•-----•
Empat bulan kemudian.
Jeffry baru saja tiba di kediamannya dari kantor, sekitar pukul 21.20 WIB. Setelah ia mandi dan berganti pakaian tidur, Jeffry langsung bergegas ke kamarnya untuk menemui sang istri dan juga calon anaknya.
Sambil membawa Fetal Doppler --alat ultrasound versi mini seperti stetoskop yang dapat digenggam guna mendengarkan detak jantung bayi yang masih dalam kandungan Khuma. Jeffry berjalan dengan perlahan, agar istrinya itu tak bangun.
Ya, malam ini tidak seperti biasanya Khuma sudah tidur lebih dulu. Mungkin ia kelelahan, maklum saat ini Khuma tak sendirian tapi ia harus selalu membawa si buah hati setiap saat. Dan Jeffry mengerti akan hal itu.
Jeffry tiba di sisi ranjang, lebih tepatnya ia duduk di samping Khuma. Dengan senyum manis yang terpampang di wajah tampannya, Jeffry mendekatkan alat tersebut pada perut Khuma yang sudah membuncit. Menggemaskan bila Jeffry melihatnya.
Tangan Jeffry mulai menjelajah permukaan perut istrinya itu, sambil menajamkan telinganya untuk mendengar detak jantung si buah hati. Dan ternyata benar, ada rasa kebahagiaan tersendiri saat melalukan itu.
Senyum di wajah Jeffry tak henti-hentinya terukir kala ia mendengar detak jantung calon anaknya. "Assalamu'alaikum jagoan Abi..." bisik Jeffry.
Terlihat Khuma tak merasa terusik sama sekali. Bahkan ibu hamil itu malah menyunggingkan senyumnya dengan mata yang masih terpejam. Entah ia sedang bermimpi indah atau menyadari kalau suaminya sedang berinteraksi dengan si buah hati.
"MasyaAllah, kedengerannya kamu aktif ya nak di dalam sana. Sehat terus ya sayang, Bundanya juga..." ucap Jeffry lalu mencium dahi Khuma cukup lama --tiga detik.
Satu tangan Jeffry masih betah mengelus pelan perut Khuma, dan itu sudah menjadi rutinitas setiap malam bagi calon Ayah itu. Khuma pun nyaman dan bisa tertidur nyenyak bila Jeffry melakukannya.
Saat ini kandungan Khuma sudah memasuki bulan ke-6 yang berarti sebentar lagi si buah hati akan lahir ke dunia. Bulan ini pun, Khuma sudah lebih jarang menginginkan sesuatu yang kerap kali membuat Jeffry begadang untuk mengatasinya.
Di mata Jeffry, Khuma juga lebih terlihat lucu dan menggemaskan dengan perut buncitnya. Bahkan Khuma terlihat cantik baginya. Bagaimana tidak? Istri salehahnya itu memancarkan aura ibu hamil yang luar biasa.
Tak jarang, Jeffry kerap kali cemburu bila Khuma tersenyum pada Jafar --sepupu Khuma, apalagi dengan Arnan. Ya Allah, Jeffry bisa berubah seperti anak kecil bila sudah merajuk dan membuat Khuma kewalahan.
Menggeliat pelan, Khuma mengerjapkan matanya lalu tersenyum kala melihat Jeffry menatapnya dengan mata membentuk bulan sabit.
"Keganggu ya? Maafin mas ya sayang..." ucap Jeffry sambil mengusap kepala Khuma pelan.
Khuma menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak kok, aku haus."
"Tunggu sebentar, biar mas ambilin." Jeffry menuangkan air mineral ke dalam gelas yang ada di nakas samping ranjang.
Setelah Khuma selesai minum, ia merasakan kalau Jeju menendang-nendang perutnya. "Astgahfirullah."
"Kenapa sayang?" tanya Jeffry panik.
Khuma menggeleng pelan dan tersenyum. "Aku nggak apa-apa mas. Ini si Jeju kayaknya bangun deh, dia nendang-nendang gitu."
Jeffry menautkan kedua alis matanya. "Beneran?"
"Coba sini tangan mas, terus rasain deh..." jawab Khuma sambil meraih satu tangan Jeffry dan ia letakkan di atas perutnya.
Detik berikutnya, Jeffry tersenyum lebar dan berkata, "ya Allah... ini beneran terasa banget. Kamu kesakitan nggak Bun?"
"Nggak kok. Aku malah seneng kalau Jeju aktif di dalam sana. Tandanya dia sehat." Khuma tersenyum dan menyenderkan kepalanya pada dada bidang milik Jeffry.
Posisinya Jeffry memeluk Khuma dari belakang sambil mengelus perut istrinya itu dengan penuh kasih sayang. "Pasti capek ya tiap saat bawa-bawa jagoan kita?"
Ya, terakhir kali Khuma melakukan USG menurut Dokter, bayi yang tengah ia kandung berjenis kelamin laki-laki. Jadi Jeffry sangat antusias setelah mendengar itu.
"Capek sih iya mas, tapi capeknya itu nggak sebanding sama rasa bahagia aku sebagai calon Ibu. Aku nggak sabar nunggu Jeju lahir ke dunia."
"Kira-kira dia mirip siapa ya nanti?"
Jeffry tersenyum lalu menelusup ke samping dekat tengkuk Khuma. Dan membisikkan sesuatu. "Yang jelas... mirip kita sayang. Atau mirip mas aja ya biar makin ganteng."
Terkekeh, Khuma mengubah posisinya menjadi menghadap Jeffry. "Kenapa sekarang mas kepedean banget sih? Aku kan jadi gemes..." ucapnya lalu mencubit pipi suaminya pelan.
"Kamu lebih gemesin Bun... apalagi perut buncitnya," sahut Jeffry sambil memeluk istrinya gemas.
"Mas jangan kenceng-kenceng, Jejunya nggak napas nanti."
"Ya Allah, mas lupa." Jeffry melepaskan pelukannya dan mengusap perut Khuma. "Maafin Abi ya sayang... abisnya Abi gemes banget sama Bunda kamu."
Jeffry beralih mengecup singkat dahi Khuma. "Ya udah, lanjut tidur yuk. Oh iya tadi siang mas beli alat buat dengerin detak jantung Jeju. Kita mainin ya besok, kebetulan besok mas libur. Mas luangin waktu khusus buat kamu dan Jeju..."
"Iya mas..." sahut Khuma lalu tersenyum.
•-----•
Di malam yang sama di kediaman keluarga Khuma, lebih tepatnya terfokus pada sosok Fathan yang tengah melamun sendirian di dalam kamarnya. Apa yang membuatnya begitu terpuruk?
Ternyata, sebulan setelah ia mendapat jawaban atas ajakan menikah dengan Nabila, Fathan dan wanita itu mengalami lika-liku yang biasanya dialami oleh pasangan kekasih.
Seharusnya bulan ini mereka berdua menikah, tapi tiba-tiba saja Nabila tidak merespon apa pun yang Fathan bicarakan mengenai hubungan mereka ke depannya. Terkesan, bahwa Nabila seperti menghindari topik tersebut.
Sudah tiga minggu Fathan tidak mendapat kabar dari Nabila, wanita itu bahkan mengundurkan diri dari perusahaan Jeffry. Sebenarnya ada apa dengan Nabila?
"Pak Jeffry, sebelumnya saya mau minta maaf atas kelancangan yang akan saya perbuat."
Di ruangan Jeffry, Nabila baru saja memberikan laporan keuangan bulan itu pada atasannya. Biasanya setelah menyerahkan berkas, Nabila akan segera meninggalkan ruangan tapi tidak kali ini. Membuat Jeffry bertanya-tanya.
Menautkan kedua alis matanya, Jeffry tak memikirkan apa-apa selain maksud ucapan Nabila. "Apa maksudnya? Saya nggak ngerti."
"Saya mau tanya ke Bapak. Apa Pak Jeffry pernah menaruh hati ke saya? Sedikit pun gitu Pak..." ucap Nabila dengan percaya dirinya.
Apa-apaan wanita itu? Apa maksudnya menanyakan hal itu pada Jeffry? Jeffy pun berusaha tenang dan mencoba mengabaikan ucapan wanita itu.
Menarik napas pelan. "Kamu bisa keluar sekarang juga. Saya anggap, kamu nggak pernah mengatakan hal itu."
"Cepat keluar!" seru Jeffry sambil menahan emosi.
Bisa-bisanya Nabila menanyakan hal itu. Pertama, Jeffry hanya mencintai satu wanita yaitu Siti Khumayroh Bilqis. Kedua, Jeffry sangat menyesal telah mengenalkan Nabila pada Fathan. Apalagi ia baru mendapat kabar kalau Nabila minggu lalu menerima lamaran Fathan.
Nabila menggigit bibir bawahnya dan meremas kedua tangannya. Dengan berani ia berkata, "saya cuma pengen tau Pak. Apa selama ini Bapak pernah suka sama saya? Karna Bapak udah baik banget sama saya. Bapak juga nolongin saya waktu ada yang mau berbuat jahat ke saya waktu itu."
Memang benar, Jeffry menyelamatkan Nabila tiga hari setelah lamaran Fathan waktu itu. Dan sejauh fakta yang ada, Nabila ternyata menyukai Jeffry sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di perusahaan milik Jeffry. Siapa yang tidak terpesona oleh laki-laki saleh seperti Jeffry Ibnu Bukhari?
Namun sepertinya sikap baik Jeffry disalah artikan oleh Nabila. Perlu diingat, Jeffry baik pada siapa saja yang memang membutuhkan pertolongan. Bukan berarti Jeffry menaruh hati pada Nabila kan?
"Asal kamu tau, saya hanya menolong orang yang lemah. Jangan salah paham, tolong... Saya hanya mencintai satu wanita, yaitu istri saya Siti Khumayroh Bilqis yang sebentar lagi akan menjadi Ibu dari anak saya."
Jeffry dibuat pusing oleh Nabila. Tapi, sampai detik itu juga Jeffry tak berpikiran jelek pada wanita itu. Mungkin Nabila hanya salah paham atas tindakannya tempo hari, menurutnya.
"Seharusnya kamu berpikir lagi untuk mengambil kesimpulan seperti ini. Apa kamu nggak mikirin gimana perasaan Fathan? Pikir baik-baik, gimana respon Fathan kalau tau calon istrinya menanyakan hal tadi ke suami adiknya sendiri?" Jeffry menghela napas pelan.
Nabila pun baru menyadari, bagaimana bisa ia berpikiran seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi? Yang namanya cinta pada pandangan pertama, sedikit sulit untuk dilupakan. Walaupun ia sudah membuka hati untuk Fathan.
"S-saya, minta maaf Pak..." lirih Nabila.
Sejujurnya Jeffry tidak hanya sekali atau dua kali mendapat pertanyaan seperti itu. Apa ia harus menjadi orang apatis? Sebab, menjadi orang baik selalu disalah artikan. Sungguh, Jeffry hanya mencintai Khuma.
"Pergi sekarang juga. Saya nggak mau ada omongan-omongan yang membuat istri saya sedih. Saya tunggu surat pengunduran diri kamu di meja saya siang ini!" ucap Jeffry mutlak.
Daripada merasa kasihan pada Nabila dan menjadikannya wanita yang akan disalahkan banyak pihak, lebih baik Jeffry menjauhkan Nabila dari sekitarnya. Sebab, dibiarkan pun bisa saja suatu saat nanti akan jadi boomerang untuk keluarga kecil Jeffry.
Sejak saat itu, Nabila mulai berbeda. Dan Fathan baru menyadari seminggu sebelum Nabila menghilang. Sebenarnya apa yang Nabila pikirkan?
"Fath, Bunda liat kamu lebih sering ngelamun. Ada apa hm?" tanya Bunda Fatmah yang daritadi mengetuk pintu putranya tapi tak ada sahutan.
Ternyata Fathan sedang melamun, dan membuat Bunda Fatmah menghampirinya.
Fathan dengan ekspresi sedihnya menatap Bunda Fatmah. "Bun... apa Fathan pernah ngelakuin kesalahan besar ya? Atau Fathan nggak berhak bahagia?"
"Pertama, Fathan ditinggal nikah sama Aisyah... cinta pertama Fathan. Kedua, saat Fathan udah buka hati lagi dan ngelamar Nabila terus diterima... kenapa Nabila ngilang nggak ada kabar, Bun?"
Fathan menangis. Laki-laki menangis bukan berarti lemah kan? Fathan hanya tak tahu lagi harus mengekspresikan perasaannya seperti apa. Dan Bunda Fatmah pun mengerti, ia memeluk Fathan dengan sayang.
"Menangislah nak. Bunda tau, kamu udah berusaha sejauh ini. Kalau Nabila emang jodoh kamu, kalian berdua akan dipertemukan lagi dan dipermudah jalannya."
"Masih ada Bunda dan Ayah, nak. Sudah jangan terlalu terpuruk dengan keadaan. Kamu juga punya Allah. Mengadu pada-Nya dan insyaAllah akan ada jalannya nanti..."
Mendengar ucapan Bunda Fatmah, membuat Fathan sedikit lega dan merasa nyaman. Memang, Bunda Fatmah adalah tempat bersandar yang paling nyata.
•-----•