Albercio membuka matanya perlahan sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, lalu tatapannya berhenti ke siluet sosok seseorang dengan tubuh yang meringkuk di sofa dengan mata terpejam. Masih ada jejak kelelahan dan kekhawatiran yang terlihat dari raut wajahnya.
Albercio memasang senyum tipisnya sambil menjejakkan kakinya ke lantai, berjalan mendekati Bebi lalu menyelimuti tubuh cewek itu dengan selimut yang semalaman tadi dipakainya, tapi sepertinya cewek itu sadar akan sentuhannya. Dia membuka matanya lalu memandangi Albercio.
"Kenapa, Al?" tanya Bebi serak. "Lo aus? mau minum?"
"Kamu kenapa tidur di sofa?" Seperti biasa. Bukan Albercio namanya kalo gak menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. "Kenapa gak tidur bareng di kasur?"
"Di sini lebih nyaman, Al."
"Kamu takut sama saya?"
"Enggak. Emang lebih nyaman di sofa, Al. Lagian lo kan lagi sakit. Kalo gue tidur di kasur bareng lo, yang ada lo malah tambah sakit. Soalnya gue kalo udah tidur suka blangsak, Al."
"Bangun. Pindah ke kasur!" sahut Albercio datar. Well, sikap bossy nya mulai kumat. "Gak pake bantah!"
Bebi menggelengkan kepalanya yang masih terasa berat. Cewek itu baru bener-bener bisa terlelap satu jam yang lalu, dan sekarang dibangunkan oleh Albercio? Eeeerrrggghhh! "Demam lo udah turun?"
"Pindah dulu tidurnya ke kasur.", sahut Albercio gak mau kalah. "Tenang aja. Saya gak bakal berbuat macem-macem ke kamu."
Bebi menghela nafas. Dengan mata setengah terpejam, cewek itu melangkah gontai lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur dan membiarkan wangi tubuh Albercio tercium dan membekas di otaknya.
*
Bebi membuka matanya perlahan begitu merasakan silau mentari yang berhasil lolos dari celah gordyn kamar. Entah harus bersyukur ato gimana, tapi saat ini pandangan matanya langsung terpaku dengan raut wajah penuh ketenangan dan mata terpejam tepat di hadapannya. Malah, Bebi bisa merasakan hembusan nafasnya dan lengan kokohnya yang merangkum pinggangnya.
Seumur hidup, ini pertama kalinya Bebi tidur seranjang dengan cowok yang notabene gak ada hubungan darah dengannya. Antara dirinya dan Albercio cuma sebatas hubungan atasan dan bawahan, dan Bebi terpaksa menuruti perintah Albercio yang tadi malam sempet terbangun lalu menyuruhnya pindah tidur ke kasur yang sama dengannya.
Walopun dalam hati kecilnya ada sesuatu yang mengganjal, tapi tanpa sadar Bebi mengembangkan senyum samarnya sambil mengulurkan tangannya menyentuh kening Albercio, lalu menghela nafas lega karna demam cowok itu bener-bener udah turun.
Gak lama, Albercio membuka matanya dan keningnya berkerut. Walopun bukan yang pertama kali tidur seranjang dengan cewek, tapi kali ini Albercio merasakan ada yang lain. Apalagi wajah polos Bebi yang apa adanya lengkap dengan seutas senyum samar yang masih mengembang menghiasi wajahnya.
"Morning, Al.", sapa Bebi. "Demam lo udah turun. Kalo lo masih ngerasa gak enak badan, istirahat aja. Nanti gue cari info dokter yang bisa home visit di sini."
Albercio menggeleng. Wajah datarnya udah kembali seperti biasa. "Gak usah. Saya udah mendingan kok."
"Yakin?"
"Kenapa sih kamu gak percayaan? Kalo saya bilang udah mendingan ya berarti saya emang udah mendingan.", sahut Albercio pelan. "Hari ini kamu mau kemana?"
"Kenapa emangnya?"
"Hari ini kamu mau kemana?", Albercio mengulang pertanyaannya.
"Gue kan sekretaris lo, Al. Ya gue ngikut kemana aja lo pergi."
"Kalo gitu, saya mau ke kamar mandi. Mau ikut?"
Bebi memukul pelan lengan Albercio. "Jangan ngaco pagi-pagi."
"Omongan kamu gak konsisten. Tadi katanya ikut kemana aja saya pergi. Lah saya mau ke kamar mandi, kamu gak mau ikut."
"Ya itu ngaco namanya. Ngapain gue mesti ikut lo ke kamar mandi?"
"Nyabunin saya."
"Dih .. ogah!" Bebi beringsut bangun lalu menjejakan kakinya ke lantai dan berjalan ke arah meja rias untuk menguncir rambut panjangnya. "Lo mau mandi duluan, ato gue yang mandi duluan?"
"Mandi bareng aja, Beb.", sahut Albercio asal. Gak tau kenapa rasanya Albercio malah pengin menggoda Bebi. "Gimana?"
"Woy Albercio! Tolong otaknya dikondisikan. Pagi-pagi jangan piktor!"
"Apaan tuh piktor?"
"Pikiran kotor!", sahut Bebi kesal. "Sana buruan mandi deh ah!"
Albercio beringsut bangun kemudian berjalan ke arah kamar mandi sambil senyam-senyum gak jelas. Diam-diam Albercio berterima kasih kepada Bebi, karna kehadiran cewek itu perlahan mulai menggoreskan tinta warna lain untuknya.
*
Hidung Bebi langsung kembang kempis saat mencium aroma kopi begitu keluar dari kamar mandi. Gak lama, pandangannya beralih ke raut wajah Albercio yang begitu menghayati caranya menyesap kopi hitamnya dengan pelan. Ini kali keduanya melihat cowok itu terlihat begitu tenang dan cool dengan secangkir kopi hitam di hadapannya.
"Kebiasaan banget bikin kopi buat sendirian." Suara manja Bebi langsung membuyarkan lamunan Albercio, membuat cowok itu langsung menoleh ke arahnya. "Kopi gue mana?"
"Harusnya kamu yang bikinin saya kopi. Bukan dibalik, saya yang bikinin kamu kopi. Kan kamu sekretaris saya."
"Tapi gue bukan pelayan lo. Jadi gak ada keharusan gue bikinin lo kopi.", sahut Bebi sambil merebut cangkir kopi yang dipegang Albercio, lalu langsung menghabiskan isinya. "Enak. Makasih ya."
Albercio cuma bisa geleng-geleng kepala. Lalu tangannya meraih puncak kepala Bebi dan mengacak-acak rambut yang masih setengah basah milik cewek itu. Sesuatu yang gak pernah dia lakukan sebelomnya.
"ALBERCIOOOOO!!!"
"Apaan sih?", sahut Albercio datar. "Ini hotel, bukan hutan. Gak usah teriak-teriak."
"Bomat. Bodo amat! Abisnya Lo pagi-pagi udah ngeselin."
"Pertanyaan saya belom kamu jawab.", celetuk Albercio. "Kamu mau kemana hari ini?"
"Kenapa emangnya? Mau traktir emangnya?" Sekarang Bebi mulai terbiasa mengikuti jejak Albercio. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. "Enaknya kemana?"
"Pantai.", sahut Albercio datar. "Ayo siap-siap."
Bebi menggeleng. "Sorry to say, bukannya gue gak mau ke pantai. Tapi gue ada urusan sendiri. Mau ketemu seseorang, mumpung gue di sini."
Albercio melirik kesal ke arah sekretarisnya itu. Gak tau kenapa, dia gak suka dengan ucapannya. Menurut Albercio, orang yang bakal ditemui Bebi adalah seorang cowok dan Albercio gak suka Bebi ketemu cowok lain. Huh!
"Cewek ato cowok?" tanya Albercio sok datar, padahal mah hatinya mulai ambyarr! "Kok mendadak?"
"Kenapa emangnya?"
"Dibiasakan kalo ada orang nanya, kamu jawabnya yang bener. Jangan balik nanya lagi."
"Eleuh ... Pak Albercio tumben bijak. Sok coba, udah ngaca belom? Kan situ yang biasanya begitu. Orang nanya apa dijawabnya pake pertanyaan lagi."
Albercio menghela nafas. Lagi-lagi dia dipanggil dengan sebutan itu. Huh! Dan bisa-bisanya seorang Bebi bener-bener mempermainkan tensi darahnya. Bikin pusing tujuh tanjakan dan tujuh turunan! Bener-bener ngeselin! "Jam berapa?"
"Apanya yang jam berapa, Al?"
"Kamu ketemuan sama orangnya jam berapa?"
"Oh. Bilang dong yang jelas.", sahut Bebi santai. "Sepuluh menit lagi."
"Jangan ngaco deh." Oke, fix. Tensi Albercio bener-bener naik turun dengan bebas. Tuh buktinya, hidungnya sampe kembang kempis nahan amarah.
"Ngaco apanya sih, Al?"
"Gak boleh."
Bebi melirik Albercio dengan tatapan heran. Tumbenan si bos yang datar dan selalu dingin seperti es batu sekarang melarangnya ketemuan sama orang. Padahal saat ini Bebi lagi non job. Alias gak ada kerjaan. "Kenapa gak boleh?"
"Kan kamu saya ajak ke Bali untuk nemenin saya, bukan untuk ketemuan sama orang yang gak saya kenal plus gak ada hubungannya sama pekerjaan kamu, Beb. Lagian kan saya lagi berbaik hati nih mau ngajak kamu jalan. Kok kamu malah belain orang lain? Ato jangan-jangan kamu diem-diem mau jalan sama Rolland yah?"
"Lo kalo udah sehat begini ngeselin ya? Sakit lagi aja sono dah! Biar gak berisik."
"BEBI!!"
"Apaan sih?"
Bebi membalikkan badannya dan bersiap meninggalkan Albercio. Tapi baru beberapa langkah, ada sebuah cengkraman di pergelangan tangannya. Bebi melirik pergelangan tangannya dan โฆ tiba-tiba dirinya diserang dengan sebuah ciuman panas yang membabi buta. Dan tatapannya seketika melotot!
"Lepasin!", sahut Bebi dengan suara serak di sela-sela ciumannya dan Albercio. Jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya dia ciuman bibir dengan cowok yang notabene adalah bosnya. Gila!
"Lo tuh kenapa sih, Al?" tanya Bebi begitu Albercio melepaskan bibirnya. Cewek itu langsung buru-buru menghapusnya dengan telapak tangan, walopun tetep aja masih menyisakan sedikit rasa manis di bibirnya. "Asal nyosor aja. Lo gila ato gimana sih?!"
Albercio diam, namun malah memilih meninggalkan Bebi yang masih merasa kesal dengan ciumannya barusan. Habis gimana dong? Dia bener-bener gak suka kalo cewek itu ketemu cowok lain seperti dulu.
*
Bebi langsung memasang senyum semanis mungkin begitu matanya menemukan sosok seorang cowok yang udah sangat-sangat dirindukannya. Malah saking rindunya, Bebi jadi agak-agak childish, bawaannya pengen jejingkrakan sambil memeluk orang itu. "Ka Lucky!"
Lucky Irawan Halim. Siapa coba yang gak kenal sama orang ini? Pengusaha muda yang sukses, berwajah ganteng, humble, plus murah senyum. Malah kadang, senyumannya itu bisa membuat cewek-cewek meleleh gak karuan.
Lucky langsung menoleh begitu mendengar suara khas Bebi yang agak-agak cempreng gimana gitu. Sama seperti Bebi, Lucky juga langsung memasang senyumnya begitu tangannya menangkap tubuh Bebi di pelukannya. "Kok gak bilang lagi di Bali, Dek?"
Bebi melepaskan pelukannya lalu mengangguk. "Kan biar jadi kejutan buat Kakak. Abis Kakak gak pernah pulang. Emang gak kangen sama aku?"
"Ya kangen, tapi mau gimana lagi? Kakak gak bisa ninggalin kerjaan Kakak, Dek. Kalo Kakak gak kerja, kamu makan apa nanti?"
"Ish .. lebay deh. Aku kan sekarang udah kerja, Ka. Jadi sekretaris direktur."
Lucky membulatkan matanya. Dia merasa gak percaya dengan ucapan Bebi barusan. "Ciyus? Gak boong kan?"
"Dua rius, Ka. Makanya aku sempetin ke sini. Buat malakin Kak Lucky."
"Kamu udah kerja masih minta uang sama Kakak. Gantian, kamu yang traktir sekarang."
Bebi memasang senyum terbaiknya lalu menggelengkan kepalanya dan menggandeng mesra tangan Ka Lucky. "Urusan traktiran, Kakak tetep harus traktir aku. Kapan lagi kan? Mumpung aku di sini. Ya?"
*
Albercio geleng-geleng kepala dengan pemandangan yang dilihatnya. Dari awal dirinya memutuskan untuk mengikuti Bebi, perasaannya campur aduk antara kesel, jengkel, dan cemburu. Huh, cemburu?! Ya apalah itu. Yang pasti Albercio gak suka melihat Bebi menggandeng tangan cowok lain.
Albercio menghela nafas. Tatapan matanya masih terfokus ke Bebi, walopun cewek itu masuk ke dalam mobil cowok yang digandengnya itu. Dan bukan Albercio namanya kalo gak menyelesaikan apa yang dimulainya.
*
Lucky menghentikan mobilnya tepat di pelataran parkir Discovery Mall. Walopun termasuk mall yang masuk kelas menengah ke atas, tapi seenggaknya Bebi gak perlu harus jalan jauh-jauh kalo dari sini mau ke pantai. Apalagi ini pertama kalinya dia ke Bali.
"Ka, kenapa ke sini sih?"
"Kan katanya kamu mau traktir Kakak makan."
"Ya tapi kan masa ke sini sih? Emang gak ada tempat makan lain? Kenapa gak ke Warung Mak Beng? Kalo gak salah itu kan terkenal. Daripada makan di mall gini." Bebi memanyunkan bibirnya beberapa senti. "Lagian, Kakak kan janji mau ajak aku jalan-jalan ke pantai abis kita makan."
"Ya gampang itu. Kan kamu mau ke pantai tinggal nyebrang aja tuh!"
"Ya tapi jangan ke sini lah. Ke tempat lain aja deh."
Lucky menghentikan langkahnya lalu menyentil dahi Bebi. Walopun adek satu-satunya itu udah segede sekarang, tapi ternyata kelakuan Bebi masih gak berubah. Banyak mau dan banyak protes, padahal ujung-ujungnya Lucky juga yang bayarin makanannya. "Berisik. Udah diem aja gak usah banyak protes."
"Ish .. Kak Lucky jahat!"
"Tuh kan, kumat gilanya! Mau ditraktir kakaknya sendiri malah dibilang jahat. Yaudah, sekarang kamu maunya makan apa?"
"Mekdih!" sahut Bebi singkat, padat, jelas.
Lucky menghela nafas. Untung aja cewek yang sekarang ada di hadapannya ini bener-bener kesayangannya. Kalo enggak, beuh bisa-bisa udah ditinggalin dari tadi di parkiran mobil. "Yaudah, fix ya? Jangan BM lagi loh ya. Kakak udah laper juga nih."
"BM apa sih, Kak?"
"Banyak mau."
Bebi langsung mengangguk. Sepertinya abis ini dia harus membuat catatan kamus bahasa sendiri. "Oke. Cuz kita balik ke parkiran trus ke mekdih ya!"
*
Lucky menghentikan mobilnya tepat di pelataran parkir di depan sebuah restoran cepat saji berlogo huruf M yang berwarna kuning itu. Kalo bukan karna Bebi, dia gak bakal ke tempat ini. Bukan apa-apa sih, Lucky cuma agak kurang suka dengan makanan cepat saji begini. "Kamu berapa hari di Bali, Dek?"
"Seminggu kata si bos," sahut Bebi sambil menunjuk papan menu bergambar burger. "Aku mau Bic Mac, Ka. Kakak mau apa?"
"Samain aja.", sahut Lucky santai. "Bos kamu cewek ato cowok?"
"Cowok. Ganteng. Masih muda pula," sahut Bebi dengan tatapan lurus menerawang. Gak tau kenapa dirinya malah memasang senyum samar.
Gak lama, pesanan makanan mereka datang. Lucky mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan mencari meja kosong untuk mereka berdua.
"Udah nikah?"
"Belom. Kenapa emang?"
Lucky menggelengkan kepalanya. Dia cuma gak mau adek kesayangannya itu disakitin untuk yang kedua kalinya. Bagi Lucky, cukup sekali aja dia melihat Bebi menderita seperti tiga bulan yang lalu, karna kalo sampe kejadian lagi rasanya Lucky gak bakalan sanggup untuk menerimanya. Apalagi Lucky tau banget gimana beratnya perjuangan Bebi setelah kejadian itu. Belom lagi ditambah sama kondisi hilang ingatan sebagian yang harus diterima cewek itu.
Bebi menghela nafas, tapi belom sempet cewek itu menjawab ucapan Lucky, sesuatu yang hangat mendarat tepat di kening Bebi, membuatnya mengalihkan pandangannya. Dipandanginya tatapan teduh seseorang yang barusan menciumnya. "Albercio?"
*
"Albercio?"
Albercio tersenyum semanis mungkin. Entah kenapa ada rasa kepuasaan di hatinya saat mendapati wajah cowok di hadapan Bebi dari ekor matanya. "Aku cariin kamu daritadi, Sayang. Ternyata kamu di sini?"
Lucky menoleh ke sosok yang barusan namanya disebut oleh Bebi. Jujur, dia merasa gak asing dengan nama itu.
Bebi berusaha menelan salivanya walopun dengan susah payah. Diliriknya selintas wajah Lucky dan sesuai dugaannya, cowok itu memandangi Albercio dengan tatapan bingung sekaligus gak suka. Bebi tau banget, dari dulu Lucky adalah satu-satunya cowok yang paling gak suka kalo Bebi diperlakukan begini, mana di tempat umum pula.
"Ayo pulang. Kita kan tadi katanya mau nyari cincin untuk pertunangan kita minggu depan."
GLEG! WHAT?! Sumpah ya, rasanya Bebi hampir aja kejang-kejang begitu mendengar ucapan Albercio barusan. Haduuuh ... bakal panjang deh urusan kalo begini. "Ma ... maksudnya apa ya? Kok lo di sini? Tau darimana gue di sini?"
"Kamu lupa ya? Kita kan tadi mau nyari cincin tunangan.", sahut Albercio santai, padahal dalam hatinya agak-agak kesal pada Bebi. Bisa-bisanya cewek itu dengan santai ketemuan sama cowok. Pake senyum-senyum manis segala pula. Apa coba bagusnya cowok yang sekarang ada dihadapannya? B aja padahal.
"Loh, Dek, kamu mau tunangan kok gak bilang-bilang?" tanya Lucky heran.
Bebi geleng-geleng kepala. "Gak gitu maksud aku. Duh! Ini tuh salah paham, Ka."
"Ayo pulang." Albercio mengulang ucapannya. Wajah manisnya yang sekian menit lalu diperlihatkannya kini kembali datar seperti biasa.
"Lo siapa?" Lucky mengalihkan pandangannya ke arah Albercio. Rasa panas sekaligus mulai merambat naik ke ubun-ubun kepalanya. Emangnya dia pikir siapa bisa seenaknya nyuruh-nyuruh adek kesayangannya seenak jidat begitu? Mana gak pake urat malu, asal nyosor aja di tempat umum. "Kok nyuruh-nyuruh Bebi seenaknya gitu?"
"Bukan urusan Anda.", sahut Albercio dingin. Gak lama, tatapannya beralih lagi ke wajah Bebi yang mulai menegang. "Ayo pulang."
Bebi menggeleng. Dipandanginya manik mata Albercio. "Lo kenapa sih?!"
"Ayo pulang" Albercio mengulang ucapannya.
"Urusan gue belom beres, Al."
"Ini kalian kenapa sih?" tanya Lucky bingung. Kesabarannya mulai habis. "Cowok ini siapa, Dek?"
"Cowok ini ..." Belom sempat Bebi menyelesaikan ucapannya, tanpa aba-aba, Albercio langsung menarik tangan Bebi dan membawa Bebi pergi dari tempat itu. Dia sama sekali gak peduli dengan aksi protes Bebi yang berusaha menarik tangannya dari genggamannya.
*