Chereads / The Story of Us (Vol. II) / Chapter 34 - Dream Catcher

Chapter 34 - Dream Catcher

Tak seperti biasanya, William baru bangun dari mimpinya pukul sebelas siang. Acara yang diadakan kemarin malam selesai sekitar pukul dua belas. Tadinya ia hanya ingin bertemu Teesha di acara itu, hanya saja Gavin yang terus menempel pada adiknya membuat William menjaga jarak dari gadis karamel itu. Belum lagi Adriell yang terus mengenalkan William kepada para kolega ayahnya. Ia bahkan mengajarkan bagaimana cara membaca sikap orang lain, terlebih mereka adalah rekan sekaligus saingan bisnis keluarganya. William benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari Adriell karena kakaknya benar-benar semangat mengajarkannya dasar-dasar bisnis.

Sementara di sisi lain, Teesha juga terus berusaha melepaskan diri dari Gavin. Ia malas berurusan dengan para kolega ayahnya karena Teesha sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tetapi kakaknya menjadi over protektif ketika ia melihat kehadiran William di acara kemarin.

Setelah membersihkan diri, William keluar kamar dan pergi ke restauran hotel untuk sarapan sekaligus makan siang. Seumur hidupnya tidak pernah ia bangun begini siangnya karena hidupnya sudah sangat terstruktur dan terjadwal dengan tepat. Keluarga Jaya mempunyai sifat yang tepat waktu dan disiplin yang tinggi.

Dan kini efeknya sudah mulai terasa. Kepalanya sedikit pusing dan perutnya mulai perih karena belum makan apapun. Ternyata benar, sesuatu yang berlebihan itu sangat tidak baik.

"Silahkan." Salah satu pelayan restaurant tersenyum ramah ketika ia menyajikan makanan yang William pesan. William hanya melirik pelayan pria itu sekilas lalu menyantap makanannya karena ka sudah sangat kelaparan.

'Dua jam lagi kita pulang. Ada kejutan yang aku siapkan di mansion megah kitaaa~'

Sial. Bahkan William membaca pesan dari Adriell dengan nada bicara khas kakaknya yang selalu terdengar ceria dalam kondisi apapun. William kemudian melempar ponselnya pelan di atas meja dan kembali menyantap makanannya.

Sementara itu di salah satu kamar di lantai tiga, seorang gadis terlihat sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telpon. Ya, Teesha kini tengah asyik berbincang dengan Rey. Jika ku perhatikan sudah lebih dari satu jam mereka berbicara. Segala hal sudah mereka bicarakan, mulai dari kabar masing-masing, menanyakan cuaca, bagaimana pesta kemarin, bahkan kini mereka membicarakan hal-hal absurd seperti ada tikus sebesar kucing di dalam selokan di depan rumah Rey.

Tidak hentinya tawa meluncur dari bibir Teesha. Bahkan gadis itu sesekali tersipu malu jika Rey mengatakan sesuatu yang manis. Teesha memang sudah terbiasa dengan itu, tetapi terkadang sebuah serangan mendadak membuatnya tidak siap untuk menerimanya.

"Mimpi buruk?" Tanya Teesha ketika Rey mengatakan jika akhir-akhir ini tidurnya tidak nyenyak. Teesha mendengarkan dengan seksama saat Rey bercerita kerap kali ia terbangun dari tidurnya di tengah malam gara-gara bermimpi buruk. Ia bahkan bergidik ngeri membayangkannya.

"Kamu gak takut setiap hari mimpi buruk gitu?"

"Nggak." Suara Rey disebrang sana terdengar sangat lembut, "Malah ada yang lebih menakutkan lagi dari itu, Teesha."

TING! TONG!

Teesha menoleh ke arah pintu ketika ia mendengar bel kamarnya berbunyi, "Ada yang lebih menakutkan? Apa itu?"

Gadis yang awalnya berbaring santai di atas ranjang king size itu beranjak menuju pintu. Ia mengintip di lubang kecil pintu untuk melihat siapa yang ada diluar sana.

William?

"Iya. Lihat kamu pacaran sama orang lain." Teesha menghentikan gerakannya ketika ia hendak memutar gagang pintu saat mendengar suara Rey, "Itu bakalan jadi mimpi terburuk aku, Teesha."

Teesha terpaku di tempatnya. Ia berusaha mencerna perkataan Rey yang kini membuatnya jadi tidak enak hati.

Rey. Pria baik hati itu ternyata masih tidak mengubah perasaannya. Teesha merasa jahat karena sudah menyia-nyiakan pria seperti Rey. Mungkin Divinia benar, untuk apa mengharapkan sesuatu yang tidak pasti sedangkan di sisi lain ada sesuatu yang jelas-jelas tidak akan mengecewan. Tetapi kini Teesha merasa ragu. Jika itu dulu, mungkin ia memang mengejar sesuatu yang tidak pasti. Tetapi lain hal nya dengan sekarang. Bukankah yang ia inginkan sudah pasti? William bahkan terang-terangan mengatakan jika ia menyukainya. Bukankah itu membuktikan jika apa yang dulu ia kejar adalah pasti?

Itu dulu, kan? Sesuatu itu dulu memang kau kejar, tetapi apa sekarang juga kau masih mengejarnya? Biar ku beritahu, Teesha. Sudah terlalu lama kau menggantung perasaan Rey. Sudah terlalu lama juga kau terjebak dengan segala ketidak jelasan diantara kau, Rey, dan William. Bukankah sudah saatnya kau memilih? Menurutku, sudah saatnya kau memberikan jawaban. Jangan sampai mengulur waktu lebih lama lagi. Aku tidak mau melihatmu kehilangan dua-duanya.

TING! TONG!

"Teesha, kamu masih disana?" Suara bel pintu dan juga Rey kembali menyadarkan Teesha dari lamunannya.

"A-ah, iya Rey." Gadis itu memutar gagang pintu dan mendapati William yang berdiri di depan kamarnya sambil memasang wajah datar. Pria itu bahkan tidak berbicara satu patah kata pun dan melangkah pergi.

"Nanti aku hubungi lagi ya." Teesha yang mengerti kode dari William segera mematikan sambungan telponnya dan mengikuti langkah pria itu.

.

.

William membawa Teesha keluar dari hotel dan mengajaknya ke sebuah tempat pusat oleh-oleh. Pria itu terlihat berjalan dengan santainya, berbanding terbalik dengan Teesha yang terlihat rusuh menghindari matahari yang bersinar terik menusuk kulit putihnya. Ia bahkan berlari-lari kecil menuju tempat yang teduh sambil terus mengekori William. Jika saya Teesha tahu ia akan diajak berjalan santai di pinggir pantai begini, setidaknya ia bisa mengoleskan tabir surya dahulu di tubuhnya.

"Akhirnya sampai juga." Teesha bernafas lega ketika akhirnya mereka sampai di tujuan. Panas yang sedari tadi menempel di tubuhnya perlahan menghilang berkat penyejuk ruangan yang terpasang di setiap sudut toko.

Banyak barang yang dijual disini. Seperti tirai yang dibuat dari kerang, makanan-makanan ringan khas tempat ini, pakaian pantai, sandal, dan juga— tunggu sebentar. Mata Teesha terfokus pada satu titik. Bukankah itu dream catcher? Kalian tahu kan, Benda yang berbentuk bulat dengan jaring-jaring di tengahnya yang dipercaya bisa menangkal mimpi buruk? Akhirnya Teesha mendapatkan sesuatu juga untuk buah tangan.

"Apa itu?" Teesha sedikit terkejut ketika William tiba-tiba muncul dibelakangnya.

"Dream catcher. Katanya bisa menangkal mimpi buruk." Teesha dengan cepat mengambil ponsel di sakunya dan mencari nama seseorang di kontak teleponnya. Ia menekan tombol 'panggil' ketika menemukan nama yang ia cari.

William menautkan alisnya, "Kamu mimpi buruk?"

"Bukan buat aku." Teesha mengangkat sebelah tangannya ketika ia mendengar sapaan di ujung telepon, menghentikan William yang akan kembali berbicara, "Rey, aku punya sesuatu buat kamu. Kamu lebih suka warna apa? Cokelat? Atau hijau? Yang hijau lebih bagus. Kapan kamu ada waktu luang? Aku mau ngajak kamu pergi—"

Gadis itu pergi sambil membawa dua buah dream catcher menuju meja kasir, meninggalkan William yang masih berdiri mematung di tempatnya. Pria itu bahkan terlihat mengepalkan tangannya.

Apa ini adalah akhirnya? Apa William sudah tidak punya harapan lagi? Apa William sudah kalah?

.

.

To be continued