Teesha menerima helm yang diberikan oleh Rey lalu memasangnya dan segera naik ke atas motor milik pria itu. Sempat ia menoleh kembali ke arah William tetapi pria itu sudah tidak ada di tempatnya semula.
Ya, karena ia sudah pergi saat kau berlari dengan girangnya ke arah Rey. Tidak kah kau lihat raut kekecewaan dari pangeran es kami, Teesha?
Sebenarnya Teesha juga tidak enak telah mengatakan hal yang menurutnya menyakitkan seperti itu kepada William. Ia memang sering berdebat dengan pria itu dan membalas setiap perkataan pedas dari William, tetapi entahlah kali ini terasa berbeda. Ingin rasanya ia turun dari motor Rey dan pergi meminta maaf pada William. Tetapi jika begitu, urusan cinta-cintaan nya ini tidak akan pernah selesai.
William urusan belakangan. Teesha akan minta maaf pada pria itu besok.
"Jadi kita mau kemana?" Tanya Rey sedikit berteriak karena suaranya beradu dengan angin. Teesha yang sempat terdiam karena memikirkan William kembali memfokuskan dirinya.
"Nonton!" Seru Teesha sambil tersenyum lebar, "Aku mau nonton. Katanya ada film bagus di bioskop"
Rey tersenyum dibalik helm full face nya. Ia menarik gas di tangan kanannya lebih dalam, mempercepat laju kendaraan roda duanya. Beruntung jalanan hari ini cukup lenggang.
Mereka berhenti di salah satu mall terbesar di kota ini. Pria ash brown itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya ketika ia melihat Teesha yang sangat ceria hari ini. Lihat saja, senyum di wajah gadis itu tidak juga luntur semenjak mereka meninggalkan sekolah. Apa ini merupakan hal yang baik untuk Rey?
Rey membiarkan Teesha memilih film apa yang akan mereka tonton, dan pilihan gadis itu jatuh kepada film horror yang sedang naik daun saat ini. Film tentang penyerangan zombie yang diadaptasi dari game ini menarik perhatian Teesha sejak kemunculan trailernya. Setelah meyakinkan beberapa kali kepada Teesha, akhirnya Rey menyetujuinya dan segera membeli tiket untuk masuk ke dalam teater bioskop.
Baiklah, mari kita biarkan sepasang calon kekasih ini waktu berdua. Kita lihat apa yang sedang dilakukan pangeran es kita sekara—
BRAK!!
Astaga William! Kau bisa merusak pintu kamarmu yang mahal itu jika kau membantingnya begitu!!
William melempar tas nya ke sembarang tempat, membuka sepatu dan kaos kakinya lalu membiarkan alas kaki itu tergeletak begitu saja. Yang pertama kali ia lakukan adalah pergi ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang terasa panas. Entah kenapa emosinya berada di puncak paling atas ketika ia melihat Teesha menghampiri Rey, membuat kekalahannya menjadi sangat jelas saat ini.
Seharusnya ia sadar dengan tanda-tanda yang diberikan oleh Teesha, bahwa gadis itu sudah tidak memiliki perasaan apapun padanya sehingga William tidak perlu merasakan sesuatu yang membuatnya sangat tidak nyaman seperti ini. Jika saja, jika saja ia bisa membaca pikiran Teesha dari awal, mungkin ia tidak perlu repot-repot mengejar gadis itu.
William keluar dari kamar mandi dan terkejut ketika melihat Adriell tengah mengelus-elus pintu kayu kamarnya. Sang kakak terlihat sedang memperhatikan setiap detail dari pintu itu dan menghentikan kegiatannya ketika William memanggilnya.
"Mau apa kakak kesini?" Tanya William ketus. Maklum, suasana hatinya sedang tidak baik. Sangat tidak baik.
Adriell berjalan menuju sofa yang terletak di pojok ruangan, "Suara bantingan pintu kamu terdengar sampai bawah, Wil."
William memutar matanya malas, "Kalau gak ada yang penting, keluar dari kamar aku sekarang, Kak! Aku mau istirahat." Usir William.
"Ada yang mau aku tanya, Wil." Kata Adriell dengan wajah yang kini terlihat serius.
.
.
Setelah hampir dua jam, Teesha dan Rey keluar dari teather begitu film nya selesai. Mereka kembali membicarakan film horror action yang baru saja mereka tonton.
"Kalau di kota ini ada invasi zombie juga, gimana ya?" Teesha masih terbayang-bayang akan film yang baru saja mereka tonton. Membayangkan bagaimana caranya bertahan hidup dan menyelamatkan diri dari para zombie yang berkeliaran dimana-mana.
Rey mengendikan bahu, "Meskipun mustahil, tapi kayaknya aku bakalan coba buat bertahan hidup."
"Kamu bisa bawa mobil kan, Rey? Ajak aku. Aku gak mau lawan zombie-zombie itu sendirian."
Rey mengacak surai karamel Teesha gemas, "Pasti. Aku bakalan jadi orang pertama yang lindungin kamu dari mereka."
Oh, kau lupa satu hal. Masih ada Gavin yang pastinya akan menjadi orang pertama yang melindungi Teesha.
Mereka sepakat untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum pulang karena popcorn yang mereka makan tadi sama sekai tidak mengenyangkan. Sebuah restaurant Jepang menjadi pilihan mereka. Mereka mengambil tempat duduk di dekat pintu masuk karena malas mencari-cari tempat duduk yang lain.
Teesha membuka buku menu yang ada di hadapannya, kemudian memanggil salah satu pramusaji untuk mencatat pesanan ketika Rey sudah memilih makanannya.
"Terima kasih." Ucap Teesha ketika pramusaji kembali mengambil buku menu di atas meja.
"Kamu kelihatan senang, Teesha."
Teesha mengangguk, "Sangat, Rey." Gadis itu tidak berhenti tersenyum apalagi ketika pria di hadapannya juga tersenyum.
"Rey."
"Ya?"
Teesha menopang dagunya, "Kamu tahu, kamu adalah orang paling baik yang pernah aku temui."
"Kamu orang paling peka seantero galaksi, paling perhatian, paling bisa bikin aku senyum-senyum malu sama semua sikap kamu."
Rey kembali tersenyum ketika mendengar perkataan Teesha. Ia tahu, jika mungkin ia akan mendapatkan jawaban dari kesempatan yang dulu ia tanyakan sekarang.
"Kamu tahu gimana kerasnya usaha aku buat memastikan perasaan aku yang sebenarnya? Mungkin kamu belum tahu, tapi selama ini aku coba buat lupain semua perasaan aku untuk William."
"Dan kamu tahu hasilnya, Rey?" Teesha tersenyum lembut ke arah pria di hadapannya yang sedang menatapnya serius, "Percuma, gak berhasil."
"Aku sama sekali gak bisa lupain perasaan aku buat dia gitu aja. Maaf, Rey."
TAP!
William menghentikan langkahnya ketika Adriell berdiri di hadapannya menghalangi jalan. William menghela nafas jengah, kakaknya ini tidak henti-hentinya mengganggu dirinya sejak tadi. Tidak bisakah Adriell membiarkan William berkemas dengan tenang dan membiarkan adiknya itu beristirahat?
"Kenapa kamu gak bilang dari awal, Wil? Kalau aku tahu dari awal, aku gak akan mungkin langsung ngabarin ayah!"
"Kenapa kakak gak tanya dulu?" Pertanyaan William membuat sang kakak terdiam, "Makanya kalau apa-apa itu jangan gegabah."
"Tapi kamu menunjukan ketertarikan sama bisnis di acara kemarin."
"Bukan bisnis yang buat aku tertarik."
"Lantas ap— oh?" Adriell memandang William dengan tatapan tidak percaya yang super duper berlebihan, "Apa gadis itu? Dia adik Gavin itu kan?"
William memandang kakaknya datar. Ia kemudian membuka pintu kamarnya dan membuat gestur gerakan yang meminta Adriell untuk segera keluar.
"Oke, sekarang belum terlambat Wil. Biar aku yang jelasin sama ayah."
"Jangan." Cegah William saat Adriell akan keluar dari kamarnya.
"Huh?"
"Aku tetep pergi besok."
"Kenapa? Kamu kan sama sekali gak tertarik."
"Aku gak mau mengecewakan ayah."
"Wil, kamu berhak nentuin jalan kamu sendiri."
"Dan ini jalan yang aku pilih, Kak. Aku pilih untuk tidak mengecewakan ayah. Aku akan tetap pergi besok. Tolong mengerti."
.
.
Pukul tujuh malam, Rey mengantarkan Teesha pulang sampai ke rumahnya. Gadis itu masih tidak melunturkan senyumannya sedari tadi karena ia sudah berhasil meluruskan segala kegalauan nya. Ia jadi tidak sabar menanti hari esok untuk bertemu dengan William dan memulai semuanya dari awal dengan pria itu. Teesha bahkan sudah ingin mengucapkan selamat tinggal pada status 'jomblo' nya di awal masa SMA ini karena akan segera tanggal.
Menurutku, kau harus mengucapkan selamat tinggal untuk hal yang lain.
Teesha turun dari motor, membuka helm nya dan memberikannya kepada sang pemilik.
"Terima kasih untuk hari ini, Rey." Ucap Teesha.
"Aku juga berterima kasih karena kamu udah kasih aku kesempatan, Teesha."
Melihat senyum hangat dari pria di hadapannya Teesha jadi merasa tak enak karena telah menolak nya. Teesha berpikir, ia tidak salah ambil keputusan kan?
"Rey." Panggil Teesha.
"Ya—" Rey terkejut ketika tiba-tiba Teesha mempersempit jarak diantara mereka dan memeluknya dengan tiba-tiba.
"Kamu gak marah, kan?" Tanya Teesha.
Rey terkekeh, "Kenapa aku harus marah?" Pria itu membawa satu tangannya untuk membalas pelukan Teesha, sedangkan satunya lagi mengelus pelan rambut Teesha. Ini kesempatan terakhir, besok-besok Rey tidak akan mungkin bisa mengelus atau mengacak rambut Teesha seperti biasanya karena William pasti akan marah jika sesuatu miliknya disentuh orang lain.
"Maaf, udah ngecewain kamu."
Rey menggeleng, "Kamu sama sekali gak ngecewain aku. Aku yang dari awal minta kesempatan sama kamu dan aku tahu apa konsekuensinya, Teesha."
Teesha membuat jarak lagi diantara mereka, ia melepaskan pelukannya, "Lihat? Kamu orang terbaik, Rey."
"Lebih baik dari William?"
Teesha mengendikan bahu, "Emang dia baik?"
Dan kemudian mereka berdua tertawa bersamaan.
Ya, tertawalah Teesha selagi kau bisa. Karena aku tidak yakin jika esok kau bisa tertawa lepas seperti ini.
.
.
To be continued