Chereads / Wind Flower / Chapter 8 - 6

Chapter 8 - 6

"Kita sebenernya mau kemana sih?" Bebi berusaha mencairkan suasana. Semenjak keluar dari Mekdih, Albercio mengunci mulutnya rapat-rapat. Aura dingin yang biasanya dipendarnya kini berasa berkali-kali lipat lebih dingin, membuat Bebi jadi merasa ngeri-ngeri sedep. "Kenapa sih lo selalu cari masalah?"

"Harusnya saya yang bilang gitu ke kamu, Bebi. Kenapa kamu selalu cari masalah dengan saya?"

Bebi geleng-geleng kepala. Kelakuan Albercio sekarang bener-bener bukan lagi mencerminkan sebagai seorang atasan, tapi lebih ke seorang yang posesif gak jelas, dan itu membuat Bebi bener-bener gak ngerti. Gak habis pikir. Ini yang baru berjalan beberapa hari jadi sekretarisnya aja udah bikin Bebi angkat tangan. Mungkin sebentar lagi dia juga bakal mengibarkan bendera putih. Gak sanggup. Seumur-umur dirinya bekerja sebagai seorang sekretaris, baru kali ini atasannya bersikap labil gak jelas. Saking labilnya malah mungkin lebih labil Albercio daripada ABG zaman now. Kadang dingin, kadang hangat. Kadang perhatian, kadang cuek. Kadang ramah, kadang jutek. "Kapan gue cari masalah sama lo?"

"Tadi pagi.", sahut Albercio singkat. "Kamu lupa?"

"Tadi pagi? Kan gue emang udah bilang sama lo, kalo gue mau ketemu seseorang. Beda cerita kalo gue tiba-tiba ngilang gitu aja. Lagian juga, yang cari masalah itu kan lo. Lo ngikutin gue kan? Makanya lo bisa ada di situ tadi. Iya kan? Ngaku aja deh."

Albercio mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Diam-diam dia menghela nafas pelan. Kalo ada yang nanya ada apa dengan Albercio padanya, Albercio sendiri gak tau ada apa dengannya. Yang pasti, dari semenjak pertama kali berhadapan dengan Bebi, cewek itu udah berhasil mengaduk-aduk perasaannya dan menyusupkan warna-warna lain di kehidupannya. "Bisa gak kamu diem?"

"Gak bisa. Lo gak bisa dong seenaknya nyuruh gue buat diem padahal lo sendiri yang bikin masalah sama gue."

"Jangan ngawur kalo ngomong."

"Harusnya yang bilang gitu tuh gue. Lo jangan ngawur kalo ngomong! Lo tau gak cowok tadi tuh siapa?"

"Pacar kamu kan.", sahut Albercio jengkel. "Udahlah gak usah dibahas. Bikin sakit kepala."

"Pacar? Pacar?! Astaga, Al. Lo cemburu? Aneh?"

"Kalo iya kenapa? Kamu gak suka? Asal kamu tau, buat apaan juga saya cemburu? Wasting time tau gak.", sahut Albercio kesal.

"Hati-hati kalo ngomong. Tar senjata makan tuan.", sahut Bebi santai. Albercio gak menjawab. Air mukanya berubah berkali-kali lipat lebih dingin dan lebih datar, membuat Bebi terpaksa meredakan emosinya sedikit. "Bukan. Itu kakak gue. Dan kelakuan lo yang tiba-tiba nyosor begitu bikin gue dalam masalah."

"Yailah. Lebay. Gak bakal jadi masalah kalo saya jadiin dia kakak ipar saya, kalo emang cowok tadi bener-bener kakak kamu. Bukan asal diaku kakak."

"ALBERCIO!! Bisa gak sih jangan ngawur?!"

"Apaan sih? Kok jangan ngawur? Tadi kamu sendiri yang bilang, ati-ati kalo ngomong. Mana kita tau kan kalo suatu saat kakak kamu itu bakal jadi kakak ipar saya?"

"Pertanyaannya, emang gue mau gitu kawin sama lo? Naksir lo aja kagak. Mana mungkin lah kita kewong. Dasar halu!"

Albercio menghela nafas. Pandangannya beralih ke wajah Bebi. Dipandanginya cewek itu lekat-lekat. "Udah selesai ngomongnya?"

"Belom!" Oke, fix. Bebi bener-bener ngegas sekarang. "Lo mau apa?!"

Albercio gak menjawab. Dipandanginya manik mata Bebi dalam-dalam dan entah mendapat dorongan dari mana, tiba-tiba mendaratkan bibirnya di bibir Bebi dan memberikan cewek itu sebuah ciuman panas yang membabi buta.

DEG!

Mata Bebi langsung melotot. Fix dia bener-bener gak habis pikir. Ini kali kedua Albercio mencium bibirnya dalam satu hari ini, membuat kepalanya auto pusing tujuh keliling. Mana ciumannya kali ini lebih menuntut pembalasan. Bener-bener ngeselin!

"Al, lo gila!" teriak Bebi begitu Albercio melepaskan ciumannya.

"Saya gila?", sahut Albercio datar. "Saya bisa bertindak lebih gila dari ini. Jadi sebelom semuanya terlambat, tolong berhenti cari masalah dengan saya. Tolong berhenti bermain-main dengan saya."

Bebi mendengus. Bebi mengedarkan pandangannya sesaat, menyadarkannya bahwa saat ini mobil yang mereka tumpangi udah berhenti sempurna di depan lobby hotel dan sang driver bersiap untuk membukakan pintu mobil, namun Bebi menahannya. Dia harus ngomong empat mata dengan Albercio. "Oke, kalo lo emang berpikir gue main-main sama lo, kita lihat sama-sama. Siapa main-main sama siapa."

Albercio gak menjawab. Cowok itu cuma bisa beradu pandang dengan Bebi dengan tatapan dingin yang sulit diartikan oleh Bebi.

Bebi turun dari mobil dan langsung beranjak pergi. Dia harus pergi secepatnya dari sini sebelom Albercio bener-bener membuktikan ucapannya.

*

TING!

Bebi langsung melangkahkan kakinya begitu pintu lift terbuka. Dia bener-bener udah bertekad bakal menghindar dari Albercio. Apapun alasan, situasi dan kondisinya, dia bakal menghindar. Kalo perlu gak usah ketemu lagi. Sbodo amat kalo-kalo harus resign. Yang penting dia bisa terbebas dari cowok super dingin dan menyebalkan bernama Albercio itu.

"Saya bisa bertindak lebih gila dari ini. Jadi sebelom semuanya terlambat, tolong berhenti cari masalah dengan saya. Tolong berhenti bermain-main dengan saya."

Bebi masih inget banget kata-kata yang diucapkan Albercio, membuat cewek itu jadi mendengus kesal. Apalagi dengan tatapan super dingin seperti es batu dan ekspresi datar seperti kanebo kering. Huh! Secara kan ya ngapain juga Bebi harus segitu niat demi main-main sama Albercio? Cih!

"Saya minta maaf." Terdengar suara datar khas seseorang yang membuat bulu kuduk Bebi auto berdiri dan tubuhnya menegang.

Bebi menghela nafas dan memejamkan matanya rapat-rapat sesaat, berharap ada doraemon yang bakal dateng dengan pintu ajaibnya demi menyelamatkan Bebi. Tapi di detik berikutnya, tatapan Bebi berpaling ke tangannya dan kening cewek itu berkerut. Albercio menggenggam tangannya dengan erat dan intens.

"Lo ngapain sih, Al? Lepasin tangan lo!"

Albercio menggeleng. "Gak mau."

Bebi menghela nafas. Cewek itu berusaha untuk sabar walopun rasa panas mulai menjalar ke ubun-ubun kepalanya. "Kenapa sih lo selalu cari masalah, Al?"

"Saya cari masalah yang soal apa?"

Lagi, Bebi menghela nafas jengkel.

"Lo maen nyosor gitu tadi di tempat umum. Ditambah lagi omongan ngaco lo soal kakak ipar. Please deh. Gue naksir lo aja kagak. Jangankan naksir deh. Gue sama sekali gak minat buat flirting sama lo. Kan lo sendiri yang bilang, gue bukan level selera lo."

Albercio gak menjawab. Cowok itu cuma bisa beradu pandang dengan Bebi dengan tatapan dingin yang sulit diartikan oleh Bebi. "Ayo kita pulang ke hotel. Kita bahas ini di kamar aja. Jangan di sini."

"Gak mau."

"Kenapa gak mau? Kamu mau semua orang disini tau soal masalah kita? Dewasa dikit lah."

Bebi menggeleng lalu menarik tangannya dari genggaman Albercio, tapi sia-sia. Bukannya melepaskan, cowok itu malah mengunci tangan Bebi dalam genggamannya. Huh!

"Yaudah kalo gak mau, saya temenin kamu. Padahal saya capek nih, mau istirahat.", sahut Albercio tegas, tapi masih menggenggam tangan Bebi.

Bebi melirik sebal ke arah Albercio. Melihat ekspresi Albercio yang datar-datar mutados dan gak mau ngalah akhirnya mau gak mau membuat Bebi akhirnya mengalah.

*

Albercio menghela nafas diam-diam. Diliriknya sekali lagi sosok yang berdiri beberapa meter di hadapannya, seorang cewek yang dari tadi mengalihkan pandangannya ke jendela dan mengunci mulutnya rapat-rapat. Dari caranya cewek itu termenung, Albercio berani bertaruh ada hal berat yang berusaha dienyahkan Bebi.

"Beb", panggil Albercio pelan. "Kamu marah? Gara-gara tadi?"

Bebi menoleh, lalu geleng-geleng kepala. "Marah? Untuk apa saya marah. Mana ada bawahan yang berani marah ke atasannya. Bener kan Pak?"

"Pak? Bapak?"

"Iya. Anda kan atasan saya. Maaf kalo beberapa hari ini saya bersikap kurang sopan dengan Anda."

"Kamu lupa saya pernah bilang apa sama kamu?"

Bebi menggeleng cepat. "Bapak pernah nyuruh saya untuk manggil Bapak dengan sebutan nama."

"Trus?"

"Trus?" Bebi mengerutkan keningnya. "Trus apa, Pak?"

"Trus kenapa kamu panggil saya dengan sebutan Bapak lagi?"

Bebi menghela nafas. Dipandanginya manik mata Albercio dalam-dalam. Dia bener-bener kesel tingkat dewa dengan kelakuan Albercio. "Auk ah!"

Albercio gak menjawab. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Satu-satunya yang bicara cuma tatapan matanya yang dingin seperti biasa. Dan tanpa aba-aba cowok itu menarik tubuh Bebi ke dalam pelukannya. Dia gak peduli dengan aksi protes Bebi yang berusaha melepaskan diri. Semakin keras cewek itu memberontak berusaha melepaskan diri, Albercio malah semakin erat memeluknya. Dia gak mau kehilangan Bebi lagi.

"Lo kenapa sih?" tanya Bebi dengan bahasa andalannya. Dia mulai kesal dengan sikap Albercio. Sebentar baik, sebentar ngeselin. Belom lagi kalo asal tiba-tiba peluk begini ato maen nyosor. Dikira Bebi cewek apaan dah.

"Tolonglah mengerti saya. Sedikit aja.", sahut Albercio pelan. "Saya minta maaf kalo ucapan saya tadi menyinggung perasaan kamu. Saya tau, saya terlalu cemburu ke kamu."

Bebi menghela nafas pelan. Emosinya mulai merambat naik. Kesabarannya mulai terjun bebas. "Can you stop doing this to me?"

Gantian, sekarang Albercio yang menghela nafas. "You can't stop it from blooming, Bebi."

Bebi menggaruk pelipisnya. Habis udah rasa sabarnya kali ini. Entah mimpi apa dia semalem sampe kali ini rasanya dia kepengin memakan sosok yang ada di depannya itu hidup-hidup. "Maksud lo apa?"

"Kamu laper gak? Beli makan yuk." Albercio berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Bebi menggeleng. Dia masih belom menyerah dan terus menggeliat berusaha melepaskan diri dari pelukan Albercio. "Kalo ditanya itu dijawab, Al. Bukan malah ngalihin pembicaraan!"

"I can't", sahut Albercio sambil melepaskan pelukannya dari tubuh Bebi.

"Why?"

"Because I love you. Saya terlalu mencintaimu sampe kadang saya lupa untuk bernafas.", sahut Albercio pelan.

"Are you kidding me?"

Albercio menggelengkan kepalanya. Dia emang gak bohong. Dan gak bercanda juga. "Marry me. Will you?"

Bebi mengerjapkan matanya berkali-kali, memastikan saat ini dirinya lagi gak bercanda dan dalam kondisi sadar. Bebi bener-bener gak salah denger kan? Namun, baru aja Bebi mau membuka mulutnya tiba-tiba terdengar suara manja seseorang, membuat Bebi dan Albercio menoleh barengan ke arah asal suara.

"Cioooooooooooo!!"

*

Baram gateun geudaega nareul seuchyeoganeyo

Jamsi swieo nal barabwayo

I modeun naldeuri yeongwonhal sun eopsgie

Jeomureoganeun jeo dare gidohaessjyo

Modeun sigani meomchugil

Dulmanui sesangeuro ga

Mosda han mareul jeonhagil

Geudaen nal tteonagessjiman

Naui sarangeun dahgireul

Modu jamdeun i bame geudaen naege dagawa

Sesang gajang ippeun moksoriro

Nal saranghandago malhaeyo

-----

Bebi menyesap kopi hitamnya. Satu-satunya minuman kesukaannya yang udah terbukti ampuh untuk mengendurkan sarafnya yang daritadi menegang. Apalagi dengan berbagai pikiran dan pertanyaan yang berkelana di benaknya. Terutama soal lamaran tiba-tiba dari Albercio tadi dan soal cewek-cewek yang terus mendatangi Albercio semenjak Albercio menobatkan Bebi sebagai sekretarisnya. Jujur, Bebi sebenernya sama sekali gak nyangka kalo Albercio seterkenal itu di lingkungan para cewek-cewek cantik. Malah nih ya, Bebi pikir, mestinya salah satu dari mereka adalah yang jadi sekretaris Albercio. Bukan dirinya yang cuma berpenampilan B aja begini.

Namun dari gak tau kenapa Bebi mulai berpikir keras soal satu hal. Kenapa Albercio seolah tau banget gimana Bebi selama ini? Kenapa seolah mereka udah lama saling kenal? Kenapa Albercio bisa seyakin itu saat memintanya untuk menikah? Siapa sebenernya Albercio ini?

"Maaf."

Bebi menoleh ke arah asal suara. Dahinya langsung berkerut. "Maaf untuk apa, Al?"

"Untuk tadi."

"Untuk tadi?" Bebi berusaha mengingat hal terakhir yang dilaluinya bareng Albercio, lalu cewek itu mengangguk-anggukan kepalanya. Dia menangkap maksud omongan Albercio. Tentang permintaan maafnya barusan.

Albercio menggeleng pelan. "Saya sama dia gak ada hubungan apa-apa kok. Sumpah."

Bebi geleng-geleng kepala. Persetan mau ada hubungan ato enggak. Bukan urusan Bebi itu sih. Walopun Bebi merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tapi biar gimanapun cewek itu menganggap hubungannya dan Albercio tetap sebatas hubungan kerja. Ya daripada nanti ujung-ujungnya jadi baper kan?

"Dia cewek yang dari dulu selalu ngejar-ngejar saya.", sahut Albercio tiba-tiba. Tanpa Bebi tanya.

"Oh.", sahut Bebi singkat.

Albercio menghela nafas. "Cuma oh?"

Bebi menghela nafas. Pandangannya beradu pandang dengan manik mata Albercio saat cowok itu tiba-tiba menggenggam tangannya, membuat Bebi mau gak mau membalas tatapan itu dengan bingung. "Lo ngarep gue jawab gimana?"

"Ya gimana kek."

"Gini ya, Al. Gue gak peduli sama sekali lo mau ketemu cewek manapun. Karna itu gak ada hubungannya sama gue. Jadi lo gak usah belagak posesif begini. Nanti orang yang liat kita bakal malah mikirnya yang enggak-enggak ke kita. Padahal kan hubungan kita cuma sebatas atasan dan bawahan."

Albercio menarik kursi kosong di depan Bebi dan mendudukinya. Gak lama, dia menumpu kedua tangannya di atas meja dan memandangi manik mata Bebi lekat-lekat. "Cuma sebatas atasan dan bawahan? Cuma itu?"

Bebi mengangguk. "Iya. Dan lagipula, kita gak saling kenal, Al."

Albercio menghela nafas. "Saya cinta sama kamu, Bebi. Dan saya tau banget kamu gimana. Karna saya kenal kamu."

Bebi mendecak kesal. Heloooo!!! Omong kosong apalagi sekarang yang harus didengernya dari seorang Albercio? "Jangan ngaco dan jangan bercanda, Al."

"Saya gak bercanda. Saya emang kenal kamu. Saya emang cinta sama kamu. Makanya saya berani ngelamar kamu dari awal kita ketemu di kantor."

Gantian, sekarang Bebi yang menghela nafas. Kepalanya mulai terasa senut-senut. Kalo begini terus, lama-lama Bebi bisa gila. "Lo yakin lo kenal gue? Dimana? Kapan?"

Albercio mengeraskan rahangnya. Omongan Bebi barusan membuatnya menyadari satu hal. Pasti ada yang salah sama otak Bebi. Lupakah dia tentang masa-masa yang pernah mereka lewati bareng? "Ada apa sama kamu sebenernya, Bebi?"

*