Chereads / Wind Flower / Chapter 9 - 7

Chapter 9 - 7

"Ada apa sebenernya sama kamu, Bebi?"

Bebi mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia bener-bener bingung sama maksud omongan Albercio. Seharusnya dia dong yang bertanya begitu ke Albercio. Ada apa sama Albercio? Kenapa cowok itu bisa kenal Bebi, tapi Bebi gak kenal Albercio? Siapa Albercio sebenernya?

Bebi menghela nafas dalam-dalam. Gak tau kenapa tiba-tiba ada sesuatu yang mencelos dari hatinya. Ada rasa nyeri yang gak karuan. "Please ya, Al. Lo gak usah aneh-aneh. Lo tau sendiri kan jelas-jelas kita itu baru ketemu pas lo pertama kali dateng sebagai CEO di kantor tempat gue kerja. Dan itu pertama kalinya kita kenal."

Gantian, sekarang giliran Albercio yang menghela nafas. "Kalo saya bilang saya udah lama kenal kamu gimana?"

"Jangan bercanda, Al."

"Gak bercanda.", sahut Albercio datar. Sebisa mungkin dia menahan degup jantungnya supaya Bebi gak mendengarnya. "Saya gak bercanda, Bebi. Saya serius."

Bebi menghela nafas. Dipandanginya manik mata Albercio dalam-dalam. "Lo ngelamar gue cuma untuk tameng lo ngadepin cewek tadi?"

"Saya kan udah bilang ke kamu. Saya gak ada hubungan apa-apa sama dia. Dia cuma cewek kegatelan yang selalu ngejar-ngejar saya. Dia freak. Lagipula, emangnya kamu gak kepengen nikah gitu? Secara ya menurut saya, dari segi umur, udah seharusnya kamu nikah."

"Ya kepengen lah. Siapa sih yang gak kepengen?"

"Yaudah, kita nikah yuk?"

"Gak lucu tau gak.", sahut Bebi pelan. Hidungnya udah kembang kempis menahan kesal. Dia masih inget banget gimana labilnya Albercio tadi waktu malah menyuruhnya melupakan soal lamaran itu.

"Kan udah dibilang daritadi. Saya ini gak percanda, Bebi. Kamu ini loh gak percayaan."

"Trus apa? Gak mungkin banget kalo lo ngelamar gue karna lo cinta sama gue. Ya kan?"

Albercio menggelengkan kepalanya. Tanda kalo dia gak setuju dengan omongan Bebi barusan. Gak lama, Albercio menghela nafas. "Kamu maunya gimana? Butuh waktu berapa lama buat kamu biar bisa nerima lamaran saya?"

"Al, jangan main-main lah. Jangan bercanda. Ini tuh gak lucu. Sumpah."

"Saya gak main-main, Bebi. Saya serius. Marry me.", Albercio mengulang ucapannya, tapi Bebi menggelengkan kepalanya. "Jadi kamu nolak lamaran saya?

"Kamu sadar gak sih kita baru kenal itungan hari?"

"Kamu denger gak tadi saya bilang apa? Saya kenal kamu. Saya tau gimana kamu."

"Ya walopun lo kenal gue, tetep aja buat gue kita tuh baru kenal. Gue gak tau pribadi lo luar dalem gimana."

"Jadi kamu nolak lamaran saya?"

"Ya gak gitu juga, Al.", sahut Bebi pelan. Sumpah, dia jadi bingung sendiri sekarang harus gimana.

"Ya itu namanya kamu nolak."

Bebi menghela nafas. Susah payah cewek itu berusaha menelan salivanya begitu Albercio memandanginya dengan tetapan yang susah diartikan. Cewek itu bener-bener speechless sekarang. "Terserah apa kata lo lah! Gue gak tau lagi harus gimana ke lo."

Albercio langsung menarik tubuh Bebi ke pelukannya dan memasang senyum lebarnya. Saking lebarnya tuh senyuman sampe-sampe membuat Bebi jadi bingung sendiri. Seorang Albercio yang biasanya bersikap dingin dan pelit senyum, sekarang mulai murah senyum.

Bebi jadi bergidik ngeri. Dia mengedarkan pandangannya selintas, memastikan bahwa gak ada orang lain yang menyadari kelakuan lebay dari Albercio. "Gak usah senyum lebar-lebar! Tar disangka lo orang gila!"

"Gak apa-apa. Asal saya bisa bikin kamu tergila-gila sama sama saya.", sahut Albercio santai.

Bebi geleng-geleng kepala. "Udahan bercandanya. Gue laper nih. Gara-gara lo tadi kan gue gak jadi makan. Lo harus tanggungjawab."

"Oke. Kita nikah secepatnya kalo gitu."

"Albercio!!" teriak Bebi gemas-gemas kesel. "Jangan gila deh!"

"Lah katanya saya harus tanggungjawab. Gimana sih?"

"Auk ah!" Bebi menyentak kakinya sambil memanyunkan bibirnya, membuat Albercio lagi-lagi lepas kendali dan mencium bibirnya sambil memeluk pinggang cewek itu. "Dasar cowok gak punya hati!"

*

Albercio menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Bebi begitu Driver Louis menghentikan laju mobilnya tepat di lobby hotel. Wajah polosnya membuat Albercio gak tega untuk membangunkannya. Cowok itu mau gak mau akhirnya memutuskan untuk menggendong Bebi dan membawanya masuk ke dalam kamar hotel. Ini adalah salah satu cara yang paling tepat daripada membangunkannya dan menimbulkan keributan gak berfaedah.

Albercio membopong tubuh Bebi layaknya groom yang menggendong sang bride sembari memasuki lift. Ini kedua kalinya cowok itu menggendong Bebi seperti ini. Gak lama, cowok itu menghela nafas. Dia membuka pintu kamar yang bernuansa coklat kayu itu dengan sebelah tangannya dan melangkah masuk. Diturunkannya tubuh cewek itu di atas ranjang, melepaskan sendal yang masih dipakainya dan menyelimutinya. Lagi-lagi, Albercio memasang senyumnya. Kemudian, Albercio mengambil posisi duduk di pinggir kasur dan memandangi sosok Bebi dalam-dalam sambil menyampirkan jaket kulit yang dipakainya di atas nakas.

"Gin bami omyeon tto gireul irheo niga eomneun nan, hanbeondo kkunjeok eomneun kkumsogeul hemae. Nal kkaewojul geudaega eomneun gose, na meomchwoseo neol gidarigo isseo. Eonjenga sonjaba jullae hamkke georeullae?" ucap Albercio lirih. Tangan kokohnya membelai puncak kepala Bebi dengan lembut. "Nae gaseumi seollenda, I gibun joeun neukkkim. Euneunhage seumyeodeun hyanggiroun neoui sumgyeol. Hangeoreumssik cheoncheonhi, naui maeumeul dudeurin neo."

Bebi menggeliatkan tubuhnya dan memunggungi Albercio. Walopun tadi mendengar dengan jelas ucapan Albercio barusan, tapi cewek itu udah terlanjur ngantuk berat untuk sekedar membuka mata. Bahkan saat cowok itu merebahkan tubuhnya di kasur yang sama dengannya, Bebi tetap memejamkan matanya.

*

Bebi membuka matanya dan menoleh ke sisi kanannya. Lagi, pandangannya terpaku dengan raut wajah penuh ketenangan dan mata terpejam tepat di hadapannya dengan lengan kokoh yang masih merangkum pinggangnya. Tanpa sadar, Bebi mengembangkan senyum samarnya sambil mengulurkan tangannya menyentuh pipi Albercio. Ini kedua kalinya Bebi tidur seranjang dengan Albercio selama mereka di Bali. Dan selama itu juga cowok itu udah dua kali melamarnya.

Gak lama, Albercio membuka matanya dan langsung beradu pandang dengan manik mata Bebi. "Morning, Dear."

"Dear?" Kening Bebi langsung berkerut begitu mendengar ucapan Albercio barusan. Apa tadi katanya? Dear? Huh! "Dear? Dear apa nih?"

Albercio memasang senyum simpulnya sesaat sebelum mendaratkan bibirnya sesaat di bibir Bebi dan mencium cewek itu. Walopun kali ini Bebi gak berontak, tapi tetep aja cewek itu gak membalas ciuman Albercio.

"Gimana tidur kamu semalem, nyenyak?" tanya Albercio begitu melepaskan ciumannya.

Bebi menghela nafas. Lagi, dia merasa ada yang aneh sama Albercio. "Lo kenapa?"

"Saya kenapa? Kenapa apanya?" Seperti biasa, Albercio menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"Lo berubah."

"Bebi, saya bukan power ranger yang bisa berubah."

"Albercio, gue serius.", sahut Bebi sambil memasang wajah datarnya. "Lo kenapa?"

"Gak kenapa-kenapa.", sahut Albercio sambil memasang senyum pesonanya. "I'm just ... Falling in love with you is the best moment that I've never planned, Beb. Asal kamu tau, dari dulu tuh perasaan saya ke kamu gak pernah berubah."

Bebi menghela nafasnya begitu Albercio lagi-lagi mengencangkan rangkulannya dan memaksa untuk merapatkan tubuh Bebi ke tubuhnya. "Udah siang nih. Jangan ngelantur."

"Trus kenapa kalo udah siang? Emang kamu gak mau dipanggil Dear?"

Bebi geleng-geleng kepala. "Ayo bangun. Trus kita cari makan. Gue laper nih."

Albercio mengacak-acak rambut Bebi dan mengecup pelan bibir cewek itu. "Kamu semalem makan banyak kayak orang kalap dan sekarang laper?"

"Ya laperlah. Itu kan udah sekian jam yang lalu. Emang lo gak laper?" Bebi beringsut bangun dan menjejakan kakinya ke lantai.

Albercil geleng-geleng kepala. "Nanti kita makan di pesawat aja."

"Gue lapernya sekarang, Al. Buka nanti. Lagian, kita kan abis ini langsung ke Jakarta kan?"

"Kata siapa?"

"Kata gue barusan."

"Kita abis ini ke Seoul.", sahut Albercio santai.

"Ngapain? Kita kan gak ada jadwal ke Korea, Al."

"Jalan-jalan, sekalian ngganti ajakan saya ke kamu tempo hari gara-gara saya sakit itu. Lagipula saya rencana mau ambil cuti seminggu."

Bebi geleng-geleng kepala. "Lo yang cuti, gue mah kagak. Gue kan tetep harus ke kantor, Al. Kalo gak, kerjaan bakal numpuk."

"Lo temenin gue. Titik, gak pake koma."

Bebi menghela nafas. Dipandanginya raut wajah Albercio dalam-dalam. "Tiga hari. Oke? Gue gak mau punya catatan jelek di kantor, apalagi sampe dipecat. Yang ada disangkanya gue sengaja deketin lo buat keuntungan pribadi."

"Gak bakal ada yang berani pecat kamu, Bebi. Semua kan harus persetujuan saya."

"Yowes. Buruan lo mandi sana. Trus kita cari makan. Gue laper."

"Siap, Dear.", sahut Albercio girang sesaat sebelom mengecup pipi Bebi. Albercio merasa bener-bener bahagia. Melihat wajah Bebi setiap dia membuka mata dan menghabiskan beberapa saat waktu paginya bareng cewek itu adalah mimpinya dari dulu. Rasanya Albercio pengen membawa Bebi pergi sejauh mungkin demi bisa menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Demi bisa mengganti waktunya saat cewek itu pernah meninggalkannya tiga bulan yang lalu.

*

"Kita beneran ke Seoul?" tanya Bebi bingung. Semenjak menjadi sekretaris pribadi Albercio sampe detik ini, Bebi masih gak ngerti sama cowok itu. Apalagi sikapnya yang hampir selalu tiba-tiba dan susah ditebak. Rasanya, Bebi lebih baik disuruh nyari bunglon di mana kek daripada harus menghadapi kelakuan Albercio yang super gak jelas itu.

Albercio gak menjawab. Cowok itu cuma meraih tangan Bebi lalu menggenggamnya erat. Beneran deh, siapapun yang melihat mereka saat ini pasti bakal mengira kalo mereka adalah sepasang kekasih yang mau liburan bareng ketimbang sebagai atasan dan bawahan.

"Al, kita beneran mau ke Seoul?" Bebi mengulang ucapannya, berusaha sabar padahal udah gemes pengen mengomel panjang kali lebar kali tinggi ke Albercio. "Jawab dong, jangan diem aja."

"Tanya sendiri aja sama kru pesawatnya kalo gak percaya.", sahut Albercio sambil menaiki tangga pesawat jet pribadi miliknya.

"Tiga hari aja ya, Al. Kalo kelamaan kerjaan gue numpuk nanti."

"Seminggu, Bebi.", sahut Albercio datar. "Saya gak mau mengurangi waktu. Cukup kali ini aja. Kamu lupa kalo kita di Bali nih gak sampe seminggu? Lagian, saya emang mau cuti dan menepati janji saya ke kamu untuk ajak kamu jalan."

Bebi menghela nafas dengan berat. Emang ya dia harus banget punya stok kesabaran gak terbatas biar bisa menghadapi Albercio. "Kalo gitu, gue minta resign!"

"Ya gak bisa gitu dong, Bebi. Kalo kamu resign, nanti saya gimana?"

"Ya itu urusan lo. Daripada begini. Ini tuh udah gak profesional, Al. Nama gue bisa jelek nanti di kantor."

Albercio mengencangkan seatbelt lalu menghela nafas. "Saya atasan kamu, Bebi. Saya CEO nya. Semua keputusan ada di tangan saya. Jadi kamu tenang aja. Gak bakal ada yang berani pecat kamu atopun bikin nama kamu jelek. Toh kamu kan perginya sama saya. Mereka pasti bakal mikirnya emang ini untuk urusan pekerjaan. Beda cerita kalo kamu yang pergi sendiri tanpa instruksi saya. Jadi kamu tenang aja."

Bebi mengangguk ragu. Dadanya mulai berasa deg deg serr. Dia benci ketinggian tapi Albercio malah membawanya terbang tinggi. Huh!

"Kamu tenang aja, Beb." Albercio menoleh ke sisi kanannya lalu memandangi wajah Bebi dalam-dalam seolah membaca isi pikiran cewek itu. "Peluk lengan saya aja kalo merasa takut. Ato gak kamu genggam jari saya."

"Enak di lo, gak enak di gue dong. Dasar lo modus."

"Ya terserah sih. Saya kan cuma kasih solusi. Diterima syukur, gak ya gak apa-apa. Asal jangan tau-tau kamu teriak minta turun pas kita udah di atas."

"Gue gak segila itu juga, Al, kalo sampe teriak-teriak begitu."

"Ya kan kali aja gitu."

Bebi mendecak kesal, namun pada akhirnya malah melingkarkan tangannya di lengan kokoh Albercio, berharap ketakutannya pada ketinggian segera enyah.

*

Tuan Rein menghela nafas dan mengangguk-anggukan kepalanya begitu mendengar ucapan Liona. Dia sama sekali gak menyangka Albercio bakal secepat ini mendapatkan pasangan pendamping.

Tuan Rein masih inget banget gimana ngototnya Albercio saat disuruh memilih antara menjalankan perusahaan miliknya ato segera menikah. Jelas saat itu Albercio memilih pilihan pertama, tapi sebenernya diam-diam Tuan Rein berharap Albercio bisa memilih pilihan yang kedua. Melihat Albercio menikah dan memiliki keluarga kecil adalah harapan terakhirnya.

"Awasi mereka terus, Liona. Jangan kasih kendor.", sahut Tuan Rein. "Pastiin kalo Albercio gak tau kalo saya selama ini mengawasi gerak-gerik mereka. Dan secepatnya kamu atur pertemuan untuk saya dan mereka."

Liona mengangguk lalu pamit meninggalkan ruangan Tuan Rein.

*