Chereads / Wind Flower / Chapter 6 - 4

Chapter 6 - 4

"Kita mau ke hotel yang mana, Al?" Suara khas Bebi memecah keheningan. Sepanjang perjalanan tadi, Bebi dan Albercio sama-sama diam seribu bahasa dan berkutat dengan pikirannya masing-masing. "Gue belom sempet booking hotel.

Albercio gak menjawab. Cowok itu mengabaikan Bebi dengan memalingkan wajahnya ke jendela.

Mobil bergerak cepat menembus jalanan kota Denpasar. Gak terasa 25 menit Bebi lewati dengan duduk di samping Albercio yang sibuk melihat jendela, ato sesekali cowok itu akan mengecek emailnya melalui iPad.

Driver Lois menghentikan mobilnya tepat di depan lobi sebuah hotel berbintang lima. Gak lama, dia mengitari mobil dan membuka pintu untuk Albercio dan Bebi lalu membuka bagasi mobil dan menurunkan beberapa koper bawaan keduanya.

Gak sadar Bebi mengulas seutas senyum. Ini pertama kalinya Bebi berjalan di samping atasannya tapi semua mata tertuju kepada mereka. Malah Bebi bisa melihat dengan jelas gimana terpesonanya para cewek yang ada di lobby hotel saat melihat Albercio.

Bebi melirik selintas ke arah Albercio. Seperti biasa, cowok itu tetap memasang wajah datar nan dinginnya. Malah, gak sedikitpun cowok itu terlihat tertarik untuk meladeni tatapan-tatapan penuh pesonan dan kekaguman dari semua orang yang ada di lobby. Termasuk ke sang resepsionis.

"Lo terbiasa begini?" tanya Bebi penasaran begitu proses checkin hotel selesai, membuat Albercio menoleh ke arahnya.

"Begini gimana?"

"Sok cool dan masang muka datar tanpa ekspresi."

"Bukan sok cool. Apa adanya saya ya begini. Kamu lupa?"

Bebi mendesah pelan. "Al, lo tuh ganteng, apalagi kalo senyum. Jangan terlalu kaku ah. Nanti gak ada cewek yang mau jadi pacar lo. Lagian nih ya, kalo terlalu kaku tuh jadi kayak kanebo kering tau gak."

Albercio menghentikan langkahnya. Dipandanginya sosok Bebi dalam-dalam. "Saya gak perlu cewek lain. Karna saya udah punya kamu."

Bebi mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

Albercio menghela nafas. "Kamu terbiasa komentar untuk hal yang gak perlu ya?"

"Kamar kita di nomor berapa?", sahut Bebi santuy tanpa menjawab omongan Albercio barusan. Kakinya mulai terasa pegal.

"Ini kamar kita.", sahut Albercio singkat sambil menempelkan kartu akses di pintu. Lalu memasukkan kartu yang sama ke sebuah box di dinding sehingga listrik dan lampu kamar langsung menyala.

Bebi gak menjawab. Dia masih berdiri terpaku di depan pintu kamar. Cewek itu malah memandanginya dengan tatapan bingung. Kamar ini dipesan memang atas nama Albercio, tapi kenapa kasurnya cuma ada satu? Lalu Bebi harus tidur dimana?

"Kok bengong?" Suara Albercio membuyarkan lamunan Bebi.

"Kita .. kita tidur di satu kamar yang sama?"

"Iya. Kenapa?"

"Di ranjang yang sama?"

"Iya. Kenapa?"

Bebi menggaruk pelipisnya. "Kenapa? Lo sengaja ato gimana sih? Pasti lo punya hidden agenda ya?"

"Nanyanya besok aja. Saya udah terlalu capek seharian ini. Kamu mau tetep di depan pintu ato gimana, terserah. Saya mau istirahat."

Bebi menghela nafas lalu berjalan memasuki kamar hotelnya yang ditempati Albercio sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut penjuru kamar. Dengan jendela kaca berukuran besar yang bisa dibuka dengan cara menggesernya, Bebi bisa melihat hamparan rumput hijau di bawah sana. Dari balkon kamar, Bebi bisa melihat kejernihan air dari kolam renang berukuran olympic dan mini gardennya. Kenyamanan suasana kamar kian dipercantik dengan segala properti kamar yang terbuat dari kayu dan diukir dengan ukiran sederhana dan dilapis dengan cat khusus sehingga membuatnya menjadi mengkilat. Bebi harus mengakui satu hal. Selera Albercio dalam memilih kamar penginapan ternyata patut diacungi jempol.

"Gimana?" tanya Albercio sambil setengah terpejam.

"Gimana apanya?"

"Kamarnya. Kamu suka gak?"

"B aja.", sahut Bebi sambil menghempaskan bokongnya di pinggir kasur berukuran king size 200 cm x 200 cm itu. "Emang gak ada kamar lain yang twin bed, Al?"

"Kamu takut?"

"Takut? Takut sama lo? Lo sengaja kan pesen kamar ini? Lo pasti punya rencana tersembunyi nih."

"Kamu gak usah berpikir yang aneh-aneh." Albercio melepas jas dan dasinya. Lalu digulungnya lengan kemeja panjangnya sampe ke siku. Lalu dipandanginya wajah Bebi dengan tatapan yang dalam. "Satu-satunya rencana saya adalah nikahin kamu. Jelas?"

"Lo udah kebelet kawin ato emang gak ada cewek yang mau kawin sama lo?", sahut Bebi sebal. Gak lama, cewek itu langsung merebahkan tubuh lelahnya ke kasur, dan menutup wajahnya dengan bantal. Daripada emosi ngadepin Albercio, lebih baik dia tidur pules.

"Beb! Cuci muka dulu sana! Saya gak mau kasurnya terkontaminasi sama kotoran." Albercio mengguncangkan tubuh Bebi, membuat cewek ini memasang wajah bete nya.

"Bawel!!"

*

Bebi membuka matanya perlahan saat mencium aroma kopi. Pandangannya beralih ke raut wajah Albercio yang begitu menghayati caranya menyesap kopi hitamnya dengan pelan. Cowok itu terlihat begitu tenang dan cool. Jujur, baru sekali ini Bebi melihat dengan jelas caranya cowok itu menikmati kopi, dan pemandangan itu mau gak mau membuatnya terpesona.

"You wanna talk something, Bebi?" Tanya Albercio tanpa mengalihkan perhatiannya dari kenikmatan secangkir kopi, Albercio tau kalo daritadi Bebi memandanginya.

Bebi menggeleng. "Nope."

"Are you sure? Soalnya daritadi kamu ngeliatin saya kayak ada yang mau diomongin."

Bebi gak menjawab. Malah, cewek itu menjejakkan kakinya ke lantai, lalu berjalan mendekati Albercio dan membungkukkan tubuhnya hingga sejajar dengan posisi tinggi cowok itu demi bisa menghirup aroma kopi miliknya.

"Kalo mau kopi, pesen aja sana. Gak usah ngengganggu saya!"

Bebi melirik ke arah Albercio. Sumpah ya, Bebi jadi gemes sendiri. "Dasar pelit!"

"Emang pelit.", sahut Albercio datar. "Saya kan ajak kamu ke Bali untuk dampingi saya kerja, bukan ganggu kesenangan saya."

"Oh yaudah kalo gitu. Kan bukan salah gue juga kalo gak tau agenda lo selama di sini tuh apa aja. Lo sendiri yang jemput gue dadakan dan lo juga gak bilang mau ngapain aja selama di Bali. Lo cuma bilang mau ketemu klien which is lo udah ketemu Rolland tadi kan. So what about now?"

"Mandi dulu sana! Bau iler!" Albercio mendorong pelan tubuh Bebi agar menjauh dari wajahnya. Well, dia gak serius kok soal omongannya barusan. Mana mungkin Bebi bau iler, secara cewek itu tadi cuma tidur dengan posisi mulut terbuka tapi tanpa ileran. "Agenda kita hari ini udah selesai kan?"

"Udah, Al."

"Kalo gitu, kamu mau kemana hari ini?"

Bebi mengedipkan matanya, nyaris gak percaya dengan ucapan Albercio barusan. Seorang Albercio yang terkenal dingin tanpa ekspresi tiba-tiba menanyakan padanya mau kemana hari ini? Wih! Salut. Pasti ada yang salah sama otak nih cowok? "Enaknya kemana? Ke mall?"

"Jangan ngaco."

Bebi mendecak kesal. "Ngaco gimana sih, Al? Kan tadi lo yang nanya gue mau kemana. Giliran gue jawab malah dibilang ngaco. Di sini tuh yang ngaco lo ato gue coba?"

"Ke Kuta aja.", sahut Albercio datar sambil mengambil jaket kulit yang dia gantung di hanger. "Buruan siap-siap. Mandi. Dandan yang bener."

"Ya ilah, Al. Ribet. Kalo cuma ke Kuta doang, ngapain gue mesti dandan. Pake kaos, celana jeans sama rambut cepol juga cukup."

"Bebi!" Albercio meninggikan intonasi suaranya.

"Apaan sih teriak-teriak? Biasa aja dong. Ini tuh hotel, bukan hutan."

Albercio menghela nafas. "Yang bilang ini hutan siapa?"

"Lo."

"Kapan saya bilang kalo ini tuh hutan?Ah terserah lah! Buruan mandi sana, gak pake lama!"

Bebi gak menjawab. Langkah kakinya membawanya ke kamar mandi. Gak lama, terdengar suara shower dan nyanyian dari mulut cewek itu, membuat Albercio geleng-geleng kepala. Cewek sesantuy Bebi ternyata punya suara yang merdu. Membuat darahnya berdesir semakin hebat.

*

Bebi memandangi pantulan dirinya dari standing mirror. Midi dress berwarna peach polos melekat sempurna di tubuhnya. Leher jenjangnya pun semakin terlihat jelas berkat rambut panjangnya yang dikuncir ke belakang ala ekor kuda. Ditambah dengan make up flawless natural, membuat wajahnya terlihat segar.

Bebi mengalihkan tatapannya ke arah kasur. Entah dari kapan Albercio duduk mematung dengan wajah yang dialihkan ke jendela. Tatapannya menerawang. Sebenernya Bebi agak penasaran juga dengan jalan pikiran Albercio, tapi mau gak mau Bebi memilih untuk mengalah. Dia cuma sekretaris direktur, dan hubungan di antara mereka gak lebih dari sekedar hubungan profesionalitas walopun tempo hari cowok itu sempet melamarnya.

"Al?", panggil Bebi pelan. "Lo kenapa? Lo baik-baik aja kan?"

Albercio menoleh lalu mengangguk. "Udah siap?"

"Lo yakin baik-baik aja?" Bebi berusaha mendekatinya. Bukan apa-apa, cewek itu cuma merasa khawatir dengan Albercio. Apalagi wajahnya terlihat pucat. Padahal sebelomnya cowok itu terlihat baik-baik aja. "Ada masalah?"

Albercio menggeleng. "I'm okay, Bebi."

Bebi menghela nafas. Cewek itu jadi agak-agak khawatir. "Beneran gak ada masalah?"

Albercio menggeleng lemah. "Kok kamu jadi kayak wartawan sih sekarang? Banyak nanya. Kamu udah siap kan? Yuk turun ke bawah."

Bebi menggeleng. "Lo kayaknya sakit deh. Muka lo pucet. Lo istirahat aja."

"Kamu udah siap kan?" Albercio mengulang ucapannya.

"Jangan kemana-mana.", sahut Bebi begitu membaringkan tubuh Albercio ke atas kasur. Nafasnya terengah-engah. Bukan perkara gampang memapah tubuh cowok seperti Albercio. "Tunggu sebentar di sini."

"Beb, I'm okay. Saya gak sakit. Cuma agak kecapekan aja."

"Lo bawel deh. Udeh gak usah banyak cincong. Mendingan lo sekarang istirahat.", sahut Bebi kekuh.

"Kamu mau kemana?" tanya Albercio saat menyadari Bebi beranjak pergi.

"Ke resepsionis. Siapa tau di sini ada layanan kesehatan. Sekalian mau ambil air, obat, sama makanan untuk lo. Daritadi kan lo gak makan. Mungkin lo sakit karna telat makan.", sahut Bebi pelan sesaat sebelom menutup pintu kamar.

*

Bebi kembali ke kamar bareng seorang pelayan sambil membawa sebuah nampan berisi bubur kuning, sup ayam, segelas air hangat, dan obat demam.

"Ini dimakan dulu buburnya. Trus minum obat sama istirahat. Gak usah mikir yang macem-macem. Kita masih punya lain waktu untuk sekedar jalan-jalan."

Albercio menggeleng lemah. "Tapi kamu kan udah siap-siap, Beb."

"Trus kenapa kalo gue udah siap-siap? Gue gak apa-apa kok. Nanti kalo lo udah sembuh, kita bisa jalan-jalan. Yang penting, lo makan dulu nih buburnya."

Albercio memandangi Bebi dalam-dalam. "Suapin dong, Beb."

Bebi menggeleng tegas. Dia gak mau luluh dengan permintaan Albercio barusan. Sekali dikasih hati pasti besok tuh cowok bakal menikam jantungnya. "Makan sendiri, Al. Lo kan cuma demam biasa, bukan sakit parah."

"Tolong suapin, Bebi." Sekali lagi, Albercio meminta. Kali ini dengan kata "tolong".

Bebi menghela nafas mengalah. Lalu mengambil posisi duduk di pinggir ranjang dan mengambil semangkuk bubur yang tadi disiapkannya di atas nampan. Kemudian mulai menyuapi Albercio.

"Enak," celetuk Albercio.

"Apanya yang enak? Disuapin?"

Albercio mengangguk. "Udah lama banget gak ada yang nyuapin saya. Dulu, pertama dan terakhir kalinya, ada seorang cewek yang rela meluangkan waktunya buat dateng jauh-jauh ke rumah saya buat nengokin saya pas sakit dan dia nyuapin saya. Saya bilang pertama dan terakhir karna cuma cewek itu yang pertama dan terakhir memperlakukan saya sehangat itu setelah Mommy meninggal."

Bebi memasang senyum simpulnya. "Sorry to hear that. Tapi bukannya tadi kita sempet ketemu Mommy lo?"

"Dia bukan Mommy kandung saya. Dia ibu sambung saya. Setelah Mommy meninggal, Papa nikah lagi.", sahut Albercio getir.

Bebi terharu. Bener dugaannya, Albercio gak setegar yang dilihatnya. Walopun tanpa permintaannya, seenggaknya Bebi merasa senang karna Albercio mau berbagi cerita hidupnya yang paling privacy. Konon katanya, kalo seorang cowok udah membuka diri dengan menceritakan sesuatu soal keluarganya, itu artinya cowok itu percaya sama kita.

"Maaf.", ucap Albercio tiba-tiba.

"Maaf buat apa, Al?" Bebi memasukkan suapan terakhirnya ke mulut Albercio yang menandai kalo tugasnya menyuapi cowok itu akhirnya selesai.

"Maaf saya jadi merepotkanmu. Juga soal cerita keluarga saya barusan. Dan terima kasih."

Bebi memasang senyum terbaiknya. Gak tau kenapa dari dulu dia emang selalu menyukai senyum cewek itu, meskipun mungkin sampe saat ini Bebi belom bisa mengingatnya dengan jelas. Apalagi kalo tersenyum begini, menampilkan kedua lesung pipinya.

"Kalo lo emang nyadar bakal ngerepotin, jaga diri makanya. Jaga kesehatan. Untung pas begini pas lo lagi sama gue. Ya seenggaknya gue bisa ngerawat lo. Nah kalo lo sendirian, gimana coba?"

"Ya gak gimana-gimana. Palingan saya cuma bakal tidur seharian."

"Yaudah kalo gitu lo sekarang tidur."

"Trus kalo saya tidur, kamu gimana?"

"Gak usah dipikirin. Yang penting lo sehat dulu."

Bebi bersiap balik kanan tapi gerakannya terhenti. Sebuah cengkeraman lembut di lengannya malah menahannya, membuat manik matanya memandangi Albercio lekat-lekat. "Kenapa, Al?"

Albercio menggeleng pelan. "Makasih udah care sama saya."

Bebi mengangguk. "Gue kan sekretaris lo, Al. Gue orang yang bisa dibilang paling deket sama lo saat ini. Jadi wajar kalo gue care sama lo."

"Makasih ya.", sahut Albercio pelan.

"Sama-sama.", sahut Bebi pelan sesaat sebelom keluar kamar dan meninggalkan Albercio yang mulai memejamkan matanya.

*

Sekali lagi Bebi menguap sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Entah udah yang keberapa kalinya. Tatapan matanya udah meredup, menyisakan daya tinggal 3 watt lagi. Tekadnya bulat. Dia gak bakal tertidur kalo demam Albercio belom turun.

Dari jam 7 malam tadi, begitu Albercio tertidur setelah makan dan minum obat, Bebi berulang kali mengompres dahi cowok itu. Dan setiap dua jam dia mengganti air kompresannya. Bebi bener-bener gak ngerti kenapa demam Albercio gak turun-turun padahal udah minum obat demam.

Bebi menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Tatapan sayunya lurus memandangi Albercio yang terbaring gak berdaya. Gak tau kenapa, jantungnya berdebar gak karuan. Rasa hangat yang mulai menjalar ke ubun-ubun kepalanya membuat Bebi menggelengkan kepalanya. Gak! Gak mungkin! Gak mungkin dia beneran naksir dengan Albercio!

Auk ah! Bebi lelah. Rasanya tidur lebih baik daripada begini.

*