"Oke, cukup." Ucap Teesha saat ia selesai mengikat rambutnya. Ia kembali berdiri di depan cermin. Kemeja putih dengan pita sebagai dasinya, dipadu dengan celana dan jaket jeans navy menyempurnakan penampilannya. Sneakers berwarna putih menjadi pilihan untuk Teesha hari ini. Rencananya ia akan pergi ke mansion keluarga Jaya untuk bertemu dengan William, meminta maaf kepada pria itu dan meluruskan semuanya.
Dengan langkah tak sabar Teesha segera turun dan meminta salah saru supir keluarga untuk mengantarnya kesana. Tidak perlu pamit pada Gavin, Teesha yakin kakaknya itu masih tertidur karena semalam ia pulang sangat larut sehabis lembur.
Pukul delapan pagi. Jalanan masih lenggang. Kendaraan pribadi pun masih bisa di hitung dengan jari. Mungkin orang-orang juga sedang beristirahat di akhir pekan seperti ini sebelum Senin kembali beraktivitas. Hari Sabtu begini sih jalanan biasanya hanya macet di sore hari sampai malam. Biasa, banyak orang yang sedang pacaran yang keluar di jam-jam itu.
Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, Teesha sampai di mansion Jaya. Ia melihat sosok Pak Didi, orang kepercayaan keluarga Jaya sedang menyirami bunga-bunga di taman depan. Dengan langkah riang, Teesha menghampiri pria yang sudah tak muda lagi itu.
"Pagi, Pak Didi." Sapa Teesha.
Pak Didi sedikit terkejut ketika melihat kehadiran Teesha, "Pagi, nona."
"William udah bangun?" Tanya Teesha tanpa basa-basi lagi.
"Sudah." Pak Didi mengangguk sambil tersenyum ramah, "Malah tuan muda sudah berangkat sekitar dua jam yang lalu."
Teesha memandang Pak Didi heran, "Berangkat? Kemana?"
Dan Pak Didi pun membalas dengan menatap nona muda dihadapannya tak kalah heran, "Loh? Apa tuan muda tidak bilang kalau mau pergi ke—"
Tin! Tin!
Pembicaraan mereka berdua terputus ketika suara klakson mobil yang sangat Teesha kenali mengudara. Mobil Toyota 86 milik William baru saja memasuki pekarangan mansion. Teesha tersenyum dan melangkah menghampiri mobil itu, tetapi di langkah ketiganya ia terhenti dengan senyuman yang memudar ketika melihat bukan William yang keluar dari dalam mobil mewah itu.
"Pak Didi, tolong siapkan mobil aku ya." Adriell berjalan menghampiri Pak Didi, "Mobil William payah."
Teesha masih memandang ke arah mobil William, mencoba menelisik dari jauh apa pria es itu ada di dalam mobilnya atau tidak?
"Cari siapa?" Teesha menoleh ketika ia menyadari jika Adriell tengah berdiri di sampingnya, memandangnya dengan tatapan penuh tanya.
"Aku—"
"Tunggu sebentar." Adriell melepas kacamata hitam yang sedari membingkai wajahnya, "Kamu adiknya Gavin itu kan?"
Teesha sedikit gugup, "I-iya." Apalagi ketika ia menerima tatapan tajam dari pria di hadapannya. Apa semua Jaya memang mempunyai mata tajam seperti ini?!
"Astaga, kenapa kamu ada disini?!" Suara Adriell yang meninggi membuat Teesha berjenggit. Ia sedikit takut apalagi ketika melihat raut wajah Adriell yang terlihat kesal.
Teesha berpikir mungkin William bercerita kepada kakaknya tentang kejadian kemarin. Dan ya, wajar saja jika sang kakak marah karena adiknya baru saja di acuhkan. Ingat saat Gavin kesal kepada William gara-gara membuat Teesha menangis? Mungkin begitu juga alasan Adriell kesal kepada Teesha. Tapi, sepertinya tidak mungkin jika William menangis.
Adriell melangkah menjauh dari Teesha, anak sulung Jaya itu kembali masuk ke dalam mobil milik William dan menyalakan mesin mobilnya.
"Ayo!" Seru Adriell ketika ia menurunkan kaca mobil di bagian penumpang.
Teesha melirik ke kanan dan kiri, memastikan jika Adriell memang sedang berbicara kepadanya, "Ya?"
"Pesawat mereka berangkat 2 jam lagi. Kita masih ada waktu!"
Teesha masih terdiam di tempat. Pesawat, katanya? Jadi, William benar-benar akan pergi? Sesaat terlintas perkataan William kemarin saat pria itu meminta jawaban dari Teesha dan mengatakan jika mereka sudah tidak punya waktu lagi karena ia akan pergi. Teesha pikir... Teesha pikir William berbohong soal itu, mengingat pria itu selalu melakukan berbagai cara agar apa yang ia inginkan terlaksana. Dan ternyata—
TIIIINNNNN! TIN!
Teesha tersadar dari lamunannya ketika Adriell menekan klakson mobil cukup kencang, "Kenapa malah melamun?! Ayo! Tunggu apalagi?!"
Teesha segera berlari menghampiri Adriell dan mengambil tempat duduk disamping pria itu. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
'Wil, tunggu aku.'
.
.
BRAK!
Gadis cantik berambut cokelat karamel itu segera berlari menembus kerumunan sesaat setelah ia turun dari mobil yang dikendarai Adriell sampai di bandara. Rambutnya menari tertiup angin. Entah sudah berapa kali ia ditegur oleh orang yang dilewatinya untuk berhati-hati agar tidak lagi menabrak orang lain tetapi tidak ia hiraukan. Fokus utamanya kali ini adalah William. Dimana ia harus menemukan pria es itu di tempat sebesar ini?!
Salahmu sendiri yang dengan bodohnya langsung pergi begitu saja tanpa bertanya dahulu kepada Adriell yang jelas-jelas tahu keberadaan William!
Setelah sepuluh menit berlari kesana kemari, Teesha akhirnya berhenti. Tangannya menumpu pada lutut. Gadis itu terengah, ia menundukan kepalanya sambil memburu oksigen. Jarang berolahraga membuatnya mudah kelelahan. Ia benar-benar lelah berlari menyusuri bandara mencari keberadaan William. Lihat, bahkan mata indahnya kini sudah berkaca-kaca.
Menghubungi William pun tidak ada gunanya karena ponsel si pangeran es itu mati. Sudah lebih dari sepuluh kali ia mencoba menghubunginya malah suara operator telepon lah yang berbicara.
Teesha kembali menegakan tubuhnya. Ia tidak boleh menyerah karena ini kesempatan terakhirnya untuk bertemu dengan William.
DUK!
"Ah!" Teesha memegang keningnya yang terasa sakit karena bertabrakan cukup keras dengan seseorang ketika ia berbalik.
"Maaf!" Ucap Teesha ketika melihat orang yang ditabraknya tengah berjongkok sambil memegang hidung. Sepertinya pria itu kesakitan juga.
Bukankah tadi kau sudah diperingatkan berkali-kali untuk hati-hati?!
"Kamu memang keras kepala!" Teesha terdiam saat pria itu mendongak dan menatap kearahnya, "Keras kepala dalam arti yang sebenarnya! Kepala kamu terbuat dari batu? Aduh, hidung ku sakit. Lagian kenapa kamu bisa ada disini?"
Teesha menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia tak percaya jika pria yang sedari tadi ia cari kini ada di hadapannya. Air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya tak dapat dibendung lagi. Ia menangis.
"Iya! Kepala aku emang terbuat dari batu! Batu beton!"
Sangat sulit untuk Teesha menemukan William karena terlalu banyak orang di bandara yang berlalu-lalang. Tetapi sebaliknya, cukup mudah bagi William menemukan Teesha. Berterima kasih lah kepada kumpulan para gadis remaja dan juga beberapa orang hanb melewati William tengah membicarakan seseorang yang terlihat seperti gadis SMA berlarian dan menabrak mereka.
Meskipun tidak yakin jika itu adalah Teesha, tetapi William pergi juga untuk menemukan gadis yang mereka bicarakan karena sungguh, ia masih berharap jika Teesha akan kembali padanya.
Dengan cepat William berdiri, ia mengusal pipi Teesha untuk menghapus air mata yang mengalir semakin deras di pipi mulusnya, "Kenapa kamu nangis?" Terlihat jelas jika ada kekhawatiran dari raut wajahnya.
"Menurut kamu kenapa?!" Teesha terisak, "Ponsel kamu di buang aja kalau gak berguna!"
William yang terlihat panik menuntun Teesha mencari tempat duduk karena kini mereka menjadi pusat perhatian. Salahkan gadis itu yang bisa menangis sangat keras jika saja William tidak menutup mulutnya.
.
.
To be continued