Chereads / Wind Flower / Chapter 4 - 2

Chapter 4 - 2

"Lo bawel deh ah. Lo jangan pulang malem-malem. Jaga kesehatan. Besok kita ada rapat penting soalnya."

Albercio masih inget dengan jelas ucapan Bebi tadi, sambil mengetukkan jari-jarinya di atas meja, memantulkan bunyi yang sangat kontras dengan bunyi detak jarum jam. Maklumlah, sekarang cuma ada dirinya seorang yang menghuni lantai 40, dan cuma cewek itu yang satu-satunya memberikan perhatian sesimpel itu. Diliriknya selintas jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu pagi. Seluruh karyawannya, kecuali para satpam, petugas parkir, dan drivernya, udah pada pulang teng-go tadi.

Tatapan Albercio masih terpaku ke layar monitor yang menampilkan data salah satu karyawan terbaik di perusahaan. Ya mau gak mau dia lumayan kaget. Seorang yang ceplas ceplos bernama Bebi adalah karyawan terbaik di perusahaan yang sekarang dipimpinnya.

Albercio merogoh saku celananya, mengeluarkan smartphone keluaran terbarunya, dan menekan sederet angka sesuai dengan data di layar laptopnya sekarang. Gak lama, Albercio menghela nafas lelah ketika panggilan ketiganya masih belom diangkat. Dihubungi lagi nomor yang sama. Beruntung kepada sang penerima, pada dering panggilan kedua mengangkat panggilannya dan ..

"Ya, halo?" Terdengar suara serak-serak basah ala Bebi dari seberang telepon. "Ini siapa?"

"Udah tidur?" Albercio menjawab pertanyaan Bebi dengan pertanyaan barunya. "Ato masih melek?"

"Tidur. Ini siapa?"

"Albercio. Bisa ke kantor sekarang?"

"Oh. Ngapain? Lo masih di kantor emangnya? Bukannya pulang trus istirahat.

"Saya tunggu setengah jam dari sekarang dan kamu harus udah di sini. Kalo gak, saya potong gaji kamu."

Bebi menghela nafas berat. "Potong aja, gak apa-apa kok. Udah ya. Gue masih ngantuk nih. Kalo ada apa-apa, WA aja. Tar gue bales pas udah bangun. Oke?"

-CLICK-

Bebi mematikan sambungan telepon secara sepihak dan membuat Albercio menghela nafas sambil mengambil jas armaninya. Gak lama, cowok itu langsung berjalan ke lobby lalu melesat pergi. Dia butuh udara malam dan melupakan apapun soal Bebi yang terus mengusik pikirannya.

*

Bebi menutup mulutnya dengan telapak tangan saat membuka pintu kost annya dan menemukan Albercio berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dadanya dan memasang tatapan dinginnya. Sungguh pemandangan yang aneh dan luar biasa, terjadi pertama kalinya. Padahal seingat Bebi, cowok itu semalem meneleponnya dan malah menyuruhnya ke kantor.

"Kok di sini? Dari kapan di sini? Tau alamat ini dari mana?" Bebi menyerangnya dengan pertanyaan. Ya habis gimana dong. Bebi ngerasa aneh dan heran aja. Cowok keren bin ganteng selevel Albercio pagi-pagi begini udah berdiri depan pintu kostnya dan memergokinya dengan wajah bantal khas baru bangun tidur, padahal seingatnya semalem Albercio cuma telepon dan menyuruhnya balik ke kantor lagi. "Mau masuk?"

Albercio diam. Dia mendekati Bebi, lalu mendorong pelan tubuh cewek itu ke sisi samping pintu dan masuk ke dalam. Bebi bener-bener speechless. Gak ngerti lagi sama isi kepala Albercio yang selalu sok belagak dingin, misterius, tapi juga selalu seenaknya sendiri.

Bebi menghela nafas. Mood paginya langsung terjun bebas begitu aja. Albercio bener-bener dingin! Bebi jadi gemes sendiri deh. Alhasil, cewek itu menarik lengan Albercio saat cowok itu hampir aja mendaratkan bokongnya di pinggir kasur busa Bebi yang 2 in 1 dengan sofa bed.

"Kenapa?" tanya Albercio datar.

"Kenapa? Lo nanya kenapa? Harusnya gue yang nanya begitu. Kenapa lo pagi-pagi ada di sini?"

"Ini beneran kost an kamu?" Lagi, Albercio menjawab pertanyaan Bebi dengan pertanyaan barunya. "Kenapa gak pindah?"

"Gue mau tinggal dimana kek, itu urusan gue. Kok lo yang repot? Lagian gue nyaman tinggal di sini."

"Kamu sekretaris presiden direktur, Bebi! Masa tinggal di tempat beginian?" Albercio mengedarkan pandangannya. Kostan Bebi sebenernya gak terlalu luas. Cuma ada tiga sekat ruangan yang membatasi ruang tamu, kamar, kamar mandi, dan dapur. Di ruang tamu, Bebi mengisi perabotannya dengan satu sofa bed busa, dua meja kecil lesehan, tv led yang di bracket ke dinding, dan satu dispenser tiga kran. "Fix gaji kamu saya potong, dan kamu harus pindah ke tempat tinggal yang sata tentuin."

"Astaga, Al! Lebay deh. Emang sih kost an gue kecil dan sempit, tapi gue nyaman di sini. Lo gak usah yang aneh-aneh. Jangan mentang-mentang lo presdir trus bisa seenaknya memperlakukan gue. You know nothing about me!"

"Terserah apa kata kamu." Albercio merogoh saku celananya, mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang. Gak lama, dipandanginya sosok Bebi dalam-dalam. "Pokoknya mulai hari ini kamu pindah dari sini."

"Pindah kemana?"

"Apartemen saya.", sahut Albercio datar. Singkat, padat, dan jelas.

"Ngapain gue harus ke apartemen lo?"

"Ya ngurusin saya lah! Kamu kan sekretaris direktur, jadi kamu juga yang harus siapin semua keperluan saya. Lagipula, di sana lebih baik dari pada di sini."

Bebi geleng-geleng kepala. Bomat - bodo amat - meskipun Albercio memasang wajah seriusnya. Biarin lah gajinya dipotong berapapun, asal dia tetep di kost an ini. Bukan apa-apa, Bebi emang udah terlanjur nyaman di sini. Lagian, dia juga sama sekali gak minat dengan tawaran Albercio. "Gak mau."

Albercio menghela nafas. Dipandanginya sosok Bebi dalam-dalam. "Yaudah kalo kamu gak mau pindah demi pekerjaan. Berarti kamu harus siap nerima konsekuensinya."

"Apa konsekuensinya?" tantang Bebi. "Lo mau pecat gue? Pecat aja."

Albercio menggelengkan kepalanya dan berjalan mendekat, membuat Bebi terus memundurkan langkahnya sampe akhirnya punggungnya menabrak dinding di belakangnya. "Kamu nantangin saya? Kalo kamu gak mau dipecat berarti kamu udah siap buat nikah sama saya."

Bebi menggeleng. Ucapan Albercio adalah ucapan tergila yang pernah didengernya, apalagi sepagi ini. Dengan penuh keberanian, dipandanginya cowok itu dengan tajam. Cewek itu mengulang ucapannya, "Jawab pertanyaan gue! Lo ngapain di sini pagi-pagi?!"

"Jemput kamu."

"Hah? Maksudnya jemput gue gimana? Emang kita mau kemana sampe-sampe lo harus jemput gue pagi-pagi ke sini?"

"Jemput kamu buat ke KUA.", sahut Albercio dingin.

"Jangan bercanda, Al! Lo pikir gue mo bet nikah sama lo? Ge-er!"

"Saya ge-er? Yang ada kamu kali tuh. Ya kan?"

"Jangan bercanda deh, Al. Gue lagi gak mood bercanda nih."

Albercio menaikkan sudut bibirnya beberapa derajat. "Yang bilang saya bercanda tuh siapa?"

Bebi menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Lo daripada buang-buang waktu di sini, mendingan sana berangkat duluan ke kantor. Sejam lagi lo ada rapat penting sama klien."

Gantian, sekarang giliran Albercio yang menggelengkan kepalanya. "Rapat hari ini dibatalin. Klien minta ketemu di Bali malem ini. Dan ya karna saya juga lagi gak mood ke kantor, jadi gak ada salahnya kita ke Bali berangkat lebih awal. Makanya, kamu buruan siap-siap."

Bebi menghela nafas panjang. Memiliki bos yang bossy model Albercio emang kudu kuat-kuat ati. Apalagi kalo maunya udah susah ditebak begini. Sebentar A, nanti berubah lagi jadi B. Begitu seterusnya. "Berapa hari di Bali?"

"Seminggu.", sahut Albercio datar. Wajahnya kaku seperti kanebo kering!

"Serius?"

"Dua rius. Gak percaya?"

"Enggak.", sahut Bebi santai. "Percaya sama lo kan musyrik."

Albercio memasang senyum terbaiknya, membuat wajahnya yang udah ganteng terlihat semakin ganteng berkali-kali lipat. "Tanya sama Mark. Dia yang urus semuanya kok."

"Mark?" Kening Bebi berkerut. "Mark siapa?"

"Kamu kerja di sini udah berapa lama sih? Masa gak kenal sama Mark?"

Lagi, menghela nafas. Dipandanginya Albercio dengan jengkel. Padahal baru terhitung dua hari Albercio jadi atasan barunya, tapi kalo begini terus rasanya Bebi kudu siap-siap angkat bendera putih. Daripada makan ati molo. Kan gak lucu, bisa makin langsing badannya nanti.

"Gak kenal dan gue malah baru denger nama itu.", sahut Bebi sambil duduk di pinggir kasurnya. Dipandanginya sosok Albercio dari ujung rambut sampe ujung kaki. Ganteng, tapi dingin.

"Kenapa? Gak siap-siap? Pesawat kita tiga jam lagi. Dan saya pengen sarapan dulu sebelom berangkat."

"Iya, Bawel!" Bebi beranjak meninggalkan Albercio. Dia butuh berlama-lama mendinginkan kepalanya di bawah pancuran shower.

*

Bebi gak bisa menahan dirinya untuk gak memasang ekspresi muka yang bingung saat Albercio menghentikan mobilnya di hotel bintang 5. Seingatnya tadi, cowok itu cuma bilang pengen sarapan sebelom berangkat. Tapi kenapa ke hotel?

"Kenapa ke sini?" tanya Bebi bingung

"Sarapan."

"Di sini? Di hotel?"

"Iya.", sahut Albercio datar. "Kenapa?"

"Gak salah, Al? Sarapan di resto hotel? Terlalu mewah, Al."

"Kenapa sih emang?"

"Lebay deh. Kita kan cuma mau sarapan, Al. Kenapa mesti sarapan di resto hotel?"

Albercio menghela nafas. "Kamu lama-lama bawel ya. Bisa gak sih gak usah banyak protes?"

"Lah bukannya protes, Al. Kita kan cuma mau sarapan which is gak harus fancy breakfast di resto mewah begini. Lagipula kan kita harus ke bandara."

"Ini bukan fancy breakfast, Bebi. Ini sesuatu yang mulai saat ini harus kamu biasain. Karna kamu kan sekretaris saya."

Astaga! Bebi bener-bener salut deh sama orang kaya macem si Albercio, membuat jiwa missqueennya bergejolak. Ya gimana gak bergejolak coba? Secara kan sarapan termewah Bebi cuma di restoran cepat saji yang selalu buka 24 jam. Paling mewah dalam artian mudah ditemukan saat dia kesiangan dan diuber jadwal meeting de el el. Jadi wajah aja kalo sekarang Bebi rada-rada norak.

Bebi mengikuti langkah Albercio memasuki lobby hotel menuju sebuah restoran yang berada di dalamnya. Dari cara interaksi antara Albercio dengan petugas hotel, bisa dipastikan cowok keren itu emang sering menginap di sini. Bisa jadi Albercio memang tamu VVIP ato sejenisnya. Loyal customer istilahnya.

"Have a sit, Beb." Albercio menarik kursi untuk Bebi, baru kemudian menarik kursi untuknya. Diam-diam Bebi memasukkan nilai plus untuk cowok itu. Meskipun terkesan dingin dan jutek, ternyata Albercio cukup gentle. Emang sih keliatan banget dari mukanya kalo Albercio bukan sosok yang romantis, tapi dari cara cowok itu barusan menarikkan kursi untuk Bebi duduk, Bebi berani bertaruh, cewek manapun bakal jatuh hati dan klepek-klepek. Apalagi dengan sorot matanya yang tajam menusuk dan intens. Beuh!

Bebi menghela nafas dengan berat. Apaan sih? Pagi-pagi begini dia malah ngelantur gak jelas.

"Mau pesan apa?" tanya Albercio begitu seorang pelayan menghampiri table mereka.

"Bapak sering nginep di hotel ini?" Bebi melirik selintas. Bener kan dugaannya tadi. Tuh pelayannya aja sampe terpesona gitu sama ketampanan Albercio. Gleg! Bebi berusaha menelan salivanya dan tetep bersikap tenang terkendali saat pikirannya lagi-lagi melantur gara-gara pesona Albercio. "Samain aja."

"Oke.", sahut Albercio sambil mengalihkan pandangannya ke sang pelayan dan menyerahkan buku menu padanya. "Saya pesan dua bubur abalone, dua susu, dan tiga salad buah untuk take away. Tolong mayo nya dikemas terpisah."

"Baik.", sahut sang pelayan sambil mencatat pesanan Albercio.

"Bapak pesan makanan segitu banyak untuk siapa?" tanya Bebi begitu sang pelayan menjauh dari table mereka.

Albercio memandangi Bebi dengan tatapan tajamnya. Lagi-lagi Bebi memanggilnya dengan sebutan itu padahal seingatnya jelas-jelas dia gak suka. Tapi ya berhubung mereka saat ini berada di area publik, sekali ini Albercio bakal memaafkannya. "Buat kita."

"Tapi itu terlalu banyak, Pak. Apalagi saladnya."

"Apanya yang kebanyakan sih? Kamu gak denger tadi saya pesan apa?", sahut Albercio santuy. "Lagipula, saladnya bisa dimakan dijalan."

"Iya tapi kan tetep aja ini tuh berlebihan, Pak."

"Bisa gak sih kamu gak usah protes mulu? Dikit-dikit protes. Lagian kamu gak capek apa protes terus? Saya aja dengernya capek."

Well, yeah .. "Bukan gitu maksud saya, saya cuma mau .."

"Hello Baby Darling!!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara manja yang dibarengi dengan sebuah pelukan dari seorang cewek berambut panjang hitam. membuat Bebi menggantung ucapannya. "Kok di sini? Ada meeting lagi?"

Bebi melirik selintas ke sosok cewek yang bergelayut manja di dada bidang Albercio dan gak tau kenapa dia malah jadi gerah sendiri. Bukan apa-apa, Bebi jadi merasa seperti .. remahan kerupuk!

Albercio mendorong pelan tubuh cewek itu sambil melirik selintas ke arah Bebi. "Mom, bisa gak sih bersikap wajar? Nanti orang mikirnya jadi macem-macem ke kita."

Bebi mengedipkan matanya gak percaya. Mom? Albercio barusan bilang apa? MOM?! Asli, Bebi jadi pengen ketawa. Dia barusan gak salah denger kan?

"Sorry, Cio. Abisnya Mama kangen sama Cio. Cio sibuk terus. Yaudah, Mama lanjut ngobrol sama klien Mama dulu ya. Nanti Mama telepon kamu.", sahut Nyonya Nara. Albercio mengangguk patuh dan membiarkan Nyonya Nara meninggalkannya.

"Kalo mau ketawa, ketawa aja. Gak usah ditahan.", sinis Albercio. Gini-gini daritadi dia memang memperhatikan Bebi. "Daripada nyesek trus jadi kentut."

Bebi melirik sebal, lalu mengembangkan seutas senyuman terbaiknya. "Mana ada nahan ketawa trus jadi kentut. Lo ini aneh, Al."

"Cepet habisin sarapan kamu. Setengah jam lagi kita ke bandara.", sahut Albercio begitu pesanan mereka mendarat sempurna di table mereka.

Bebi mengangguk patuh. Entah harus menyebut ini sebagai musibah ato anugerah, yang pasti Bebi happy. Jarang-jarang kan dia bisa makan beef steak mahal dari restoran mewah begini. Dine in langsung di hotel pula. Wuih! Bener-bener membuat jiwa missqueennya berteriak dah!

*