•-----•
Dalam hidup selain sabar, pelajaran yang bisa kita dapat adalah rasa ikhlas. Bukan sekadar merelakan sesuatu pergi atau hilang, tapi menerima apa pun atau keadaan yang membuat kita bisa kapan saja menyerah.
Salah satunya; kehilangan seseorang yang begitu teramat kamu cintai selama ini. Seakan hanya dia alasan kamu menjalani hidup. Walau sebenarnya, hal itu tak baik untuk dilakukan. Sebab ketika mencintai, resiko umum yang kamu ambil akan mengikuti seiring bertambahnya cinta itu sendiri --sakit hati, kecewa dan sebagainya.
"Innalillahi wainnailaihi roji'un," ucap Jeffry sambil memandang Arnan yang tengah tertunduk menyembunyikan tangisnya.
Beberapa menit lalu, Dokter baru saja memberi kabar kalau calon anak yang tengah dikandung oleh Aisyah meninggal dunia. Ya, Aisyah mengalami keguguran di usia kandungan memasuki dua minggu.
Ternyata kandungan Aisyah begitu lemah, dikarenakan penyakit yang dideritanya. Untuk saat ini, istri Arnan itu belum mengetahui semuanya sebab masih tak sadarkan diri. Hal itulah yang membuat Arnan khawatir sekaligus kepikiran harus bagaimana ke depannya.
"Allah punya maksud lain untuk kalian berdua. Percayalah, Arnan ... kalau dibalik semua musibah ini pasti ada hikmahnya. Maaf bukan maksud saya sok tahu, tapi rencana Allah itu nyata." Jeffry mencoba menenangkan Arnan. Walau ia belum pernah ada diposisi Arnan saat ini.
Mereka berdua --Jeffry dan Arnan tengah duduk di kursi dekat ruang ICU. Mendengar ucapan Jeffry, membuat Arnan sedikit tenang. Setidaknya ia punya teman bicara saat ini.
"Kamu benar Jeff. Mungkin ini udah takdir yang Allah kasih buat pernikahan saya sama Aisyah."
Saya merasa sangat khawatir dan kasihan dengan Aisyah, kenapa harus dia yang mengalami penyakit itu? Seandainya bisa dibagi, saya bersedia menanggungnya. lanjut Arnan membatin.
Mengenai penyakit Aisyah, hanya Arnan yang tahu. Jadi ia menghargai keputusan istrinya untuk menyembunyikan ini sampai Aisyah sendiri yang memberitahu. Sesungguhnya ini membuat Arnan semakin merasa bersalah.
Jeffry menghela napas pelan. Sejujurnya ia juga khawatir, karena bagaimana pun Aisyah adalah sahabatnya. "Saya cuma bisa memberi saran padamu, Arnan. Sholat dan meminta pada-Nya, insyaAllah doamu akan didengar. Allah Maha Penyayang kalau kamu lupa."
"Ya, terima kasih Jeff. Oh iya, kamu ngapain di sini? Siapa yang sakit?" tanya Arnan.
Jeffry menepuk dahinya pelan. "Astagfirullah, saya hampir lupa. Saya pergi dulu ya, Khuma kepengen bubur ayam soalnya."
"Khuma sakit?" Arnan menebak dengan ekspresi bingung.
"Ya, dia dirawat di sini."
"Semoga lekas sehat ya, maaf saya belum bisa menjenguk."
Jeffry mengangguk. "Aamiin Allahumma aamiin. Iya nggak apa-apa. Fokus aja sama istrimu. Maaf juga saya belum menjenguk, insyaAllah kalau Khuma udah baik-baik aja saya akan menemui kalian."
"Makasih Jeff." Arnan bersalaman dengan Jeffry.
Selepas kepergian Jeffry, Arnan kembali duduk dan merenungkan semua kejadian yang telah menimpanya dan juga Aisyah. Hampir saja Arnan menyerah akan janji yang pernah ia ucapkan pada Aisyah.
"Astaghfirullah, maafkan hamba ya Allah," gumamnya.
Detik berikutnya pintu ICU terbuka dan menampilkan suster yang menyerukan nama Arnan. "Maaf, Pak Arnan. Anda bisa ke dalam sebentar?"
"Iya sus." Arnan menghampiri suster dan ikut masuk ke dalam ICU dengan jubah yang tersedia.
Ternyata Aisyah sudah siuman. Alhamdulillah...
Arnan menghampiri Aisyah yang menggunakan selang oksigen. "Aisyah..."
"Mas Arnan..." lirih Aisyah.
"Alhamdulillah sayang kamu udah sadar. Gimana? Ada yang sakit?" tanya Arnan sambil menggenggam tangan Aisyah yang tidak terinfus.
Aisyah menggelengkan kepalanya pelan. "Mas ... gimana sama anak kita?" tanyanya setelah melepaskan oksigennya.
Deg!
Arnan mematung di tempatnya, ia belum tahu harus menjawab apa. Tak ada persiapan untuk situasi seperti ini. Banyak perhitungan yang harus Arnan pikirkan, ditambah kondisi Aisyah yang masih sangat lemah.
"Sayang... Allah lebih sayang sama anak kita —"
"Apa maksudnya mas?" potong Aisyah dengan nada sedikit ditekan.
Arnan lebih erat menggenggam tangan Aisyah dan ia menciumnya sejenak. "Kamu harus tenang dulu, jangan banyak gerak ya."
"Jawab mas! Ada apa?" sentak Aisyah.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Arnan terdiam seribu bahasa, dipikirannya begitu bingung bagaimana merangkai kata untuk memberitahu kabar buruk ini. Tapi, bagaimana pun Aisyah merasakan ada sesuatu yang tidak beres dan ia pun menebak.
"Jangan bilang ... anak kita ..."
Arnan meletakkan telapak tangan Aisyah di pipinya, ia pun bertumpu pada lututnya. "Salahin aja aku, ini semua kesalahan aku karena nggak bisa jaga kamu dan anak kita —"
"Mas... aku nggak akan nyalahin kamu. Ini udah takdir dari Allah, dan kita harus terima itu," ucap Aisyah tiba-tiba diluar dugaan.
Arnan mendongakkan kepalanya dan menatap Aisyah yang tengah tersenyum dalam tangisnya. "Aisyah ..." lirihnya.
"Kamu udah banyak ngajarin aku selama ini. Anak termasuk titipan Allah kan? Mungkin Allah belum mempercayakan aku untuk menjadi Ibu. Lagipula aku sakit-sakitan, kasihan anak yang lahir dari rahimku nanti. Iya kan?" ucap Aisyah dengan ujung bibir terangkat dan air mata mengalir begitu saja.
Melihat itu membuat Arnan semakin merasa bersalah dan sedih, sekaligus khawatir. Ia sampai tak tahu harus mengatakan apa. Tidak biasanya Aisyah setenang ini. Ia hanya takut kalau istrinya itu memendam semua perasaan yang dirasakannya. Itu tidak baik untuk kesehatannya.
"Mas ... bisa tolong tinggalin aku sendiri?" pinta Aisyah sambil melepaskan genggamannya dari Arnan.
Ya Allah, ujian apalagi yang akan dihadapi oleh pasangan suami-istri ini? Arnan mengangguk dan menuruti pinta istrinya. Tak mungkin disaat seperti ini ia bersikap egois. Sebab dalam hati, Arnan tak rela meninggalkan Aisyah seorang diri.
Arnan melangkahkan kakinya keluar ruangan tersebut. Tapi, ia tak benar-benar pergi dari sana. Laki-laki dengan mata sembab itu terdiam di balik pintu sambil mendengarkan isak tangis Aisyah yang tertahan.
Ya, Aisyah berhasil menahan kesedihan di hadapan Arnan. Saat ini wanita itu menangis terisak tanpa suara. Dan membuat hati Arnan teriris. Alhasil laki-laki itu ikut menangis dalam diam --bersamaan dengan Aisyah.
Walau mereka berdua sudah menjadi suami-istri, tapi seperti masih ada dinding yang menjulang tinggi di antara mereka. Aisyah memang mulai menyayangi Arnan, tapi mungkin masih ada batasan dalam dirinya pada suaminya itu.
•-----•
"Gimana sayang? Enak buburnya?" tanya Jeffry, sambil menyapu sisa bubur di bibir istrinya dengan ibu jari.
Tepat lima belas menit lalu, Jeffry mendapatkan bubur sesuai keinginan istrinya itu. Membuat Khuma senang bukan main.
Khuma mengangguk mantap. "Alhamdulillah, aku udahan mas. Makasih banyak ya."
"Kenapa nggak dihabisin? Nggak enak?" Jeffry menerima mangkuk berisi bubur yang disodorkan oleh Khuma. "Habiskan sayang, kasihan Jeju nanti kelaparan."
"Enak kok, enak, tapi aku udah nggak kepengen..." sahutnya sambil tersenyum sangat manis.
Melihat itu membuat Jeffry mengembuskan napasnya pelan lalu tersenyum lembut. Bagaimana bisa ia marah sedang sang Istri membuatnya tak bisa mengatakan apa-apa. Sebab Jeffry selalu jatuh hati ketika melihat Khuma menyunggingkan senyumnya.
"Dasar kalian bucin," celetuk Fathan yang melihat interaksi keduanya.
Ya, di ruangan itu masih ada Fathan. Orang tua Khuma sudah pergi sebelum Jeffry kembali dari pencarian ngidamnya Khuma.
Khuma melirik ke arah Fathan. "Nggak apa-apa dong, karena kami udah sah."
"Nah, benar itu," timpal Jeffry.
"Iya tau deh, terus aja saling bela. Saya yang salah di sini" gerutu Fathan.
Jeffry dan Khuma tertawa bersamaan melihat Fathan yang terbawa perasaan. Maklum saja, Fathan masih terbawa suasana patah hatinya karena Nabila --wanita yang seharusnya ia nikahi.
Bicara soal Nabila, bukannya Fathan masih belum bisa melupakan wanita itu? Bahkan Fathan mengurung dirinya di kamar. Tapi, saat ini ia ada di hadapan Jeffry dan Khuma.
"Kak, udah nggak galau lagi kan?" tanya Khuma tiba-tiba, membuat Fathan terdiam.
Sengaja Khuma menyakan hal itu agar kakaknya melupakan Nabila. Bagi Khuma, Nabila sudah membuatnya kecewa. Jadi, untuk apa Fathan terus memikirkannya.
Jeffry yang mengerti, langsung mengalihkan topik pembicaraan. "Sayang, udah minum obatnya? Tadi apa kata Dokter?"
"Udah tadi, tapi yang sesudah makan belum. Terus kata Dokter semuanya stabil. Besok aku udah boleh pulang, Jeju sehat kok," jawab Khuma.
Fathan menghela napas, "Kakak mau nyoba nggak larut sama kesedihan. Karena menurut kakak, di luar sana banyak yang lebih berat masalahnya tapi mereka bisa melewatinya. Jadi, kakak juga pasti bisa kan? Lagipula kakak mana yang tega nggak jenguk adeknya pas tau sakit?" jawabnya.
Khuma tersenyum. "Iiiitu baru kakaknya Khuma. Percaya sama Allah kak, janji Allah itu nyata. Rencana Allah lebih indah daripada rencana kakak. Ya kan, mas?" tanyanya pada Jeffry.
Jeffry mengangguk sambil tersenyum. "Iya Fath, maaf sebelumnya atas semua yang terjadi padamu itu. Saya yakin, Allah udah menyiapkan sesuatu yang lebih indah buatmu."
"Aduh, saya bersyukur punya kalian. Terutama kamu dek, akan jadi ibu yang baik buat anakmu nanti. Kamu juga, Jeff jadi ayah dan suami yang bijak. Saya harap kalian selalu bahagia," sahut Fathan.
Jeffry dan Khuma tersenyum bersamaan. "Mas, aku mau ke toilet."
"Udah boleh turun dari ranjang emangnya?" tanya Jeffry.
Fathan menjawab, "tadi kata Dokternya udah boleh, Jeff."
"Iya mas, boleh," timpal Khuma.
"Ya udah ayo mas anterin. Pelan-pelan ya jalannya." Jeffry membantu Khuma berdiri dan menuntunnya ke kamar mandi.
Berhubung Khuma tidak ingin di temani sampai dalam kamar mandi, alhasil Jeffry menunggunya di depan pintu. Detik berikutnya ia teringat tentang Aisyah dan Arnan.
"Fath." Jeffry memanggil Fathan.
Fathan yang tengah memainkan ponselnya menoleh dan berkata, "apa Jeff?"
"Kamu tau kalau Aisyah dirawat di sini?"
"Hah? Aisyah sakit?" Fathan malah balik bertanya.
Jeffry mengangguk. "Iya, tadi saya baru aja ketemu sama Arnan. Ada kabar kurang baik, Fath dari mereka."
"Apaan Jeff? Ada berita apa?!" sahut Fathan khawatir, bahkan ia sampai berdiri dan menajamkan telinganya.
"Aisyah keguguran, bayi mereka nggak bisa terselamatkan."
"Innalillahi..." sahut Fathan.
"Saya jadi makin khawatir sama Khuma. Saya harus lebih ekstra menjaga Khuma dan calon anak kami," ucap Jeffry yang tampak khawatir.
Pintu kamar mandi terbuka. "Siapa mas yang keguguran?" tanya Khuma.
"Ya Allah bun, kamu ngangetin." Jeffry memegangi tangan Khuma. "Itu... Aisyah keguguran bun."
"Innalillahi wainnailaihi roji'un," ucap Khuma sambil memegangi perutnya yang buncit, "terus gimana sekarang keadaannya mas?"
"Mas nggak tau, karena tadi masih di ruang ICU. Mas cuma ketemu sama Arnan." Jeffry menuntun Khuma kembali ke ranjangnya.
Khuma duduk di tepi ranjang. "Kita jenguk ya mas nanti?"
"Iya sayang... tapi tunggu kamu sehat dulu ya. Kesehatan kamu dan Jeju lebih penting," sahut Jeffry.
"Kakak jenguk duluan, nanti kakak kabarin keadaan Aisyah ya," timpal Fathan. Kakak Khuma itu tahu kalau adiknya pasti khawatir. Mau bagaimana pun, Khuma wanita yang tengah mengandung juga.
Jeffry yang melihat kekhawatiran di raut wajah istrinya itu, langsung memeluknya lembut. "InsyaAllah, Jeju akan baik-baik aja sayang. Nggak usah khawatir berlebihan ya," ucapnya, seakan tahu apa yang Khuma pikirkan.
Khuma mengangguk pelan dan semakin menenggelamkan wajahnya di perut Jeffry. Benar, ibu hamil satu itu khawatir karena ia sempat terjatuh di kamar mandi dan tak sadarkan diri.
•-----•