•-----•
Ketika hati sudah bicara, dan Allah SWT berkehendak. Yang tak mungkin menjadi mungkin. Percayalah.
•-----•
Setelah pertemuan dengan Fathan, Aisyah menjadi sosok yang lebih pendiam dari sebelumnya. Padahal Aisyah adalah wanita periang dan penuh tingkah menyenangkan.
Pengungkapan isi hati Fathan tempo hari, membuat Aisyah berpikir bahwa dirinya tak sendiri selama ini. Bahkan ada Arnan yang memang setia menunggunya. Ada Fathan yang setia menuntunnya ke jalan yang lurus.
Lantas apa yang Aisyah lakukan selama ini? Wanita itu hanya memikirkan Jeffry. Hatinya cuma tahu dia, sosok laki-laki yang sudah menjadi suami orang lain.
Apakah Aisyah harus mengubur dalam-dalam rasa ini? Rasa yang tak mungkin bisa Aisyah dapatkan lagi. Rasa yang akan membawa Aisyah ke dalam delusi obsesi menyesatkan.
Sudah seharusnya Aisyah mendengarkan kata-kata Arnan atau Fathan dari awal. Sebenarnya, Aisyah pulang ke Edinburgh saat pernikahan Jeffry dan Khuma adalah karena ingin bersembunyi dari rasa sakit hati. Wanita itu menghindar.
Tapi, saat itu perasaan Aisyah masih begitu besar untuk Jeffry dan membuatnya kembali mengunjungi Indonesia dengan alasan pekerjaan. Padahal hanya ingin bertemu dengan Jeffry.
Namun terlepas dari itu semua. Aisyah bukanlah wanita tega yang akan terang-terangan merebut Jeffry dari Khuma. Dia hanya penasaran, apa yang Jeffry lihat dari seorang Khuma sampai sebegitunya. Sedangkan Jeffry tak pernah melihat ke arahnya sekali pun.
Sampai pada akhirnya, Aisyah memberanikan diri menceritakan bagaimana perasaannya pada Jeffry melalui Khuma waktu itu. Dan Khuma tak marah, apalagi membencinya. Perempuan itu benar-benar memiliki hati yang tulus mencintai Jeffry, menurut Aisyah.
Dari situ, Aisyah mulai berpikir untuk berhenti ditambah pertemuannya dengan Fathan. Aisyah bisa melihat bagaimana Fathan tulus mencintainya. Wanita itu tersentuh oleh kejujuran Fathan.
"Aku nggak boleh kayak gini terus. Aku udah sangat berdosa dengan mencoba untuk bunuh diri waktu itu. Dan niat jahat merebut Jeffry dari istrinya..." monolog Aisyah di depan kaca rias.
Aisyah seharusnya ada pemotretan sore ini, tapi seperti tak ada semangat akhirnya dia pun hanya diam duduk di depan meja rias sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
"Aku akan ke rumah Jeffry dan minta maaf sama mereka berdua. Terutama Khuma." Aisyah mulai merubah dirinya.
Detik berikutnya, Aisyah membuka laci yang ada di meja rias itu. Dikeluarkannya selembar amplop. Dan dibukanya, terdapat kertas berisi kata-kata yang membuat Aisyah menitikkan air mata.
"Mungkin ini adalah teguran dari Allah, agar aku berhenti berbuat jahat."
Ya, isi kertas tersebut adalah riwayat kesehatan Aisyah yang mengatakan bahwa wanita itu mengidap penyakit gagal ginjal. Yang berarti Aisyah harus sering cuci darah untuk menetralisir fungsi ginjalnya.
Pantas saja, Aisyah jadi lebih diam dan tak banyak tingkah seperti biasanya. Juga sudah tak pernah mencari tahu tentang Jeffry diam-diam.
Aisyah hidup sebatang kara, kedua orang tuanya sebenarnya sudah meninggal dunia. Tapi dia mengatakan pada Jeffry kalau Ayah dan Ibunya ada. Hanya Fathan yang tahu kebenaran ini.
"Maafkan aku Jeff, Khuma..." lirih Aisyah.
Tiba-tiba pintu unit apartemen Aisyah ada yang mengetuknya, juga bel berbunyi.
Aisyah beranjak dari duduknya dan meletakkan suratnya di atas meja rias. Ternyata ada Arnan, mantan kekasih Aisyah yang masih sering berkunjung untuk melihat keadaan Aisyah.
"Asslamu'alaikum, Aisyah..." sapa Arnan dari ambang pintu sambil tersenyum.
Aisyah berusaha tersenyum. "Wa'alaikumsalam, Nan. Maaf ya selalu ngerepotin kamu gini."
"Nggak apa-apa, gimana? Udah siap? Yuk..." sahut Arnan.
Ya, ternyata Arnan sudah mengetahui penyakit Aisyah saat wanita itu dirawat di Rumah Sakit waktu itu. Arnan sempat tak percaya tapi setelah melihat dan mendengar penjelasan dokter barulah dia percaya.
Aisyah juga tahu, kalau Arnan selama ini hanya kasihan dan simpati padanya. Jadi Aisyah tak ingin berharap lebih pada perasaannya terhadap Arnan. Padahal tanpa Aisyah sadari, Arnan memang benar-benar masih mencintai wanita itu.
"Sebentar ya, Nan. Aku siap-siap dulu," jawab Aisyah.
Arnan menautkan kedua alis matanya setelah memerhatikan wajah Aisyah. "Kamu abis nangis ya? Kenapa? Hm?"
"Ih apaan sih, kamu sok tahu deh Nan. Aku nggak nangis, tadi abis beres-beresin baju terus kelilipan jadi merah matanya," sahut Aisyah berbohong.
Arnan tersenyum. "Kamu tuh paling nggak bisa bohong sama aku, Aisyah. Ya udah nggak apa-apa kalau belum mau cerita."
"Nan...." lirih Aisyah dengan senyum kecil terpatri di wajah cantiknya.
"Ya udah masuk dulu, aku ke kamar mau ganti baju," lanjut Aisyah.
Arnan mengangguk dan masuk ke dalam, lalu duduk di ruang tamu. "Pintunya nggak usah ditutup, Aisyah."
Mengangguk mengerti, Aisyah membiarkan pintu utama terbuka sedikit. Aisyah paham maksud Arnan, kalau lawan jenis dalam satu ruangan itu tak boleh.
Beberapa menit kemudian, Aisyah sudah berganti pakaian. Kali ini wanita itu mengenakan hijab. Walau masih amatir, tapi Aisyah terlihat begitu anggun. Hingga membuat Arnan tak melepaskan pandangannya karena terpesona.
"Nan? Hey..." ucap Aisyah sambil melambaikan kedua tangannya.
Arnan tersentak dari lamunanya dan tersenyum kikuk. "Kamu cantik pakai hijab itu."
Tersipu malu, Aisyah menyentuh hijab segi empat yang dia kenakan. "Aku mau belajar pakai hijab mulai sekarang, Nan."
"Alhamdulillah. Akhirnya kamu mau berhijrah Aisyah. Nggak apa-apa, pelan-pelan aja dulu. Bertahap dan terus istiqomah. Aku akan dukung kamu terus," sahut Arnan.
Aisyah mengangguk. "Makasih ya Nan."
"Iya, ya udah ayo kita berangkat. Nanti buka puasa di rumah sakit aja ya? Kita mampir beli makan dulu," ucap Arnan.
"Kamu nggak apa-apa, Nan? Kan cuci darah itu lama. Kamu nggak bosen?" tanya Aisyah. Mereka berdua melangkah bersama menuju parkiran mobil.
Arnan yang berjalan di samping Aisyah menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak, tenang aja. Nanti aku bisa terawehan di masjid sana sambil nunggu kamu selesai."
Aisyah sangat bersyukur. Allah masih menyayanginya dengan menghadirkan Arnan di sisinya. Bagaimana jadinya bila tak ada Arnan? Aisyah akan sangat kesepian menjalani rutinitas barunya itu -cuci darah.
"Aku nggak tau lagi mau ngomong apa. Intinya makasih banyak, Nan.."
"He'emmm..." sahut Arnan dengan senyuman manisnya.
Tak butuh waktu lama, Aisyah dan Arnan tiba di rumah sakit.
Dokter Puri, nama dokter yang menangani Aisyah sampai menganggap Arnan itu adalah suami Aisyah. Sebab Arnan selalu menemani Aisyah.
"Beruntung ya mba, suaminya setia nemenin mba. Jadi mba semangat cuci darahnya.." ucap Dokter Puri.
Aisyah hanya tersenyum menanggapinya. Dia tak tahu harus menjawab apa. Tapi, apakah boleh dia berharap lebih dengan mengamini ucapan sang dokter?
Di mana Arnan? Arnan sedang melaksanakan sholat teraweh.
Tanpa terasa, Aisyah selesai dengan kegiatannya bertepatan Arnan menghampiri wanita itu.
"Gimana? Udah selesai ya?" tanya Arnan.
Aisyah mengangguk. "Udah. Kamu udah makan?"
"Belum, nanti aja bareng sama kamu. Kita makan di mobil atau di taman rumah sakit?"
"Terserah kamu aja, Nan."
"Tapi kamu udah sholat isya belum? Sholat dulu ya kalau belum..." sahut Arnan.
Aisyah mengangguk mengerti.
Sebelum ke rumah sakit, Arnan sudah membeli beberapa makanan untuk dimakan Aisyah dan dirinya. Tapi, Aisyah belum mau makan jadi Arnan menunggunya.
Di taman rumah sakit.
"Aisyah, makannya yang banyak. Itu kenapa nggak diabisin?" Arnan gemas dengan wanita di sampingnya, sebab makannya sangat sedikit.
Aisyah menggelengkan kepala. "Aku enek, Nan. Buat kamu aja deh."
"Pengaruh obat ya? Hm?... kamu mau makan yang lain? Biar aku beliin sekarang."
"Nggak Nan, serius deh aku bukannya nggak suka sama makanannya tapi mulutku nggak enak."
Arnan meletakkan makanannya di atas meja. Mereka berdua duduk di kursi panjang yang ada meja di depannya.
"Aisyah.. aku tau ini mungkin bukan waktu yang tepat. Tapi, aku nggak mau kelamaan dan kamu berubah pikiran nantinya."
Aisyah menyerengitkan dahi. "Maksud kamu apa?"
"Sebentar, bismillahirrohmanirrohim..."
Arnan menjeda ucapannya tiga detik.
"Kamu, mau nggak jadi istri aku? Ah, nggak bukan gitu. Jadi istri aku ya? Jangan nolak," ucap Arnan sedikit gugup.
Dan jatohnya seperti memaksa. Tapi bukan itu maksudnya. Arnan pun menjadi serba salah.
"Aduh Aisyah, gimana ya? Aku tau, aku nggak romantis. Ngelamar kamu di taman, nggak ada bunga apalagi kejutan. A—"
"Aku mau, Nan," jawab Aisyah lantang.
Arnan terdiam sebantar, mencerna ucapan Aisyah.
"Aisyah?"
Aisyah mengangguk dan tersenyum manis.
"Alhamdulillah, ya Allah. Aisyah kamu serius?"
"Iya Nan. Aku mau jadi istri kamu." Aisyah menunduk malu.
Bagaimana bisa Aisyah menolak? Wanita itu sangat bersyukur atas rahmat dan berkah dari Allah SWT. Seorang Arnan, yang sudah pernah dia sakiti hatinya malah melamarnya.
Arnan beranjak dari duduknya dan berjingkrak riang. "Terima kasih ya Allah, akhirnya penantianku terjawab."
"Ternyata hatiku hanya tahu kamu, Aisyah..."
Ya, benar. Bahkan Arnan sampai menyusul Aisyah ke Edinburgh saat itu. Walau banyak rintangan yang Arnan hadapi, dia tak menyerah. Pertemuannya dengan Khuma, membuat Arnan semakin yakin dengan perasaannya terhadap Aisyah.
"Ya Allah, terima kasih. Aku bersyukur atas Arnan yang melamarku. Maafkan hambamu ini Ya Allah, dan terima lah taubatku aamiin Allahumma aamiin," batin Aisyah.
Arnan dan Aisyah saling bertukar pandang, lalu tersenyum satu sama lain. Akhirnya dua insan tersebut bertemu dengan titik penyempurnaan agama yaitu menikah.
Bagaimana dengan Fathan? Mungkin Aisyah bukan jodoh laki-laki itu. Semoga saja Fathan mendapatkan jodoh yang lebih baik. Aamiin.
•-----•