Diam-diam Bebi tersenyum. Dia salut dengan Albercio. Meskipun tajir melintir dan menjabat sebagai presiden direktur, tapi dia bukan seorang yang apa-apa serba bergantung pada seseorang. Seperti tadi misalnya, Bebi melihat sendiri ternyata Albercio menyetir mobilnya sendiri dari tempat tinggalnya - kost an Bebi - hotel - bandara.
Bebi melirik wajah Albercio dari balik bulu matanya. Wajah tampan kebule-bulean milik Albercio membuat Bebi penasaran sekaligus bertanya-tanya. Kenapa cowok seganteng ini bisa bertahan dengan predikat jomblo abadi abad ini? Padahal secara kasat mata, apa coba kekurangannya Albercio?
"Kamu gak capek apa daritadi nyuri-nyuri pandang terus ke saya?" Suara khas Albercio membuyarkan semua lamunan Bebi, membuat cewek itu menghela nafas dan merutuki dirinya sendiri yang terus memikirkan Albercio. Racun emang nih! "Ada apa sih sama muka saya? Kamu belom pernah ngeliat cowok seganteng saya?"
"Sumpah ya, Bapak tuh lama-lama ngeselin! Sok ganteng. Lagian juga siapa juga yang liatin Bapak diam-diam? Najong tralala!"
"Saya bukan kepedean. Tapi saya perhatiin daritadi kamu emang liatin saya diem-diem. Ada yang mau diomongin emangnya? Ato jangan-jangan kamu naksir trus pengen cepet-cepet nikah sama saya?"
"Gue naksir lo?" Nah tuh keluar deh bahasa lo-gue andalan Bebi. Percuma daritadi dia berusaha jaim, tapi Albercio terus aja membuat tensinya naik turun gak karuan. "Sori mori de mori dah. Kayak gak ada cowok laen aja!"
"Ya gak apa-apa sih kalo kamu naksir. Buat saya gak jadi masalah. Tapi, asal kamu tau, saya gak pernah tertarik untuk naksir sama kamu. Jadi, daripada kamu sakit hati nantinya, mendingan jaga hati kamu jauh-jauh biar gak naksir saya.", sahut Albercio pura-pura. Padahal jantungnya udah berdetak gak karuan, membayangkan kalo-kalo jawaban Bebi bener-bener menyukainya.
Hahaha! WHAT?! Asli, rasanya Bebi pengen koprol sambil joget. Albercio bener-bener bikin kepalanya mendidih gak karuan.
"Terserah apa kata lo deh, Albercio!"
*
Bebi langsung memalingkan wajahnya begitu dirasakannya pesawat yang ditumpanginya mulai bergerak mundur. Dari announcement tadi, menandakan bahwa pesawat ini sebentar lagi kal lepas landas dan membawanya meninggalkan Jakarta. Dari literatur yang pernah Bebi baca, pergerakan pesawat secara mundur ini disebut dengan pushback.
Dalam dunia penerbangan, kata Pushback artinya mendorong mundur pesawat. Biasanya pesawat tidak bisa mundur sendiri karena arah tenaga mesinnya biasanya ke belakang aja. Pesawat butuh dimundurkan karena kebanyakan tempat parkirnya menghadap ke gedung terminal bandara atau daerah lain yang gak bisa dilewati pesawat.
Pushback pesawat dilakukan dengan menggunakan alat eksternal seperti traktor atau mesin pendorong. Traktor pendorong ini sering disebut pushback tractor, pushback truck, pushback tug, dan lain-lain. Traktor pendorong ini biasanya berbentuk rendah agar gak menyentuh nose pesawat. Cara mendorongnya biasanya dilakukan dengan menyambungkan sebuah batang logam yang disebut dengan towbar di antara pesawat dan traktor. Batang towbar ini berbeda-beda untuk setiap jenis pesawat yang berbeda. Bagian yang didorong mundur adalah nose wheel - roda depan pesawat.
Bebi menahan nafasnya sesaat. Pesawatnya mulai bergerak cepat dan bener-bener siap lepas landas dalam beberapa detik ke depan. Sumpah, saat-saat kayak gini selalu bikin Bebi cemas. Bebi sangat paham, saat take-off ataupun landing selalu dikenal dengan istilah critical eleven. Ditambah lagi sebenernya dirinya sangat phobia pada ketinggian.
Albercio langsung tersenyum sinis. "Besok-besok sebelom terbang sama saya, kamu banyak-banyak latihan. Naik biang lala ya. Biar gak takut. Masa sekretaris direktur takut naik pesawat?"
Bebi menghela nafas dengan pelan. Diliriknya dengan sebel ke kursi penumpang sebelahnya yang diduduki Albercio. Cowok itu terlihat biasa aja, gak setakut Bebi. Wajar sih. Secara Albercio tajir melintir. Mungkin dari orok emang udah terbiasa naik pesawat. Apalagi pesawat jet pribadi begini. Beda ama Bebi. Boro-boro naik jetpri, naik pesawat komersial aja bisa dihitung pake jari. Ah bener-bener jiwa missqueennya lagi-lagi tertindas!
"Ya deh, terserah apa kata Anda, Bapak Albercio yang terhormat!"
Gantian, sekarang giliran Albercio yang meliriknya dengan tajam. Dia gak peduli meskipun saat ini Bebi berusaha memejamkan matanya dan mengusir ketakutannya. Ya meskipun begitu, sebenernya Albercio agak gak tega juga melihatnya.
Bebi menoleh begitu merasakan genggaman lembut di antara jemarinya. Gak tau kenapa rasa degdeg serr yang daritadi dirasakannya mendadak lenyap gitu aja. Dan Bebi cuma bisa melihat dengan jelas kalo Albercio berusaha menahan senyumnya. "Thanks, Al. You save my life."
"Lebay, but emmm ... it's okay.", sahut Albercio sambil menoleh ke arah Bebi.
*
Bebi terpaku begitu kakinya menjejakan tanah di depan sebuah gate kedatangan Bandara Internasional Ngurah Rai. Perjalanan panjang ini sangat menyenangkan, apalagi ini pertama kalinya Bebi menggunakan pesawat jet pribadi. Selama ini, dia cuma bisa duduk manis di depan TV mantengin para selebritis papan atas yang hobi ke luar negeri naik jetpri. Gak pernah sekalipun terlintas di benaknya bakal bepergian dengan jetpri, walopun dalam kondisi phobianya yang kambuh.
Lagi, Bebi terpaku. Rasa kantuknya langsung sirna. Di hadapannya berdiri tiga orang cowok bertubuh tegap lengkap dengan jas, dasi, dan sepatu berpantofel serta kaca mata hitam. Wajah kaku nan datar tanpa senyum. Bener-bener persis seperti Albercio yang selalu memasang wajah datar tanpa ekspresi.
"Selamat datang di Bali, Pak Albercio," ucap salah satu dari tiga cowok berjas rapi itu. "Bisa kita berangkat sekarang? Pak Rolland sudah menunggu Anda."
Albercio mengangguk sambil menarik ujung jas armaninya yang sedikit berantakan. Lalu beranjak mengikuti ketiga orang berjas rapi itu.
*
Albercio menghela nafas. Dia berusaha menahan emosinya gara-gara Rolland, klien sekaligus sahabat karibnya. Bukan apa-apa, Albercio tau banget Rolland ini gimana dan itu semakin membuat emosi Albercio naik gak karuan. Apalagi saat Albercio mengenalkan Bebi tadi.
Posisi duduk Albercio tepat berada di tengah-tengah antara Bebi dan Rolland. Sesekali tatapannya berpaling ke arah Bebi. Meskipun terlihat santai dan biasa aja, tapi jelas-jelas cewek itu selalu memasang senyum terbaiknya. Untuk seseorang berhati datar sepertinya, jelas-jelas Albercio gak terpengaruh apa-apa. Tapi bagi seorang yang brengsek seperti Rolland, jelas itu bisa menjadi ancaman bagi Bebi.
"Well, oke." Terdengar suara berat Albercio saat Rolland menyetujui rencana bisnis yang ditawarkannya. "Saya harap rencana ini bisa secepatnya terealisasi."
"Gue harap juga begitu, Al. Apalagi konsepnya emang bagus begitu. Ya kan, Beb?" tanya Rolland sambil mengalihkan pandangannya ke arah Bebi dan memasang senyum menggodanya. "Rencana di sini nginep berapa hari? Gue bisa loh jadi city tour guide lo, Beb?"
"Sorry, Lan.", sahut Albercio datar. Tatapan tajamnya memandangi Rolland lekat-lekat. "Kami udah ada rencana lain."
Rolland berdecak. "I know, tapi gak ada salahnya juga meluangkan waktu untuk jalan-jalan mumpung ada di sini. Gue yakin, Bebi belom pernah ke Bali. Ya kan?"
Bebi menggeleng pelan. Dia merasa saat ini Albercio lagi berusaha melindunginya dari sosok Rolland, makanya gak heran kalo barusan Albercio langsung menyanggah omongan Rolland. "Terima kasih tawarannya Pak Rolland. Tapi kami memang udah ada agenda rencana lain.", sahut Bebi.
"Oke, baiklah. It's oke.", sahut Rolland pelan sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Bebi. Gak lama, cowok itu pergi meninggalkan Bebi dan Albercio.
"Terima kasih," ucap Bebi tulus sesaat setelah Rolland bener-bener menghilang dari hadapan mereka.
Albercio memandanginya dengan datar. Dahinya berkerut. Dia barusan gak salah denger kan? Bebi berterima kasih kepadanya? "Maksudnya? Terima kasih untuk apa?"
"Terima kasih udah menyelamatkan gue dari Pak Rolland," sahut Bebi tulus.
Oh.
"Iya." Albercio melonggarkan dasi yang dipakainya. "Lagian kamu juga salah. Tebar-tebar senyum. Rolland itu bukan cowok normal. Jadi sekretaris boleh. Ramah harus, tapi gak boleh tebar-tebar senyum!"
Lah ..
"Maksudnya gimana, Al? Gue kan emang gini, murah senyum. Bukan suka tebar-tebar senyum."
"Ya tapi kalo kalo mau murah senyum tuh jangan ke sembarang orang. Rolland bukan orang yang tepat untuk dapet senyum kamu."
"Trus kalo gitu maksud lo, gue harusnya murah senyumnya ke lo doang? Gitu? Enak di lo, gak enak di gue dong. Lagian, lo mah aneh. Lo sama Rolland keliatan kayak sahabatan, tapi di belakang dia lo ternyata gak suka sama dia. Gimana sih?"
"Saya emang sahabatan sama dia. Tapi dia bukan orang yang tepat sama kamu. Apalagi kalo sampe kamu jatuh hati sama dia. Duh .. jangan deh pokoknya."
"Lo aneh. Kalo dia bukan orang yang tepat buat gue, trus maksud lo cuma lo gitu yang boleh jadi orang yang tepat buat gue? Gitu"
"Terserah apa kata kamu. Yang jelas dan pasti, dia bukan orang yang tepat buat kamu."
"Ya tapi kenapa? Kan harus ada alasan yang jelas."
"Pikir sendiri. Saya capek. Kita ke hotel sekarang.", sahut Albercio sambil mengotak atik ponsel pintarnya, lalu beranjak meninggalkan Bebi yang masih memandanginya dengan dongkol.
"Gak bisa gitu dong, Al. Lo harus kasih jawaban yang jelas. Bukan orang yang tepat dari sisi apa?"
"Kamu BT ya."
Bebi mengerutkan keningnya. Kosakata apaan itu? "Apaan tuh BT? Badmood?"
"Banyak tanya!" teriak Albercio dari jauh.
Bebi berusaha mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Ternyata gak segampang yang dipikirkannya saat berusaha mengejar langkah Albercio yang mulai menjauh. "Tapi, Al, kita ke hotel naik apa? Kita belom sempet rental mobil di sini."
Albercio gak menjawab. Ditunjuknya sebuah mobil Toyota Fortuner berwarna hitam keluaran terbaru dengan seorang sopir yang berdiri tepat di samping mobil itu, membuat Bebi akhirnya mengangguk pelan.
*