Setelah beberapa menit melepas rindu bersama ibunya, Adriell dan William segera menuju ruang kerja ayahnya. Mereka berdua tidak mau membuat sang kepala keluarga menunggu lama.
William berjalan lebih pelan dari Adriell. Ia yang sedari dulu tidak terlalu dekat dengan sang ayah selalu berusaha untuk sebisa mungkin menghindar dari segala urusan dengan ayahnya. Alasannya? Entahlah. William merasa jika sang ayah hanya menyukai Adriell dan tidak terlalu peduli padanya. Waktu mengobrolnya dengan ayah pun bisa dihitung jari saking jarangnya mereka berinteraksi.
Pangeran es kita terlihat gugup saat Adriell mendorong pintu kayu berwarna hitam yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Hal pertama yang William lihat adalah sosok sang ayah yang sudah tidak muda lagi berdiri tegap membelakanginya.
"Ayah." Panggil Adriell.
Ayahnya memutar badan, menghadap kedua anaknya yang sudah tumbuh besar. Ia memandang Adriell dan William secara bergantian sebelum meminta mereka untuk duduk. Dan tanpa disuruh dua kali, baik Adriell maupun William langsung duduk di sofa yang terletak di tengah ruangan.
William mengedarkan pandangan nya ke seluruh penjuru ruangan. Tidak ada yang berubah dari kamar ini. Segala buku tentang bisnis dan juga koleksi-koleksi barang antik milik sang ayah masih terpajang rapi di lemari-lemari besar di setiap sudut ruangan. Meskipun selama ini William tinggal di mansion megah Jaya, tetapi ia sama sekali tidak pernah masuk ke dalam ruang kerja yang terletak di lantai satu sebelah perpustakaan ini.
Dan begitu pula sang ayah. Beliau juga sama sekali tidak berubah, saat di rumah pun ia lebih suka berdiam diri di ruang kerja yang menurut William membosankan, menghabiskan seluruh waktunya dengan dunia bisnis yang tidak William pahami.
Well, seharusnya kau berterima kasih. Berkat kerja keras ayahmu, kalian bisa hidup bergelimang harta seperti sekarang.
Kepala keluarga Jaya mengambil tempat di hadapan kedua anaknya. Ia duduk dengan gagahnya sambil menatap kedua putranya dengan dingin, khas seorang Jaya, "Adriell, sepertinya kamu harus berhenti main-main."
"Y-ya?" Adriell yang terlihat gugup ketika mendengar suara sang ayah yang terdengar serius itu berusaha untuk terlihat tenang, meskipun sangat sulit karena ayahnya pasti tahu gerak-geriknya.
"Ayah lihat laporan keuangan kantor cabang di kota ini berantakan." Adriell menelan ludah dengan susah payah ketika ayahnya kembali berbicara, "Apa yang kamu lakukan belakangan ini?"
"Biar aku cek lagi nanti." Jawab Adriell tegas. Ia merutuki kebodohannya yang terlalu terlarut dalam kegalauan belakangan ini sehingga pekerjaan kantor jadi terbengkalai.
See? Hanya Adriell satu-satunya Jaya yang meninggalkan pekerjaannya hanya karena wanita.
"Pastikan semuanya terkendali." Perintah sang ayah yang langsung mendapat anggukan mantap dari putra pertamanya.
Sang ayah memalingkan wajahnya dari Adriell, beralih kepada putra keduanya yang masih sibuk memperhatikan sekeliling, "William."
Mendengar namanya disebut, bungsu Jaya ini langsung menoleh ke arah sang ayah.
"Bagaimana sekolah kamu?"
"Baik." Jawab William singkat. Jika Adriell adalah duplikat sang ibu, maka William merupakan duplikat sang ayah. Kalian bisa lihat bagaimana mata elang William menatap dingin sang ayah?
Ayahnya mengangguk, "Baguslah. Ayah lihat peringkat kamu juga masih berada di tempat yang memang sudah seharusnya."
Yang William lakukan hanya terdiam, mendengarkan sang kepala keluarga berbicara tanpa ingin menyela. Pangeran es kita hanya ingin pertemuan ini cepat berakhir karena jujur saja ia merasa lelah saat ini, ingin sekali beristirahat setelah perjalanan yang lumayan jauh.
"Ayah rasa sudah saatnya kamu untuk mempelajari soal bisnis keluarga kita."
Perkataan sang ayah membuat William kembali dari lamunannya, "Ya?" William mencoba untuk kembali memastikan hal yang baru saja ia dengar.
"Adriell bilang kemarin kamu ikut dia tanpa adanya paksaan, benar begitu?" William mengalihkan pandangannya kepada Adriell di sampingnya yang kini sedang tersenyum menyebalkan sambil mengangkat kedua alisnya dua kali.
Perasaan William mulai tidak enak.
"Ayah mau kamu ikut ayah." Perkataan sang ayah membuat William kembali memberikan perhatiannya kepada kepala keluarga Jaya itu. Ia menatap ayahnya dengan pandangan bertanya.
"Ikut— kemana?"
"Tinggal bersama."
Tinggal bersama? Bukankah itu berarti William harus ikut mereka ke luar negeri?
Dan seketika William memandang ayahnya dengan wajah yang datar. Dataaaarrr sekali. Tidak ada ekspresi apapun di wajah pangeran es kita ini. Yang ia tahu hanya ia tak mungkin bisa menolak keputusan sang ayah.
"Ayah rasa kamu sudah mulai tertarik di dunia bisnis. Ayah ingin mengajari kamu secara langsung. Maka dari itu ayah ingin kamu ikut."
"Tapi aku masih harus menyelesaikan sekolahku, ayah."
"Sekolah dimana pun tidak jadi masalah, William. Biar Adriell yang mengurus masalah kepindahan mu."
Setelah obrolan serius yang dilanjutkan dengan obrolan bisnis sang ayah dengan kakaknya, William pun pamit keluar ruangan terlebih dahulu karena sungguh ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang diperbincangkan diantara kedua Jaya itu.
Dan lagi, ia harus memikirkan mengenai perkataan ayahnya. Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu dipikirkan karena William tidak menolak sama sekali permintaan ayahnya.
"Yo, brother!" Adriell tiba-tiba datang dan merangkul William, "Gimana? Kamu suka kejutannya?"
William menghentikan langkahnya, "Ngga." Ia menepis kasar tangan Adriell.
"Loh? Kenapa?" Adriell memandang heran sang adik yang kini tengah menatapnya datar. Oke, mungkin itu memang ekspresi William setiap saat ketika melihatnya, tetapi sepertinya ini berbeda dengan biasanya.
"Apa aku salah ambil langkah, Wil?" William kembali berjalan tanpa menghiraukan Adriell. Ia terlalu lelah untuk berurusan dengan sang kakak.
"Wil!" Adriell terus memanggil William sambil terus menanyainya.
William mempercepat langkahnya. Pria itu kembali mengaktifkan mode pura-pura tuli yang selama ini jarang sekali ia gunakan. Ia tidak peduli dengan Adriell yang terus menerus berteriak memanggil namanya. William bahkan melewati sang ibu begitu saja tanpa menyapanya kembali. Ia kemudian naik menuju kamarnya dan berniat untuk berdiam diri disana sampai makan malam nanti.
.
.
Angin pagi berhembus melalui jendela balkon yang semalam lupa tidak Teesha tutup, membuat gorden bermotif bunga berwarna cokelat yang tergantung bergoyang bebas. Sejuknya udara pagi membuat Teesha semakin lelap dalam tidurnya, ia tidak berniat untuk segera bangun jika saja ponselnya tidak berdering terus menerus.
Teesha mengambil bantal di bawah kepalanya, memindahkan benda kotak empuk itu ke atas kepala berharap dapat meredam deringan ponselnya yang terdengar nyaring.
Setelah lewat sepuluh menit dan ponselnya tidak juga berhenti berbunyi, Teesha akhirnya menyerah. Ia terpaksa bangun dari tidur yang sebelumnya nyenyak dan bergegas mengambil ponsel di atas meja disamping ranjang.
"Ap—"
"Kamu lagi praktek mati?" Belum sempat Teesha menyelesaikan kalimatnya, orang disebrang sana sudah lebih dulu berbicara. Tidak perlu melihat layar ponselnya untuk mengetahui siapa yang menelpon, karena hanya ada satu orang yang mempunyai mulut pedas dan juga suara dingin yang khas.
"Iya!" Jawab Teesha ketus, "Jadi tolong jangan ganggu aku!"
"Bangun. Satu jam lagi aku jemput."
PIP
Seperti biasa, telpon dimatikan secara sepihak oleh sang pangeran es berhati iblis itu. Teesha sudah mengambil ancang-ancang untuk melempar ponselnya karena kesal, tetapi mengingat benda ini merupakan alat komunikasi satu-satunya yang ia miliki, alhasil Teesha hanya melempar ponselnya pelan di atas tempat tidurnya dan bergegas untuk bersiap.
Dan benar saja, tepat satu jam kemudian William sudah memarkirkan mobil Toyota 86 kesayangannya di halaman depan kediaman Sanjaya. Tanpa menunggu lebih lama, Teesha segera keluar dan masuk ke dalam mobil William.
William masih fokus menyetir disaat Teesha yang duduk disampingnya terus mengomel. Gadis itu memprotes William yang selalu saja seenaknya. Tidak bisakah ia memberitahu Teesha sehari sebelumnya jika ia akan menjemput Teesha? Agar gadis itu bisa bersiap tanpa harus bangun dengan perasaan kesal setiap William membangunkan tidurnya dengan paksa.
"Aku gak sempat ngeringin rambut aku loh, Wil." Teesha menyisir rambutnya yang masih basah, "Nanti-nanti kamu harusnya—"
Perkataan Teesha terhenti ketika William menghidupkan radio dan memutar musik dengan volume yang cukup keras. Teesha memandang William dengan tatapan bertanya. Ada apa dengan pria itu? Mengapa moodnya sangat buruk padahal hari sedang cerah seperti ini?
.
.
To be continued