu, ada banyak pengakuan yang pengin dia sampaikan untuk Bebi. Tapi semua nihil. Lidahnya terlalu kelu. Jangankan membuat pengakuan dari mulutnya kalo tiap kali dirinya beradu pandang dengan Bebi aja udah membuatnya klepek-klepek gak karuan. Sesuatu yang selalu di luar nalar logikanya.
Albercio meletakkan cangkir kopinya di atas nakas dan berjalan ke arah Bebi. Di belainya perlahan pipi cewek itu. "I love you, Bebi. Sampe kapanpun saya akan tetep mencintai kamu dan menunggu kamu. Saya bakal terus menjaga kamu. Kamu gak bakal sendirian karna ada saya. Saya bakal selalu mendampingi kamu, Bebi. Saya janji."
*
Bebi membuka matanya begitu merasakan silau matahari pagi yang menyusup dari celah gordyn kamarnya. Kepalanya masih terasa sakit. Gak lama, dia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Samar-samar dia berusaha mengingat aktivitas terakhirnya sebelom akhirnya terlelap dan ...
Albercio!
Kaki indah Bebi perlahan menjejak lantai. Dengan hati-hati dia melangkah keluar sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, namun cewek itu cuma bisa menemukan dua hal. Birunya laut dan keheningan. Gak ada suara apapun di sini selain suara deburan halus ombak-ombak yang memecah diri.
"Ngapain kamu ngendap-ngendap gitu?" Terdengar suara khas seseorang yang langsung membuat bulu kuduk Bebi auto berdiri. Nah tuh! Bener kan dugaannya? "Kamu udah bangun?"
"Belom.", sahut Bebi bete.
"Idihhh .. pagi-pagi udah bete. Mau kopi ato mau dicium?"
Bebi melirik sebal ke arah Albercio. "Mana kopinya?"
Albercio menunjuk mulutnya sambil menahan senyumnya. Dan jelas, gara-gara ulahnya itu malah membuat Bebi semakin bete dan memanyunkan bibirnya, namun membuat Albercio merasa gemas padanya. "Maaf deh maaf."
"Kita di sini sampe berapa lama, Al? Gue kan mestinya hari ini ngantor."
"Ini kamu lagi ngantor sama saya.", sahut Albercio santai.
Hah?
"Maksudnya gimana, Al? Apanya yang ngantor kalo begini?"
"Iya ini kita lagi kerja, Ayangkuuu.", sahut Albercio gemas. "Kamu smakin hari semakin gemesin, tapi semakin bawel juga ternyata ya."
"Lah bukan bawel sembarangan, Al. Gue kan cuma kritis. Abisnya kelakuan lo suka gak jelas. Apalagi sekarang, lo jadi manggil gue pake sebutan Yank ato Sayang. Kenapa sih? Ada apa?"
"Emangnya gak mau dipanggil Yank?" tanya Albercio datar. "Kan saya udah ngelamar kamu, Bebi."
Bebi menghela nafas. Emang bener-bener deh si Albercio ini. "Iyaudah terserah lo deh ya, Albercio.", sahut Bebi bete.
Albercio memeluk tubuh Bebi dari belakang. "Kerjaan kamu di kantor semua udah diberesin sama Mark. Jadi kamu gak usah ke kantor."
"Mark siapa sih, Al? Lo dari kemarin nyebut nama dia terus."
"Kamu.", sahut Albercio pelan.
*
"Kamu?"
"Kamu bisa gak kalo lagi ngobrol sama saya, jangan pake bahasa Lo-gue? Saya bukan temen kamu, Bebi."
"Tau. Bapak kan atasan saya.", sahut Bebi santai sambil melebarkan senyumannya. Dia sangat ngerti maksud ucapan Albercio, makanya Bebi sengaja menyebutnya dengan sebutan Bapak barusan.
"Bebi .."
"Kenapa, Pak?"
Albercio gak menjawab. Sebagai gantinya, cowok itu merangkum wajah Bebi dengan kedua tangannya kemudian diciumnya bibir cewek itu dengan gemas. Dan, lagi-lagi Bebi menerima perlakuan itu tanpa ada penolakan!
"Saya bukan sekedar atasan kamu, Sayang. Saya calon suami kamu.", sahut Albercio dengan lembut sesaat setelah melepaskan ciumannya. "Jadi, tolong gunakan bahasa aku-kamu ato saya-kamu."
"Kalo gue gak mau gimana?"
"Bebi .."
"Apaan lagi sih?"
"Tolong gunakan bahasa aku-kamu ato saya-kamu."
Bebi berdehem sejenak. "Oke."
Albercio mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu menarik tubuh Bebi ke dalam pelukannya dan mencium puncak kepala cewek itu. "Mark itu sekretaris pribadi saya khusus untuk urusan eksternal. Kalo kamu, kamu sekretaris pribadi internal saya. Tugas kamu mengurusi semua yang berkaitan dengan kebutuhan saya.", sahut Albercio lembut.
"Contohnya?"
"Contohnya ya tinggal sama saya di apartemen ato di mansion. Temenin saya olahraga. Ato yang lainnya. Intinya sih temenin saya. Apapun itu. Dalam kondisi apapun."
"Berarti aku selama ini salah ngerjain tugas dong, Al?"
"Enggak salah kok. Cuma masih kurang sedikit tepat aja. Kita bisa koreksi bareng-bareng kok. Anggap aja kamu lagi belajar melayani suami."
Yayayaya ... "Oke. Makasih ya, Al."
"Iya. Yang penting kamu berhenti main-main sama saya."
Tuh kan!
Bebi memasang wajah manyunnya. Jujur nih ya, Bebi tuh paling benci sama ucapan Albercio barusan. Dari hari pertama dia ketemu Albercio, selalu aja itu cowok ngucapin kalimat begitu. "Main-main soal apa ya, Al? Kan aku pernah bilang kalo aku gak pernah main-main sama pekerjaan aku."
"Main-main sama hati saya.", sahut Albercio kalem.
Bebi mengerjapkan matanya. Dia barusan gak salah denger kan? "Maksudnya gimana?"
Albercio gak menjawab. Cowok itu malah beranjak meninggalkan Bebi yang masih kebingungan.
*
Ketika
Kurasakan sudah
Ada ruang di hatiku
Yang kau sentuh
Dan ketika
Ku sadari sudah
Tak selalu indah
Cinta yang ada
Ooh ooh
Mungkin memang
Ku yang harus
Mengerti
Bila ku
Bukan yang ingin
Kau miliki
Salahkah ku bila
Kau lah yang ada di hatiku
Adakah ku
Singgah di hatimu
Mungkinkah kau
Rindukan adaku
Adakah ku
Sedikit di hatimu
---