Bebi melangkah gontai mendekat ke ranjang Lucky. Air matanya semakin deras saat menggenggam jemari Lucky. Melihat pemandangan begini membuatnya lagi-lagi trauma walopun diam-diam Bebi bersumpah bakal ngasih pelajaran ke satu-satunya dedemit yang menjadi dalang di balik semua ini.
"Ka, bangun.", lirih Bebi pilu. "Ini Bebi."
Hening. Gak ada reaksi apapun dari Lucky. Yang terdengar cuma bunyi denting jarum jam dinding dan suara alat-alat medis yang menopang nyawa Lucky. Plus suara isak tangis Bebi.
Tapi tiba-tiba ... "Dek."
Bebi mengangkat kepalanya dan berusaha fokus. Dia barusan gak salah denger kan? Wajahnya berpaling ke raut wajah pucat Lucky. Sepasang matanya memandangi manik mata Lucky dalam-dalam.
"Jangan nangis.", lanjut Lucky dengan suara lemah. "Kakak gak kenapa-napa kok."
Bebi menggeleng. Air matanya semakin deras, membuat tatapannya nanar. "Apanya yang gak kenapa-napa. Kakak tuh abis ditusuk orang gak dikenal. Adek gak mau tau. Kakak harus sembuh. Kakak gak boleh tinggalin Bebi!"
Lucky menggeleng lemah. Lalu tatapannya berpaling ke sosok Albercio. "Kakak gak bakal ninggalin kamu lagi kok, Dek."
Lagi, Bebi menggeleng. Tangisnya semakin pilu. "Kakak harus sembuh. Kakak gak boleh tinggalin Bebi! Cuma Kakak satu-satunya keluarga Bebi sekarang. Please, Kak. Kakak harus sembuh!"
"Iya. Kakak janji bakal sembuh. Kamu jangan nangis ya. Jelek muka kamu kalo nangis.", sahut Lucky. Lalu tatapannya berpaling ke raut wajah Albercio. "Makasih udah temenin Bebi ke sini. Maaf jadi merepotkan."
"Gak apa-apa, Mas." Albercio mengangguk pelan.
"Nama kamu bener Albercio?", tanya Lucky pelan sesaat setelah meringis pelan. Dia cuma mau memastikan nama itu sekali lagi. Samakah dengan orang itu?
Albercio mengangguk pelan. "Ya, Mas. Nama saya Albercio."
"Kalo boleh tau, kamu siapanya Bebi?".
"Saya calon suaminya Bebi, Mas."
"Calon suami?", tanya Lucky bingung. Keningnya berkerut. Sedetik kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah Bebi. "Jadi kamu beneran mau tunangan, Dek?"
Bebi menggelengkan kepalanya. "Enggak, Kak. Itu cuma akal-akalan dia aja. Udah Kakak gak usah percaya sama Albercio. Dia emang suka gitu. Random gak jelas."
"Adek .."
"Apa, Kakakku sayang?"
"Kamu bener-bener mau tunangan?"
Bebi menghela nafas pelan sesaat setelah melirik tajam ke arah Albercio. "Dibahas nanti ya. Sekarang yang penting Kakak harus sembuh dulu."
"Bukan gitu maksudnya, Dek. Kakak cuma gak mau kamu kenapa-napa. Selama tiga bulan terakhir dari semenjak kejadian itu, kamu gak pernah ngenalin cowok manapun ke Mas. Mas tau mungkin kamu masih trauma, tapi apa harus secepat ini juga kamu mutusin buat tunangan?"
Bebi memasang senyum tipisnya. Dia tau, Kak Lucky adalah pedang abadinya. Pelindungnya setelah Papa meninggal setahun lalu. Dia juga tau, maksud Kak Lucky baik. Tapi sumpah demi apapun, haruskah Lucky mengingatkannya dengan kejadian tiga bulan yang lalu dan menyadarkannya soal kepingan ingatannya yang terlupakan semenjak kejadian itu?
"Ka, dibahasnya nanti aja. Kakak percaya sama Adek kan?", tanya Bebi lembut sambil membetulkan posisi selimut yang dipakai Kak Lucky.
"Sampe kapanpun, Kakak selalu percaya sama kamu, Dek.
"Yaudah kalo Kakak percaya sama Bebi, sekarang Kakak gak usah mikir yang macem-macem. Kakak fokus dulu aja sama kesembuhan Kakak. Baru setelah itu, kita bahas urusan lain. Dan ... please ... jangan singgung soal kejadian tiga bulan lalu."
Gantian, sekarang Lucky yang menghela nafas. "Maafin Kakak ya."
Bebi memasang senyum simpulnya. "Gak apa-apa, Kak. Yang penting Kak Lucky harus cepet sembuh ya."
Lucky mengangguk pelan.
*
Albercio menghela nafas. Semua percakapan antara Lucky dan Bebi yang tadi didengarnya masih melekat di ingatannya. Malah Albercio masih inget dengan jelas gimana nafasnya tertahan sekian detik saat Lucky menyinggung soal kejadian tiga bulan lalu. Mungkinkah Lucky masih ingat dan mengenali Albercio, makanya cowok itu dua kali menanyakan namanya? Apa yang sebenernya terjadi setelah kejadian itu? Kenapa Lucky menyebut-nyebut soal tiga bulan lalu? Apa yang sebenernya terjadi sama Bebi tiga bulan lalu? Apa ada hubungannya dengan Bebi yang masih gak mengenalinya?
Albercio mengalihkan pandangannya. Tatapannya terpaku ke sosok Bebi yang terlelap di sisi brankar Lucky. Wajahnya menyiratkan kelelahan, membuat Albercio mau gak mau akhirnya menarik tubuh Bebi ke dalam pelukannya. Lalu diciumnya puncak kepala cewek itu.
Bebi membuka matanya perlahan. "Kenapa, Al?
"Sekarang kita pulang ya. Kamu butuh istirahat. Kalo gak, nanti kamu sakit."
"Tapi gue masih pengen di sini, Al."
Albercio menggeleng. "Besok kita ke sini lagi. Sekarang, kita pulang dulu. Kamu harus istirahat, Bebi."
Bebi mengalihkan pandangannya ke wajah tenang Lucky. Ada sebuah rasa sedih yang mencelos di hatinya. Membuat Bebi gak tega untuk meninggalkan Lucky sendirian di sini. Gimana kalo tiba-tiba Lucky kenapa-napa? Gimana kalo pelakunya masih mengintai Lucky? Gimana kalo ...
"Ayo kita pulang. Besok kita ke sini lagi." Suara khas Albercio sukses membuat lamunan Bebi ambyar seketika.
*
Albercio menghela nafas. Hatinya terenyuh dengan pemandangan yang saat ini ada di hadapannya. Apalagi saat Bebi melangkah gontai memasuki kamar hotelnya begitu cowok itu menempelkan kartu akses ke pintu kamar hotel.
"Kamu langsung istirahat aja, Beb.", ucap Albercio sambil meletakan tiga koper mereka di lemari. "Kalo butuh apa-apa, bilang aja."
Bebi menoleh. "Gue takut Lucky kenapa-napa, Al." sahut Bebi lirih.
"Kamu tenang aja, Bebi. Lucky pasti aman. Saya udah suruh beberapa bodyguard untuk jaga di dalem sama di depan kamar Lucky."
Bebi menggelengkan kepalanya. "Gimana gue bisa tenang, Al? Kakak gue ditusuk orang gak dikenal sampe masuk ICU. Dan pelakunya masih berkeliaran sampe sekarang. Gimana kalo ternyata pelakunya pura-pura jadi dokter trus masih mau nyelakain Lucky, Al?"
Albercio merangkum wajah Bebi dengan kedua tangannya. Dipandanginya manik mata cewek itu dalam-dalam. "Kamu percaya sama saya. Kamu gak usah khawatir. Kakak kamu gak bakal kenapa-napa. Saya janji."
Bebi mengangguk ragu. Mau gimana lagi? Dari awal dia udah tau satu hal. Albercio bukan orang yang bisa segampang itu untuk dibantah.
"Kamu gak percaya sama saya?" tanya Albercio seolah berhasil membaca isi pikiran Bebi.
Lagi, Bebi mengangguk ragu. "Maaf."
"It's okay. Gak masalah. Yang penting, mulai sekarang kalo ada apa-apa kamu harus bilang sama saya ya. Apapun itu walopun gak ada hubungannya sama urusan kerjaan sekalipun. Oke?"
"Makasih, Al.", sahut Bebi sambil menghambur diri ke pelukan Albercio. Matanya terpejam, membiarkan air matanya meloloskan diri dari pelupuk matanya.
Albercio membalas pelukan Bebi. Diusapnya dengan lembut punggung cewek itu.
*
Diam-diam Bebi menghela nafas pelan. Daritadi usahanya untuk tidur malah sia-sia. Semakin berusaha memejamkan mata, dadanya semakin terasa sesak. Dan semua itu berakhir dengan air mata yang diam-diam meloloskan diri dari pelupuk matanya.
Bebi membuka matanya dan menemukan wajah tenang Albercio dengan mata terpejam. Malah saking tenangnya, Bebi bisa merasakan deru nafas cowok itu yang teratur dan mencium aroma maskulin yang menguar dari tubuh Albercio, membuat Bebi tanpa sadar mengulurkan tangannya dan mengusap lembut pipi Albercio.
Tiba-tiba, entah mendapat dorongan dari mana, Bebi mendaratkan bibirnya di kening Albercio. Cewek itu mencium Albercio untuk pertama kalinya. Lama dan intim.
"Nangung. Nyiumnya jangan di jidat dong." Terdengar suara serak Albercio, membuat Bebi membulatkan matanya dan buru-buru menjauh dari kepala Albercio.
"Apaan sih?" Bebi menarik selimutnya tinggi-tinggi dan bersiap memunggungi Albercio, namun gerakannya ditahan oleh cowok itu. "Apaan sih, Al?"
"Malu ya ketauan nyosor-nyosor?"
Bebi gak menyahut. Cewek itu berusaha memasang wajah santuy bin mutados andalannya. "Gue ngantuk. Mau tidur. Lo gak usah yang aneh-aneh!"
Albercio memasang senyumnya. "Aku tau dari tadi kamu gak bisa tidur kan?"
"Sok tau lo.", sahut Bebi cepat.
"Jujur aja, Beb. Kamu gak bisa tidur kan?"
Bebi membiarkan manik matanya beradu pandang dengan tatapan Albercio, lalu mengangguk pelan. "Gue masih gak nyangka aja bakal jadi begini."
Albercio merapatkan tubuhnya ke tubuh Bebi, lalu dipeluknya cewek itu erat-erat. "Stay strong. Ada saya di sini untuk kamu."
"Gombal.", sahut Bebi sambil memonyongkan bibirnya beberapa senti.
"Gak gombal, Bebi. Saya kan calon suami kamu. Emang udah seharusnya saya selalu ada untuk kamu. At least, berusaha untuk selalu ada untuk kamu. Ngejaga kamu. Ngelindungin kamu. Merhatiin kamu, Peduliin kamu. Apapun itu pokoknya."
"Heol.", sahut Bebi dengan tatapan gak percaya.
"Masih gak percaya sama saya?", tanya Albercio penasaran.
"Iyalah. Percaya lo tuh musyrik tau gak."
Albercio memasang senyum simpulnya, lalu menghela nafas sesaat setelah mengecup puncak kepala Bebi. Dengan penuh keberanian, dipandanginya manik wajah Bebi dalam-dalam. "Bebi, saya boleh tanya sesuatu?"
Bebi mengangguk pelan. "Boleh. Mau tanya apa?"
"Tadi saya sempet denger Lucky nyinggung soal kejadian tiga bulan yang lalu. Kalo boleh tau, ada apa? Apa yang terjadi sama kamu tiga bulan yang lalu?"
Bebi mengalihkan pandangannya. Tatapannya langsung berubah nanar. Sumpah demi apapun, dia bener-bener gak siap dengan pertanyaan barusan. Bukan apa-apa. Walopun Bebi mengalami ilang ingatan sebagian, tapi tetep aja kepingan kejadian aslinya masih tertinggal di benaknya. Dan Bebi udah terlanjur bersumpah gak mau lagi mengingat atopun membukanya. Tapi malah nyatanya sekarang ...
Huh! Sakitnya tuh di sini. Di hatinya.
*
Bebi tertunduk sambil melangkahkan kakinya dengan gontai dengan rambut acak-acakan, muka kusut. Hujan lebat yang turun membasahi bumi sukses menyamurkan air matanya. Hatinya hancur berkeping-keping. Sumpah demi apapun dia sama sekali gak tau harus gimana. Gak pernah sekalipun Bebi membayangkan ini semua terjadi padanya.
Selama ini Bebi selalu percaya pada Reza. Satu-satunya cowok yang selama ini sangat dekat dengannya. Malah saking dekatnya, Bebi udah menganggap seorang Adhitama Elvan Syahreza seperti kakak kandungnya sendiri, meskipun dia tau gak ada seorang pun yang bisa menggantikan Lucky sebagai kakak kandung aslinya yang saat ini masih menetap di Bali. Apalagi saban hari Reza selalu menghabiskan waktu luangnya di rumah Bebi, menemani Bebi hampir di semua hal sampe-sampe gak ada satu rahasiapun yang mereka sembunyikan.
Bebi menyilangkan kedua tangannya. Dia ... Ah entahlah! Rasanya mungkin Bebi lebih baik mati aja. Daripada harus menanggung sakit hati dan malu begini. Toh percuma juga kan dia hidup? Semuanya udah hancur lebur dan baginya, emua yang udah hancur gak akan pernah bisa diperbaiki walopun dengan cara apapun.
Samar-samar Bebi masih inget gimana sikap Reza yang mulai
BRUUUKKK!!! ... tiba-tiba sesuatu yang keras menghantamnya dan membuatnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Lalu memberinya rasa sakit yang teramat sangat. Terutama di kepalanya dan gak lama kemudian semuanya berubah menjadi gelap.
*
Albercio langsung menghela nafas begitu menyadari ada yang gak beres dari diri Bebi. Apalagi begitu melihat satu per satu air mata Bebi yang mulai tumpah membasahi kedua pipinya dan bahunya yang bergerak naik turun. Plus muka pucat dan rambut acak-acakan.
Albercio langsung menarik tubuh Bebi ke dalam pelukannya. Dielusnya perlahan punggung cewek itu, berusaha memberikan ketenangan padanya. "Maaf. Kalo emang terlalu berat untuk kamu ceritain ke saya, it's okay. Saya gak akan paksa kamu untuk cerita. Saya bakal nunggu sampe kamu bener-bener siap buat cerita sama saya."
Gak pake aba-aba, tangis Bebi langsung pecah. Dia bener-bener gak tau harus gimana. Apalagi setelah tiga bulan dia berusaha buat bangkit dengan kondisinya yang sekarang tanpa siapapun yang menemaninya semenjak kejadian itu, membuat Bebi menyandarkan kepalanya ke dada Albercio semakin dalam dan tangisnya semakin pilu.
"Maaf." Bebi mulai bersuara dengan sangat lemah. "Gue gak sanggup buat cerita apapun sama lo. Rasanya sakit banget dan gue gak sanggup."
Albercio memeluk Bebi lebih erat lagi, merasakan air mata Bebi semakin membasahi kaos polo merah yang dikenakannya. Walopun Bebi belom sempet cerita apapun soal tiga bulan lalu, tapi begitu melihat reaksi Bebi yang begini rapuh membuat Albercio mau gak mau harus memakluminya dan menyadari pasti ada hal yang amat sangat menyakitkan bagi Bebi. "Saya yang harusnya minta maaf sama kamu. Maaf kalo pertanyaan saya tadi bikin kamu jadi begini."
Dengan memberanikan diri, Bebi mengangkat kepalanya dan memandangi wajah Albercio dalam-dalam. "Maaf."
Albercio menganggukkan kepalanya. "Yaudah, sekarang mendingan kamu istirahat, nanti siang baru saya anter kamu ke kosan. Kamu tenangin diri kamu dulu sekarang. Lupain semua hal yang udah bikin kamu ngerasa sakit hati. Dan jangan khawatir. Saya janji sama kamu, bakal nemuin orang yang udah nyakitin Lucky dan bikin Lucky jadi begini."
Bebi mengangguk lemah. Dia sama sekali gak tau harus gimana. Yang pasti, dia sama sekali gak nyangka bakal menemukan sisi lain dari seorang Albercio yang selama ini dikenalnya.
*
Albercio mendesah pelan. Dari semenjak pulang dari kostan Bebi tadi, pikirannya gak tenang. Ibarat gado-gado, semua hal nublek jadi satu, membuatnya bingung sekaligus khawatir. Dan itu jelas membuat konsentrasinya ambyar blas dari deretan nominal angka yang tertera di layar laptopnya. Diliriknya selintas Diliriknya selintas jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang.
Albercio berdiri dari kursinya sambil mengambil smartphone yang dia letakkan di sebelahnya. Mencari kontak dan menghubunginya.
Albercio menghela nafas lelah ketika panggilan ketiganya masih belom diangkat. Dihubungi lagi nomor yang sama. Beruntung kepada sang penerima, pada dering panggilan kedua mengangkat panggilan Albercio.
Karna kalo enggak, Albercio mungkin bakal memberikan sumpah serapah dengan sepenuh hati kepadanya.
"Ya, Al, ada apa?" Sambut penerima panggilan dengan suara frustasi. "Kenapa lagi?"
"Gue mau minta tolong.", sahut Albercio pelan.
"Hmm?" Adelio merengut di sana. Mata sipitnya membengkak karna dipaksa melek di jam tidurnya. Dibangunkan cuma untuk hal paling gak berfaedah dari sepupunya yang menyebalkan. "Mau minta tolong apa?"
"Cek CCTV di kafe tempat Lucky selama sebulan terakhir. Kirim hasilnya ke email gue."
Adelio memijit pelipisnya. Ini nih yang paling dibenci Adelio kalo Albercio udah seenaknya menyuruhnya untuk sesuatu. "Lucky siapa?"
Albercio menghela nafas. "Gak usah banyak tanya. Gue tunggu hasilnya secepatnya."
"Wani piro?", sahut Adelio asal.
-KLIK-
Albercio menjawab. Cowok itu malah mematikan sambungan telepon secara sepihak. Lalu, mengambil kunci mobilnya, dan pergi.
*