Chereads / Wind Flower / Chapter 11 - 8

Chapter 11 - 8

Bebi mengerjapkan matanya berkali-kali begitu menjejakkan kaki di Bandara Internasional Incheon, satu-satunya bandara terbesar di Korea Selatan. Dia bener-bener gak percaya kalo saat ini bener-bener berada di Korea Selatan. Bebi gak tau harus menyebut ini mimpi ato apa, yang pasti dia bersyukur.

Bertahun-tahun lalu, Bebi cuma bisa menikmati keindahan Korea Selatan dari drama Korea yang selalu ditontonnya, tapi sekarang karna Albercio, Bebi bisa ada di sini.

"Gimana?" ucap Albercio, membuat Bebi menoleh ke arahnya. "Saya gak bercanda kan tuh."

Bebi memasang senyum sumringahnya dan mengangguk. Walopun masih setengah mengantuk, tapi dia hepi. Seoul adalah salah satu kota impiannya dari dulu. "Thanks, Al."

"Fix ya temenin saya cuti seminggu di sini?"

Bebi mendesah pelan. Ini nih yang mulai gak disukainya dari seorang Albercio. Pemaksa. Huh! Salah apa Bebi di masa lalu sampe-sampe dapet bos yang nyebelin begini? "Trus kerjaan gue gimana?"

"Nanti saya suruh Mark buat handle kerjaan kamu dulu sementara."

"Mark siapa?" tanya Bebi bingung. Ini kedua kalinya Albercio menyebut nama Mark di depannya. "Mark Feehily? Itu mah ex personil Westlife, Al."

"Bukan itu. Nanti juga kamu kenal, Beb.", sahut Albercio datar. Ekspresi dingin dan tingkah tengil bin bossynya kembali. "Saya udah pesan dua kamar hotel. Biar kamu bisa istirahat."

"Dua kamar?" tanya Bebi bingung. Kenapa di Seoul pake dua kamar tapi pas di Bali kemaren malah cuma satu kamar? Apaan coba maksudnya? Bebi bener-bener gak ngerti lagi sama jalan pikiran Albercio. "Serius? Tapi kok aneh sih?"

"Aneh gimana?"

"Waktu di Bali, lo cuma pesen satu kamar buat kita dan kita mau gak mau tidur seranjang. Nah di sini, kenapa lo malah pesen dua kamar? Maksudnya apa coba? Coba jelasin."

"Jadi kamu maunya nempel terus gitu sama aku? Kamu maunya tidurnya sekamar dan seranjang lagi, gitu? Yaudah atuh, kita nikah aja sekarang."

"Jangan mulai lagi deh, Al. Bercandaan lo garing tau gak!"

"Kapan saya pernah bercanda sih sama kamu?" Well, yeah, kebiasaan kuno Albercio udah kembali. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan "Saya serius. Lagipula, soal kamar di Bali itu kan saya udah jelasin ke kamu. Masa kamu lupa?"

Bebi mengacungkan tangannya dan mendesah pelan. Karna kalo gak, bakalan bisa repot kalo tiba-tiba Albercio meninggalkannya di Korea. Secara kan Bebi gak kenal siapa-siapa di sini. "Oke, Pak."

Albercio menoleh dan memandangi Bebi denga ekspresi menyeramkan. "Bebi"

"Ya Pak?"

"Jangan mulai cari perkara lagi sama saya. Saya gak suka."

Bebi langsung memasang cengiran selebar kuda begitu mendengar ucapan Albercio barusan. Rasain! Emang enak?! "Mianhae, Oppa."

*

Bebi membuka matanya dengan berat begitu mendengar nada dering ponselnya yang meraung-raung tanpa henti. Dengan mata masih setengah terpejam, tangan Bebi berusaha mengambil benda berujuran 6,4 inchi itu dari atas nakas sambil beringsut bangun dan menyenderkan kepalanya di sandaran kepala ranjang.

"Ya halo?" jawab Bebi tanpa melihat caller's id di layar ponselnya. "Ada apa?"

"Lo bisa ke sini sekarng? Kakak lo baru aja ditusuk orang gak dikenal."

WHAT?!

Mata Bebi langsung terbuka lebar, dahinya berkerut. Nyawanya langsung kumpul seratus persen bersamaan dengan kesadarannya. Sesaat dipandanginya layar ponselnya. "Unknown", begitulah yang tertera di layar super amoled itu. "Maaf ini siapa?", tanya Bebi hati-hati.

"Gue Romeo, barista di kafe tempat Lucky kerja. Lo dimana sekarang? Kakak lo barusan ditusuk orang gak dikenal. Lo bisa ke sini sekarang kan?"

Nafas Bebi tercekat. Air matanya langsung menggenang di kelopak matanya. Dia barusan gak salah denger kan? Lucky ditusuk orang gak dikenal? Ya Tuhan ... mimpi apa dia semalem sampe tiba-tiba dapet kabar begini? "Gue di Seoul, Ka."

Suara helaan nafas dengan berat terdengar dari seberang telepon. Menandakan kalo Romeo berusaha sesabar mungkin dengan jawaban yang barusan diucapkan Bebi. "Lo bisa balik ke Indo sekarang? Kakak lo baru aja ditusuk orang gak dikenal, Bebi? Gue khawatir kondisinya kritis sekarang."

-KLIK-

Bebi gak menjawab omongan Romeo barusan. Dia langsung menjejakkan kakinya ke lantai dan berlari secepat mungkin ke kamar sebelah tempat Albercio berada. Dia gak peduli sama hawa dingin yang menusuk telapak kakinya.

*

"Mianhae, Oppa."

Ucapan Bebi sejam yang lalu masih terngiang, mengusik pikirannya. Apalagi dengan ekspresi cewek itu yang tersenyum lebar. Gak tau kenapa, darahnya masih berdesir hebat. Kalimat dua kata itu bener-bener meninggalkan sensasi yang agak-agak gimana gitu.

Huft! Albercio menghela nafas. Dia membenamkan wajahnya sesaat di bantal. Kalo begini terus, bisa-bisa dia bisa gila! Mana lamarannya belom diterima. Kan jadi rasanya nyesek-nyesek gimana gitu kan. Pokoknya bener-bener deh si Bebi ini. Gak cuma menggoreskan warna lain di hari-hari Albercio tapi juga berhasil mengaduk-aduk perasaannya dari dulu namun juga membuatnya bersyukur. Karna cewek itu terlihat baik-baik aja.

Huft. Sekali lagi Albercio menghela nafas. Ngomong-ngomong soal Bebi, lagi apa ya itu cewek sekarang? Albercio menempelkan kupingnya sambil tersenyum geli ke dinding yang memisahkan kamarnya dan kamar Bebi. Seauatu yang gak pernah Albercio lakukan!

Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Gak ada suara apapun yang bisa Albercio dengar. Dan tiba-tiba ...

-TokTokTok-

Albercio menghela nafas sambil mengelus dadanya. Untung dia gak punya sakit jantung ato latahan. Kan gak lucu kalo pas lagi serius-serius kepo begini trus ada yang bikin kaget dan berakhir dengan kejang-kejang ato latah gak karuan. Lagian siapa sih yang malem-malem begini ngetok-ngetok pintu kamarnya?

"Siapa?", tanya Albercio dari balik pintu kamarnya.

"Pak! Buka pintunya, Pak!" Terdengar suara khas Bebi dengan nada panik. "Ini saya, Pak. Bebi."

Albercio mengerutkan keningnya sambil membuka pintu kamar dan mendapati wajah Bebi yang basah dengan keringat dingin ketakutan. Dia bingung plus heran. Bebi yang biasanya ceplas-ceplos bin ngawur kalo ngomong, tiba-tiba dateng ke kamar Albercio dengan suara panik dan pake bahasa formal. Kenapa dah? "Ada apa, Beb?"

"Saya ... saya pengen pulang. Please.", sahut Bebi dengan suara bergetar ketakutan. "Tolong anter saya."

Albercio menyembulkan kepala dan menoleh ke kiri kanan. Lorong lantai tempat kamar mereka kosong melompong. Cuma ada mereka berdua di situ, tapi begitu pandangannya beralih ke wajah Bebi, Albercio sadar satu hal. Ada yang gak beres. "Kamu kenapa, Beb?"

"Tolong saya. Saya mau pulang segera, Pak."

"Iya, tapi anter kemana?"

"Ke rumah kakak saya. Tolong."

"Kakak kamu? Ada apa sama kakak kamu? Bukannya kakak kamu baik-baik aja? Lagipula dimana rumah kakak kamu?" tanya Albercio sambil merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dan menelepon driver pribadinya.

"Gak tau.", sahut Bebi sedih.

Albercio menoleh dan matanya auto melotot begitu mendengar jawaban Bebi barusan. "Kok bisa gak tau? Kakak kamu kenapa emangnya sampe kamu sepanik ini?"

"Kakak saya ditusuk orang, Al.", sahut Bebi sambil terisak.

"Kamu beneran gak tau alamat rumah kakak kamu? Saya langsung anter kamu begitu sampe di Bali nanti."

Bebi menggeleng lesu. "Kan pas ketemu itu bukan di rumahnya. Tapi di tempat kerjanya."

Albercio menghela nafas. "Yaudah kita ke tempat kerjanya aja. Siapa tau ada temennya dia yang tau rumahnya dimana."

Bebi mengangguk pelan. Dia bener-bener khawatir. Dan sekarang Bebi gak bisa bayangkan kalo-kalo dirinya beneran harus kehilangan Lucky.

Albercio merogoh saku celananya dan mengetik pesan darurat lalu mengirimkannya untuk Mark. Cowok ganteng nan dingin itu meminta Mark untuk segera menyiapkan jet pribadi untuk penerbangan langsung dari Korea ke Bali. Huh! Padahal baru beberapa jam tadi dia menjejakan kaki di Korea, sekarang malah harus balik lagi ke Bali.

"Siapin semua barang-barang kamu. Kita langsung terbang lagi ke Bali."

*

Albercio menolehkan kepalanya dan memandangi wajah Bebi yang sembab. Dari semenjak meninggalkan hotel tadi, Bebi masih terus menangis. Dan itu artinya, ini kali kedua Albercio melihat Bebi nangis sampe sebegininya.

"Beb", panggil Albercio pelan, membuat Bebi menoleh. "Sabar ya. Bentar lagi kita mendarat di Bali. Mudah-mudahan kakak kamu gak kenapa-kenapa."

Bebi menganggukkan kepalanya. "Makasih, Al. Semoga aja Lucky gak kenapa-napa."

Albercio mengangguk. Dilengkungkannya seutas senyum simpul sambil tangannya menggenggam jemari Bebi, memberikan kehangatan dan ketenangan untuk cewek di sampingnya itu.

"Begitu mendarat, kita langsung ke tempat kakak kamu ya. Saya udah minta disiapin mobil khusus di bandara dan beberapa bodyguard."

"Makasih, Al. Sorry kalo gue jadi ngerusak rencana cuti lo dan harus balik ke Bali lagi gara-gara kejadian ini."

"Jangan bilang gitu. Saya sama sekali gak merasa direpotkan. Toh emang posisi timingnya pas kebetulan kita lagi sama-sama. Dan juga saat ini hubungan kita bukan lagi sebatas atasan dan bawahan karna saya udah berkali-kali ngelamar kamu."

Bebi gak menjawab. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Pikirannya masih melayang ke sosok Lucky. Cewek itu bener-bener gak tenang.

*

Albercio langsung memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu kafe yang tempo hari didatangi Bebi, tapi suasana di sini berkali-kali lipat lebih rame dari tempo hari. Parahnya, keramaian yang saat ini dilihat Albercio bukan karna pengunjung kafe, tapi para polisi dan kerumunan warga. Apalagi pintu kafe udah tertutup rapat dan dipasangi garis polisi.

Gak perlu waktu lama, Bebi langsung turun dari mobil dan berlari ke arah pintu. Namun langkahnya tertahan. Dua orang polisi memegangi kedua tangannya dan menghentikan langkah Bebi tepat sebelom menerobos masuk ke dalam kafe. Air matanya mengalir deras, apalagi saat matanya melihat darah merah yang berceceran di lantai. Jujur aja, Bebi takut darah. "Ka Lucky!!!"

Albercio juga turun dari mobil sambil menutup mulutnya lalu menarik tubuh Bebi ke dalam pelukannya. Dia masih bingung ada apa ini sebenernya?

"Tenang dulu, Beb." Albercio mengelus pelan punggung Bebi, berusaha memberi ketenangan untuk cewek itu. Kemudian tatapannya berpaling ke salah satu polisi yang tadi sempat memegangi tangan Bebi. "Ini ada apa ya, Pak?"

"Kami menerima laporan dari warga, bahwa ada kejadian penusukan di sini.", sahut sang polisi.

"Penusukan?"

"Iya benar. Maaf, Anda-Anda ini siapa ya? Ada hubungan apa dengan korban?"

"Begini. Ini Bebi, sekretaris saya.", sahut Albercio sambil menoleh sesaat ke wajah pucat Bebi. "Saya sendiri Albercio, Pak. Kalo boleh tau gimana kondisi korban sekarang, Pak?"

"Alhamdulillah, korban dalam kondisi selamat walopun ada beberapa luka tusuk di tubuhnya. Kalian sendiri dapat info dari mana sampe-sampe ada di sini sekarang?"

"Tadi saya terima telepon dari rekan kerja kakak saya, Pak.", sahut Bebi pelan sambil terisak. "Dia bilang kakak saya ditusuk orang gak dikenal trus darahnya ngalir kemana-mana."

"Apa Anda tau siapa kira-kira orang yang belakangan ini ada ribut ato bertengkar dengan korban?"

Bebi menggeleng. "Setau saya, kakak saya gak punya musuh, Pak."

Sang polisi menganggukan kepalanya. "Kalo begitu, kami harus meminta keterangan Saudari lebih lanjut. Bisa ikut kami ke kantor polisi?"

"Kakak saya dimana, Pak? Saya mau ketemu kakak saya dulu.", sahut Bebi pelan. Raut wajahnya penuh permohonan.

Sang polisi memandangi wajah Bebi dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.

*

Bebi langsung berlari sekencang mungkin begitu mobil Albercio bener-bener berhenti di parkiran sebuah rumah sakit besar dan terkenal. Air mata cewek itu masih terus mengalir deras. Dia gak peduli meskipun Albercio berteriak memanggilnya dan orang-orang memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. Yang ada di pikirannya cuma satu. Melihat kondisi Lucky secepatnya.

"ICU." Terdengar suara Albercio yang ngos-ngosan begitu berhasil menyamai langkah Bebi, lalu menarik tangan cewek itu dan berlari secepat kilat ke arah lift. "Kita ke ICU."

Lift berdenting begitu lama, sampe-sampe tangis Bebi kembali pecah. Bahunya bergerak naik turun. Dan begitu lift tersebut terbuka, Albercio langsung menarik tangan Bebi biar segera masuk bersamanya.

Jantung Bebi berdetak gak karuan karna saking kepengennya dia melihat Lucky. Berbagai pikiran berkelana di otak cewek itu sampe dia merasa perjalanannyan dari lobby di lantai 1 ke ruang ICU di lantai 3 terasa sangat lama.

Dan begitu dentingan lift terdengar, Bebi langsung berlari ke dalam ruangan ICU, dan tatapannya terpaku mendapati tubuh Lucky yang terbaring gak berdaya. Ada banyak selang yang menempel di tubuhnya. Lagi, tangis Bebi pecah sambil menutup mulutnya.

Albercio menghentikan langkahnya tepat di samping Bebi. Ditariknya dengan pelan tubuh Bebi ke dalam pelukannya. Dengan lembut, cowok itu mengusap-usap lengan Bebi agar cewek itu bisa lebih tenang.

"Gue gak sanggup, Al.", lirih Bebi. "Gue gak sanggup liat kakak gue begini."

Albercio mengangguk pelan. Dia berusaha memahami perasaan Bebi. Apalagi saat ini cuma Lucky satu-satunya keluarga yang dimiliki cewek itu. Jadi sangat wajar kalo Bebi sampe sebegini dropnya.

*